17.
SIAL KUADRAT
SEBULAN
kemudian aku sadar bahwa aku hamil. Pertama-tama haidku telat, tapi
aku
tidak terlalu khawatir karena haidku memang terkadang tidak teratur. Tapi
kemudian
aku sering merasa mual dan payudaraku terasa agak sensitif. Hari itu
juga
kubeli alat tes kehamilan dan mendapat konfirmasi bahwa aku hamil.
Keesokan
harinya kubeli dua alat lagi, dan dua-duanya bilang aku hamil. Rasa
pertama
yang ada di hatiku adalah bingung dan takut, tapi kemudian kebahagiaan
mulai
menyelimutiku. Aku akan menjadi ibu.
Setelah
kejadian di Lembang, hubunganku dan Ervin menjadi lebih baik. Seperti
ada
suatu pengertian di antara kami berdua untuk tidak pernah membahas tentang
weekend di
Lembang itu. Ervin tidak pernah mengungkapkan bahwa dia merasakan
sesuatu
yang berbeda, tapi dari tindakannya bisa kulihat bahwa dia jadi lebih
perhatian
padaku. Contohnya, dalam perjalanan pulang dari Lembang, dia tidak
mau
melepaskan tanganku dan selalu memandangiku dengan tatapan yang
membuatku
salting. Di Jakarta, Ervin selalu mencoba menghabiskan waktunya
bersamaku
tapi sebisa mungkin kutolak dengan alasan yang semakin hari semakin
dibuat-buat,
hingga akhirnya dia berhenti bertanya sama sekali. Lama-kelamaan aku
jadi
merasa bersalah padnaya. Jujur saja, dia tidak mungkin tahu aku hamil, dan
bukan
salahnya sampai aku hamil. Ini semua pilihanku sendiri.
Aku
semakin merasa bersalah ketika tahu bahwa aktivitas keluar malam dan
gonta-ganti
teman date-nya sudah hampir tidak ada. Beberapa kali aku berharap
agar
dia menyatakan rasa sayangnya kepadaku dan bahwa hubungan kami berarti
sesuatu
untuknya... bahwa aku berarti sesuatu untuknya. Aku menunggu
berminggu-minggu,
tetapi kata-kata itu tidak pernah tiba. Aku jadi semakin yakin
bahwa
segala sesuatu yang dikerjakannya adalah karena rasa kasihan dan rasa
bersalahnya
padaku, bukan karena suka, apalagi cinta. Akhirnya setelah dua
minggu
mencoba menimbang-nimbang keputusan yang tepat, kuputuskan bahwa
aku
tidak akan mengatakan apa-apa padanya. Dan kulihat Ervin sedang happy
dengan
pekerjaannya. Jarang sekali aku melihatnya begitu tekun. Aku tidak mau
merusak
itu semua. Aku tidak mau dia harus mengorbankan apa-apa untukku.
Tadinya
aku tidak mau bercerita kepada keluargaku mengenai kondisiku, tapi
gara-gara
Mbak Tita akhirnya semuanya terbongkar di bulan Februari ketika aku
pergi
ke rumahnya untuk main dengan Lukas.
“Loon, ada
duit lima puluh ribu nggak? Gue mau kasih tips sama tukang AC,”
tanya
kakakku.
“Ada,
ambil saja di dompet,” balasku sambil masih tetap bermain dengan
Lukas.
Kakakku
kemudian sibuk mengobrak-abrik tasku untuk mencari dompetku.
Ketika
menemukan yang dicarinya, dia langsung mengeluarkan uang lima puluh
ribu
rupiah, disusul dengan...
“Di,
ini apaan?” tanyanya sambil menunjukkan sehelai kertas berwarna kuning
berukuran
kecil.
“Kertas,”
jawabku polos, masih tidak menyadari kertas apa yang sedang
dipegangnya
itu.
“Beli
pregnancy test,” ujarnya sambil berjalan ke arahku.
Aku
yang kemudian sadar bahwa kertas itu adalah post-it
note yang kuletakkan
di
dalam dompetku seminggu yang lalu agar aku tidak lupa membeli alat itu,
langsung
panik.
“Beli
buat siapa?” tanyanya lagi. Kini dengan nada lebih serius.
