12
BAGI
MEREKA URUSAN INI SEDERHANA
"DALIMUNTE
sudah di mana?"
"Sudah naik mobil jemputan
perkebunan strawberry, bersama Kak Cie Hui dan Intan." Ikanuri memasukkan
telepon genggam ke saku. Merapatkan jaket hujan yang dikenakan.
Kereta ekspres itu
berhenti persis di tengah hutan.
Di depan Sana belasan lampu sorot
berkekuatan ribuan watt menerangi lokasi longsoran tebing. Hanya butuh setengah
jam sejak longsoran itu terjadi, tim tanggap darurat kepolisian dan pasukan
militer Swiss dari kota terdekat tiba di lokasi. Membawa alat-alat berat untuk
membersihkan tanah liat yang menumpuk sepanjang lima belas meter. Mereka
terbilang taktis dan gesit. Ada sekitar dua peleton pasukan di sana. Tapi hujan
yang turun semakin deras, membuat pekerjaan semakin sulit. Apalagi, baru saja
bersih lima meter, tebing itu longsor lagi. Lebih banyak.
"Signori,
siete pregati di rientrare nelle carrozze, per favore? Senior,
sebaiknya kalian segera masuk kembali ke gerbong, please?"
Gadis berambut pirang, petugas
berseragam yang melayani penumpang kabin kereta (macam pramugari di pesawat
terbang) berteriak dari pintu gerbong dengan toa.
Ikanuri
menoleh, mendesis sebal. "epiu confortevole dentro— " Gadis
itu membujuk lagi. "Sebentar Lagi—"
Ikanuri
yang bete sejak tadi, menjawab mengkal seruan itu ( dengan bahasa Indonesia
pula). Gadis itu mengernyit, tidak mengerti.
Mereka baru tiga jam
dari Roma. Kereta beranjak melintasi perbatasan Swiss. Tidak bisa tidur, meski
kabin itu amat lega dan nyaman. Saat sedang berusaha menelepon Yashinta, Mamak
Lainuri, dan Dalimunte kereta tiba-tiba berhenti. Aneh. Kereta itu kereta
express, mana boleh berhenti sembarangan macam kereta di Indonesia. Ada apa?
Ikanuri dan Wibisana beranjak keluar dari kabin. Segera mencari tahu. Dan
segera pula menyumpah-nyumpah (Ikanuri) saat tahu masalahnya.
Karena sebal, Ikanuri dan Wibisana memutuskan turun
dari kereta, ingin melihat langsung pekerjaan pembersihan rel. Masinis berbaik
hati meminjami dua jaket hujan besar. Malam ini, kereta hanya berpenumpang
tujuh orang. Penumpang yang lain sibuk tidur di kabin masing-masing. Tidak
peduli. Siapa pula yang mau hujan-hujanan di luar dengan suhu nyaris nol
derajat celcius. Masinis itu malah santai menonton siaran live sepak bola
Juventus-Manchester United dari teve mungilnya. Kejadian ini berkah baginya,
dia jelas tidak boleh menonton saat menjalankan kereta.
"Kau sudah
telepon Yashinta lagi? Tersambung?"
Wibisana
mengangguk, sudah. Terus menggeleng, tidak tersambung. "Kenapa pula di
situasi sepenting ini HP anak itu dimatikan?"
Ikanuri
mendengus jengkel. Menatap putus asa puluhan petugas kepolisian dan pasukan
militer yang seliweran membersihkan rel kereta. Lihatlah, dinding tebing itu
longsor lagi setelah mereka berhasil memindahkan separuh tumpukan lumpur di
atas rel.
Bisa tidak sih mereka berpikir jenius seperti
Dalimunte! sepuluh persen saja dari otak hebat Dalimunte. Dinding tebing itu
harusnya di tahan dulu. Diberikan konstruksi penahan, atau entahlah yang
penting bisa mencegah longsoran baru. Baru dibersihkan rel keretanya. Kalau
begini urusannya, masih butuh berjam-jam lagi kereta ini bergerak. Bah! Percuma
juga mereka taktis dan gesit kalau melakukannya dengan bodoh.
"Juwita dan
Sekar sudah tiba di mana?" Ikanuri bertanya.
"Lima menit lalu
mereka bilang sudah di bandara, menunggu jadwal penerbangan dua jam lagi."
Wibisana menjawab.
"Semoga
kita bukan yang terakhir tiba." "Tentu tidak, Ikanuri—"
"Semoga
kita tidak datang terlambat."
Ikanuri
mengeluh sekali lagi. Itu benar-benar keluhan tertahan. Wibisana menepuk-nepuk
bahu Ikanuri. Tersenyum. Berbisik,
"Tidak
akan terjadi apa-apa, Ikanuri. Kita akan tiba tepat waktu. Berdoalah, Kak Laisa
akan baik-baik saja...."
Hujan turun semakin
deras. Badai semakin kencang.
