Sunday, September 6, 2015

Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 17

17. SIAL KUADRAT

SEBULAN kemudian aku sadar bahwa aku hamil. Pertama-tama haidku telat, tapi
aku tidak terlalu khawatir karena haidku memang terkadang tidak teratur. Tapi
kemudian aku sering merasa mual dan payudaraku terasa agak sensitif. Hari itu
juga kubeli alat tes kehamilan dan mendapat konfirmasi bahwa aku hamil.
Keesokan harinya kubeli dua alat lagi, dan dua-duanya bilang aku hamil. Rasa
pertama yang ada di hatiku adalah bingung dan takut, tapi kemudian kebahagiaan
mulai menyelimutiku. Aku akan menjadi ibu.
Setelah kejadian di Lembang, hubunganku dan Ervin menjadi lebih baik. Seperti
ada suatu pengertian di antara kami berdua untuk tidak pernah membahas tentang
weekend di Lembang itu. Ervin tidak pernah mengungkapkan bahwa dia merasakan
sesuatu yang berbeda, tapi dari tindakannya bisa kulihat bahwa dia jadi lebih
perhatian padaku. Contohnya, dalam perjalanan pulang dari Lembang, dia tidak
mau melepaskan tanganku dan selalu memandangiku dengan tatapan yang
membuatku salting. Di Jakarta, Ervin selalu mencoba menghabiskan waktunya
bersamaku tapi sebisa mungkin kutolak dengan alasan yang semakin hari semakin
dibuat-buat, hingga akhirnya dia berhenti bertanya sama sekali. Lama-kelamaan aku
jadi merasa bersalah padnaya. Jujur saja, dia tidak mungkin tahu aku hamil, dan
bukan salahnya sampai aku hamil. Ini semua pilihanku sendiri.
Aku semakin merasa bersalah ketika tahu bahwa aktivitas keluar malam dan
gonta-ganti teman date-nya sudah hampir tidak ada. Beberapa kali aku berharap
agar dia menyatakan rasa sayangnya kepadaku dan bahwa hubungan kami berarti
sesuatu untuknya... bahwa aku berarti sesuatu untuknya. Aku menunggu
berminggu-minggu, tetapi kata-kata itu tidak pernah tiba. Aku jadi semakin yakin
bahwa segala sesuatu yang dikerjakannya adalah karena rasa kasihan dan rasa
bersalahnya padaku, bukan karena suka, apalagi cinta. Akhirnya setelah dua
minggu mencoba menimbang-nimbang keputusan yang tepat, kuputuskan bahwa
aku tidak akan mengatakan apa-apa padanya. Dan kulihat Ervin sedang happy
dengan pekerjaannya. Jarang sekali aku melihatnya begitu tekun. Aku tidak mau
merusak itu semua. Aku tidak mau dia harus mengorbankan apa-apa untukku.
Tadinya aku tidak mau bercerita kepada keluargaku mengenai kondisiku, tapi
gara-gara Mbak Tita akhirnya semuanya terbongkar di bulan Februari ketika aku
pergi ke rumahnya untuk main dengan Lukas.
Loon, ada duit lima puluh ribu nggak? Gue mau kasih tips sama tukang AC,”
tanya kakakku.
“Ada, ambil saja di dompet,” balasku sambil masih tetap bermain dengan
Lukas.
Kakakku kemudian sibuk mengobrak-abrik tasku untuk mencari dompetku.
Ketika menemukan yang dicarinya, dia langsung mengeluarkan uang lima puluh
ribu rupiah, disusul dengan...
“Di, ini apaan?” tanyanya sambil menunjukkan sehelai kertas berwarna kuning
berukuran kecil.
“Kertas,” jawabku polos, masih tidak menyadari kertas apa yang sedang
dipegangnya itu.
“Beli pregnancy test,” ujarnya sambil berjalan ke arahku.
Aku yang kemudian sadar bahwa kertas itu adalah post-it note yang kuletakkan
di dalam dompetku seminggu yang lalu agar aku tidak lupa membeli alat itu,
langsung panik.
“Beli buat siapa?” tanyanya lagi. Kini dengan nada lebih serius.
