29
PERNIKAHAN
PERTAMA
PERNIKAHAN
Dalimunte - Cie Hui berlangsung satu bulan kemudian.
Pernikahan
yang meriah. Halaman luas rerumputan itu dipasang dua tenda besar. Penduduk
empat desa di Lembah Lihambay ramai memenuhi kursi-kursi. Tidak terhitung
kolega Dalimunte darii bukota. Saat itu dia belum mendapatkan gelar profesor,
tapi berbagai penelitian yang dilakukannya telah membuat Dalimunte terkenal.
Juga tamu-tamu dari kota kecamatan, kota kabupaten, hingga kota provinsi,
kenalan Kak Laisa dalam bisnis perkebunan strawberry. Di salah satu kursi
undangan bahkan duduk rapi Bupati setempat.
Tetapi ada yang sedikit berbeda
dibandingkan dengan banyak pernikahan di lembah tersebut sebelumnya. Wak Burhan
beberapa hari sebelum acara berlangsung meminta penduduk kampung untuk tidak
membicarakan soal melintas. Tidak sibuk menggoda Kak Laisa soal kapan ia akan
menikah juga. Urusan ini tidak pantas dibicarakan. Tidak buat Laisa yang telah
melakukan banyak hal untuk lembah mereka. Jadi pernikahan itu berlangsung
'sebagai mana mestinya'.
Dalimunte
dan Cie Hui terlihat amat bahagia, meski saat selesai ijab-kabul, Dalimunte dan
Cie Hui menangis lama memeluk Kak Laisa, berbisik ribuan kata maaf (lebih lama
dibanding saat bersimpuh di pangkuan Mamak). Membuat yang lain terdiam.
Menghela nafas. Meski tidak ada yang jahil membicarakannya, setnua orang tahu,
melintas macam ini sungguh di luar kebiasaan kampung.
Dalimunte
dan Cie Hui menghabiskan masa-masa bulan madu di perkebunan strawberry, baru
lepas satu bulan kemudian mereka kembali ke ibukota, memulai kemball kesibukan
di laboratorium. Ikanuri dan Wibisana kembali ke kota provinsi seminggu setelah
pernikahan, mereka semakin sibuk dengan bengkel modifikasi mobil. Berencana
membangun pabrik kecil di luar pulau, di kota yang lebih besar. Mengejar ambisi
besar mereka: pembuat spare-part mobil balap. Yashinta juga segera kembali ke
kota provinsi, minggu-minggu depan ia mulai menyiapkan ujian tugas akhir
kuliahnya.
Meninggalkan
Kak Laisa dan Mamak Lainuri di perkebunan strawberry. Seperti selama ini.
Bedanya, di keluarga itu sudah terjadi pernikahan pertama. Entahlah apa yang
sejatinya dipikirkan Kak Laisa, tapi kenyataan ia sudah dilintas Dalimunte
tetap fakta hidup yang harus diterimanya. Dan seperti biasa, semuanya terlihat
baik-baik saja. Kak Laisa juga kembali menyibukkan diri dengan pembangunan
pusat pengalengan baru di kota provinsi. Sering berpergian, bolak-balik.
Mengurus perkebunan yang semakin luas. Mulai melibatkan penduduk kampung atas
dan kampung-kampung lainnya. Menjadikan mereka petani cluster dari bisnis
tersebut.
Kak Laisa dan Mamak Lainuri mungkin
tidak akan pernah kesepian, karena meski jadwal pulang bersama yang lain hanya
dua bulan sekali, perkebunan itu tetap ramai oleh pekerja, anak-anak tetangga,
juga remaja tanggung lainnya yang sibuk membantu selepas pulang sekolah. Ramai
bermain-main di hamparan rumput rumah. Kak Laisa juga sering kali menghabiskan
malam dengan bermain kembang api bersama mereka. Mendirikan taman bacaan. Dan
memberikan berbagai kesempatan bagi anak-anak lembah lainnya untuk belajar dan
bermain yang tidak pernah ia dapatkan waktu kecil. Tapi di luar seluruh
kegiatan hebat tersebut, tetap tidak ada yang tahu seberapa sepi hidup Kak
Laisa.
