25
KAU
TIDAK HARUS MENUNGGU
TETAPI DALIMUNTE
kali ini memutuskan untuk bebal.
Dalimunte tidak mendengarkan kata-kata
Kak Laisa. Dalimunte benar-benar membuat Cie Hui menunggu lama, terlalu lama
malah. Tujuh tahun berlalu. Dan dia belum juga mengatakan perasaan itu. Meski
hampir setiap pulang ke Lembah Lahambay, Cie Hui ikut serta. Bahkan gadis
keturunan yang sekarang sudah berkerudung itu sudah dianggap Mamak menjadi
anggota keluarga.
Lulus
dari institut teknologi ternama itu, Dalimunte melanjutkan sekolah di
universitas terbaik di Amerika. Mendapatkan beasiswa selama tiga tahun untuk
menyelesaikan jenjang doktor ilmu fisikanya. Masa-masa itu bahkan Cie Hui lebih
banyak lagi menghabiskan waktu di perkebunan strawberry. Menginap lama di sana.
Ikut membantu Kak Laisa dan Mamak mengurus kebun. Dua tahun sejak pulang dari
Amerika, dan memutuskan bekerja di laboratorium institut teknologi ternama,
Dalimunte tetap tak kunjung mengatakan perasaannya. Cie Hui hanya bilang,
"Kami hanya teman
biasa, Mak!" setiap kali Mamak atau Yashinta bertanya kapan. "Apa
sebenarnya yang kau tunggu, Dali?"
Itu juga pertanyaan berkali-kali yang disampaikan
Kak Laisa setiap dua bulan jadwal Dalimunte dan yang lain pulang ke lembah. Dan
Dalimunte hanya diam, tidak menjawab.
Tentu
saja Dalimunte amat menyukai Cie Hui. Cinta pertamanya. Tetapi urusan ini tidak
mudah. Pelik. Dia sungguh tidak akan pernah bisa mengambil keputusan sepenting
itu sebelum Kak Laisa menikah. Tabu sekali di lembah itu jika ada adik yang
mendahului kakaknya menikah. Melintas. Akan menjadi gunjingan seumur hidup.
"Kau tidak
harus menunggu aku, Dali!"
Laisa menggenggam erat
lengan Dalimunte. Malam itu, malam yang kesekian mereka berdiri di lereng
lembah, menatap bintang-gemintang. Di antara ribuan polybag strawberry. Malam
itu, umur Kak Laisa sudah tiga puluh tiga tahun, Dalimunte dua puluh tujuh.
Janji kehidupan yang lebih baik di luar lembah sudah sepenuhnya tiba. Dan
kehidupan di lembah sendiri sudah jauh lebih baik dibandingkan masa kanak-kanak
mereka.
Mereka
selepas isya tadi, habis melakukan syukuran besar di rumah. Lulusnya Ikanuri
dan Wibisana. Akhirnya, dua sigung nakal itu menyelesaikan kuliahnya. Warga
kampung berkumpul. Tidak ada lagi wajah-wajah suram habis bekerja seharian,
pakaian seadanya, dan semacam itu seperti mereka sering berkumpul di balai
kampung dulu. Kehidupan di lembah jauh lebih baik sekarang.
"Kami lulus
sarjana saja itu sudah menjadi keajaiban dunia ke delapan dan ke sembilan. Jadi
jangan paksa kami untuk ambil S2 seperti Dalimunte — "
Ikanuri tertawa saat Kak Laisa menyuruh mereka
melanjutkan sekolah lagi. Dan itu benar, beberapa minggu kemudian dari
kelulusan universitas kota provinsi, dua sigung itu lebih memilih sibuk dengan
hobi kecil mereka dulu. Membongkar-bongkar mesin mobil. Mereka sekarang punya
bengkel besar di kota provinsi. Kak Laisa yang memberikan modal.
Sementara Yashinta benar-benar tumbuh menjadi gadis
yang menawan. Cantik luar biasa. Umurnya sekarang dua puluh. Tahun kedua di jurusan
Biologi universitas ibukota. Malam ini ia jug a pulang. Lihatlah, Yashinta,
dengan rambut tergerai panjang, mata hitam indah dan tubuh tinggi semampai,
terlihat seperti bidadari di rumah panggung itu. Amat kontras dengan Kak Laisa.
Gadis itu juga tumbuh dengan pemahaman yang baik atas hidup. Mencintai
kehidupan sekitar.Menghabiskan waktu dengan kegiatan mendaki gunung, menyelami
lautan, konservasi alam. Setiap kali ia pulang, itu saja dengan berhari-hari
menghabiskan waktu di hutan rimba dekat lembah. Menginventarisir satwa di
dalamnya. Hasil jepretan kameranya sudah ribuan lembar. Yashinta amat atletis
untuk urusan ini. Ia bahkan dua kali lebih atletis dibanding Kak Laisa.
"Kau tidak
harus menunggu aku, Dali—"
Kak Laisa menghela nafas panjang. Mengulang
kalimatnya. Memecah lenyap. Mendekap pinggang Dalimunte yang tiga jengkal lebih
tinggi darinya.
Dalimunte
hanya menunduk, menelan ludah. Bagaimanalah? Dulu Kak Laisa bahkan tega
mempermalukan diri sendiri agar adik-adiknya tidak mendapat malu. Kak Laisa
bekerja-keras di masa kecilnya demi adik-adiknya. Bagaimanalah dia sekarang
sampai hati mendahului Kak Laisa? Justru mempermalukan Kak Laisa? Itu akan jadi
aib besar di lembah. Belum menikah di usia tiga puluh tiga tahun saja cukup
sudah membuat tetangga banyak bertanya, apalagi jika adik-adiknya melintas.
