6
BERANG
– BERANG YANG LUCU
"YASH!
BERHENTI SEBENTAR, YASH!!"
Dua rekan Yashinta
patah-patah menuruni bebatuan gunung ketinggian 3000 meter dpl. Yashinta tidak
menoleh. Mata, tangan, kakinya konsentrasi penuh menjejak trek yang
sempit dan
berbahaya.
"YASH,
TUNGGU — " Terus menuruni bebatuan.
"Yash,
kan tidak semua orang seatletis kamu naik-turun gunung! Kalau keseleo.
Benar-benar celaka, tahu!"
Tersengal-sengal.
Yashinta, gadis berambut panjang itu demi mendengar
seruan dengan intonasi setengah memohon, setengah sebal itu, akhimya menahan
langkahnya, menoleh. Berpegangan ke salah satu batu besar. Jurang terjal,
menganga di kiri kanan mereka. Bukan hanya soal keseleo, tapi lalai sedetik
saja, mahal sekali harganya. Bagi kebanyakan orang yang mengerti, sebenarnya
turun dari gunung jauh lebih berbahaya dibandingkan naiknya— apalagi dengan
stamina yang terkuras habis waktu mendakinya.
"Ada
apa, sih?"
Teman cowoknya
bertanya setelah berhasil mendekat. Satu kata, satu tarikan nafas. Hosh, Hosh,
Hosh. Uap mengepul dari mulut. Kedua rekannya membungkuk memegangi perut.
Capai. Gila, mereka lima belas menit meluncur dengan kecepatan tinggi non-stop
dari puncak Semeru.
"Aku harus
pulang!"
"Iya, kami
tahu kau harus pulang, tapi ada apa?"
Yashinta
tidak menjawab, ia malah menurunkan ranselnya. Mengeluarkan botol 500 mili
minuman berion, pengganti keringat. Melemparkannya ke dua rekannya yang masih
tersengal.
"Trims,
Yash." Masih tersengal.
Lengang sejenak. Yashinta (yang sedikitpun tidak
tersengal) memperbaiki posisi peralatan di ransel berukuran semi carrier-nya.
Mengencangkan syal di leher. Angin pagi
bertiup pelan. Terasa
begitu menyenangkan. Membelai anak rambut. Menelisik di sela-sela kuping.
Yashinta mengusap dahinya. Menatap langit pagi yang membiru. Gumpalan halimun.
Ya Allah, ini sama persis seperti di lembah itu. Sama persis.
Lembah itu....
Rasa
haru itu menelisik lagi hatinya. Mengiris membusai perih di mata. Yashinta
mengusap ujung-ujung matanya, Ya Allah, apa yang sebenarnya terjadi? Berpilin.
Berputar. Terlemparkan. Dua puluh lima tahun silam.
Kenangan-kenangan itu kembali sudah.
Di
sini juga angin selalu bertiup menyenangkan. Tidak pagi. Tidak siang. Tidak
juga malam. Tapi sepanjang hari, sepanjang malam. Angin selalu berhembus lembut
membelai anak-anak rambut.
"Masih
jauh, Kak?"
Kaki-kaki
kecil itu menjejak air anak Mingai setinggi mata-kaki. Kecipak-kecipak. Sungai
yang jernih. Di tengah hutan ini ada puluhan cabang anak sungai kecil seperti
ini.
"Masih—"
Tubuh gendut dan gempal yang lima belas senti lebih tinggi dibandingkan anak
kecil di belakangnya menjawab pendek. Burung-burung berhamburan dengan suara
ramai saat dua anak itu membelah jalanan setapak rimba.
"Seberapa
jauh lagi? Lima menit? Sepuluh menit?" kecipak-kecipak. Bebatuan licin
menyembul dari permukaan sungai. "Masih jauh! Dan kau jangan sampai
terpeleset, YASH!"