“Mmmhhhh...
beliin buat... Nadia. Soalnya dia hamil, jadi dia minta tolong sama
aku.”
Aku mencoba untuk kelihatan biasa.
Tapi
aku tahu aku sudah tertangkap basah. Aku tidak pernah bisa menyembunyikan
apa-apa
dari kakakku, entah bagaimana, dia selalu tahu kalau aku
berbohong.
“Adriana
Amandira, you better not be lying to me
right now,” bentaknya.
Aku
kaget setengah mati atas bentakannya dan mencoba untuk membela diri.
“Iya,
gue hamil, memangnya kenapa?” tantangku akhirnya, meskipun tidak
terdengar
meyakinkan.
Kakakku
melongo. “Sama siapa?” tanyanya polos.
“Ya
sama laki-lakilah, siapa lagi?”
“Didiiiiii!!!!!!!”
“Iya,
iya... sori... sori... ini anaknya... Ervin...,” jawabku akhirnya.
“Ervin?
Teman sekantor kamu itu?”
Aku
mengangguk.
“Dia
tahu kamu hamil?” tanyanya lagi sambil duduk di sampingku.
Aku
menggeleng.
“How far along are you?”
“Enam
minggu,” jawabku lesu sambil mencoba untuk memeluk Lukas untuk
menutupi
perutku. Meskipun kehamilanku masih belum kelihatan sama sekali.
“Siapa
dokter kandungan kamu?”
“Dokter
Yosef di Bintaro, katanya dia bagus.”
Kakakku
mengangguk. Dokter Yosef adalah teman Dokter Ferdi, dokter
kandungan
kakakku.
“Tapi
kandungan kamu baik-baik saja?”
Aku
mengangguk.
“Morning sickness?”
“Nggak
terlalu, kadang ada, kadang nggak. Scarlett cukup nurut kok sama gue.”
“Scarlett?”
tanyanya. Kakakku bingung.
“Iya...
bayi gue, gue kasih nama Scarlett. Soalnya pasti perempuan. Gue maunya
perempuan,
biar nggak ribet,” jawabku tenang.
“Ibu
sama Bapak tahu?” tanyanya khawatir.
Aku
menggeleng. “Gue nggak tahu gimana ngomongnya ke mereka. Lo tahu
sendirilah,
mereka pasti akan kecewa kalau tahu,” ucapku sedih.
“Iya,
pastilah. Tapi kamu sudah mau tiga puluh satu tahun ini, jadi mungkin...
mungkin...
mereka bisa mengerti,” ucapnya mencoba menenangkanku. “Kamu
punya
cukup uang? Kalau nggak gue bisa transfer,” lanjutnya.
“Nggak,
nggak usah. Cukup kok.”
Kakakku
mengangguk. Dia terdiam beberapa saat.
“Ini
kejadian waktu kamu ke Lembang sama Ervin?” tanyanya.
Aku
mengangguk.
“I knew it. Kamu
kelihatan beda waktu balik dari sana,” teriaknya.
Aku
hanya tersenyum karena memang banyak orang yang bilang aku kelihatan
lebih
fresh dan ceria.
“Kenapa
kamu nggak mau bilang ke Ervin?” tanyanya berhati-hati.
“Soalnya
dia Ervin... teman gue. Ini juga nggak sengaja.”
“Kamu
kan masih perawan, Di.” Kakakku masih berusaha untuk mengatasi
kekagetannya.
Dia tahu aku menganut peraturan ketat mengenai no sex before
marriage.
Bagaimana mungkin aku bisa lupa dengan janji itu ketika sedang
melakukan
hubungan dengan Ervin?
“Tapi
dia nggak maksa, itu kemauan gue juga. Dia juga gentle banget
kok.”
Kakakku
memandangiku dengan pandangan yang suka dia berikan kepada
Reilley
kalau suaminya itu berbuat salah. “Oh
my God... Kamu naksir dia, kan?”
tanyanya
penuh kepastian.
Aku
memandangi kakakku tidak percaya. Bagaimana dia bisa tahu sih??? Aku
menggigit
bibir bawahku, senewen.
“You had sex with him... kamu mengandung anaknya... and
you’re in love with him?
Aggghhhhh...
kenapa kamu bisa goblok kayak gini sih?” teriaknya frustrasi lalu
mulai
mengelilingi ruang tamu untuk mengusir kekesalannya.
