2
BULAN YANG
TERBELAH
"HADIRIN yang kami hormati, tiba
saatnya kita mengundang ke atas panggung, seseorang yang sudah kita
tunggu-tunggu sejak tadi. Seseorang yang seolah-olah akan —maaf — membuat lima
profesor sebelumnya terasa membosankan dan membuat mengantuk—"
Tertawa. Ruangan
besar itu buncah oleh tawa.
"....
Banyak sekali catatan hebat yang dimilikinya, tapi anehnya, meski banyak,
sekarang kita sama sekali tak perlu menyebut satupun. Ah, bukan karena akan
merepotkan membaca daftar super-panjang itu, tapi buat apa lagi, semua sudah
hafal, bukan? Jadi buat siapapun di ruangan besar ini, siapapun di antara lima
ratus peserta Simposium Fisika Intemasional ini yang tidak mengenal sosoknya.
Yang, oh, betapa malangnya peserta itu—" Tertawa lagi.
"Buat peserta malang itu, saya akan
memperkenalkan pembicara utama simposium kita hanya dengan memperlihatkan cover
sebuah majalah: Science!" Dengan sedikit dramatis, moderator
simposium fisika itu sengaja mengangkat tinggi-tinggi majatah yang dimaksud.
"Inilah
jurnal ilmu-pengetahuan terkemuka di dunia. Yang memiliki reputasi paling hebat
di antara sejenisnya. Lihatlah edisi bulan ini, edisi terbaru! Terpaksa
menurunkan laporan tidak lazim, utuh sebanyak 49 halaman, hmm, itu bisa
dibilang hampir seperempat tebal majalah ini.... Kenapa saya sebut tidak lazim?
Karena laporan ini sungguh tak biasa bagi banyak ahli fisika yang kebanyakan
sekuler. Apalagi untuk konsumsi publik di negara-negara Barat sana. Judul
penelitiannya adalah: 'Pembuktian Tak Terbantahkan Bulan Yang Pernah Terbelah'.
Kepala-kepala menyeruak. Berebut ingin melihat lebih jelas.
"Penelitian yang amat mengesankan,
mengingat hari ini, ketika kehidupan sudah begitu tidak-pedulinya dengan
fakta-fakta dalam agama, pembicara utama kita siang ini justru datang dengan
sepuluh bukti bahwa bulan memang pernah terbelah 1.400 tahun silam dalam hasil
penelitian mutakhirnya. Bukan main. Lengkap tak terbantahkan, sebagai salah
satu mukjijat Nabi penutup jaman. Benar-benar terbelah dua seperti kalian
sedang membelah semangka, bukan penampakan sihir, apalagi ilusi mata seperti
yang dituduhkan dan dipahami banyak orang sejak dulu. Lantas setelah dibelah,
dua potongan bulan tersebut disatukan kembali, seperti bulan yang biasa kita
lihat sekarang. Itu benar-benar pernah terjadi!" Moderator itu berhenti
sejenak. Membiarkan ruangan besar dipenuhi sensasi yang diinginkannya.
Terpesona. Ingin tahu. Rasa kagum Sejenis itulah.
"Well,
meski kalau dipikir-pikir sebenarnya pembuktian hebat atas bulan yang pernah
terbelah itu tidak terlalu mengejutkan kita, bukan? Hanya soal waktu dia akan
membuktikannya. Mengingat profesor muda kita adalah orang pertama di negeri ini
yang berkali-kali menulis di jurnal paling prestisius dunia itu. Mendapat
pengakuan dari berbagai institusi penelitian dunia, dan selalu konsisten
berusaha membuktikan berbagai transkripsi dan sejarah religius dari sisi
ilmiahnya...."
Muka-muka yang memadati ruang konvensi
besar itu terlihat semakin bercahaya oleh antusiasme. Seperti anak kecil yang
dijanjikan mainan baru. Atau seperti anak kecil yang melihat penuh rasa ingin
tahu toples penuh gula-gula. Menunggu tak sabaran moderator yang terus ngoceh
tentang fakta yang sebenamya mereka sudah tahu semua. Termasuk jurnal itu. Tadi
pagi dibagikan gratis ke seluruh peserta.
