9
CRAYON
12 WARNA
ANGIN
MALAM bertiup lembut. Menyelisik sela-sela dinding anyaman bambu.
Malam beranjak datang. Rumah panggung
kecil itu akhirnya lengang, setelah sejak maghrib tadi terdengar riuh oleh
hardikan-hardikan. Hanya suara burung hantu dari kejauhan yang menghias malam,
ditingkahi derik jangkrik bernyanyi. Langit terlihat cerah. Gemintang
menunjukkan berjuta formasinya. Di sana ada Taurus, ada Pisces, ada Leo,
Gemini, dan lebih banyak lagi rasi yang tidak memiliki nama.
Tadi siang, hingga sore benar-benar
ribut.
Kak Laisa setiba di rumah panggung langsung
menyiapkan bekal makanan seadanya, kemudian menyusul Mamak Lainuri di ladang
bersama Dalimunte —yang tetap lebih banyak berdiam diri setelah dimarahi di
sungai tadi, menunggu rumah. Ia belum pernah diajak-ajak ke ladang… Kata Mamak
ia masih terlalu kecil. Ladang itu tidak jauh hanya satu kilo dari
kampung. Seperti tetangga lainnya, Mamak bertanam
padi. Musim ini kabar baik, hujan datang teratur. Maksudnya, saat nugal
(masa tanam) hujan turun, saat akan panen seperti sekarang, hujan justru
berkurang. Kalau sebaliknya, bisa celaka. Bisa urung tanam, atau gagal panen
karena busuk.
Menjelang ashar Mamak Lainuri, Kak Laisa dan Kak
Dalimunte pulang. Biasanya Mamak langsung ke hutan, menghabiskan dua jam
sebelum maghrib mencari damar, rotan, atau apalah. Tapi hari ini tidak. Mamak
sudah mendapatkan laporan Kak Laisa soal kejadian tadi siang, jadi wajah Mamak
terlihat marah sepanjang sore. Mamak sebenarnya tidak suka marah. Lebih banyak
berdiam diri. Melotot, dan anak-anaknya langsung mengerti. Bagaimanalah Mamak
akan sempat marah? Mamak sudah terlanjur lelah dengan jadwal harian. Bangun jam
empat shubuh, menanak nasi, membuat gula aren, menyiapkan keperluan ladang.
Lantas berangkat ke ladang. Nanti, baru lepas isya, setelah anak-anaknya tidur
baru bisa istirahat. Itupun setelah menyelesaikan anyaman, rajutan atau apalah.
Tapi sore ini Mamak
tidak dapat menahan marah. Bukan karena Dalimunte, Ikanuri, dan Wibisana
sekaligus bolos sekolah, kasus bolos itu sudah biasa. Sudah bebal dua sigung
itu diceramahi Tetapi lebih karena baru selepas maghrib Ikanuri dan Wibisana
pulang ke rumah. Selama ini, meski suka bolos, Ikanuri dan Wibisana paling
hanya bermain-main ke manalah. Pulang sebelum lembah gelap. Tapi apa yang
dilakukan mereka seharian ini? Mereka baru pulang setelah yang lain selesai
shalat maghrib. Ikanuri dan Wibisana, berani sekali ikut menumpang mobil
starwagoon tua ke kota kecamatan, membantu tauke desa atas menjual sayur-mayur
di sana.
Mereka pulang sambil
tersenyum lebar membawa bungkusan dari kota, upah kerja seharian, tapi Mamak
tidak peduli. Terlanjur marah. Maka kena omellah Ikanuri dan Wibisana. Tentang
mau jadi apa mereka? Sekolah! Sekolah jauh lebih penting daripada bekerja.
Kalian tidak akan jadi apa-apa kalau bodoh sepertiMamak! Kalian pikir hidup
susah itu menyenangkan? Hanya karena menyadari adzan isya akan segera
berkumandang dari suraulah omelan Mamak akhirnya terhenti. Menyuruh mereka
ambil wudhu. Shalat maghrib! lantas makan bersama di hamparan tikar. Lebih
banyak berdiam diri. Padahal Kak Laisa masak ikan asap. Menu yang terhitung
istimewa buat keluarga miskin mereka. Tapi itu tidak cukup membantu suasana.