“Mmmhhhh... beliin buat... Nadia. Soalnya dia hamil, jadi dia minta tolong sama
aku.” Aku mencoba untuk kelihatan biasa.
Tapi aku tahu aku sudah tertangkap basah. Aku tidak pernah bisa menyembunyikan
apa-apa dari kakakku, entah bagaimana, dia selalu tahu kalau aku
berbohong.
“Adriana Amandira, you better not be lying to me right now,” bentaknya.
Aku kaget setengah mati atas bentakannya dan mencoba untuk membela diri.
“Iya, gue hamil, memangnya kenapa?” tantangku akhirnya, meskipun tidak
terdengar meyakinkan.
Kakakku melongo. “Sama siapa?” tanyanya polos.
“Ya sama laki-lakilah, siapa lagi?”
“Didiiiiii!!!!!!!”
“Iya, iya... sori... sori... ini anaknya... Ervin...,” jawabku akhirnya.
“Ervin? Teman sekantor kamu itu?”
Aku mengangguk.
“Dia tahu kamu hamil?” tanyanya lagi sambil duduk di sampingku.
Aku menggeleng.
How far along are you?”
“Enam minggu,” jawabku lesu sambil mencoba untuk memeluk Lukas untuk
menutupi perutku. Meskipun kehamilanku masih belum kelihatan sama sekali.
“Siapa dokter kandungan kamu?”
“Dokter Yosef di Bintaro, katanya dia bagus.”
Kakakku mengangguk. Dokter Yosef adalah teman Dokter Ferdi, dokter
kandungan kakakku.
“Tapi kandungan kamu baik-baik saja?”
Aku mengangguk.
Morning sickness?
“Nggak terlalu, kadang ada, kadang nggak. Scarlett cukup nurut kok sama gue.”
“Scarlett?” tanyanya. Kakakku bingung.
“Iya... bayi gue, gue kasih nama Scarlett. Soalnya pasti perempuan. Gue maunya
perempuan, biar nggak ribet,” jawabku tenang.
“Ibu sama Bapak tahu?” tanyanya khawatir.
Aku menggeleng. “Gue nggak tahu gimana ngomongnya ke mereka. Lo tahu
sendirilah, mereka pasti akan kecewa kalau tahu,” ucapku sedih.
“Iya, pastilah. Tapi kamu sudah mau tiga puluh satu tahun ini, jadi mungkin...
mungkin... mereka bisa mengerti,” ucapnya mencoba menenangkanku. “Kamu
punya cukup uang? Kalau nggak gue bisa transfer,” lanjutnya.
“Nggak, nggak usah. Cukup kok.”
Kakakku mengangguk. Dia terdiam beberapa saat.
“Ini kejadian waktu kamu ke Lembang sama Ervin?” tanyanya.
Aku mengangguk.
I knew it. Kamu kelihatan beda waktu balik dari sana,” teriaknya.
Aku hanya tersenyum karena memang banyak orang yang bilang aku kelihatan
lebih fresh dan ceria.
“Kenapa kamu nggak mau bilang ke Ervin?” tanyanya berhati-hati.
“Soalnya dia Ervin... teman gue. Ini juga nggak sengaja.”
“Kamu kan masih perawan, Di.” Kakakku masih berusaha untuk mengatasi
kekagetannya. Dia tahu aku menganut peraturan ketat mengenai no sex before
marriage. Bagaimana mungkin aku bisa lupa dengan janji itu ketika sedang
melakukan hubungan dengan Ervin?
“Tapi dia nggak maksa, itu kemauan gue juga. Dia juga gentle banget kok.”
Kakakku memandangiku dengan pandangan yang suka dia berikan kepada
Reilley kalau suaminya itu berbuat salah. “Oh my God... Kamu naksir dia, kan?”
tanyanya penuh kepastian.
Aku memandangi kakakku tidak percaya. Bagaimana dia bisa tahu sih??? Aku
menggigit bibir bawahku, senewen.
You had sex with him... kamu mengandung anaknya... and you’re in love with him?
Aggghhhhh... kenapa kamu bisa goblok kayak gini sih?” teriaknya frustrasi lalu
mulai mengelilingi ruang tamu untuk mengusir kekesalannya.