"....
Namanya terdaftar dalam 100 peneliti fisika paling berbakat di dunia. Dan tidak
berlebihan jika mantan koleganya di Princenton University berandai-andai dia
akan menjadi salah-satu kandidat kuat penerima nobel fisika beberapa tahun ke
depan. Jadi buat peserta yang tidak sempat mengenalnya secara langsung, hari
ini setelah enam bulan berusaha menculiknya dari jadwal laboratorium yang tidak
masuk-akal, dari berbagai penelitian yang
serius, sistematis dan
kaku... hari ini dengan bangga kami hadirkan sosok yang sebaliknya memiliki
wajah dan kepribadian santun menyenangkan ini...." Gadis moderator itu
tersenyum lebar, terlihat amat senang membuat seluruh peserta simposium menunggu
tak sabaran kalimat-kalimat perkenalannya. Menikmati posisinya sebagai
'penguasa' jadwal acara.
"Ah-ya, soal wajah dan kepribadian
yang santun menyenangkan? Kalian tahu, yang menarik ternyata bukan hanya wajah
profesor ini yang terlihat santun menyenangkan. Well, di tengah kesibukannya
sebagai peneliti, pakar, dan apalah namanya yang serba serius dan menuntut
banyak waktu itu, profesor muda kita tetap hidup dengan segala romantisme
bersama keluarga kecilnya. Lihatlah, hari ini dia datang dengan istrinya yang terlihat
cantik, selamat siang Nyonya!" Muka-muka tertoleh. Penuh rasa ingin tahu.
Mereka belum pernah melihat istri sang Profesor, meski dengan begitu banyak
publisitas selama ini. Tersenyum. Wanita cantik berkerudung yang duduk di
sebelah sang Profesor, baris kedua dari depan itu ikut balas tersenyum, layar
LCD raksasa di depan plenary hall menayangkan paras cantiknya. Mengangguk
anggun. Sedikit bersemu merah.
"Ada
yang berminat mendengar kisah indah pertemuan mereka?" Moderator
menyeringai lebar.
Hampir seluruh peserta simposium meski
tertarik, menggdeng. Mereka jauh-jauh datang dari berbagai universitas ternama
ke ruangan besar itu jelas-jelas ingin mendengarkan paparan mutakhir temuan
fisika, bukan celoteh moderator.
"Baiklah
karena kalian memaksa, maka dengan senang hati saya akan menceritakan bagian
tersebut..."
Wajah-wajah terlipat.
Gumam keberatan.
"Keluarga
yang hebat meski tidak menyukai publisitas...."
"Masa
kecil yang penuh perjuangan... kalian tahu, Profesor kita sudah membuat kincir
air setinggi lima meter saat ia masih kanak-kanak...."
"....
Perkenalan di kontes fisika, terpesona oleh kecantikan remaja... Profesor kita
mengejar hingga ke Bandara, haha...."
Lima
menit berlalu, peserta simposium mulai jengkel ".... Perkebunan strawberry
yang indah...."
"....
Masa kecil yang begitu mengesankan...."
Satu-dua peserta sengaja mulai berdehem
(lebih keras).
".... Baik, baik." Akhirnya
gadis di podium menyadari ruangan mulai gerah, tersenyum lebar tidak-sensitif,
"Karena saya pikir kalian sedikit mulai tak-sabaran mendengar perkenalan
yang sebenarnya amat penting dari saya, baiklah, hadirin, berikan sambutan yang
paling meriah, inilah salah-satu profesor fisika termuda, ternama, yang pernah
ada di negeri ini, profesor kebanggaan kita, Profesor Da-li-mun-te!"
Tepuk-tangan bak
dikomando menggema bagai dengung lebah. Pemuda berumur 37 tahun itu tersenyum
lebar.