Lepas isya, setelah Dalimunte mengajak
Ikanuri dan Wibisana shalat di surau; dan kali ini dua sigung nakal itu menurut
barulah ruang tengah rumah panggung itu terasa lebih lega. Lampu canting besar
di dinding kerlap-kerlip. Ikanuri dan Wibisana belajar di atas tikar pandan.
Membaca, entah benaran membaca atau hanya pura-pura agar tidak kena marah lagi.
Mereka sekali dua saling berbisik pelan,
"...iya,
itu katanya jalan pintas menuju kota kecamatan..." "...aku dengar
dari pemburu harimau di kota kecamatan tadi...". Terdiam saat Mamak
menoleh.
"...lewat
jalan itu lebih cepat..."
Yashinta asyik
menggambar berang-berangnya tadi pagi. Dalimunte entah mengerjakan apa dengan
kertas-kertas besar diujung tikar satunya. Kak Laisa dan Mamak duduk di sebelah
Yashinta, menganyam topi pesanan.
Malam beranjak matang.
"Eh, Kak
Lais, Yashinta nanti boleh sekolah, kan?"
Yashinta
mendadak menghentikan gerakan tangannya, menoleh ke Kak Laisa. Ia teringat
kata-kata Kak Laisa tadi siang di sungai bawah cadas.
"Apa?"
Kak Laisa yang sibuk dengan anyaman bertanya balik, "Eh, nanti Yashinta
boleh sekolah, kan?"
Yashinta
bertanya sekali lagi, ragu-ragu. Ah, kalau ia sekolah, Mamak dan Kak Laisa
pasti lebih repot lagi mencari uangnya.
Beneran? Yashinta menyeringai. Matanya
membulat. Mamak mengangguk selintas, tetap konsentrasi menganyam. Yashinta
sudah tersenyum riang. Tadi kan, Kak Laisa bilang anak lelaki harus sekolah.
Kalau anak perempuan? Lihat, Kak Laisa kan anak perempuan. Makanya ia tidak
sekolah. Yashinta berpikiran pendek. Jadi dipikirkan sepanjang hari. Ia tidak
tahu kalau sebenarnya Kak Laisa yang memutuskan mengalah untuk tidak sekolah
agar adik-adiknya bisa sekolah.
Asyik, asyik, ternyata ia juga akan
sekolah.
Biasanya, kalau bicara soal sekolah
begini, Ikanuri dan Wibisana otomatis akan nyeletuk sama seperti tadi pagi,
"Memangnya
asyik sekolah?"
Tapi
karena mereka berdua malam ini lagi alim, mereka hanya sibuk belajar,
berbisik-bisik. Meneruskan membaca buku.
"Kak Laisa,
lihat gambar berang-berangnya, deh! Bagus, kan?"
Yashinta
menghentikan gerakan tangannya lagi. Menyeringai sambil menyodorkan kertas
gambarnya,
Kak Laisa menoleh,
menyimak. Tersenyum. Mengangguk. Yashinta menyeringai senang, kan jarang-jarang
Kak Laisa tersenyum. Mamak Lainuri juga beranjak mendekat melihat gambar
Yashinta. Ikut tersenyum. Yashinta memang berbakat melukis. Meski hanya dengan
pensil, gambarnya tetap bagus. Lima berang-berang itu terlihat begitu nyata.
Andai saja ia bisa membelikan putri bungsunya crayon warna. Mamak menghela
nafas pelan, meneruskan menganyam. Sejak dulu Yashinta sudah minta dibelikan.
Ikanuri dan Wibisana juga melirik
selintas, meski lantas sok serius kembali lagi ke buku. Dalimunte masih sibuk
dengan kertas-kertasnya. Entah membuat apa.
Sejurus, Yashinta
menguap. Beranjak membereskan pensil dan kertas gambar. Sudah hampir pukul
21.00. Saatnya tidur. Hanya ada satu kamar di rumah panggung itu. Mamak, Kak
Laisa dan ia tidur di kamar, beralaskan kasur butut. Sementara, Dalimunte,
Wibisana dan Ikanuri tidur di ruang tengah. Pakai tikar pandan dan sarung.
