3
TITIPAN
KAOS BOLA
PESAWAT AIRBUS 3320 milik maskapai penerbangan
Italiano Sky itu melesat membelah pesisir Eropa. Malam hari. Pukul 19.30 di
sini. Speaker di pesawat memperdengarkan suara merdu sang pramugari yang lembut
menyapa penumpang:
"... Signore e signori, Vaereo atterera
tra 5 minuti all'aeroporto di Roma. Si prega di allaciare di cinture di
skurezza... Informiamo i signori pesseggeri che e tra Giacarta e Roma vi sono sette ore di differenza. Senior
& Seniorita, pesawat akan segera mendarat di Bandara Roma lima menit
lagi. Harap kenakan sabuk pengaman Anda.... Perbedaan waktu Jakarta dan
Roma—"
"Bangun,
Ikanuri!" Wibisana menyikut lengan adiknya. Ikanuri menguap, menggosok
matanya, "Sudah sampai?" Wibisana mengangguk.
Wajah
mereka berdua mirip sekali. Rambut. Matanya. Ekspresi wajah. Bahkan bekas luka
kecil di dahi. Bedanya, yang satu baretnya di sebelah kanan, yang satu di
sebelah kiri. Selain itu, nyaris 99,99% mirip, termasuk tinggi, lebar dan
bentuk perawakan tubuh. Jadi seperti sepasang kembar kalau mereka berdiri
berjajar. Padahal mereka sedikit pun tidak kembar, apalagi kembar identik.
Mereka berdua hanya lahir di tahun yang sama, terpisahkan sebelas bulan. Yang
satu beramur 34 tahun (Wibisana), yang satunya (Ikanuri) 33 tahun. Menariknya,
meski Ikanuri lebih muda, dia lebih dominan dalam urusan apapun dibanding
Wibisana. Makanya orang-orang justru berpikir Ikanuri-lah yang menjadi kakak.
"Kau mimpi apa?" Wibisana tertawa melihat
wajah Ikanuri yang mengernyit, berusaha mengusap-usap matanya yang sedikit
merah.
"Biasa! Mimpi dikejar-kejar Kak Lais pakai sapu
lidi! Sialan, kali ini ia berhasil memukul pantatku! Sakit sekali — "
Ikanuri menjawab
seadanya, nyengir. Pura-pura mengusap punggungnya. Ikut tertawa.
Demi
mendengar celetukan adiknya, Wibisana tertawa lebih lebar. Bagian itu kenangan
masa kecil favorit mereka, olok-olok masa lalu yang menyenangkan untuk diingat,
meski telah berkali-kali diingatnya. Nyengir lebar. Sementara Ikanuri sudah
sibuk merapikan kemeja biru yang dikenakannya. Membungkuk memasang tali sepatu.
Tadi sengaja dilepas, agar bisa rileks tidur di kursi penerbangan kelas
ekonomi, yang tempat duduknya ekstra sempit buat penerbangan jarak jauh.
"Ini apa?"
Wibisana mendorong pelan laptop di atas tatakan meja, ikut membungkuk,
mengambil kertas yang tidak sengaja jatuh dari saku kemeja Ikanuri saat
memasang tali sepatu.
"Oo itu —,
biasa titipan Juwita! Kau bacalah!"
"Papa, questi
sono i miei desideri.. 1. Pizza, 2. Spagheti, 3. Miniatur Colloseum, 4.
Miniatur Menara Miring, 5. Kaos bola Del Piero, 6. Kaos bola Totti, 7, Kaos
bola Materazzi, 8. Kaos bola Zidane,"
Wibisana tertawa kecil
lagi, menghentikan membaca daftar panjang di kertas tergulung itu, "Haha,
bagaimana mungkin 'sigung kecil' itu tidak tahu kalau Zidane sudah tidak main
bola lagi di Juventus? Lagipula Zidane sudah lama pindah ke liga Spanyol,
bukan? Sudah pensiun pula sejak piala dunia. Tidak adalah kaosnya di
sini—"
"Mana pula anak itu akan peduli," Ikanuri
menerima kertas pesanan tersebut dari Wibisana, melipatnya.
"Kau tahu, Juwita seminggu terakhir sengaja
benar membuka buku pintarnya tentang Italia. Mendaftar semua pesanan ini.
Entahlah, sempat atau tidak membeli semuanya, apalagi kaos - kaos bola ini.
Buat apa coba Juwita titip kaos bola, jelas-jelas ia anak perempuan, kan?
Titipannya kali ini benar-benar akan merepotkan. Mungkin tidak semua akan bisa
kubelikan..."
"Kalau begitu, bersiap-siaplah melihat wajah
sok merajuknya saat kau nanti pulang!" Wibisana nyengir lebar,
"Anak itu memang pintar membuat orang lain
susah.... Pandai menipu. Jago pura-pura merajuk. Haha, mirip benar dengan
tabiat buruk ayahnya waktu kecil."
Ikanuri mengusap rambut. Ikutan nyengir.
Bergumam dalam hati, Wibisana pasti juga mengantongi daftar puluhan pesanan
yang sama dari Delima, anaknya. Bukankah kemarin Juwita bilang, ia mengirimkan
daftar pesanannya ke Delima lewat email. Anak-anak mereka yang
berumur enam tahun itu mirip benar ayahnya masing-masing. Kompak urusan
beginian, meski sering sekali justru sibuk bertengkar saat sedang bermain
bersama. Sebenarnya perangai Delima-Juwita memang copy-paste perangai ayah-ayah
mereka berdua waktu kecil dulu.
Pesawat Boeing kapasitas dua ratus
penumpang itu bersiap meluncur ke landasan bandara. Gemerlap lampu kota Roma
terlihat indah dari bingkai jendela. Menawan. Wibisana melipat laptopnya.
