21
PERKEBUNAN
STRAWBERRY
SEBENARNYA dengan segala keterbatasan Mamak, ada
solusi yang lebih baik agar Dalimunte tetap bisa melanjutkan sekolah di kota
kecamatan. Ikanuri dan Wibisana yang memang malas sekolah dengan sukarela
menawarkan diri berhenti. Tapi demi mendengar kalimat itu, Kak Laisa langsung
melotot galak. Sekali dua sigung nakal itu berhenti sekolah, maka mereka tidak
akan pemah kembali lagi. Ikanuri dan Wibisana ber-yaa kecewa. Yashinta yang
masih kecil, malam itu juga menawarkan diri berhenti, berkata pelan sambil memainkan
crayon 12 warnanya,
"Biar Kak Dali saja yang sekolahh, anak laki
kan harus sekolah. Yash, kan... Yash kan anak perempuan. Biar Yash yang
berhenti...."
Membuat ruang depan rumah kayu butut itu lengang.
Mamak pelan mengusap wajahnya. Kak Laisa menelan ludah. Senyap. Tidak. Solusi
terbaik, tetap Dalimunte yang menunda sebentar sekolahnya.
Mamak membiarkan Laisa kembali menanami
ladang mereka dengan strawberry, kali ini malah membiarkan seluruhnya ditanami.
"Belajar
dari kesalahan, Mak. Laisa tahu apa yang harus Laisa lakukan sekarang."
Mamak tidak kuasa mencegah niat bulat sulungnya,
apalagi Dalimunte ikut mendukung. Jadi kepalang tanggung, sukses atau gagal
seluruhnya. Kak Laisa menanami kembali seluruh kebun mereka dengan strawberry.
Wak Burhan yang mencoba menasehati Laisa
juga mengalah. Laisa tetap keukeuh memesan bibit strawberry ke universitas
tempat kakak-kakak KKN dulu. Kebun mereka terlihat amat berbeda dibandingkan
yang lain. Satu dua tetangga menatap ganjil. Ikut prihatin, bagaimana mungkin lembah
ini ditanami stober? Stowber? Beri-beri? Ah, menyebut namanya saja mereka
susah.
Laisa benar, ia belajar banyak dari
kesalahannya.
Empat
bulan berlalu, setelah hari-hari terpanggang matahari saat menyiapkan
polybag-polybag baru; mengejar-ngejar Ikanuri dan Wibisana yang masih saja
bandel bolos sekolah; memasukkan pupuk kandang ke dalam polybag, meneriaki
Ikanuri dan Wibisana yang sibuk mencuri mangga, membersihkan gulma dan hama,
(dan lagi-lagi mengejar-ngejar Ikanuri dan Wibisana yang tidak kapok-kapoknya
bolos sekolah) lepas musim penghujan yang dulu
menggenangi
polybag, kabar baik itu akhirnya tiba. Empat ratus pohon strawberry merekah
subur dari kantong-kantong plastik hitam. Bukan main. Empat bulan berlalu lagi,
hari-hari dihabiskan dengan kerja keras, pagi-sore di kebun, bahkan Kak Laisa
baru pulang saat adzan magrhib terdengar, telaten merawat satu demi satu
batangnya. Mencurahkan seluruh perhatian ke kebun satu hektar itu.
Dan
Mamak akhirnya tersenyum lebar, buah-buah merah ranum mulai bermunculan dari
batang-batangnya. Membuat seluruh penduduk kampung tercengang. Belum pernah
mereka melihat buah seindah itu. Yashinta yang paling girang. Menghabiskan sore
selepas sekolah dengan menghitungi satu demi satu buahnya. Malah membawa-bawa
kertas. Dicatat satu persatu perpohon. Ikanuri dan Wibisana? Standarlah, mereka
juga sibuk mencuri buah-buah strawberry yang mulai matang...
Dalimunte yang sekarang punya waktu
lebih banyak membantu Mamak dan Kak Laisa, mengambil perannya saat buah merah
ranum strawberry siap dipanen. Ia menyiapkan teknologi pengalengan sederhana.
Dengan gentong-gentong besar dari tanah yang banyak dijual di kota kecamatan.
Jadi tak ada lagi buah yang busuk ketika tiba di kota provinsi. Sukses besar.
Meski
Ikanuri dan Wibisana mencuri buah-buah itu hingga sepuluh kilo setiap hari
selama dua tahun, tetap tidak akan habis saking bagusnya panen kebun mereka.
Kakak-kakak dari kota provinsi berbaik hati mengirimkan truk pengangkut,
seminggu setelah menerima surat dari Laisa.
Kabar baik itu akhirnya tiba di Lembah
Lahambay.