"Ah-iya,
Ikanuri lupa —"
Entah
kenapa Ikanuri tiba-tiba bangkit dari belajarnya. Semua menoleh. Langkah
Yashinta tertahan.
Ikanuri mengambil bungkusan kecil dari
kota kecamatan tadi. Lantas menyerahkannya ke Yashinta.
"Buat,
Yashinta!"
"
Apa-an?" Yashinta bertanya sambil menguap. "Buka saja—"
Ikanuri
nyengir.
Yashinta tanpa perlu diperintah dua
kali, membuka ikatan kantung plastik kecil. Sekejap terdiam memegang kotak
berwarna itu. Seperti tidak percaya. Satu detik. Dua detik. Lantas berseru
senang sekali.
"CRAYON 12
WARNA—"
Yashinta tertawa
lebar. Ikanuri ikut tertawa. Mengusap jidatnya. "TERIMAKASIH, KAK!"
Ah,
malam itu, di tengah sejuknya angin malam menilisik lubang.-lubang dinding. Di
tengah gemerlap sejuta bintang di angkasa sana. Malam itu, Mamak Lainuri
setelah seharian bekerja, setelah sepanjang malam mengkal melihat ulah anak
lelakinya, akhirnya bisa tersenyum lebar. Juga Kak Laisa....
Dalimunte yang mendorong koper sepanjang
lorong garbarata pesawat mengangguk pelan. Ummi berjalan di belakang.
Asyik. Asyik. Kalau
begitu ia bisa lihat-lihat kamera keren Tante Yashinta. Lihat-lihat foto yang
indah. Dulu waktu Intan masih kecil, Tante Yashinta yang suka ngajarin melukis.
Makanya Intan suka dengan pelajaran itu di sekolah.
"Oom Ikanuri?
Oom Wibisana juga pulang, Bi?"
Dalimunte
mengangguk lagi. Teringat sesuatu. Urusan ini benar-benar membuatnya tak sempat
berpikir panjang. Bagaimana mungkin dia belum menghubungi mereka satu pun?
Sejak menerima SMS di konferensi fisika. Itu berarti tiga jam berlalu, dan dia
belum tahu apa yang sedang dilakukan adik-adiknya. Juga kabar Kak Laisa dan
Mamak Lainuri di perkebunan strawberry. Dalimunte mengeluarkan HP dari sakunya.
Antrian penumpang keluar dari pintu garbarata membuat langkah terhenti. Menyalakan
telepon genggam.
"Kalau
begitu Delima dan Juwita juga datang.... Horee!"
Intan
tertawa lebar. Meraba tasnya. Ia bisa memaksa mereka berdua memakai empat
gelang karet "Safe The Planet". Meski sedikit nyengir ketika kemudian
membayangkan Oom Ikanuri dan Oom Wibisana. Pasti mereka lagi-lagi suka jahil
ngerjain Intan.
Dulu pernah hamster
belang Intan disembunyikan di tong belakang perkebunan. Untung ada Wak Laisa
yang belain. Perasaan Oom Ikanuri dan Oom Wibisana nurutnya hanya sama Wak
Laisa, deh, Sekarang? Kata Abi tadi kan Wak Laisa lagi sakit. Jadi tidak ada
yang belain Intan kalau lagi dikerjain Oom Ikanuri dan Oom Wibisana. Ah, Wak
Laisa paling sakit perut atau mencret-mencret, tidak bakal serius ini. Masih
bisa menemani Intan jalan-jalan di kebun strawberry. Intan sibuk mikir sambil
memperhatikan Abi yang menunggu nada sambung.
Orang dewasa tuh rumit, ya? Kenapa pula coba tampang
Abi tegang begini sejak tadi dari sekolah. Cemas karena Wak Laisa sakit? Lah?
Kan dikasih oralit, mencret Wak Laisa paling juga sudah sembuh. Intan jago kok
bikin minuman itu.
NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 10
No comments:
Post a Comment