Tadinya
aku masih mau menyangkal, tapi aku tidak berkutik di bawah tatapan
sangar
kakakku.
“Look, I’m sorry, okay... it just... happened. Gue lagi patah hati karena Baron mau
married sama
Oli, dan Ervin kebetulan ada di situ.”
Tanpa
disangka-sangka kakakku bertanya, “Jadi akhirnya Baron balik lagi sama
Olivia?”
“Kok
lo tahu soal Olivia?” tanyaku bingung.
“Ibu
sama Bapak cerita soal Baron datang ke rumah sebelum Natal,” jawabnya.
“You did the right thing by the way... with them, I mean,” lanjutnya.
Aku
mengangguk.
“Ya
ampun, Ina ternyata benar,” ucapnya dengan nada putus asa. Dia kemudian
duduk
kembali di sofa, tetapi kini dia duduk di hadapanku. “Apa kamu masih cinta
sama
Baron, Di?” lanjutnya.
Aku
menggeleng.
“Tapi
kamu cinta sama dia sebelumnya?”
Aku
mengangguk.
“Semenjak
SMP?” tanyanya lagi.
Aku
mengangguk.
“Kenapa
kamu nggak pernah cerita sih?” geramnya kesal.
“Sudahlah,
itu semua nggak penting lagi,” jawabku pelan.
Kakakku
terdiam sesaat, kemudian dia berkata, “Di, look...,
you’re my sister and I
love you. Tapi
kamu mesti bilang ke Ervin. Masalah ini terlalu besar untuk kamu
atasi
sendiri. Lambat laun orang akan tahu. Kamu satu kantor kan sama dia? Mau
nggak
mau pasti ketemu.”
“Gue
sering kok ketemu dia di kantor, tapi dia nggak tahu gue hamil. Lagian
juga
kan masih belum kelihatan.”
“Kamu
telah melakukan unprotected sex. Kamu tahu sendiri kan konsekuensinya,
nggak
cuma bikin kamu hamil, tapi juga STDs. Kamu nih nekat banget deh,” omel
Mbak
Tita.
“I know, I know... Ervin
bilang kok kalau dia aman. Lagian juga kayaknya dia
nggak
model laki-laki yang punya penyakit kelamin gitu lho.”
“Yee...
di mana-mana laki-laki kalau sudah mau get
laid bisa ngomong apa saja.
Kamu
percaya banget lagi sama dia. Kacau.”
“Gue
sudah cek kok ke dokter, gue bersih, jadi Ervin pastinya bersih juga, kan?”
Kakakku
geleng-geleng kepala.
“Memang
nggak pernah ada yang lihat muka kamu yang pucat?” tanyanya.
“Ada
sih, tapi gue bilang gue lagi nggak sehat. Mereka pada percaya tuh. Ini gue
gitu
lho... gue kan anak emasnya kantor. Nggak pernah bikin salah, nggak
macammacam.”
“Iya...
tapi sekalinya macam-macam... gawat.”
Aku
langsung bangun dari sofa dan mulai nyerocos. Aku harus membuat
kakakku
mengerti bahwa tindakan ini kulakukan atas kehendakku sendiri ketika
aku
seratus persen sadar.
“Gue
bosan sama hidup gue yang itu-itu saja. Dari gue SD, yang gue tahu cuma
sekolah
sama kerja, mencoba untuk jadi murid terbaik, anak terbaik, adik terbaik,
pokoknya
segala sesuatu yang terbaik. Semua itu gue kerjakan supaya gue nggak
ngecewain
lo, Bapak, dan Ibu.”
Wajah
kakakku terlihat sedih mendengar itu, tapi dia tidak mencoba
memotongku.
“Gue
nggak pernah bisa menikmati masa-masa ABG gue karena terlalu sibuk
mikirin
nilai. Semua itu gue bela-belain sampai gue nggak punya social life. Waktu
semua
orang mulai pada pacaran, lo tahu gue ada di mana? Di perpustakaan...
belajar.
Gue nggak pernah ada kesempatan untuk benar-benar merasakan apa itu fall
in love,”
lanjutku.
“Siapa
bilang kamu nggak pernah jatuh cinta. Kamu dilamar sama Vincent,
kan?”