Suara nyanyian puluhan burung memenuhi langit-langit
hutan. Cahaya pagi menerobos sela dedaunan, menerabas sela-sela putihnya kabut.
Membuatnya seperti mengambang. Bahkan seolah-olah kalian bisa menangkap berkas
cahaya itu. Mereka sejak setengah jam lalu menelusuri hutan. Tangkas yang
satunya, yang berjalan di depan, berjalan sambil menebas ujung-ujung semak
belukar yang menjuntai ke batang sungai, menghalangi mereka.
Kedua anak perempuan
itu sebenarnya berbeda umur cukup jauh. Yang besar sudah sekitar enam belas
tahun, yang kecil baru enam tahun. Tapi karena perawakan yang lebih besar
sepertinya tidak akan tumbuh normal, sebaliknya yang lebih kecil tumbuh lebih
cepat, maka mereka seperti berbeda umur dua-tiga tahun saja.
Mereka lahir disebuah lembah indah yang sempurna
dikepung hutan belantara. Terpencil dari manapun. Dua jam perjalanan dari kota
kecamatan terdekat. Namanya, Lembah Lahambay. Persis di tengah-tengah bukit
barisan yang membentang membelah pulau. Deretan gunung-gunung kecil. Ada
sebelas puncak gunung setinggi 1.500-2.000 meter dpl di kawasan lembah itu.
Terselip disana-sini, ada sekitar empat perkampungan
radius sepuluh kilo di Lembah Lahambay. Berjauhan satu sama lain. Paling dekat
terpisah satu kilometer. Satu perkampungan paling banyak terdiri dari 30-40
rumah panggung. Perkampungan mereka terletak paling tepi, paling bawah,
berbatasan langsung dengan hutan rimba. Tapi meski disekitar kampung banyak
terdapat sungai, celakanya posisi kampung itu tetap lebih tinggi dari manapun.
Sungai besar yang ada di bawah kampung terpisah oleh dinding cadas setinggi
lima meter, yang membuat kampung itu seperti sempurna terpisah dari rimba.
Untuk
menuruni dinding cadasnya saja sudah sulit bukan main. Maka tidak seperti
desa-desa yang lazimnya dekat dengan hutan (yang otomatis berarti dekat dengan
sungai), disini penduduk menanam sawah tadah hujan, bukan bercocok-tanam dengan
sawah irigasi. Mereka hanya berharap pada siklus kebaikan langit. Selebihnya
bekerja mencari rotan, damar, kumbang hutan, hingga belakangan menjual burung,
kukang, jangkrik, dan apa saja yang laku di kota kecamatan.
"Masih
jauh, Kak? Lima menit? Sepuluh menit?" Gadis kecil yang berumur enam tahun
bertanya lagi sambil melepas daun yang tersangkut di rambut.
Laisa
nama kakaknya, kali ini menjawab dengan nada sebal. Itu pertanyaan yang ke dua
puluh sepanjang perjalanan mereka. Adiknya selalu saja suka bertanya.
Berulangkali, Tidak bosan-bosannya. Malah pakai "menit-menitan"
segala. Bisa sabar dikit kenapa!
Lembah Lahambay selalu
terbungkus kabut di pagi hari, ketika kehidupan di rumah-rumah mulai menyeruak
sejak kumandang adzan shubuh dari surau. Asap putih mengepul dari dapur.
Melukis langit-langit lembah. Pertanda kehidupan sudah dimulai.
Satu-satunya akses dari kota kecamatan ke lembah itu
hanyalah jalan bebatuan selebar tiga meter. Di desa atas, satu kilometer dari
kampung mereka, yang penduduknya lebih maju dan lebih berada, ada dua mobil
starwagoon tua yang sering bolak-balik ke kota kecamatan. Terkentut-kentut
membawa hasil kebun, hutan, atau apa saja penduduk lembah tersebut, melewati
jalanan buruk. Naik turun. Di desa atas juga ada sekolah dasar, meski seadanya.