Tadinya aku masih mau menyangkal, tapi aku tidak berkutik di bawah tatapan
sangar kakakku.
Look, I’m sorry, okay... it just... happened. Gue lagi patah hati karena Baron mau
married sama Oli, dan Ervin kebetulan ada di situ.”
Tanpa disangka-sangka kakakku bertanya, “Jadi akhirnya Baron balik lagi sama
Olivia?”
“Kok lo tahu soal Olivia?” tanyaku bingung.
“Ibu sama Bapak cerita soal Baron datang ke rumah sebelum Natal,” jawabnya.
You did the right thing by the way... with them, I mean,” lanjutnya.
Aku mengangguk.
“Ya ampun, Ina ternyata benar,” ucapnya dengan nada putus asa. Dia kemudian
duduk kembali di sofa, tetapi kini dia duduk di hadapanku. “Apa kamu masih cinta
sama Baron, Di?” lanjutnya.
Aku menggeleng.
“Tapi kamu cinta sama dia sebelumnya?”
Aku mengangguk.
“Semenjak SMP?” tanyanya lagi.
Aku mengangguk.
“Kenapa kamu nggak pernah cerita sih?” geramnya kesal.
“Sudahlah, itu semua nggak penting lagi,” jawabku pelan.
Kakakku terdiam sesaat, kemudian dia berkata, “Di, look..., you’re my sister and I
love you. Tapi kamu mesti bilang ke Ervin. Masalah ini terlalu besar untuk kamu
atasi sendiri. Lambat laun orang akan tahu. Kamu satu kantor kan sama dia? Mau
nggak mau pasti ketemu.”
“Gue sering kok ketemu dia di kantor, tapi dia nggak tahu gue hamil. Lagian
juga kan masih belum kelihatan.”
“Kamu telah melakukan unprotected sex. Kamu tahu sendiri kan konsekuensinya,
nggak cuma bikin kamu hamil, tapi juga STDs. Kamu nih nekat banget deh,” omel
Mbak Tita.
I know, I know... Ervin bilang kok kalau dia aman. Lagian juga kayaknya dia
nggak model laki-laki yang punya penyakit kelamin gitu lho.”
“Yee... di mana-mana laki-laki kalau sudah mau get laid bisa ngomong apa saja.
Kamu percaya banget lagi sama dia. Kacau.”
“Gue sudah cek kok ke dokter, gue bersih, jadi Ervin pastinya bersih juga, kan?”
Kakakku geleng-geleng kepala.
“Memang nggak pernah ada yang lihat muka kamu yang pucat?” tanyanya.
“Ada sih, tapi gue bilang gue lagi nggak sehat. Mereka pada percaya tuh. Ini gue
gitu lho... gue kan anak emasnya kantor. Nggak pernah bikin salah, nggak macammacam.”
“Iya... tapi sekalinya macam-macam... gawat.”
Aku langsung bangun dari sofa dan mulai nyerocos. Aku harus membuat
kakakku mengerti bahwa tindakan ini kulakukan atas kehendakku sendiri ketika
aku seratus persen sadar.
“Gue bosan sama hidup gue yang itu-itu saja. Dari gue SD, yang gue tahu cuma
sekolah sama kerja, mencoba untuk jadi murid terbaik, anak terbaik, adik terbaik,
pokoknya segala sesuatu yang terbaik. Semua itu gue kerjakan supaya gue nggak
ngecewain lo, Bapak, dan Ibu.”
Wajah kakakku terlihat sedih mendengar itu, tapi dia tidak mencoba
memotongku.
“Gue nggak pernah bisa menikmati masa-masa ABG gue karena terlalu sibuk
mikirin nilai. Semua itu gue bela-belain sampai gue nggak punya social life. Waktu
semua orang mulai pada pacaran, lo tahu gue ada di mana? Di perpustakaan...
belajar. Gue nggak pernah ada kesempatan untuk benar-benar merasakan apa itu fall
in love,” lanjutku.
“Siapa bilang kamu nggak pernah jatuh cinta. Kamu dilamar sama Vincent,
kan?”
