28
ROMANTISME
STRAWBERRY
PEMBICARAAN dini
hari itu membuat perubahan besar.
Akhirnya setelah menatap begitu lama
wajah Kak Laisa yang tersenyum amat tulus, Dalimunte memutuskan untuk menikah.
Maka rusuhlah perkebunan sepagi itu. "Keluarga Cie Hui sudah berangkat ke
kota provinsi. Mereka berangkat ke China hari ini juga —"
Itu jawaban dari seberang telepon saat Dalimunte
bertanya ke kediaman Cie Hui di kota kecamatan. Panik sudah.
Ikanuri dan Wibisana yang masih menguap
diteriaki agar segera menyiapkan mobil. Yashinta bergegas menyiapkan segala
sesuatu. Mereka harus segera menyusul. Hari itu, teknologi telepon genggam
belum ada. Jadi tidak ada cara untuk mengontak Cie Hui yang sedang menuju
bandara. Celaka. Urusan ini benar-benar celaka, jika sampai Cie Hui menaiki
pesawat yang membawanya ke ibukota, lantas terus menuju ke China, maka
berakhirlah semuanya. Pusara yang sama juga akan tertanam dalam- dalam di hati
Dalimunte.
Yashinta
berteriak-teriak menyuruh Ikanuri lebih cepat lagi.
"Cepat, Kak. Lebih
cepat. Katanya nih mobil sudah dimodifikasi macam mobil balap. Ini mah siput
saja lebih cepat!"
Mereka sudah tertinggal empat jam di belakang.
Ikanuri yang sialnya masih mengenakan sarung mengeluarkan gumam tak jelas.
Tersinggung dengan teriakan Yashinta. Berlima mereka memadati mobil modifikasi
bengkel Ikanuri dan Wibisana tersebut. Mamak menunggu di rumah.
Rumah keluarga
Cie Hui di kota kecamatan kosong.
"Maaf, Nak Dali, justru Nona Cie Hui yang
memaksa agar perjodohan itu segera dilangsungkan. Memaksa mereka berangkat
segera dini hari tadi...."
Pembantu rumah Cie Hui menjelaskan terbata-bata,
ikut merasa sedih. Dalimunte mengeluh tertahan. Dia sungguh telah membuat
kesalahan besar. Rasa putus asa yang besar karena menunggu bertahun-tahun itu
berubah menjadi kebencian sekarang,
Sekarang
Wibisana yang mengemudikan mobil. Dari tadi Ikanuri gatal menjitak kepala
Yashinta yang berisik protes. Melesat menuju kota provinsi. Melewati hampir
tiga ratus kilo perjalanan. Kota-kota kabupaten. Kota-kota kecamatan Pedesaan.
Hutan-hutan lebat. Semak-belukar. Pohon bambu. Perkebunan kelapa sawit.
Perkebunan karet. Padang rumput meranggas. Naik turun lembah. Melingkari bukit
barisan, Sungai-sungai yang meliuk. Persawahan. Menyaksikan monyet yang berani
bergelantungan di tepi-tepi hutan. Satu dua babi liar yang nekad menyeberangi
jalan aspal.
Itu semua sebenarnya pemandangan yang
menarik, sayang tidak untuk situasi saat ini. Kak Laisa yang duduk di belakang,
di tengah-tengah Yashinta dan Ikanuri malah sepanjang jalan sibuk memisahkan
tangan-tangan mereka (yang sibuk bertengkar). Dalimunte mengusap wajahnya
berkali-kali. Tegang.
"Ya ampun,
bagaimana mungkin Kak Ikanuri dan Wibisana bisa bikin mobil balap kalau hasil
modifikasinya hanya begini?" Yashinta mengeluh setengah kecewa, setengah
sebal. Ikanuri sekarang benar-benar menjitak kepala Yashinta. Terpaksalah
perjalanan itu terhenti hampir setengah jam tintuk mengganti ban.