“Yang
kemudian gue tolak? Kebayang nggak sih.... dua kali gue dilamar orang,
satu
kali sama laki-laki yang memang gue nggak cinta dan satu kali lagi sama
lakilaki
yang
gue „sangka‟ gue cinta. Tapi buntutnya gue tolak dua-duanya,” jelasku lalu
duduk
kembali di sofa.
Kakakku
membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi dan
menutup
mulutnya kembali.
“Gue
kerja kayak orang kesetanan, maksudnya supaya orang bisa bilang gue
sukses.
Tapi gue nggak bisa share sama orang lain kesuksesan gue itu. Gue nggak
punya
suami, nggak ada anak, nggak punya love
life. Waktu di Lembang gue sadar
selama
ini gue mengidentifikasi diri gue dengan segala sesuatu yang ada di
sekeliling
gue. Tapi gue sendiri nggak pernah tahu siapa gue di luar itu. Gue bahkan
nggak
tahu apa yang gue mau,” lanjutku.
Kakakku
berlutut di hadapanku dan mencoba berbicara sepelan mungkin.
“Kamu
ini adikku yang paling pintar, paling baik, paling berbakat, paling punya
potensi
untuk sukses. Kamu punya kerjaan bagus yang kamu suka...”
Aku
potong kalimat kakakku, “Tapi itu bukan yang gue mau, Mbak... itu semua
gue
kerjakan hanya untuk memenuhi kebutuhan duniawi, tapi gue ngerasa kosong,
dan
gue baru sadar kekosongan itu nggak akan bisa diisi sama segala sesuatu yang
sifatnya
material. Kekosongan itu harus diisi dengan... cinta.”Aku merasakan
mataku
mulai panas. Aku siap menangis.
“Kamu
dicintai sama gue, Ibu, Bapak, keluarga besar kita, Ina, sobat-sobat
kamu....”
“Ya
memang cinta, tapi gue mau cinta dalam bentuk lainnya. Suatu bentuk cinta
yang
selama ini ada di kamus gue, tapi dengan definisi yang salah. Gue pikir gue
cinta
samas eorang laki-laki selama lima belas tahun tapi sekarang gue sadar gue
nggak
cinta sama dia. Separo hidup gue sudah habis hanya untuk menunggu cinta
orang
itu. Gue sudah salah perhitungan.”
Aku
menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “Sekarang gue sudah
mengerti
bahwa bentuk cinta yang gue mau berarti pengorbanan, bukan
permintaan.
Cinta itu harus diberi dengan rela dan terbuka. I’m sorry that I have to get
pregnant to know what I want, but that’s what happened.”
Aku
dan kakakku terdiam cukup lama sebelum kemudian dia berkata, “Oh
dear... that’s deep.”
Pipinya sudah basah karena air mata.
Aku
hanya tertawa dan mencoba untuk menghapus air mata yang membasahi
pipiku
juga.
“Tapi
apa benar-benar siap untuk menjadi seorang ibu? Ini tugas dua puluh
empat
jam penuh lho.... Kayaknya gue nggak pernah lihat kamu sama anak kecil
kecuali
Lukas deh,” ucap Mbak Tita.
“Gue
tahu. Tapi kalau gue coba pasti gue bisa. Gue selalu bisa ngelakuin apa
saja
kalau gue memang serius dan tekun.”
“Iya,
soalnya kamu memang seharusnya jadi the
smart sister.”
Kami
berdua tertawa terbahak-bahak dan harus berhenti ketika pembantu Mbak
Tita
minta uang tip untuk tukang AC.
“Omong-omong,
kamu tahu bagaimana perasaan Ervin ke kamu?” tanya Mbak
Tita
setelah menyerahkan uang tip kepada pembantunya.
“Ervin
sih baik, tapi gue yakin bahwa dia nggak mau gue,” jawabku sedih.
“Oh, baby... I’m sorry,”
ucap kakakku, lalu memelukku.
“Yeah... me too. Apa
lo punya taktik untuk bilangin tentang kondisi gue ke Ibu
dan
Bapak?” tanyaku penuh harap.
“Lomau
gue yang ngomong ke mereka?”
“I don’t know...
tapi kayaknya mesti gue yang ngomong, karena ini masalah gue.
Tapi
tolong temani gue waktu gue ketemu mereka, ya.”