“Yang kemudian gue tolak? Kebayang nggak sih.... dua kali gue dilamar orang,
satu kali sama laki-laki yang memang gue nggak cinta dan satu kali lagi sama lakilaki
yang gue „sangka gue cinta. Tapi buntutnya gue tolak dua-duanya,” jelasku lalu
duduk kembali di sofa.
Kakakku membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi dan
menutup mulutnya kembali.
“Gue kerja kayak orang kesetanan, maksudnya supaya orang bisa bilang gue
sukses. Tapi gue nggak bisa share sama orang lain kesuksesan gue itu. Gue nggak
punya suami, nggak ada anak, nggak punya love life. Waktu di Lembang gue sadar
selama ini gue mengidentifikasi diri gue dengan segala sesuatu yang ada di
sekeliling gue. Tapi gue sendiri nggak pernah tahu siapa gue di luar itu. Gue bahkan
nggak tahu apa yang gue mau,” lanjutku.
Kakakku berlutut di hadapanku dan mencoba berbicara sepelan mungkin.
“Kamu ini adikku yang paling pintar, paling baik, paling berbakat, paling punya
potensi untuk sukses. Kamu punya kerjaan bagus yang kamu suka...”
Aku potong kalimat kakakku, “Tapi itu bukan yang gue mau, Mbak... itu semua
gue kerjakan hanya untuk memenuhi kebutuhan duniawi, tapi gue ngerasa kosong,
dan gue baru sadar kekosongan itu nggak akan bisa diisi sama segala sesuatu yang
sifatnya material. Kekosongan itu harus diisi dengan... cinta.”Aku merasakan
mataku mulai panas. Aku siap menangis.
“Kamu dicintai sama gue, Ibu, Bapak, keluarga besar kita, Ina, sobat-sobat
kamu....”
“Ya memang cinta, tapi gue mau cinta dalam bentuk lainnya. Suatu bentuk cinta
yang selama ini ada di kamus gue, tapi dengan definisi yang salah. Gue pikir gue
cinta samas eorang laki-laki selama lima belas tahun tapi sekarang gue sadar gue
nggak cinta sama dia. Separo hidup gue sudah habis hanya untuk menunggu cinta
orang itu. Gue sudah salah perhitungan.”
Aku menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “Sekarang gue sudah
mengerti bahwa bentuk cinta yang gue mau berarti pengorbanan, bukan
permintaan. Cinta itu harus diberi dengan rela dan terbuka. I’m sorry that I have to get
pregnant to know what I want, but that’s what happened.”
Aku dan kakakku terdiam cukup lama sebelum kemudian dia berkata, “Oh
dear... that’s deep.” Pipinya sudah basah karena air mata.
Aku hanya tertawa dan mencoba untuk menghapus air mata yang membasahi
pipiku juga.
“Tapi apa benar-benar siap untuk menjadi seorang ibu? Ini tugas dua puluh
empat jam penuh lho.... Kayaknya gue nggak pernah lihat kamu sama anak kecil
kecuali Lukas deh,” ucap Mbak Tita.
“Gue tahu. Tapi kalau gue coba pasti gue bisa. Gue selalu bisa ngelakuin apa
saja kalau gue memang serius dan tekun.”
“Iya, soalnya kamu memang seharusnya jadi the smart sister.”
Kami berdua tertawa terbahak-bahak dan harus berhenti ketika pembantu Mbak
Tita minta uang tip untuk tukang AC.
“Omong-omong, kamu tahu bagaimana perasaan Ervin ke kamu?” tanya Mbak
Tita setelah menyerahkan uang tip kepada pembantunya.
“Ervin sih baik, tapi gue yakin bahwa dia nggak mau gue,” jawabku sedih.
Oh, baby... I’m sorry,” ucap kakakku, lalu memelukku.
Yeah... me too. Apa lo punya taktik untuk bilangin tentang kondisi gue ke Ibu
dan Bapak?” tanyaku penuh harap.
“Lomau gue yang ngomong ke mereka?”
I don’t know... tapi kayaknya mesti gue yang ngomong, karena ini masalah gue.
Tapi tolong temani gue waktu gue ketemu mereka, ya.”
“Pasti,” ucap kakakku.