Empat jam setelah Dalimunte dan keluarganya mendarat
di bandara kota provinsi, giliran Jasmine, istri Ikanuri, Wulan, istri
Wibisana, beserta anak-anak mereka, Juwita dan Delima tiba di sana. Repot
sekali Juwita dan Delima mendorong sepeda BMX mereka keluar dari lobi
kedatangan bandara.
Tadi
meski Ummi mereka berdua memaksa buruan, kedua anak nakal usia enam tahun itu
justru kompak memaksa membawa sepeda BMX spesialis trek gunung masing-masing,
"NGGAK MAU! Juwita harus bawa sepeda! Kan, asyik buat keliling kebun
strawberry bareng Eyang Lainuri dan Wawak Laisa!"
Karena
rumah mereka berseberangan halaman, maka jika yang satu membawa sepeda,
otomatis yang lainnya juga ikutan bawa. Tidak mau kalah.
Juwita dan Delima
memutuskan untuk tidak banyak berdebat lagi. Membiarkan saja putri-putri
tunggal mereka membawanya. Jadi terlihat sedikit mencolok saat dua anak
perempuan berumur enam tahun itu mendorong sepedanya dari counter pengambilan
bagasi bandara.
"Mi,
Kak Intan sudah sampai, belum?" Delima bertanya, "Masih di
perjalanan, di mobil jemputan perkebunan—"
Wulan,
Ummi Delima memasukkan telepon genggamnya ke tas tangan. Barusan menelepon Cie
Hui, Ummi Intan.
"Eh,
Mi, Kak Intan bawa sepeda juga, nggak?" Juwita yang bertanya ke Umminya.
"Tidak
tahu, sayang. Yang Ummi tahu Kak Intan pasti bawa gelang 'Safe The
Planet'-nya" Jasmine, Ummi Juwita tertawa kecil. Membantu memotong tali
rafia. Perkebun strawberry mengirimkan jemputan kijang kapsul, jadi dua sepeda
itu terpaksa diikat diatas mobil.
Dua
gadis kecil itu menyeringai, bersitatap satu sama lain, idih, pasti Kak Intan
maksa-maksa lagi makai gelang itu. Perasaan baru dua minggu lalu mereka
dikirimi satu kotak. Disuruh-suruh jual ke teman-teman di sekolah. Ditanyain
tiap hari lewat telepon dan email. Orang mereka berharapnya kak Intan juga bawa
sepeda, kan asyik bisa bertiga keliling kebun strawberry bareng Eyang atau
Wawak. Siapa pula yang mau dipaksa-paksa pakai gelang karet norak itu.
"Mi, Tante
Yashinta sudah di mana?" "Nggak tahu, sayang—"
"Tante
Yashinta juga pulang, kan?" "Nggak tahu. Harusnya iya—"
"Abi kapan tibanya dari Itali, Mi?"
"Ummi nggak
tahu, Delima. Keretanya masih terjebak badai—" "Eh, Wak Laisa emang
sakitnya apaan sih, Mi?"
"Nggak
tahu, Delima—"
Ummi melotot, ia
sibuk membantu sopir mengikat sepeda, Delima justru sibuk bertanya. "Terus
yang Ummi tahu apaan, dong? Payah nih!"
Delima
nyengir, sedikitpun merasa tidak berdosa dengan celetukannya.
Imbalannya lengan
Delima dicubit. Meringis. Dua gadis kecil itu benar-benar menyerupai Ikanuri
dan Wibisana waktu kecil. Bedanya, mereka lebih jago bicaranya, ngeles.
Terlatih. Lah, mereka belajar dari guru terbaiknya: Abi-nya yang sering kasih
contoh di rumah.
Setengah jam berlalu,
mobil kedua melesat menuju perkampungan Lembah Lahambay. Melewati hampir tiga
ratus kilo perjalanan. Kota-kota kabupaten. Kota-kota kecamatan. Pedesaan.
Hutan-hutan lebat. Semak-belukar. Pohon bambu. Perkebunan kelapa sawit. Perkebunan
karet. Padang rumput meranggas. Naik turun lembah. Melingkari bukit barisan.
Sungai-sungai yang meliuk. Persawahan. Menyaksikan monyet yang berani
bergelantungan di tepi-tepi hutan. Satu-dua babi liar yang nekad menyeberangi
jalan aspal.
Itu semua sebenarnya
pemandangan yang menarik, sayang tidak untuk situasi saat ini. Juwita dan
Delima pun sejak separuh perjalanan akhirnya lebih banyak tertidur. Lelah
bertengkar di atas mobil. Bertengkar soal siapa yang akan duduk di
tengah-tengah Eyang dan Wawak Laisa pas makan malam, padahal percuma juga
mereka rebutan sekarang, toh Kak Intan biasanya ngusir mereka dari kursi
strategis itu.
Juwita dan
Delima tertidur dengan wajah polos. Saling memegangi jidat. Bagi mereka, urusan
ini sederhana.
NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 13
No comments:
Post a Comment