Dan saat mereka akhirnya tiba di
bandara, mereka benar-benar terlambat. Bertanya rusuh tentang jadwal
penerbangan. Memaksa masuk pintu check-in. Dua petugas yang menjaga pintu
pemeriksaan terlihat bingung menghadapi seruan-seruan memaksa Yashinta. Wajah
mengeras Ikanuri dan Wibisana. Wajah tegang memohon Dalimunte. Berhasil. Kak
Laisa seperti biasa dengan tatapan mata, akhirnya berhasil mcmbujuk petugas.
Berlarian menuju ruang tunggu bandara.
Tapi
mereka tiba di bandara sudah amat terlambat. Dalimunte masih sempat melihat Cie
Hui bersama Koh Acan dan istrinya berjalan di balik kaca tebal menuju garbarata
prsawat. Berteriak memanggil. Percuma. Kaca itu kedap suara. Memukul-mukulnya.
Sia-sia. Cie Hui sudah masuk kedalam garbarata. Kali ini Kak Laisa tidak
berhasil memaksa petugas pintu boarding mengijinkan mereka menerobos masuk ke
landasan pacu bandara. Itu prosedur yang tidak bisa dilanggar dengan alasan
apapun.
Dalimunte menatap kosong pesawat yang
mulai berputar menuju runaway. Bersiap berangkat. Lima menit, Pesawat
itu menderu lepas landas. Menuju langit yang membiru. Menyisakan lengang di
balik kaca tebal ruang tunggu. Yashinta tertunduk, menyeka ujung-ujung matanya.
Ikanuri dan Wibisana bergumam kecewa. Kak Laisa mendekap sedih pinggang
Dalimunte.
Lima
belas menit hening. Dalimunte tetap menatap kosong langit. Mereka tidak akan
bisa mengejar Cie Hui lagi. Jadwal penerbangan ke ibukota hanya ada satu kali
dalam sehari. Dia juga tidak tahu nomor telepon ke sana. Memberitahukan kalau
dia sudah bisa mengambil keputusan. Memberitahukan kalau dia bersedia menikah.
Urusan ini ternyata berakhir menyedihkan.
Kak Laisa membimbing Dalimunte. Beranjak
pulang. Semua ini terasa menyakitkan. Sesak. Mereka berjalan beriringan
melewati pintu masuk menuju ruang tunggu. Kembali ke perkebunan strawberry....
Sungguh sesak rasanya. Mata Dalimunte berkaca-kaca....
"Da-li—"
Suara itu memanggil tertahan.
Dalimunte mengangkat
kepalanya. Kak Laisa ikut menoleh. "Da-li—" Itu suara Cie Hui.
Gadis keturunan itu berlari keluar dari garbarata.
Dalam gerakan lambat sepersejuta detik yang amat mengharukan.
Cie Hui berseru.
Menangis. Melompat memeluk Dalimunte. "Cie—" Dali seketika kehabisan
kata-kata.
"Ia amat
menyukaimu, Nak" Koh Acan, ayah Cie Hui ikut melangkah mendekat, melepas
topi putih kupluk di kepalanya. Muslim keturunan itu menghela nafas panjang,
"Kau tahu, meski tadi pagi ia sendiri yang meminta perjodohan itu
dipercepat, tapi ta tidak kuasa untuk melangkahkan kakinya ke dalam pesawat.
Tidak kuasa.... Hanya berbisik berkali-kali di dalam garbarata, 'Dali akan
menyusul, Dali akan menyusul, Papa'.... Berdiri mematung di depan pintu
pesawat.... Tidak bisa melakukannya. Ia sungguh amat menyukaimu, Nak!"
Dalimunte
dan Cie Hui sudah berpelukan, seolah dunia milik berdua. Tidak peduli sekitar.
Menangis. Kak Laisa tersenyum lebar.
Inilah romantisme yang (selalu)
diceritakan moderator cerewet di konvensi internasional itu, juga
konvensi-konvensi lainnya. Di majalah-majalah. Di koran-koran yang banyak
menulis tentang Profesor Dalimunte.
Inilah
romantisme Strawberry cinta Dalimunte dan Cie Hui.
NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 29
No comments:
Post a Comment