24
PERNIKAHAN
SEPUH
MALAM ITU, rumah
panggung mereka ramai.
Kak
Laisa baru saja menyelesaikan renovasi rumah. Sekarang rumah panggung reot
seadanya itu berubah menjadi bak villa indah. Masih berlapis kayu, tapi
sekarang tanpa lubang-lubang. Atapnya digantikan genteng, sudah tak tampias
lagi. Hamparan halaman ditanami beludru rumput dan bonsai pepohonan. Perkebunan
strawberry mereka sekarang sudah puluhan hektar, memenuhi separuh lembah hingga
cadas lima meter sungai. Tidak ada lagi lima kincir bambu di sana. Sekarang
digantikan dua pasang kincir bertingkat-tingkat dari batangan aluminium dan
pondasi beton yang lebih kokoh. Ada banyak hal besar yang dikerjakan Kak Laisa
tiga tahun terakhir. Seiring majunya perkebunan strawberry, Kak Laisa juga
merenovasi sekolah seadanya di kampung atas. Jalanan selebar tiga meter itu
juga sudah di aspal tipis. Memudahkan truk-truk pengangkut buah strawberry
berlalu-lalang.
Malam itu, Dalimunte yang sudah kuliah
di institut teknologi ternama luar pulau, mudik. Kejutan. Benar-benar kejutann,
Dalimunte pulang bersam Cie Hui. Gadis keturunan yang dulu mereka lihat di kota
provinsi. Umur Dalimunte sudah dua puluh satu tahun, sudah bukan remaja
tanggung lagi. Ikanuri dan Wibisana beranjak delapan belas, sudah di tahun
terakhir sekolah lanjutan atas kota kabupaten. Mereka masih suka menggoda
Dalimunte soal Cie Hui, tapi konteksnya jauh berbeda. Bukan lagi gurauan remaja
tanggung atau anak-anak. Lagipula
Ikanuri dan Wibisana
lebih asyik menghabiskan waktu di bengkel. Mereka memang menyukai mengotak-atik
mesin. Cinta sekali dengan mobil. Beruntung Kak Laisa berbaik hati membelikan
starwagoon tua, dengan janji mereka tetap akan meneruskan kuliah di kota provinsi
tahun depan.
Yashinta
tumbuh menawan. Gadis kecil itu sekarang sudah lima belas. Setahun lagi harus
melanjutkan sekolah di kota kabupaten. Ia tetap sekolah di kota kecamatan yang
dulu pernah dibencinya. Meski tidak kunjung terbiasa, Yashinta mengalah. Bisik-bisik
tetangga soal fisik Laisa juga sebenarnya jauh berkurang karena meski dengan
segala keterbatasannya, fakta Laisa melakukan banyak hal untuk lembah,
anak-anak yang bersekolah, bantuan menanam strawberry di kebun-kebun, membuat
kehidupan lembah jauh lebih baik.
Jadi
penduduk kampung walau tetap membicarakan Laisa yang hingga usia dua puluh
tujuh tahun tetap belum menikah, intonasinya lebih karena prihatin. Ingin
membantu mencari jalan keluar.
"Cepat atau lambat juga akan datang, Mak!"
Itu jawaban ringan Kak Laisa setiap kali Mamak mengajak membicarakannya (atau
jika ada tetangga yang berbaik hati bertanya).
"Lihat, Wak Burhan besok akan menikah untuk
kedua kalinya. Padahal umurnya sudah delapan puluh! Cepat atau lambat giliran
Laisa pasti akan tiba pula, bukan?"
Kak Laisa
tertawa.
Itu
benar, besok Wak Burhan akan menikah dengan janda tua dari desa atas. Umur
calon istri Wak Burhan berbilang enam puluh tahun, sudah bercucu sebelas. Malam
itu, mereka ramai-ramai berkumpul di rumah untuk menyiapkan keperluan acara
besok. Wak Burhan masih terhitung kakak sepupu Mamak. Jadi rumah panggung
mereka jadi tempat 'mempelai perempuan' bersiap-siap.
Yashinta
ditemani Cie Hui memasang hiasan-hiasan janur. Penduduk kampung itu sibuk.
Minggu-minggu selepas lebaran, memang waktu yang tepat melangsungkan hajat
besar. Pernikahan. Mamak dan ibu-ibu lainnya menyiapkan hidangan besok.
Dalimunte dan pemuda lainnya menyiapkan panggung acara. Kak Laisa ikut
mengerjakan banyak hal. Jelas ia sudah terbiasa menangani tatapan ingin tahu.
Menanggapi ibu-ibu tetangga yang menggodanya, "Jadi kapan Lais akan
menyusul?" Laisa hanya tersenyum simpul.
Setiap
kali ada pernikahan di lembah itu, Laisa selalu membantu mengerjakan banyak
hal. Terbiasa dengan kalimat prihatin, gurauan, bahkan bisik-bisik tetangga.
Menjawab dengan senyuman, kalimat ringan, atau ikut tertawa. Tapi apakah Laisa
seringan itu menghadapi fakta bahwa ia belum menikah-menikah juga? Dalimunte
tahu persis jawabannya. Seperti malam itu, saat semua jatuh tertidur kelelahan
lepas menyiapkan keperluan acara besok. Larut malam. Bintang Indah bertebaran
di angkasa. Cerah. Lembah itu berpendar-pendar oleh cahaya bohlam lampu di
bawah dan cahaya bintang di langit.
"Kak Lais
belum tidur?"
Laisa menoleh,
tersenyum. Dalimunte melangkah, mendekat. Laisa berdiri di depan bingkai
jendela yang dibuka lebar-lebar.
"Bulan yang
indah, bukan?" Kak Lais menunjuk ke atas.
Dalimunte mengangguk. Menelan ludah. Dia
tahu, Kak Laisa tidak menghabiskan waktu setengah jam dini hari seperti ini
hanya untuk menikmati menatap rembulan. Bersenyap seorang diri pukul dua pagi.
Tentu ada banyak hal yang sedang dipikirkannya. Kalimat-kalimat tetatngga.
Usianya yang sebentar lagi tiga puluh. Entahlah. Tapi Kak Laisa selalu ingin
terlihat semua baik-baik saja di depan adik-adiknya. Sejak setahun lalu,
Dalimunte ingin sekali menanyakan hal tersebut.
"Apakah kau
menyukai Cie Hui?" Kak Laisa justru yang mendahuluinya bertanya. Muka
Dalimunte memerah. Tersipu.
"Ergh, maksud
Kak Lais?"
"Kata
Yashinta tadi, Cie Hui bilang kalian tidak pacaran. Hanya teman dekat—"
"Aneh, bukan? Bagaimana mungkin gadis itu mau
bermalam di sini tanpa hubungan penting di antara kalian?"
Dalimunte nyengir, mengusap wajahnya yang semakin
memerah. Benar. Mereka belum sekalipun bilang soal perasaan itu. Mereka amat
dekat, itu benar. Tapi ikrar saling suka itu belum terucap. Bagaimana dia akan
melakukannya jika Kak Laisa belum?
"Cie Hui gadis yang cantik. Ia juga baik. Ia
mudah sekali akrab dengan Mamak dan Yashinta." Kak Laisa bergumam, menatap
wajah Dalimunte yang salah-tingkah,
"Dali, kau
seharusnya tidak membuat Cie Hui menunggu lama—"
NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 25
No comments:
Post a Comment