23
JANGAN
HINA KAKAKU
"KAK LAIS bilang aku bisa sekolah di mana saja.
Aku tidak mau sekolah di sini. TIDAK MAU!" Yashinta merajuk. Matanya
melotot.
Laisa mencengkeram
lengannya. Bersitatap satu sama "YASH TIDAK MAU SEKOLAH DI SINI!"
Laisa tidak
mengendurkan cengkeramarmya.
"Yash tidak mau
sekolah di sini... Yash mohon, jangan paksa Yash..." Yashinta mulai
menangis. Tertunduk.
Laisa menelan ludah. Lembut menatap
wajah adiknya.
Ia
baru saja mengantar Yashinta mendaftar sekolah di kota kecamatan. Setahun lagi
berlalu. Sekarang giliran Yashinta. Tadi semangat sekali berangkat menumpang
truk angkutan strawberry. Semangat melihat hamparan luas halaman sekolah
lanjutan pertama itu. Di sini pula Ikanuri dan Wibisana sekolah. Kelas tiga.
Sedangkan Dalimunte sudah melanjutkan sekolah di kota provinsi. Meski tidak
juara, lomba karya ilmiah, itu memberikan kesempatan meneruskan sekolah di sekolah
lanjutan atas terbaik kota provinsi. Beasiswa.
"Yashinta marah
dengan orang di dalam tadi?" Yashinta diam, Menggigit bibimya. "Yash
marah?"
Yashinta mengangguk. Pelan. Bagaimanalah ia tidak
akan marah. Ketika formulir pendaftarannya akan ditandatangani Kak Laisa,
petugas itu kasar menegur,
"Harus orang tua
atau wali murid yang menandatangani, bukan pembantu yang mengantar—"
"Ia kakakku—" Yashinta yang menjawab.
"Bagaimana
mungkin ia kakakmu?" Petugas itu menatap keheranan.
Lihatlah, Yashinta yang bongsor sejengkal lebih
tinggi dibanding Kak Laisa. Apalagi wajah Yashinta yang amat manis.
Dibandingkan dengan adiknya, Kak Laisa memang lebih mirip seseorang yang
disuruh mengantar.
"Ia kakakku—"
Yashinta menjawab ketus, tersinggung dengan tatapan petugas. Meski umurnya baru
dua belas tahun, Yashinta mengerti benar soal beginian. Soal tatapan mata
seperti ini. Kalimat-kalimat seperti ini. Ia berkali-kali mengalaminya.
"Kakakmu?
Kalian sungguh berbeda. Ia lebih pend... Baiklah-"
Maka
Yashinta merajuk, berlari ke luar ruangan pendaftaran. Melempar formulir
pendaftarannya. Tidak. Tidak ada yang boleh menghina kakaknya. Ia tidak akan
sekolah di sini. la bisa sekolah di mana saja ia mau, tapi bukan di sini.
"Yash seharusnya tidak
marah. Yash seharusnya terbiasa" Kak Laisa duduk di sebelah. Ikut
bersandarkan kursi panjang. Menghela nafas.
Mendekap bahu
adiknya.
Yashinta hanya diam. Meletakkan tas
barunya.
Minggu lalu, dan juga minggu-minggu
lalunya, waktu ia bermain-main bersama anak tetangga di lembah, beberapa remaja
tanggung juga seringkali menunjuk-nunjuknya. Berbisik. Tertawa. Yash tahu apa
yang sedang mereka bicarakan. Mereka pasti senang membanding-bandingkan ia dengan
Kak Laisa. Maka marahlah Yashinta. Melempar mereka dengan butiran tanah.
Berteriak-teriak. Membuat Wak Burhan yang kebetulan lewat terpaksa turun
tangan.
"Mereka
menghina Kak Lais, Wak!" Yashinta mengadu marah.
Wak Burhan mengusap rambut panjang Yashinta.
Tersenyum bijak. Sejak dulu, anak-anak kampung memang suka memperolok-olok
Laisa. Hanya saja karena Yashinta masih terlalu kecil sajalah, hingga Yashinta
tidak menyadarinya. Remaja-remaja tanggung itu sedang senang-senangnya rumpi.
Mengolok-olok. Laisa yang berbeda dengan anak-anak Mamak Lainuri lainnya. Laisa
yang berbeda dengan penduduk kampung lainnya. Bahkan sekali-dua meski dengan
intonasi berbeda orang dewasa di lembah itu juga suka membicarakan Laisa yang
belum menikah-menikah juga, Wak Burhan malah juga pernah berkunjung, berbicara
dengan Mamak Lainuri soal kenapa Laisa belum menikah.
"Yash seharusnya
terbiasa. Lihat, Ikanuri dan Wibisana terbiasa. Dalimunte juga terbiasa—"
"Tapi mereka menghina Kak Lais!" Yashinta memotong.
" Mereka
hanya merasa heran—"
"Mereka menghina.
Yash tidak suka. Pokoknya Yash tidak suka. Yash tidak mau sekolah di
sini!" Yashinta menjawab ketus.
Laisa tersenyum.
Suka atau tidak, mau atau tidak,
Yashinta harus membiasakan diri. Seperti Ikanuri dan Wibisana yang tidak peduli
dengan olok-olok itu. Atau seperti Dalimunte yang memang tidak pernah
mendengarkan sedikitpun olok-olok tersebut. Karena tidak ada gunanya.
Tidak ada
manfaatnya.
Adiknya Yashinta
harus (segera) terbiasa....
NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 24
No comments:
Post a Comment