Melepas genggaman mesra, berbisik lembut ke
istrinya. Berdiri. Lantas melangkah sigap menuju podium. Dengan langkah
panjang-panjang. Rambutnya tersisir rapi mengkilat. Matanya tajam memandang,
Rahangnya kokoh. Eskpresi wajahnya meski santun menyenangkan seperti yang
dibilang moderator cerewet itu, sebenamya terlihat keras mengiris, sisa gurat
masa kecil yang tidak selalu beruntung.
Hari ini Profesor Dalimunte mengenakan kemeja krem.
Rapi seperti biasa. Meski 'gelang karet' gaya anak muda di tangan kanan membuatnya
terlihat lebih kasual, untuk tidak bilang sebenarnya sedikit tidak matching
dengan busana rapinya. Gelang itu macam gelang karet yang bertulisan
'solidarity forever', 'united for all', 'long live friendship', yang sedang
trend di anak muda.
Itu gelang pemberian
Intan, putri sulungnya yang berumur sembilan tahun. Bertuliskan, 'Safe The
Planet!' Minggu-minggu ini, Intan menjadi ketua panitia 'Earth Day' di sekolah.
Memaksa
siapa saja mengenakan gelang itu. Satu gelang bernilai sumbangan 5.000 perak.
Nanti uangnya buatbeli tong sampah yang bakal dikirim ke daerah-daerah korban
bencana alam. Makanya Intan sibuk benar berpromosi. Termasuk ke Eyang Lainuri
(malah seminggu lalu mengirimkan selusin gelang ke perkebunan strawberry buat
tukang-tukang kebun); buat apa coba di pedalaman indah nan sederhana itu
penduduknya pakai gelang? Ah, Intan memang keras kepala soal proyek "Safe
The Planet" -nya, lihatlah satu gelang juga terpasang rapi di leher
hamster belang miliknya, meski yang bayar lima ribu perak, ya Ummi.
Profesor Dalimunte
memperbaiki speaker di atas podium. Pelan mengetuk-ngetuknya. Berdehem. Tepukan
mereda. Peserta konvensi perlahan duduk kembali. Menatap antusias ke depan.
"Baik,
pertama-tama, terima-kasih atas perkenalan yang hebat, panjang, dan
superlengkapnya. Meski saya pikir kau agak berlebihan dengan menceritakan
bagian romantisme pertemuan itu, Anne!"
Dalimunte menganggukan kepala kepada
moderator, tersenyum,
"Tapi
terima kasih atas sentuhan keluarganya: profesor muda kita tetap hidup
dengan segala romantisme bersama keluarga kecilnya.... Anne,
setidaknya dengan kalimat terakhir itu, kau membuatku terlihat sedikit
lebih manusiawi. Bukan seperti daftar penelitian yang kulakukan sepanjang
tahun: sistematis, serius, dan kaku. Ya, profesor fisika juga manusia biasa,
bukan—"
Tertawa.
Ruangan besar itu ramai oleh tawa.
"Hadirin,
sebelumnya maafkan saya untuk dua hal...." Profesor Dalimunte mengusap
wajahnya yang sedikit berkeringat,
"Pertama
karena saya hanya punya waktu lima belas menit untuk memenuhi segala
keingintahuan kalian. Saya harap itu cukup setelah hampir enam bulan kalian
menunggu kesempatan ini. Kalian tahu, ada banyak pekerjaan di laboratorium,
belum lagi dengan segala tenggat waktunya. Di samping itu, kalian tahu persis,
saya tidak terlalu menikmati dikelilingi puluhan wartawan dengan kameranya.
Semua popularitas ini.... Jadi ijinkanlah saya untuk memulai langsung topik
kita hari ini—"
Wajah-wajah
terlihat semakin antusias. Tangan-tangan wibuk menggenggam pulpen bersiap
mencatat. Takut benar ada fakta terucap yang terselip di ingatan dan lalai di
catat takut benar terlihat sebagai orang paling bodoh dalam ruangan simposium
fisika internasional tersebut. Ini lima belas menit yang penting.