Satu tahun berlalu. Usia Kak Laisa
sekarang sudah menjelang dua puluh tahun. Dalimunte empat belas, Ikanuri
sebelas (hampir dua belas), Wibisana sebelas (baru lewat sepuluh), dan Yashinta
sembilan tahun. Satu tahun penuh kerja keras, kerja keras, kerja keras, dan
pengharapan. Senja itu, gerimis kembali membasuh lembah indah tersebut.
"Mamak
menyuruh Kakak pulang."
Laisa menoleh,
tersenyum lebar melihat Dalimunte melangkah mendekat. Adiknya mengulurkan
payung. Ikut tersenyum. Seekor elang terbang berputar di tengah larik bulir
hujan. Langit mulai gelap. Batang-batang strawberry bergoyang lembut oleh
hujan. Satu dua buah sisa panen seminggu lalu masih menggelantung. Terlihat
merah ranum. Kemilau kristal air menambahi kesan indahnya.
"Kau sudah pulang dari kota kecamatan?"
Dalimunte mengangguk mantap. Tadi dia dan Mamak mendaftar sekolah. Sekalian
membeli banyak barang keperluan. Seragam baru buat Yashinta. Sepatu baru buat
Ikanuri dan Wibisana. Juga baju baru buat Mamak dan Kak Laisa. Sudah lama
sekali Mamak tidak punya baju baru. Kak Laisa juga, selama ini membeli barang
loakan, yang selalu gombyor, kebesaran buatnya.
"Kalau Dali sekolah minggu depan, berarti Dali
tidak bisa bantu Mamak dan Kak Lais lagi...." Dali menunduk, berdiri di
sebelah Kak Laisa, berpegangan ke pagar kebun.
"Kau tetap
bisa membantu." Kak Laisa berkata ringan.
"Tapi, Dali setiap shubuh harus menumpang
starwagoon, baru pulang lepas magrhib. Bagaimanalah Dali bisa membantu?"
"Kau tetap bisa membantu, Dali. Dengan belajar
sungguh-sungguh. Dengan nilai-nilai yang baik. Kau akan membantu banyak Mamak
dengan semua itu."
Kak Laisa menggenggam lengan adiknya. Menatap wajah
Dalimunte yang sekarang lima belas senti lebih tinggi darinya. Dalimunte
terdiam, menggigit bibir.
"Berjanjilah—"
Dalimunte mengangguk. Mengusap
ujung-ujung matanya.
"Kemarilah,
Dali.... Kemari...." Kak Laisa berkata lirih. Mamak melepas dekapan kepala
Dalimunte.
Dalimunte
beranjak mendekat ke ranjang Kak Laisa. "Kau, kau sungguh adik yang amat
membanggakan...."
Kak Laisa menatap Dalimunte lamat-lamat. Tersenyum.
Bercak darah mengalir lagi. Intan lembut menghapusnya.
"Lihatlah.... Siapa yang paling pandai di
keluarga kita? Siapa yang paling pintar? Kau, Dalimunte. Babak pasti bangga
padamu. Dan kau, kau selalu menepati janjimu.... Belajar, bekerja keras,
bersungguh-sungguh." Kak Laisa mengenggam lengan
"Kau punya istri yang cantik. Anak yang manis
dan juga pandai seperti ayahnya. Semua itu. Semua itu seharusnya membuat kau
tersenyum, Dali. Bukan menangis seperti ini— "
Kak Laisa
tertawa kecil, lantas terbatuk.
"....Itu semua karena Kakak... itu semua
sungguh karena kakak." Dalimunte mengusap ujung-ujung matanya.
Kak Laisa tersenyum
tulus. Terus menggenggam lengan Dalimunte dengan sisa-sisa tenaga, "Maukah
kau menceritakan penelitian terbarumu pada Kakak? Biar Kakak mendengarkan...
Yang
tentang apa?—" Kak Laisa terbatuk.
Bersitatap satu sama lain. Lima belas
detik.
Dalimunte mengangguk perlahan. Pelan
menarik nafas. Berusaha mengendalikan emosi. Bahkan dalam kondisi yang
menyedihkan, Kak Laisa tetap tidak berubah. Selalu ingin mendengar apa yang
sedang dikerjakannya. Apa yang sedang dilakukannya. Cie Hui, membantu Mamak
kembali duduk di kursi. Intan beringsut naik ke atas ranjang besar. Biar lebih
leluasa membersihkan setiap kali bercak darah keluar dari bibir.
Meski
Kak Laisa tidak mengerti, karena semakin ke sini apa yang dikerjakan Dalimunte
semakin rumit baginya. Meski Kak Laisa tidak paham sedikitpun, tapi ia selalu
ingin mendengar apa yang sedang dilakukan Dalimunte. Menatap wajah Dalimunte
yang selalu antusias menjelaskan penelitiannya. Penuh penghargaan.
Tetap sama seperti dua puluh tahun
silam.
Masa-masa ketika
akhirnya Dalimunte menyadari satu hal. Kak Laisa yang semakin tertinggal di
belakang.
NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 22
No comments:
Post a Comment