Bagaimana tidak seadanya? Hanya ada satu guru untuk semua kelas. Kelas? Itu bahasa
yang lebih halus untuk menyebut bangunan jelek beratap seng karatan, berdinding
anyaman bambu, berlantai semen pecah-pecah.
Mereka terbiasa dengan semua keterbatasan. Terbiasa
dengan kehidupan terpencil. Jadi wajar sajalah melihat dua anak perempuan
merambah hutan di pagi buta. Pemandangan lumrah di lembah ini! Anak-anaknya
tumbuh dan akrab dengan kehidupan sekitar. Tadi selepas shalat shubuh jamaah,
persis saat perkampungan masih gelap, selepas belajar mengaji Juz'amma dengan
Mamak, Kak Laisa akhirnya bilang akan menemani Yashinta pergi melihat
berang-berang. Kabar yang membuat Yashinta langsung berseru riang tak henti
selama lima menit. Bergegas melepas mukena kumalnya.
Sebulan
lalu saat Kak Laisa membantu Mamak mengumpulkan damar jauh di tengah hutan. Kak
Laisa tidak sengaja menemukan tebat (bendungan) yang dibuat berang-berang.
Hebatnya di sana ada lima ekor anak berang-berang yang sedang berenang. Lucu
sekali melihatnya. Meski kemudian Kak Laisa benar-benar menyesal menceritakan
apa yang dilihatnya kepada Yashinta, apalagi dengan menambahinya dengan
kalimat: lucu sekali melihatnya.
Menceritakan itu ke
Yashinta sama saja dengan mengundang masalah. Maka tak kunjung henti setiap
malam Yashinta merajuk ingin ke sana. Menarik-narik baju gombyor Kak Laisa.
Jengkel. Atau mungkin pula akhirnya lelah dengan bujukan adiknya, pagi ini
Laisa memutuskan mengajak Yashinta untuk melihat langsung. Waktu paling baik
melihat berang-berang adalah pagi hari. Semakin pagi semakin baik.
"Hati-hati,
Lais! Jaga adikmu!"
Mamak Lainuri
berkata tajam dari bingkai pintu. Itu pesan Mamak tadi sebelum berangkat.
"Yash, kan sudah besar, Mak! Tidak perlu dijaga!"
Yashinta yang
justru menjawab, sambil nyengir. Memasang sepatu bot butut miliknya. Juga
caping anyaman di kepala.
"Apa
sih serunya lihat berang-berang? Gitu-gitu saja! Mana ada coba lucunya"
Satu kepala anak lelaki menyembul dari belakang Mamak. Mukanya terlihat jahil.
"Iya, apa coba lucunya!"
Satu
lagi kepala anak lelaki menyusul. Wajah mereka berdua mirip benar. Kompak
seperti biasa, menyeringai nakal ke arah Yashinta.
"Biarin!
Pokoknya lucu!"
Yashinta
cemberut, tidak mempedulikan kedua kakaknya.
"Yang keren
tuh lihat Harimau. Kemarin aku dan Ikanuri sempat lihat satu di atas Gunung
Kendeng—"
"Ah-ya,
harimau. Benar. Itu baru lucu. Malah anak-anknya ada enam, Yash. Lebih banyak.
Lucu-lucu banget— "
"Iya, Kak?
Harimau beneran?"
Gerakan tangan Yashinta
yang sedang mengenakan tas kecilnya terhenti. Matanya membulat. Bertanya
ingin-tahu.
" Wibisana!
Ikanuri!"
Mamak Lainuri
mendesis. Menyuruh dua sigung nakal itu diam.
Kedua anak lelaki itu kompak tertawa.
Nyengir. Jangan pernah cerita sesuatu ke Yashinta. Adik terkecil mereka
benar-benar tipikal anak yang suka penasaran. Ingin tahu segalanya. Tentu saja
mereka tadi hanya bergurau. Seperti biasa mudah sekali menggoda Yashinta. Tapi
Mamak Lainuri tidak suka gurauan mereka. Tidak pantas menjadikan 'harimau'
sebagai bahan bergurau.