“Pasti,”
ucap kakakku.
Aku
dan kakakku berpelukan selama beberapa menit. Kami berbicara pada
orangtuaku
malam itu juga, dan mereka terpana. Aku yakin mereka menyimpan
kekecewaan
pada sikapku, tapi tidak marah ketika tahu siapa yang telah
menghamiliku.
Mereka tentunya menanyakan semua pertanyaan yang ditanyakan
oleh
kakakku sebelumnya padaku, dan aku memberikan penjelasan yang sama
kepada
mereka. Aku sempat merasa sedikit terkesima ketika melihat bahwa
orangtuaku
bisa menerima berita ini dengan baik, tanpa teriakan, tamparan, atau
benda-benda
melayang ke arahku. Sejujurnya, mereka kelihatan kecewa dan pasrah.
Mereka
tahu bahwa hal ini sudah kejadian dan satu-satunya hal yang mereka bisa
lakukan
adalah memberi dukungan sepenuhnya padaku. Seperti yang sudah
diperkirakan
oleh kakakku, orangtuaku memahami bahwa aku sudah cukup
dewasa
untuk bisa mengambil keputusanku sendiri dan mereka tidak akan
memaksaku
untuk melakukan apa pun yang tidak mau kulakukan. Termasuk
keinginanku
untuk tidak memberitahu Ervin tentang kehamilanku.
Intinya
akhirnya orangtuaku sepakat bahwa karena kehamilanku disebabkan
oleh
suatu “kecelakaan” dan bukan berdasarkan cinta, maka mereka tidak akan
menuntut
Ervin untuk menikahiku. “Apa fungsinya menyatukan dua orang ke
dalam
suatu ikatan seumur hidup kalau tidak ada cinta? Ikatan itu akan berakhir
sebelum
bisa dimulai.” Itulah kata-kata yang diucapkan oleh bapakku, yang
langsung
disetujui oleh ibuku. Tapi mereka minta supaya aku membesarkana nakku
sebaik-baiknya,
dan mereka siap memberiku dukungan penuh dari sisi moral dan
finansial
kalau aku membutuhkannya. Selain itu, orangtuaku juga mengingatkan
agar
aku siap untuk menerima konsekuensi dari tindakanku, yaitu bahwa karena
kita
hidup dengan budaya Timur, di mana kehamilan di luar nikah masih dianggap
tabu,
maka ada kemungkinan orang-orang akan menilai negatif diriku, anakku, dan
keluargaku.
Tapi setelah mengeluarkan semua nasehat, mereka mulai menunjukkan
kegembiraan
karena akan punya cucu lagi. Aku berterima kasih sekali pada
keluargaku
yang mendukungku sepenuhnya. Aku tidak tahu ke mana aku harus
pergi
kalau tidak ada mereka.
*
* *
Kebahagiaanku
bertambah keesokan harinya ketika Olivia datang menemuiku di
kantor.
Ternyata di adatang untuk mengantarkan undangan pernikahannya untuk
tanggal
2 Maret, sepuluh hari lagi. Baron tidak datang bersamanya.
“Adri,
makasih ya sudah nolongin gue sama Baron,” ucap Olivia.
“Nolongin
apa, Ol?”
“Lo
sudah ngembaliin Baron ke gue. Gue minta maaf soal waktu itu, tentang
permintaan
gue supaya Baron nggak ngontak elo sama sekali.” Olivia kelihatan
tidak
enak. “Apa dia ada kontak lagi sama elo?”
Aku
tersenyum sebelum menjawab, “Nggak ada. Dia cinta sama elo, Ol, dan
jangan
pernah percaya kalau dia bilan gdia nggak cinta sama elo. Itu bohong.”
Olivia
tertawa, sorot matanya masih kelihatan sedih. Mungkin itu cuma
perasaanku,
tapi kok sepertinya tatapan Olivia selalu mengarah ke perutku ya? Apa
jangan-jangan
dia tahu aku hamil? Tapi itu tidak mungkin, itu imajinasiku saja.
“Lo
kok bisa sih, Dri, hidup penuh percaya diri gitu? Lo pasti nggak pernah
diribetin
sama urusan laki-laki, kan?” tanya Olivia polos.