Aku dan kakakku berpelukan selama beberapa menit. Kami berbicara pada
orangtuaku malam itu juga, dan mereka terpana. Aku yakin mereka menyimpan
kekecewaan pada sikapku, tapi tidak marah ketika tahu siapa yang telah
menghamiliku. Mereka tentunya menanyakan semua pertanyaan yang ditanyakan
oleh kakakku sebelumnya padaku, dan aku memberikan penjelasan yang sama
kepada mereka. Aku sempat merasa sedikit terkesima ketika melihat bahwa
orangtuaku bisa menerima berita ini dengan baik, tanpa teriakan, tamparan, atau
benda-benda melayang ke arahku. Sejujurnya, mereka kelihatan kecewa dan pasrah.
Mereka tahu bahwa hal ini sudah kejadian dan satu-satunya hal yang mereka bisa
lakukan adalah memberi dukungan sepenuhnya padaku. Seperti yang sudah
diperkirakan oleh kakakku, orangtuaku memahami bahwa aku sudah cukup
dewasa untuk bisa mengambil keputusanku sendiri dan mereka tidak akan
memaksaku untuk melakukan apa pun yang tidak mau kulakukan. Termasuk
keinginanku untuk tidak memberitahu Ervin tentang kehamilanku.
Intinya akhirnya orangtuaku sepakat bahwa karena kehamilanku disebabkan
oleh suatu “kecelakaan” dan bukan berdasarkan cinta, maka mereka tidak akan
menuntut Ervin untuk menikahiku. “Apa fungsinya menyatukan dua orang ke
dalam suatu ikatan seumur hidup kalau tidak ada cinta? Ikatan itu akan berakhir
sebelum bisa dimulai.” Itulah kata-kata yang diucapkan oleh bapakku, yang
langsung disetujui oleh ibuku. Tapi mereka minta supaya aku membesarkana nakku
sebaik-baiknya, dan mereka siap memberiku dukungan penuh dari sisi moral dan
finansial kalau aku membutuhkannya. Selain itu, orangtuaku juga mengingatkan
agar aku siap untuk menerima konsekuensi dari tindakanku, yaitu bahwa karena
kita hidup dengan budaya Timur, di mana kehamilan di luar nikah masih dianggap
tabu, maka ada kemungkinan orang-orang akan menilai negatif diriku, anakku, dan
keluargaku. Tapi setelah mengeluarkan semua nasehat, mereka mulai menunjukkan
kegembiraan karena akan punya cucu lagi. Aku berterima kasih sekali pada
keluargaku yang mendukungku sepenuhnya. Aku tidak tahu ke mana aku harus
pergi kalau tidak ada mereka.
* * *
Kebahagiaanku bertambah keesokan harinya ketika Olivia datang menemuiku di
kantor. Ternyata di adatang untuk mengantarkan undangan pernikahannya untuk
tanggal 2 Maret, sepuluh hari lagi. Baron tidak datang bersamanya.
“Adri, makasih ya sudah nolongin gue sama Baron,” ucap Olivia.
“Nolongin apa, Ol?”
“Lo sudah ngembaliin Baron ke gue. Gue minta maaf soal waktu itu, tentang
permintaan gue supaya Baron nggak ngontak elo sama sekali.” Olivia kelihatan
tidak enak. “Apa dia ada kontak lagi sama elo?”
Aku tersenyum sebelum menjawab, “Nggak ada. Dia cinta sama elo, Ol, dan
jangan pernah percaya kalau dia bilan gdia nggak cinta sama elo. Itu bohong.”
Olivia tertawa, sorot matanya masih kelihatan sedih. Mungkin itu cuma
perasaanku, tapi kok sepertinya tatapan Olivia selalu mengarah ke perutku ya? Apa
jangan-jangan dia tahu aku hamil? Tapi itu tidak mungkin, itu imajinasiku saja.
“Lo kok bisa sih, Dri, hidup penuh percaya diri gitu? Lo pasti nggak pernah
diribetin sama urusan laki-laki, kan?” tanya Olivia polos.