".... Seperti yang telah kalian
baca di jurnal tersebut bulan dibelah dua sudah menjadi fakta religius ratusan
tahun silam. Salah-satu mukjijat Nabi penutup jaman. Ada banyak perdebatan, ada
banyak penelitian yang justru mencoba membuktikan kalau itu semua keliru.
Ternyata tidak. Keajaiban itu memang pernah terjadi! — Bagaimana mungkin ada
satu potongan translasi religius yang keliru? Kitab suci keliru? Hadist yang
salah? Sungguh lelucon yang tidak lucu. Itu tidak mungkin terjadi!"
Profesor
Dalimunte dengan muka serius menunjuk slide gambar bulan terbelah dua di layar
LCD raksasa depan ruangan.
"Tapi
seperti yang saya bilang tadi, untuk kedua kalinya maafkan saya, karena hari
ini saya memutuskan untuk tidak membicarakan penelitian yang sudah dimuat
dengan baik oleh jurnal populer yang selama ini sekuler dan diskriminatif, 'Science'.
Kalian bisa membaca sendiri seluruh buktinya di majalah tersebut, dan jika
masih ada pertanyaan, kolega dan staf saya di laboratorium dengan senang hati
membalas e-mail pertanyaan, pesan, ajakan diskusi, atau apapun dari
kalian....Hari ini sesuai kesepakatan dengan panitia simposium lima menit
setiba saya di sini, saya akan menyajikan pembuktian fakta religius penting
lainnya. Bukan tentang bulan, tapi isu yang lebih besar. Lebih mendesak untuk
disampaikan. Perubahan topik ini sebenarnya kabar baik bagi kalian, karena
kalian akan menjadi orang pertama yang
mendengarkan progress
penelitian terbaru kami: Badai Ekktromagnetik Antar Galaksi menjelang
hari kiamat...."
Slide bergerak cepat.
Sekarang memunculkan sebuah translasi kitab suci. Wajah-wajah dalam ruang besar
nampaknya tidak terlalu keberatan dengan perubahan topik yang mendadak
tersebut. Buru-buru mencoret judul catatan di atas kertas.
Profesor Dalimunte tersenyum lebar
menatap sekitar dengan rileks. Lima ratus undangan. Lima ratus ahli fisika dari
berbagai penjuru dunia. Meski tidak terlalu menyukai publisitas, dia amat
terlatih untuk urusan mengendalikan massa seperti ini. Dulu dia belajar dari
guru terbaiknya.
"Pernahkah
dari kita bertanya tentang detail kabar tanda-tanda hari akhir? Hari kiamat?
Membacanya? Mendengamya? Pasti pernah. Dan setidaknya bagi siapapun yang masih
mempercayai janji hari akhir tersebut, maka tidak peduli dari kitab suci agama
manapun, berita-berita tersebut boleh dibilang mirip satu sama lain... Ahya,
maaf, saya tidak akan membahas soal mirip tidaknya, itu urusan pakar, ahli
agama yang relevan. Biar mereka yang menjelaskan kalau sebenarnya kabar
tersebut bersumber dari satu muasal. Penelitian fisika terbaru kami hanya
bertujuan memaparkan fakta ilmiahnya—"
"Salah
satu berita yang membuat kita tercengang adalah kabar peperangan besar, yang
dikenal beberapa agama lain dengan sebutan Armageddon. Pertempuran hebat.
Penyerbuan. Penguasaan wilayah.... Menarik. Amat menarik. Karena salah satu
diantara kita mungkin pernah melipat dahi, bagaimana mungkin begitu banyak
sumber dalam berbagai riwayat sahih terpercaya justru menyebutkan peperangan
besar itu akan dilakukan dengan pedang, dengan tangan? Jika kalian
berkesempatan membaca, maka akan menemukan berbagai translasi religius menulis
begitu. Pertempuran satu lawan satu.... Nah, pertanyaan bodohnya adalah: lantas
di mana teknologi nuklir hari ini? Di mana senjata pemusnah massal? Satelit?