"Kau sudah selesaikan revisi
presentasinya?" Wibisana mengangguk mantap,
"Kali ini, petinggi pabrik itu tidak akan
menolak.... Kita akan memberikan lebih banyak keuntungan dibandingkan
perusahaan dari China itu!"
Ikanuri
mengangguk kecil. Memasukkan kertas pesanan gadis kecilnya ke saku.
Menepuk-nepuk saku kemeja. Ini perjalanan bisnis yang penting. Pembicaraan
besok pagi di salah satu kedai kopi elit dekat Piazza de Palozzo akan
menentukan rencana ekspansi pabrik kecil milik mereka. Sebenarnya dibandingkan
pesaing raksasa industri China itu mereka tidak ada apa-apanya. Pabrik butut
itu tak lebih dari bengkel modifikasi mobil. Mereka hanya punya modal nekad.
Keberangkatan ini juga pakai acara pinjam uang Mamak Lainuri segala. Ah, sejak
kecil memang inilah yang mereka miliki. Nekad. Bandel. Keras kepala. Di samping
tentang teriakan 'kerja-keras', 'kerja-keras', 'kerja-keras' yang selalu
diocehkan Kak Laisa saat galak melotot sambil memegang sapu lidi, memarahi
mereka.
Sejak
kecil Ikanuri dan Wibisana sudah kompak. Kakak-beradik yang selalu bisa saling
mengandalkan. Hari ini mereka berangkat ke Roma bersama-sama. Menyelesikan
tender hak pembuatan sasis salah-satu mobil balap tersohor produksi Italia.
Seperti biasa, pesaing mereka (juga pesaing pengusaha-pengusaha lokal lainnya),
datang dari negeri Panda, China. Mereka sejak kecil selalu berdua. Tidak
terpisahkan. Sekarang saja rumah mereka berseberangan jalan. Dengan istri dan
satu gadis kecil usia enam tahun masing-masing. Delima dan Juwita. Bahkan, percaya
atau tidak, Ikanuri dan Wibisana menikah di hari, tempat, dan penghulu yang
sama. Delima dan Juwita juga lahir di hari yang sama. Jadi meski tidak kembar
secara biologis, Ikanuri dan Wibisana lebih dari 'kembar'.
Lima menit berlalu, burung besi berukuran
jumbo itu mendarat dengan mulus di landasan. Penumpang yang seratus persen
sudah terjaga bergegas menurunkan tas-tas dari bagasi. Bersiap turun setelah
penerbangan belasan jam. Menggerak-gerakkan badan. Berusaha mengusir pegal.
"Biar aku saja
yang menghubungi mereka!" Ikanuri yang melihat Wibisana mengeluarkan
HP-nya, ikut mengeluarkan dua telepon genggam miliknya. Satu untuk urusan
bisnis. Satu untuk urusan keluarga. Dua-duanya dikeluarkan. Perlahan menekan
tombol ON. Menyalakannya. Tadi saat keberangkatan, galak sekali pramugari
pesawat menyuruh penumpang mematikan HP. Yeah, penumpang dari Indonesia memang
bebal bin bandel soal beginian. Mereka lupa, maskapai yang mereka naiki bukan
maskapai domestik kelas kampung yang cuek dengan standar internasional keamanan
penerbangan.
"Mereka berjanji menjemput di bandara,
bukan?" Wibisana duduk kembali, membiarkan penumpang lain bergegas turun
duluan.
"Yap, tenang saja, Italiano Silsilia itu pasti
akan menjemput kita. Kalau tidak, paling sial kita nyasar lagi di negeri orang,
haha,"
Ikanuri tertawa,
menunggu dua telepon genggamnya booting. Dua detik berlalu. Lantas menekan
phonebook.
Tetapi sebelum dia melakukannya, HP
untuk urusan keluarganya keburu bergetar duluan. SMS. Juga bergetar di saat
bersamaan HP milik Wibisana. Itu juga HP urusan keluarga. Siapa? Ikanuri dan
Wibisana menelan ludah. Saling bersitatap satu sama lain. Siapa yang mengirimkan SMS? Hanya ada enam orang yang tahu nomor itu, dan
mereka berdua diantaranya.
Keliru. Bukan dari siapa pertanyaan
tepatnya Ikanuri dan Wibisana barusan. Tapi lebih tepat: ada apa? Apa yang
terjadi? Wajah mereka berdua mendadak mengeras, cemas, SMS? Ini pasti Mamak
Lainuri. Yang lain pasti selalu menelepon jika ada urusan penting. Bukankah
seumur-umur Mamak tidak pernah mengirimkan SMS. Menggunakan HP-nya saja, Mamak
tak mahir benar. Jika Mamak yang kirim, ini pasti penting sekali.
Tangan Ikanuri dan Wibisana sedikit
terburu-buru menekan tombol open. Gagap membaca kalimat-kalimatnya. Menggigit
bibir. Terdiam. Lantas bersitatap lemah satu sama lain lagi. Satu detik. Dua
detik. Lima detik. Senyap. Berdiri diam di antara sibuknya gerakan 198
penumpang beranjak turun. Dan seperti sontak diperintahkan, mereka berbarengan
melangkah mendekati pramugari. Mendorong-dorong penumpang lain. Bersikutan.
Lupa sudah dengan koper-koper. Lupa sudah dengan janji pertemuan bisnis yang
penting, besok pagi. Lupa dengan segalanya.
Ikanuri terbata berkata: "Il
Volo.. per Jakarta.. C'e un volo per Jakarta questa sera?"
Apa ada…penerbangan kembali ke
Jakarta... malam ini juga?
NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 4
No comments:
Post a Comment