Lepas
pernikahan Dalimunte, penduduk setempat juga sudah jauh berkurang menggoda
Laisa. Mereka sekarang lebih banyak prihatin, sebagian besar malah mulai
terbiasa. Hanya Wak Burhan yang masih terus sibuk mencarikan Laisa Jodoh.
Percuma. Semua itu seperti menjadi kesia-siaan besar.
Dalimunte
selepas pulang ke ibukota juga sibuk mencarikan jodoh buat kakaknya. Kali ini
dia melakukannya dengan sungguh-sungguh, sekali dua malah mengorbankan jadwal
di laboratorium. Dalimunte memutuskan untuk melibatkan diri seperti Wak Burhan.
Di tengah
amat keterlaluannya
warga ibukota dalam menilai tampilan fisik dan materi, kesempatan Kak Laisa
untuk mendapatkan jodoh tetap lebih besar di sini. Mungkin jodoh Kak Laisa
terselip di sini. Harus dijemput dengan baik.
Enam
bulan berlalu, di jadwal pulang dua bulanan mereka, Dalimunte mengajak salah
satu temannya. Tepatnya kakak kelas waktu dia kuliah di institut teknologi
ternama dulu. Usianya sepantaran dengan Kak Laisa, tiga puluh lima tahun.
Dalimunte sudah mengenalnya sejak masih tingkat pertama kuliah dulu. Kakak
mentor. Aktivis masjid kampus. Fasih benar bicara soal mencari jodoh bukan
dilihat dari wajah dan kecantikan pasangan, tapi dari "kecantikan
hati". Sekarang calon jodoh Kak Laisa tersebut malah lebih dikenal sebagai
salah-satu penceramah agama terkenal di ibukota. Statusnya duda. Istri kenalan
Dalimunte tersebut meninggal tanpa anak tiga tahun lalu, dan sekarang
memutuskan untuk menikah lagi.
Karena Daiimunte amat yakin bahwa kakak
kelasnya itu tidak akan menilai seseorang dari tampilan wajah dan fisik, sambil
tersenyum lebar dan penuh penghargaan, Dalimunte menyebutkan Kak Laisa sebagai
salah satu pilihan yang baik. Cepat sekali proses itu terjadi, bahkan kakak
kelasnya merasa tidak perlu melihat foto-foto Kak Laisa. Hanya mendengar apa
yang dilakukan Kak Laisa, tentang Lembah Lahambay, dan segalanya, dia merasa
sudah menemukan pengganti mendiang istrinya yang tepat.
"Kakakmu pasti secantik yang ia lakukan selama
ini. Lihat, adiknya saja gagah seperti kau!" Itu jawaban yang hebat,
Benar-benar kabar baik. Dalimunte tertawa riang.
Tetapi Dalimunte sungguh keliru, ketika
malam itu akhirnya mereka tiba di rumah panggung, ketika untuk pertama kali
mantan kakak kelasnya di institut teknologi itu melihat Kak Laisa, respon yang
diharapkannya sungguh jauh dari baik. Sebenamya respon yang ada tidak jauh beda
dengan jodoh-jodoh yang dibawa Wak Burhan selama ini tetapi mengingat latar
belakang pemahaman agama kakak kelasnya... Malam itu ruangan depan rumah
panggung entah mengapa terasa gerah, meski lembah sedang menjelang musim
penghujan.
"Bukankah Kak
Laisa 'cantik' seperti yang kau sebutkan selama ini dalam ceramah-ceramahmu.
Apalagi yang kurang!" Dalimunte sedikit tersinggung, berkata ketus esok
pagi saat menyuruh salah satu sopir perkebunan mengantar kenalannya tersebut
kembali lebih dini ke kota provinsi.
"Tapi
maksudku, setidaknya cantik adalah menarik hati"
Dalimunte
sudah terlanjur membanting pintu mobil. Dia tidak membenci kenalannya tersebut
secara personal. Tapi Dalimunte lebih membenci kenyataan bahwa: terkadang
betapa munafiknya manusia dalam urusan ini. Lihatlah, kenapa pula temannya
tersebut mesti berpura-pura ada jadwal acara mendadak, ceramah di manalah hari
ini. Dalimunte membenci ukuran-ukuran relatif yang ada di kepala orang ketika
mencari jodoh. Sungguh jika ada yang ingin menilai secara objektif, Kak Laisa
masuk tiga dari empat kriteria utama yang disebutkan Nabi dalam memilih jodoh.