Senjata kimia? Bioteknologi?
"Bagi
semua yang pemah mendengar cerita tentang tanda-tanda akhir jaman, bukankah
seolah-olah masa itu kembali ke masa-masa pertempuran konvensional? Berita
tentang ulat-ulat yang dikirimkan dari langit? Keluarnya dua pasukan jahat yang
menghabiskan seluruh air sungai yang mereka lewati? Pepohonan yang
menyembunyikan bangsa Yahudi— maaf jika ini terlalu detail—"
Dalimunte tersenyum, tapi heberapa
peserta simposium yang datang dari sekutu negara bersangkutan tidak terlalu
berkeberatan dengan kalimat itu, lebih asyik melihat layar LCD raksasa di
depan.
"Kita
semua tahu, translasi itu sama sekali tidak menyinggung soal senjata-senjata
pemusnah massal. Nuklir misalnya! Ingat kasus Nagasaki dan Hiroshima, perang
dunia ke-2. Dua kali tembak, selesai sudah! Bagaimana mungkin di akhir jaman
nanti orang-orang seolah lupa menggunakan teknologi hebat itu? Apalagi hari
kiamat mungkin baru terjadi ratusan tahun, atau ribuan tahun lagi. Kita tidak
bisa membayangkan akan secanggih apa teknologi senjata saat itu? Jadi jika
benar-benar terjadi Armageddon, apa susahnya melepas dua tiga rudal berhulu
nuklir jutaan kiloton ke daerah musuh? Selesai sudah. Atau jangan-jangan dua
tiga ratus tahun ke depan manusia malah sudah bisa membuat koloni pertama di
Mars! Jangan-jangan maksud peperangan tersebut adalah peperangan antar planet.
Jangan-jangan Ya'juj dan Ma'juj yang dikurung di suatu tempat oleh Dzulkarnen
itu, yang hingga hari ini kita tidak tahu di mana lokasi tembok penjaranya
justru datang dari planet lain. Masuk akal bukan—"
"Tetapi ternyata tidak. Terlepas
dari bagaimana menafsirkan berbagai translasi religius ini, sepertinya
kemungkinan-kemungkinan yang saya sebutkan tadi amat berlebihan, sejauh ini
belum ada buktinya. Kabar peperangan besar tersebut sepertinya memang akan
sesederhana itu. Benar-benar sesederhana itu. Saya menyimpulkan demikian:
sesederhana itu... Maka, pertanyaannya jika semua teknologi senjata tadi tidak
digunakan saat pertempuran akhir jaman, lantas ke manakah ilmu pengetahuan yang
telah diakumulasi beratus-ratus tahun oleh
manusia? Apakah
seolah-olah kemajuan ilmu pengetahuan seperti siklus naik turun? Apakah ketika
hari kiamat tiba, peradaban manusia justru sedang kembali ke titik
apaadanya?" Dalimunte diam sejenak. Menatap seluruh ruangan.
Mengesankan melihatnya membanjiri peserta simposium
dengan berbagai pertanyaan, entah lima ratus peserta itu mengerti atau tidak.
Terus menyajikan dengan cepat berbagai slide, termasuk pertanda dari berbagai
kitab suci lainnya. Beberapa peserta simposium yang tidak terlalu mengerti transkripsi
religius yang terpampang di layar raksasa LCD menandai besar-besar catatannya
(berjanji dalam hati: nanti akan dicari tahu penjelasannya). Sama seperti
dengan beberapa peserta yang tidak tahu, lupa, atau malah sama sekali tidak
mengerti tentang mukjijat bulan terbelah oleh Nabi penutup jaman di majalah 'Science'
sebelumnya.