Aku
tertawa, mengingat aku sudah cukup dibuat pusing oleh dua laki-laki
sekaligus
beberapa bulan yang lalu. “Baron seharusnya merasa beruntung karena lo
pilih
dia.Jangan elo pernah lupa soal itu. Elo ini Olivia... cewek paling cantik,
paling
ngetop,
dan paling pintar satu sekolah.”
Olivia
tertawa. “Tapi masih kalah sama Jana, kan?” candanya.
Aku
pun tertawa bersama Olivia.
“Oh
ya... lo datang sama Ervin, kan?” tanya Olivia tiba-tiba.
“I guess so,”
jawabku. “Gue nggak tahu apa dia lagi punya pacar atau nggak.
Gue
takut bikin ceweknya jealous,” lanjutku.
“Ervin
nggak punya pacar lagi, Dri. Pacarnya dia itu elo, kan?”
Aku
memandangi Olivia bingung. “Gue? Bukan lah. Kami teman baik saja kok,
saling
dukung, saling tolong.”
“Hehehe...
terserah deh... tapi menurut gue... lo berdua cocok banget. Sama
gilanya,
sama nggak bisa diaturnya, sama kutu bukunya, dan sama-sama nggak
percaya
sama omongan orang.”
Aku
tertawa lagi atas komentar Olivia. Kapan kira-kira semua orang bisa
berhenti
mengatakan bahwa aku dan Ervin sangat cocok satu sama lain? Kalau kata
Othman
“mengarut betul” yang pada dasarnya berarti “rese deh” dalam bahasa
Indonesia.
Tidak
lama kemudian Olivia berpamitan dan meninggalkan ruanganku sebelum
makan
siang, setelah memelukku dengan penuh suka cinta. Aku berjanji bahwa aku
akan
datang ke pernikahannya.
Tapi
dalam masa 24 jam semua kebahagiaan yang kurasakan punah ketika aku
bertemu
Ervin yang kelihatan lebih ceria dari pada biasanya.
“Driiiiiiiiii,
who’s the luckiest man on earth?” tanyanya padaku sambil masuk ke
ruang
kerjaku tanpa mengetuk terlebih dahulu.
Aku
yang sedang membaca beberapa laporan langsung memandangnya
bingung.
Kok bisa sih dia kelihatan semakin ganteng? Bibirnya... aku mau bibirnya...
di
bibirku, di leherku, di tubuhku... di mana-mana.
“Who?”
tanyaku balik sambil tersenyum.
“Me... gue
lulus screening untuk berangkat training
ke Cincinnati bulan depan.
Mereka
nunjuk gue untuk jadi kepala divisi Business Development,” teriak Ervin
penuh
kegembiraan.
Di
satu sisi aku kaget karena Ervin mau mengambil posisi ini, karena beberapa
bulan
yang lalu aku tidak berhasil membujuknya untuk jadi Brand Manager Clean,
tapi
aku tetap senang walaupun di lain sisi... ringsek. Hatiku ringsek.
Ternyata
setelah dua bulan Ervin tetap tidak menyadari kondisiku, dia bahkan
tidak
melihat perbedaan pada diriku. Atau mungkin dia tahu mengenai keadaanku,
oleh
sebab itu dia memilih untuk pergi ke Cincinnati untuk melarikan diri karena
dia
tidak mampu menghadapiku? Tapi sekarang aku sadar bahwa aku tidak
mengenal
Ervin sebaik yang kukira. Banyak tindakan yang dilakukannya akhirakhir
ini
yang membuatku mempertanyakan seberapa kenalnya aku akan
kepribadian
Ervin. Aku juga merasa sepertinya Ervin tidak mengenalku, sampaisampai
dia
tidak melihat pergantian pola makanku selama dua bulan terakhir ini.
“Oh
ya? Gitu dong. Bangga gue sama elo,” ucapku, mencoba untuk menutupi
kekecewaan
dan kesedihanku.
“Gue
berangkat dua minggu lagi buat tiga bulan.” Ervin mendatangi kursiku
dan
memelukku.
Aku
tidak bisa mengomentari apa-apa.
Setelah
Ervin melepaskan pelukannya aku baru bisa berbicara. “Dua minggu?
Tapi
lo datang kan ke resepsinya Baron dan Oli?” tanyaku. Mudah-mudahan dia
tidak
akan berangkat sebelum itu, karena aku membutuhkan seseorang untuk pergi
ke
pernikahan itu denganku. Aku tidak akan mau pergi ke acara itu sendiri.