Jelas Kak Laisa salehah. Saleh dalam
hubungan dengan Allah, juga saleh dalam hubungan dengan manusia. Kak Laisa
selalu pandai mensyukuri nikmat Allah dalam bentuk yang lengkap. Ritus ibadah
yang baik dan ihklas, juga kesalehan memperbaiki kehidupan lembah.
Dari sisi materi. Jelas Kak Laisa lebih
baik dari gadis lain. Perkebunan strawberry Kak Laisa membentang nyaris dua
ribu hektar. Meski Kak Laisa selalu bilang ini perkebunan Mamak, semua orang
tahu, semuanya berkat kerja keras Kak Laisa.
Dan dari sisi keturunan, Kak Laisa
memang bukan turunan raja atau bangsawan ternama, tapi keluarga mereka
terhormat, pekerja keras, tidak pernah meminta-minta, berdusta, atau melakukan
hal buruk lainnya. Sejak dulu Babak mengajarkan tentang harga diri keluarga,
mengajarkan tentang menjaga nama baik keluarga lebih penting dibandingkan soal
kalian turunan siapa. Menjadi keluarga yang jujur meski keadaan sulit. Berbuat
baik dengan
tetangga sekitar, dan
sebagainya. Jadi kenapa harus mempersoalkan kecantikan? Bukankah itu hanya ada
di urutan keempat?
"Keluarga yang baik hanya dapat terjadi ketika
suami merasa senang menatap istrinya, Dali. Merasa tenteram —"
Kak Laisa berkata pelan, menatap gumpalan awan tipis
yang menutupi bintang-gemintang dan purnama.
Dalimunte
hanya diam. Seperti biasa mereka menghabiskan sepertiga malam terakhir dengan
berdiri di lereng perkebunan strawberry. Kak Laisa tidak banyak berkomentar
atas kejadian semalam dan tadi pagi. Seperti biasa, menganggapnya kejadian
lazim berikut. Bukankah selama ini juga perjodohan yang dilakukan Wak Burhan
bernasib sama. Yang dijodohkan mundur teratur setelah melihatnya (satu dua
malah kasar segera pergi dari rumah). Dalimunte saja yang terlalu naif berharap
banyak atas kenalannya tersebut, tidak proporsional, tertipu tampilan mutut.
Kesalehan mulut.
"Kau tahu, jika suami merasa tersiksa melihat
wajah dan fisik istrinya, dan juga sebaliknya, mereka tidak akan pernah menjadi
keluarga yang baik. Bukankah kau juga tahu kisah tentang sahabat Nabi, yang
meminta bercerai karena fisik dan wajah pasangannya tidak menenteramkan
hatinya—" Laisa tetap berkata ringan.
Dalimunte
menelan ludah, menatap lamat-lamat wajah Kak Laisa. Tahun-tahun itu, Dalimunte
sudah mulai sibuk dengan berbagai penelitian tentang transkripsi religius, jadi
bagaimana mungkin dia tidak tahu berbagai kisah tersebut. Dia tahu. Dia juga
tahu persis kalimat bijak kalau: ketika salah satnnya justru memutuskan untuk
bersabar atas pasangan yang tidak beruntung dari tampilan wajah dan fisik
tersebut, maka surga menjadi balasan buatnya. Tidakkah hari ini, ada yang
mengerti hakikat kisah tersebut.
"Kakak tidak sakit
hati?" Dalimunte berusaha melepas senyap di hatinya. "Kenapa harus
sakit hati, Dali?" Kak Laisa melambaikan tangan. Dalimunte menunduk.
Mengusir rasa sesalnya atas kejadian ini.
"Tetapi yang membuat Kakak bingung, kenapa
kenalanmu itu tetap datang meski telah melihat foto-foto, Kakak?" Kak
Laisa tersenyum, mengenggam lengan Dalimunte.
NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 30
No comments:
Post a Comment