"Kau sudah cukup
umur Dali. Punya pekerjaan hebat di ibukota. Cie Hui amat menyukaimu. Kau tahu,
selama ini ia bahkan lebih banyak menghabiskan waktu di sini dibandingkan di
rumah orang tuanya di kota kecamatan, bukan?" Tertawa.
Dalimunte ikut tertawa kecil. Semerbak
wangi perkebunan di malam hari menyergap ujung hidung. Malam sudah amat larut.
Pukul dua pagi. Dia selalu menemani Kak Laisa menghabiskan malam setiap kali
pulang ke lembah. Menatap pemandangan lembah yang indah. Dulu waktu mereka
kecil, Kak Laisa juga suka melakukannya. Dan Dalimunte tahu persis itu.
Dulu Kak Laisa menghabiskan malam dengan
berpikir tentang sekolah adik-adiknya. Bagaimana mencari uang agar adik-adiknya
tidak putus sekolah. Membantu Mamak yang setiap hari terpanggang matahari di
ladang. Sekarang? Dalimunte menghela nafas pelan, Kak Laisa tidak pernah
sekalipun mendapat bagian untuk merasakan bahagia dalam hidupnya. Apa yang
sekarang Kak Laisa pikirkan? Usianya? Kesendiriannya?
"Berjanjilah kau tidak akan membuat Cie Hui
menunggu lebih lama lagi. Berjanjilah, Dali—" Suara Kak Laisa kembali
memecah sepi.Dalimunte hanya menatap senyap hamparan kebun strawberry. Urung
menanyakan hal penting tersebut.
Mobil jemputan kedua tiba di Lembah
Lahambay. Juwita dan Delima berteriak-teriak ribut saat turun. Bertengkar soal
sepeda BMX mereka. Ummi mereka berdua menghela nafas, berusaha melerai.
Kehabisan akal. Gara-garanya sepele, mereka bertengkar soal sepeda siapa yang
duluan harus diturunkan. Tetangga yang sedang berkumpul di beranda rumah
panggung berkerumun, ikut bingung mencari solusinya.
"Lihat,
lihat, Bak Wo Jogar turunkan dua-duanya serempak. Satu-dua-tiga-..."
Bang Jogar tertawa, tangan kekarnya mengangkat kedua
sepeda itu sekaligus dari atas mobil, ikut berseru meningkahi seruan kedua
sigung kecil tersebut. "Nah, adil, kan?"
Juwita dan Delima hanya nyengir. Bilang
terima kasih (setelah dicubit Ummi masing-masing). Mendorong masuk sepeda
mereka ke garasi, sebelah rumah.
Mereka lagi-lagi berisik saat naik ke
rumah panggung. Ribut soal siapa yang duluan salaman dengan Eyang Lainuri dan
Wawak Laisa. Saling dorong saat masuk kamar. Tidak mempedulikan tatapan
tetangga yang sedang mengaji yasin. Tetapi dua sigung kecil itu seketika
terdiam saat melihat ke dalam kamar. Melihat infus, belalai, dan peralatan
medis
Menelan ludah.
Benar-benar terdiam.
Juwita dan Delima malah takut-takut
melangkah masuk. Menatap sekitar penuh tanda-tanya. Aduh, kenapa jadi begini?
Kalau begini mana ada coba acara keliling perkebunan pakai sepeda BMX. Balapan
dengan Wawak Laisa? Lupa dengan pertengkaran mereka barusan. Siapa yang lebih
dulu menyalami Wak Laisa?
Wak Laisa sedang
tidur.
Jatuh tertidur saat Dalimunte
menceritakan penelitian Elektromagnetik Antar Galaksi satu jam lalu. Ia awalnya
berusaha mendengarkan dengan sungguh-sungguh, berusaha untuk mengerti apa yang
sedang dijelaskan Dalimunte, tapi fisiknya semakin lemah, konsentrasinya
menghilang, Laisa akhirnya jatuh tertidur.
Sementara Cie Hui memijat kaki Mamak
yang juga rebahan di kursi panjang dekat ranjang. Mamak juga lelah setelah
hampir seminggu senantiasa terjaga menemani Kak Laisa. Intan masih duduk di
atas ranjang, sebelah Wak Laisa. Menatap wajah wawak-nya yang meski pucat pasi,
begitu tenang dalam tidumya.
Dalimunte menyalami Jasmine dan Wulan.
Menyilahkan mereka mendekat ke ranjang besar tersebut. Bang Jogar menyuruh
beberapa pemuda tanggung membawa plastik tambahan masuk. Dokter memeriksa ulang
panel panel peralatan. Suster menyiapkan beberapa suntikan dan obat.
"Apakah Kak Lais akan baik-baik saja?"
Wulan sambll mendekap kepala Juwita (yang mendadak alim) bertanya lirih.
"Aku tidak
tahu—" Dalimunte menelan ludah.
"Apakah Kak Lais akan baik-baik saja?"
Jasmine mengulang pertanyaan serupa. Lebih lirih. Menggigit bibir.
Dalimunte menggeleng.
Hening sejenak.
"Ikanuri
dan Wibisana sudah di Paris, tadi sempat telepon—" Dalimunte mengangguk.
Memberikan kursi.
Sementara Intan pelan melambaikan
tangannya ke Juwita dan Delima agar mendekat, duduk bertiga di atas ranjang
besar Wak Laisa. Ketiga gadis kecil itu, malam ini untuk pertama kalinya rukun.
Mana pernah coba Intan mau memberikan posisi duduk ke adik-adiknya, selama ini
yang ada juga Intan galak mengusir mereka jauh-jauh!
NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 26
No comments:
Post a Comment