Untungnya
aku tidak pernah mendengar gosip dari sobat-sobatku mengenai insiden
di
rumahku ketika Baron melamarku. Tapi ada kemungkinan besar sobat-sobatku
hanya
ingin melindungiku dan tidak memberitahuku.
Ervin
berjalan ke arah jendela dan kuempaskan tubuhku ke sandaran kursi.
“Datang
dong. Oh ya, kemarin gue ketemu Oli di lobi. Dia bilang dia baru
ketemu
elo,” ucap Ervin santai.
Aku
mengangguk. Aku lalu menunjukkan undangan pernikahan Baron dan
Olivia
yang terbuat dari kertas cokelat berlapis kain beludru warna merah, kepada
Ervin.
“Gue
berangkat besoknya. I can’t wait,” lanjutnya menggebu-gebu.
Aku
memandangi Ervin. Wajahnya penuh senyum. Bagaimana mungkin aku
tidka
pernah memberinya perhatian lebih dulu? Bagaimana mungkin aku hidup
selama
dua tahun belakangan ini tanpa menyadari bahwa Ervin-lah gambaran lakilaki
sempurna
untukku, bukan Baron? Selama ini aku sudah salah alamat, dengan
mengira
perasaanku pada Ervin sekadar naksir wajah gantengnya saja.
“Dri...
lo kenapa sih, kok diam saja?” Dengan pertanyaan itu aku kembali ke
realita.
“Nggak...
gue nggak kenapa-napa,” jawabku dan mencoba tersenyum.
“Nggak,
nggak, pasti ada apa-apa. Tampang lo kayak gitu.”
“Kayak
gitu gimana?”
“Kayak
lo mengkhawatirkan orang di seluruh dunia.”
Ervin
berlutut di hadapanku. Not the
world sweetheart, just you, ucapku dalam
hati.
Aku bersyukur aku memutuskan untuk tidak mengatakan tentang keadaanku
kepadanya.
“Gue
baik-baik aja kok,” ucapku akhirnya mencoba meyakinkannya.
Ervin
ragu sesaat sebelum kemudian berkata bahwa dia harus bersiap-siap
untuk
meeting dan menghilang dari ruanganku.
*
* *
Hari
perniakahan Baron dan Olivia, aku duduk di tempat tidurku menunggu Erivn
menjemputku.
Selama beberapa hari belakangan aku mencoba membantu
mempersiapkan
keberangkatannya ke Cincinnati. Ina dan Reilley sudah tahu
tentang
kehamilanku karena Mbak Tita tidak bisa kalau tidak menceritakan tentang
itu
ke mereka. Aku masih belum menceritakan keadaan perutku yang smeakin
membesar
ini kepada ketiga sobatku, tapi itu adalah hal terakhir yang ada di
pikiranku
sekarang ini. Ervin akan meninggalkanku besok selama tiga bulan. Itu
berarti
dia tidak bisa datang ke pernikahan Eddie bulan April di Kuala Lumpur.
Aku
sudah memutuskan untuk mengambil cuti lima hari dan datang ke pernikahan
Eddie.
Vincent memintaku tinggal di rumahnya selama aku tinggal di KL. Aku
sempat
ngobrol melalui Facebook dengan Farah, yang ternyata sangat antusias
untuk
bertemu denganku. Vincent rupanya sudah banyak bercerita tentang diriku,
dan
Farah juga mendengar banyak cerita dari Eddie tentangku. Aku masih belum
ada
kontak dengan Baron. Aku tidak tahu apakah Ervin masih mengontak Baron,
aku
tidak pernah menanyakan hal itu.
Hari
itu aku mengenakan gaun agak longgar. Meskipun aku tahu perutku
belum
kelihatan membuncit, aku tidak mau mengambil risiko. Selama perjalanan ke
Balai
Sudirman, Ervin lebih banyak bicara daripada biasanya. Dia mau membuat
banyak
perubahan di divisinya. Aku baru tahu, ternyata alasannya menolak posisi
Brand
Manager Clean adalah karena dia tahu bahwa atasannya akan ditransfer ke
Australia,
dan dia tahu bahwa dia akan diminta untuk menggantikan atasannya itu.