"Lais
berangkat, Mak. Assalammualaikum—"
"Waalaikumsalam.
Jaga adikmu. Dan pulang segera, Lais. Hari ini banyak pekerjaan di
ladang!"
Gadis
tanggung berumur enam belas tahun itu mengangguk. Sigap melangkah menuruni anak
tangga. Yushinta langsung ngintil mengikuti. Lihatlah, meski baru enam tahun,
Yashinta benar, ia sudah cukup besar untuk urusan ini. Tangkas menjejak rumput
yang masih berbilur kristal embun. Tubuhnya meski terlihat kecil dan ringkih,
tidak kalah atletisnya dibanding Kak Laisa yang gendut dan gempal.
Hutan, semakin lama semakin lebat.
Hiruk-pikuk burung memenuhi atas kepala semakin
ramai. Seperti orkestra. Ada yang berdengking, berkicau, bernyanyi, bahkan ada
yang seperti ngoceh tanpa henti. Itu burung si penggosip. Sibuk bicara, meski
tidak penting. Dengking uwa (semacam monyet) dari kejauhan menimpali. Kuak
suara ayam hutan. Nyamuk besar-besar berdesing di atas kepala. Sarang
laba-laba. Mereka sudah berjalan hampir satu jam. Menyusuri jalan setapak yang
kadang ada, kadang hilang di tengah hutan.
"Masih
jauh, Kak?"
Kak
Laisa tidak menjawab. "Masih jauh, Kak?"
"Ssst—"
Kak Laisa menghentikan langkahnya.
Yashinta
yang sedikit kaget karena Kak Laisa berhenti mendadak, memegang lengan Kak
Laisa dari belakang. Ingin tahu. Menyeruak ke depan. Tapi Kak Laisa malah
menahan kepalanya. Mendelik menyuruhnya tetap di belakang. Dan tentu saja
memberi kode: jangan berisik. Mereka sejak lima belas menit tadi sudah turun
dari jalan setapak, menyusuri sungai kecil berbatu-batu itu.
Kak Laisa melanjutkan
langkahnya pelan-pelan. Yashinta mengerti, tidak perlu dijelaskan dua kali,
ikut melakukannya. Menghilangkan suara kecipak kaki di atas air. Lima belas
meter. Kak Laisa melangkah mengendap-endap menaiki tepi sungai. Yashinta tanpa
banyak bicara ikut. Kalau sudah begini, berang-berang itu pasti sudah dekat,
deh. Yashinta nyengir lebar. Juga ikut mendekam di balik sebatang pohon besar,
di belakang Kak Laisa.
"Di depan
sana—" Kak Laisa berbisik.
Wajah Yashinta sudah
merah saking antusiasnya. Ia melapas caping anyamannya (kepalanya gerah) lantas
merangkak mengintip dari balik batang besar itu. Mana? Mana? Mana? Suara getas
ranting patah terdengar. Kak Laisa meucubit lengannya.
"Jangan
berisik!" Mendesis.
Yashinta
manyun sebentar. Kan tidak sengaja. Merangkak lebih hati-hati. Memperhatikan
tempat yang ditunjuk Kak Laisa. Memang ada bendungan tiga-lima meter di depan
mereka. Bendungan dari batang roboh yang persis melintang di tengah sungai.
Yang sekarang dipenuhi dedaunan, ranting-ranting, dan tanah liat.
Mana anak berang-berangnya? Yang ada hanya dua ekor
burung Meninting. Sibuk bercengkerama di atas bebatuan. Loncat-loncat.
Mengembangkan sayap indah hitam bergaris-garis putih milik mereka. Saling
menggoda.