Ruangan besar simposium fisika itu
lengang, hanya suara pulpen menggores kertas yang terdengar.
"Apakah
seolah-olah kemajuan ilmu pengetahuan seperti siklus naik turun? Hadirin, jawabannya
adalah: Ya! Jika kita ibaratkan, maka peradaban manusia persis seperti roda.
Terus berrputar. Naik turun. Mengikuti siklusnya. Ada suatu masa, ketika
kemajuan ilmu pengetahuan mencapai puncaknya, manusia menguasai
teknologi-teknologi hebat, lantas entah oleh apa, mungkin karena peperangan,
bencana alam, atau karena entahlah, di masa-masa berikutnya kembali meluncur ke
titik terendahnya.... Jika kita ingin berpikir sejenak, siapa bilang ribuan
tahun silam manusia masih primitif? Masih boddoh? Tidak mengenal teknologi
telepon selular? Internet? Penerbangan ke bulan, dan sebagainya?
"Ingat, disadari atau tidak, ada
fakta religius yang tertulis indah di kitab suci: Salah seorang sahabat Nabi
Sulaiman, maksud saya Solomon buat hadirin yang mengenalnya dengan nama itu.
Saya garis bawahi, saat itu, seorang manusia, pernah bisa memindahkan dalam
sekejap sepotong kursi dari satu titik ke titik lainnya yang berjarak ratusan
kilometer sebelum mata sempat berkedip! Seorang manusia. Spektakuler! Anda
tidak akan pernah menemukan kemampuan teknologi sehebat itu hari ini! Belum.
Kita yang amat bangga dengan kemajuan peradaban, bahkan tidak bisa memindahkan
fisik sebutir telur dengan apapun itu wahana dan caranya, kecuali di film-film,
yang aktornya lantas seolah-olah ketinggalan kaki, tangan, atau telinga—"
Dalimunte menyeringai.
Ruangan itu sejenak ramai oleh tawa.
".... Kita sejauh
ini hanya bisa bangga dengan kode binari. Transfer data. Jaringan
telekomunikasi. Internet dan sebagainya, Tapi tidak untuk teknologi memindahkan
fisik sebuah benda. Lantas, bagaimana mungkin kita tidak mewarisi teknologi
hebat sahabat Nabi Sulaiman tersebut setelah ribuan tahun berlalu? Bagaimana
mungkin tidak ada penjelasannya dan kita sekadar mempercayai kalau itu kondisi
luar biasa. Karomah. Keajaiban. Bukankah kepercayaan itu sebuah rasionalitas
ilmiah? Seperti halnya bulan yang terbelah. Tentu saja ada penjelasan masuk
akal atas transfer fisik kursi tersebut, harus ada penjelasan ilmiahnya, kita
saja yang belum tahu. Atau mungkin tidak akan pemah tahu. Nah, masalahnya
kenapa kita tidak mewarisi penjelasan penting tersebut? Jawabannya, mungkin
saja karena peradaban, kemajuan teknologi itu persis seperti siklus naik turun.
Masa-masa silam, masa-masa itu, manusia pernah menguasai berbagai teknologi
hebat tersebut, malah mungkin pernah memiliki rumus sederhana seperti rumus
phytagoras untuk menjelaskan bagaimana memindahkan kursi ke tempat lain. A
kuadrat sama dengan B kuadrat plus C kuadrat. Tapi entah oleh apa ilmu
pengetahuan itu kemudian musnah. Seperti roda yang berputar, peradaban manusia
kembali lagi ke titik terendahnya....Analog dengan hal itu, dan akan dibuktikan
dengan serangkaian penelitian ilmiah kami, jadi sama sekali tidak mengherankan
jika saat dunia menjelang masa senjanya, kita juga akan kehilangan
senjata-senjata hebat yang ada sekarang dalam pertempuran besar itu. Dan dunia
kembali ke peperangan dengan tangan, dengan pedang. Peperangan konvensional.