Aku
jadi kagum pada Ervin yang untuk pertama kalinya terdengar memiliki
rencana
di hidupnya. Aku mencoba mendengarkan dan berpatisipasi dalam
percakapan
itu, tapi aku tidak bisa terlalu fokus. Yang ada di pikiranku cuma dalam
waktu
delapan belas jam Ervin akan pergi ke ujung dunia yang jauh sekali dariku,
dan
bahwa dalam tiga bulan dia akan kembali dan mendapati diriku sudah hamil
besar.
Suasana
resepsi pernikahan Baron dan Olivia ternyata megah sekali. Aku berdiri
di
samping Ervin ketika arak-arakan pengantin memasuki ruangan. Olivia kelihatan
sangat
cantik dengan kebaya putih yang penuh payet, sedangkan Baron, seperti
biasa
kelihatan SUPERGANTENG, malam itu mengenakan beskap putih. Olivia
melihatku
dan tersenyum. Aku melambaikan tangan antusias. Baron melihatku dan
tatapannya
kelihatan sedih. Aku tersenyum padanya dan mengangguk hormat.
Aku
menikmati suasana pesta, yang kebanyakan kuhabiskan untuk
memandangi
wajah Ervin. Mencoba mengingat-ingat setiap segi, setiap sisi dari
patung
Dewa Yunani satu itu. Aku sadar bahwa malam ini adalah malam terakhir
aku
betul-betul bisa melihat wajahnya untuk tiga bulan ke depan. Ervin yang sadar
aku
memandanginya semalaman jadi salting. Tapi semua rasa yang ada di hatiku,
kebahagiaan
ataupun kesedihan, tidak ada tandingannya dengan keterkejutanku
ketika
bersalaman dengan kedua mempelai. Pertama aku bersalaman dan mencium
pipi
Baron yang tidak mengatakan sepatah kata pun. Aku beralih ke Olivia, dan
Ervin
sempat ngobrol sebentar dengan Baron. Ketika aku mencium Olivia, dia
membisikkans
esuatu di telingaku yang membuat darah di sekujur tubuhku jadi
beku.
“Kapan
lahir bayinya?”
Bola
mataku rasanya akan loncat keluar ketika aku menatap Olivia yang sedang
tersenyum.
Dari mana dia tahu? Tapi sebelum aku bisa menjawab pertanyaan itu,
aku
sudah didorong oleh Ervin. Olivia pun beralih menyalami Ervin sambil tetap
tersenyum
padaku. Aku berjalan menjauhi pelaminan dengan langkah tidak pasti,
mencoba
mengontrol detak jantungku. Sisa malam itu, aku tidak mendengar apa
pun
yang dikatakan Ervin padaku.
*
* *
Aku
berjanji akan mengantarkan Ervin ke bandara keesokan harinya, tapi karena
terlalu
shock dengan kata-kata Olivia, aku tidak berani bertemu Sarah atau
anggota
keluarga
Ervin lainnya. Kalau Olivia bisa sampai tahu bahwa aku sedang hamil,
berarti
ada kemungkinan perempuan lain juga sadar bahwa aku hamil. Akhirnya
aku
menelepon Ervin beberapa jam sebelum keberangkatannya dan memohon maaf
karena
aku tidak bisa mengantarnya ke bandara. Aku beralasan sedang datang
bulan.
Alhasil aku habis diomeli olehnya. Aku dibilang tidak setia sama teman
(bisabisanya
dia
ngomong gitu, apa dia benar-benar tidak tahu dia itu lebih dari sekadar
teman
bagiku?), tidak perhatian dengannya, dan tidak akan kangen dengannya
yang
akan pergi selama tiga bulan, bla bla bla... Tapi aku tetap bergeming. Ervin
meneleponku
beberapa kali dalam perjalanannya menuju bandara, masih memohon
agar
aku ikut mengantar. Akhirnya aku berhenti menjawab teleponku. Aku hanya
duduk
terdiam di kamarku saat jam keberangkatan pesawat Ervin tiba.
“I’ll see you in three months,” ucapku pelan. Lalu kusembunyikan wajahku di
antara bantal-bantal di atas tempat tidurku dan menangisi kesialan
kuadratku ini.Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 18
No comments:
Post a Comment