Aku tertawa, mengingat aku sudah cukup dibuat pusing oleh dua laki-laki
sekaligus beberapa bulan yang lalu. “Baron seharusnya merasa beruntung karena lo
pilih dia.Jangan elo pernah lupa soal itu. Elo ini Olivia... cewek paling cantik, paling
ngetop, dan paling pintar satu sekolah.”
Olivia tertawa. “Tapi masih kalah sama Jana, kan?” candanya.
Aku pun tertawa bersama Olivia.
“Oh ya... lo datang sama Ervin, kan?” tanya Olivia tiba-tiba.
I guess so,” jawabku. “Gue nggak tahu apa dia lagi punya pacar atau nggak.
Gue takut bikin ceweknya jealous,” lanjutku.
“Ervin nggak punya pacar lagi, Dri. Pacarnya dia itu elo, kan?”
Aku memandangi Olivia bingung. “Gue? Bukan lah. Kami teman baik saja kok,
saling dukung, saling tolong.”
“Hehehe... terserah deh... tapi menurut gue... lo berdua cocok banget. Sama
gilanya, sama nggak bisa diaturnya, sama kutu bukunya, dan sama-sama nggak
percaya sama omongan orang.”
Aku tertawa lagi atas komentar Olivia. Kapan kira-kira semua orang bisa
berhenti mengatakan bahwa aku dan Ervin sangat cocok satu sama lain? Kalau kata
Othman “mengarut betul” yang pada dasarnya berarti “rese deh” dalam bahasa
Indonesia.
Tidak lama kemudian Olivia berpamitan dan meninggalkan ruanganku sebelum
makan siang, setelah memelukku dengan penuh suka cinta. Aku berjanji bahwa aku
akan datang ke pernikahannya.
Tapi dalam masa 24 jam semua kebahagiaan yang kurasakan punah ketika aku
bertemu Ervin yang kelihatan lebih ceria dari pada biasanya.
“Driiiiiiiiii, who’s the luckiest man on earth?” tanyanya padaku sambil masuk ke
ruang kerjaku tanpa mengetuk terlebih dahulu.
Aku yang sedang membaca beberapa laporan langsung memandangnya
bingung. Kok bisa sih dia kelihatan semakin ganteng? Bibirnya... aku mau bibirnya...
di bibirku, di leherku, di tubuhku... di mana-mana.
Who?” tanyaku balik sambil tersenyum.
Me... gue lulus screening untuk berangkat training ke Cincinnati bulan depan.
Mereka nunjuk gue untuk jadi kepala divisi Business Development,” teriak Ervin
penuh kegembiraan.
Di satu sisi aku kaget karena Ervin mau mengambil posisi ini, karena beberapa
bulan yang lalu aku tidak berhasil membujuknya untuk jadi Brand Manager Clean,
tapi aku tetap senang walaupun di lain sisi... ringsek. Hatiku ringsek.
Ternyata setelah dua bulan Ervin tetap tidak menyadari kondisiku, dia bahkan
tidak melihat perbedaan pada diriku. Atau mungkin dia tahu mengenai keadaanku,
oleh sebab itu dia memilih untuk pergi ke Cincinnati untuk melarikan diri karena
dia tidak mampu menghadapiku? Tapi sekarang aku sadar bahwa aku tidak
mengenal Ervin sebaik yang kukira. Banyak tindakan yang dilakukannya akhirakhir
ini yang membuatku mempertanyakan seberapa kenalnya aku akan
kepribadian Ervin. Aku juga merasa sepertinya Ervin tidak mengenalku, sampaisampai
dia tidak melihat pergantian pola makanku selama dua bulan terakhir ini.
“Oh ya? Gitu dong. Bangga gue sama elo,” ucapku, mencoba untuk menutupi
kekecewaan dan kesedihanku.
“Gue berangkat dua minggu lagi buat tiga bulan.” Ervin mendatangi kursiku
dan memelukku.
Aku tidak bisa mengomentari apa-apa.
Setelah Ervin melepaskan pelukannya aku baru bisa berbicara. “Dua minggu?
Tapi lo datang kan ke resepsinya Baron dan Oli?” tanyaku. Mudah-mudahan dia
tidak akan berangkat sebelum itu, karena aku membutuhkan seseorang untuk pergi
ke pernikahan itu denganku. Aku tidak akan mau pergi ke acara itu sendiri.