Itu benar-benar masuk akal. Itu sesuai dengan kabar dari berbagai translasi
religius ini....Maka pertanyaan pentingnya sekarang adalah:
oleh apa? Oleh apa kita akan kehilangan ilmu pengetahuan dan berbagai teknologi
canggih tersebut? Kemana menguapnya akumulasi ilmu pengetahuan yang hebat itu?
Inilah poin terpenting penelitian Badai Etektromagnetik Antar Galaksi yang akan
menghantam planet ini sebelum hari kiamat. Yang membuat berbagai peralatan
elektronik, listrik, dan kemajuan teknologi lainnya seolah 'membeku', tidak
berfungsi lagi. Mati—"
Dalimunte sengaja berhenti mendadak. Sejenak.
Tersenyum. Meraih gelas besar di hadapannya. Meminum seteguk - dua teguk.
Membasahi kerongkongannya. Membiarkan rasa haus ingin tahu menggantung di
langit-langit ruangan.
Tapi entah kenapa, saat semua peserta
bersiap menunggu gagasan hebat, jawaban atas pertanyaan itu, menunggu
penjelasan apa yang akan disampaikan profesor muda di depan mereka. Saat
Dalimunte telah meletakkan kembali gelasnya. Kembali menunjuk slide yang
terpampang di layar LCD raksasa. Bersiap menjelaskan progress penelitiannya.
Dalimunte malah mendadak terdiam. Pelan menurunkan kembali tangannya yang
memegang pointer layar LCD.
Telepon
genggam di saku celananya mendadak bergetar. "Maaf, sebentar—"
Dalimunte
tersenyum tanggung ke peserta simposium. Siapa? Menelan ludah. Ini ganjil
sekali. Dia punya dua telepon genggam. Satu untuk urusan kampus, lab dan
lain-lain, yang lazimnya dinonaktifkan dalam situasi simposium seperti ini.
Satu lagi untuk urusan keluarga, yang selalu stand-by apapun alasannya. Hanya
ada enam orang yang tahu nomor telepon genggam urusan keluarganya. Siapa?
Keliru. Bukan dari siapa tepatnya
pertanyaan Dalimunte barusan. Namun: ada apa? Apa yang sedang terjadi? Wajah
Dalimunte seketika mengeras, cemas.
Sedikit terburu-buru
meraih telepon genggam. SMS. Kenapa harus dengan SMS? Jika penting bukankah
bisa langsung menelepon? Itu berarti Mamak Lainuri yang mengirimkan. Mamak tak
pandai benar berbicara lewat HP, selalu merasa aneh. Setetah terdiam sejenak
menatap layar HP, Dalimunte gemetar menekan tombol open. SMS itu terbuka. Gagap
membaca kalimatnya. Menggigit bibir. Menyeka dahi yang berkeringat. Terdiam
lagi satu detik. Dua detik. Lima detik. Lantas dengan suara amat lemah berkata
pendek di depan speaker.
"Maaf.
Cukup sampai di sini— "
Kalimat yang
membuat seluruh ruangan simposium itu riuh. Seketika.
Gaduh. Seruan-seruan
kecewa. Dalimunte sudah turun dari podium. Tidak peduli kalau Anne, si
moderator yang cerewet buru-buru bangkit dari kursinya, mendekat, coba bertanya
apa yang sedang terjadi. Tidak peduli beberapa koleganya juga ikut mendekat,
ingin tahu. Tidak peduli dengung suara lebah. Apalagi kilau blitz kamera
wartawan yang sejak tadi rakus membungkus tubuhnya. Tidak peduli. Dalam
hitungan detik Dalimunte sudah menggenggam tangan istrinya yang berkerudung
biru. Berbisik dengan suara bergetar. Lantas melangkah keluar dari ruangan.
Bergegas.
Meninggalkan berlarik tanya dari lima
ratus peserta simposium internasional fisika itu. Bagaimana dengan gelombang
elektromagnetik tadi?
No comments:
Post a Comment