Saat
Yashinta siap mengeluh ke Kak Laisa sekali lagi. Bertanya man-na anak
berang-berangnya. Pelan terdengar suara kecipak dari pohon roboh di
tengah-tengah bendungan. Splash—
Aih! Mata
Yashinta langsung melotot. Membesar. Splash. Splash. Splash—
Yashinta berseru tertahan.
Sekali lagi dicubit Kak Laisa.
Untung seruan itu tidak terlalu keras.
Jadi tidak ada yang terganggu. Gadis kecil itu mendekap sendiri mulutnya.
Menyeringai cemberut, menoleh ke arah Kak Laisa yang nyengir galak.
Splash— Itu
suara berang-berang ke lima yang meluncur ke dalam kolam bendungan buatan
mereka. Bukan main, lima anak berang-berang itu meluncur anggun. Naik turun.
Kepalanya celap-celup. Satu-dua jahil mengejar ikan-ikan kecil yang banyak
berkeliaran di sela-sela mereka. Celap-celup. Sungai itu jernih. Jadi Yashinta
bisa melihat hingga ke bebatuan dasarnya. Dua ekor kepiting yang tadi nangkring
di pinggir kolam sungai segera menyingkir. Juga menyingkir sekumpulan udang
yang sedang berjemur di bonggol kayu. Menyisakan burung Meninting yang terus cuek
berloncatan da atas batu, tidak peduli dengan lima anak berang-berang. Mulut
Yashinta terbuka. Terpesona.
Kak Ikanuri dan Kak
Wibisana salah seratus persen, deh! Kata siapa anak berang-berang tidak lucu?
Yashinta sekarang saking gemasnya malah sudah merangkak keluar dari balik
batang, ingin melihat lebih dekat. Laisa hendak menarik tasnya, mencegah. Tapi
demi melihat ekspresi muka Yashinta yang begitu sumringah, urung. Ia tidak
ingin menganggu kesenangan adiknya. Akhirnya hanya tersenyum tipis, membiarkan.
Itu sungguh senyum pertamanya sepanjang pagi ini, atau juga sepanjang minggu
ini sejak Yashinta menyebalkan selalu merajuk minta diantar.
Ah, Kak Laisa memang jarang tersenyum.
Berang-berang itu terus berkejaran di beningnya air
kolam. Uap mengepul dari inang sungai. Suara lenguh uwa terdengar dari
kejauhan. Kicau ramai burung-burung, Matahari pagi semakin terik. Permainan
cahayanya dari sela dedaunan yang memantul di beningnya air bendungan terlihat
memesona. Pagi yang indah. Benar-benar pagi yang indah di Lembah Lahambay.
Menyaksikan sendiri lima anak berang-berang berenang, saling bercengkerama,
persis dari bibir kolam bendungannya. Menyaksikannya dari jarak sepelemparan
batu saja.
Itu sungguh hanya ada dalam mimpi
berjuta orang....
Ada apa?
Yashinta menyeka matanya
yang basah. Menatap datar kedua temannya yang nafasnya sudah kembali normal.
Dingin angin pagi menyergap lereng Gunung Semeru. Cahaya yang menembus kabut
terlihat menawan. Yashinta menarik nafas pelan. Ia tidak tahu apa yang telah
terjadi. Tepatnya belum. Yang ia tahu, ia harus pulang segera. SMS itu amat
mencemaskan.
Terlebih tiba-tiba
semuanya terasa ganjil. Sesak. Kenangan itu kembali bagai tontonan audio-visual
dari layar teve LCD sejuta pixels. Begitu nyata. Begitu dekat. Seolah ia bisa
menyentuhnya. Menyentuh wajah Kak Laisa yang pagi itu tersenyum tipis....
"Ada
apa, Yash?" Teman ceweknya bertanya lagi.
"Aku
harus pulang!" Yashinta menjawab pendek, menaikkan kembali ransel ke
pundaknya. Meneruskan langkah.
No comments:
Post a Comment