Untungnya aku tidak pernah mendengar gosip dari sobat-sobatku mengenai insiden
di rumahku ketika Baron melamarku. Tapi ada kemungkinan besar sobat-sobatku
hanya ingin melindungiku dan tidak memberitahuku.
Ervin berjalan ke arah jendela dan kuempaskan tubuhku ke sandaran kursi.
“Datang dong. Oh ya, kemarin gue ketemu Oli di lobi. Dia bilang dia baru
ketemu elo,” ucap Ervin santai.
Aku mengangguk. Aku lalu menunjukkan undangan pernikahan Baron dan
Olivia yang terbuat dari kertas cokelat berlapis kain beludru warna merah, kepada
Ervin.
“Gue berangkat besoknya. I can’t wait,” lanjutnya menggebu-gebu.
Aku memandangi Ervin. Wajahnya penuh senyum. Bagaimana mungkin aku
tidka pernah memberinya perhatian lebih dulu? Bagaimana mungkin aku hidup
selama dua tahun belakangan ini tanpa menyadari bahwa Ervin-lah gambaran lakilaki
sempurna untukku, bukan Baron? Selama ini aku sudah salah alamat, dengan
mengira perasaanku pada Ervin sekadar naksir wajah gantengnya saja.
“Dri... lo kenapa sih, kok diam saja?” Dengan pertanyaan itu aku kembali ke
realita.
“Nggak... gue nggak kenapa-napa,” jawabku dan mencoba tersenyum.
“Nggak, nggak, pasti ada apa-apa. Tampang lo kayak gitu.”
“Kayak gitu gimana?”
“Kayak lo mengkhawatirkan orang di seluruh dunia.”
Ervin berlutut di hadapanku. Not the world sweetheart, just you, ucapku dalam
hati. Aku bersyukur aku memutuskan untuk tidak mengatakan tentang keadaanku
kepadanya.
“Gue baik-baik aja kok,” ucapku akhirnya mencoba meyakinkannya.
Ervin ragu sesaat sebelum kemudian berkata bahwa dia harus bersiap-siap
untuk meeting dan menghilang dari ruanganku.
* * *
Hari perniakahan Baron dan Olivia, aku duduk di tempat tidurku menunggu Erivn
menjemputku. Selama beberapa hari belakangan aku mencoba membantu
mempersiapkan keberangkatannya ke Cincinnati. Ina dan Reilley sudah tahu
tentang kehamilanku karena Mbak Tita tidak bisa kalau tidak menceritakan tentang
itu ke mereka. Aku masih belum menceritakan keadaan perutku yang smeakin
membesar ini kepada ketiga sobatku, tapi itu adalah hal terakhir yang ada di
pikiranku sekarang ini. Ervin akan meninggalkanku besok selama tiga bulan. Itu
berarti dia tidak bisa datang ke pernikahan Eddie bulan April di Kuala Lumpur.
Aku sudah memutuskan untuk mengambil cuti lima hari dan datang ke pernikahan
Eddie. Vincent memintaku tinggal di rumahnya selama aku tinggal di KL. Aku
sempat ngobrol melalui Facebook dengan Farah, yang ternyata sangat antusias
untuk bertemu denganku. Vincent rupanya sudah banyak bercerita tentang diriku,
dan Farah juga mendengar banyak cerita dari Eddie tentangku. Aku masih belum
ada kontak dengan Baron. Aku tidak tahu apakah Ervin masih mengontak Baron,
aku tidak pernah menanyakan hal itu.
Hari itu aku mengenakan gaun agak longgar. Meskipun aku tahu perutku
belum kelihatan membuncit, aku tidak mau mengambil risiko. Selama perjalanan ke
Balai Sudirman, Ervin lebih banyak bicara daripada biasanya. Dia mau membuat
banyak perubahan di divisinya. Aku baru tahu, ternyata alasannya menolak posisi
Brand Manager Clean adalah karena dia tahu bahwa atasannya akan ditransfer ke
Australia, dan dia tahu bahwa dia akan diminta untuk menggantikan atasannya itu.
Aku jadi kagum pada Ervin yang untuk pertama kalinya terdengar memiliki
rencana di hidupnya. Aku mencoba mendengarkan dan berpatisipasi dalam
percakapan itu, tapi aku tidak bisa terlalu fokus. Yang ada di pikiranku cuma dalam
waktu delapan belas jam Ervin akan pergi ke ujung dunia yang jauh sekali dariku,
dan bahwa dalam tiga bulan dia akan kembali dan mendapati diriku sudah hamil
besar.
Suasana resepsi pernikahan Baron dan Olivia ternyata megah sekali. Aku berdiri
di samping Ervin ketika arak-arakan pengantin memasuki ruangan. Olivia kelihatan
sangat cantik dengan kebaya putih yang penuh payet, sedangkan Baron, seperti
biasa kelihatan SUPERGANTENG, malam itu mengenakan beskap putih. Olivia
melihatku dan tersenyum. Aku melambaikan tangan antusias. Baron melihatku dan
tatapannya kelihatan sedih. Aku tersenyum padanya dan mengangguk hormat.
Aku menikmati suasana pesta, yang kebanyakan kuhabiskan untuk
memandangi wajah Ervin. Mencoba mengingat-ingat setiap segi, setiap sisi dari
patung Dewa Yunani satu itu. Aku sadar bahwa malam ini adalah malam terakhir
aku betul-betul bisa melihat wajahnya untuk tiga bulan ke depan. Ervin yang sadar
aku memandanginya semalaman jadi salting. Tapi semua rasa yang ada di hatiku,
kebahagiaan ataupun kesedihan, tidak ada tandingannya dengan keterkejutanku
ketika bersalaman dengan kedua mempelai. Pertama aku bersalaman dan mencium
pipi Baron yang tidak mengatakan sepatah kata pun. Aku beralih ke Olivia, dan
Ervin sempat ngobrol sebentar dengan Baron. Ketika aku mencium Olivia, dia
membisikkans esuatu di telingaku yang membuat darah di sekujur tubuhku jadi
beku.
“Kapan lahir bayinya?”
Bola mataku rasanya akan loncat keluar ketika aku menatap Olivia yang sedang
tersenyum. Dari mana dia tahu? Tapi sebelum aku bisa menjawab pertanyaan itu,
aku sudah didorong oleh Ervin. Olivia pun beralih menyalami Ervin sambil tetap
tersenyum padaku. Aku berjalan menjauhi pelaminan dengan langkah tidak pasti,
mencoba mengontrol detak jantungku. Sisa malam itu, aku tidak mendengar apa
pun yang dikatakan Ervin padaku.
* * *
Aku berjanji akan mengantarkan Ervin ke bandara keesokan harinya, tapi karena
terlalu shock dengan kata-kata Olivia, aku tidak berani bertemu Sarah atau anggota
keluarga Ervin lainnya. Kalau Olivia bisa sampai tahu bahwa aku sedang hamil,
berarti ada kemungkinan perempuan lain juga sadar bahwa aku hamil. Akhirnya
aku menelepon Ervin beberapa jam sebelum keberangkatannya dan memohon maaf
karena aku tidak bisa mengantarnya ke bandara. Aku beralasan sedang datang
bulan. Alhasil aku habis diomeli olehnya. Aku dibilang tidak setia sama teman (bisabisanya
dia ngomong gitu, apa dia benar-benar tidak tahu dia itu lebih dari sekadar
teman bagiku?), tidak perhatian dengannya, dan tidak akan kangen dengannya
yang akan pergi selama tiga bulan, bla bla bla... Tapi aku tetap bergeming. Ervin
meneleponku beberapa kali dalam perjalanannya menuju bandara, masih memohon
agar aku ikut mengantar. Akhirnya aku berhenti menjawab teleponku. Aku hanya
duduk terdiam di kamarku saat jam keberangkatan pesawat Ervin tiba.
I’ll see you in three months,” ucapku pelan. Lalu kusembunyikan wajahku di
antara bantal-bantal di atas tempat tidurku dan menangisi kesialan kuadratku ini.


Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 18

No comments:

Post a Comment