30
PERJODOHAN
– PERJODOHAN
"INTAN,
ajak adik-adikmu!" Cie Hui berkata pelan.
Intan
tak perlu disuruh dua kali, menggamit tangan Juwita dan Delima. Turun dari
tempat tidur. Itu kamar mereka bertiga. Kamar terluas di rumah panggung
perkebunan strawberry, lantai dua. Ada tiga tempat tidur yang berjejer di
dalamnya. Dulu hanya satu ranjang besar, tapi karena Intan, Juwita dan Delima
sibuk bertengkar saat tidur, sibuk saling memukul guling, Wawak Laisa
menggantinya dengan tiga ranjang kecil. Masing-masing satu (yang tetap saja
percuma, masih tetap sibuk saling melempar bantal sebelum tidur )
Shubuh
sekali lagi datang di Lembah Lahambay. Semburat jingga tipis menghias garis
horizon lembah. Semalam, lepas satu jam menunggui Wawak Laisa yang tertidur,
Cie Hui menyuruh mereka beranjak tidur. Satu dua tetangga juga mulai pamit.
Malam beranjak semakin tinggi. Pengajian Yasin di ruang depan dan surau
dihentikan, besok disambung lagi. Penduduk kampung yang duduk-duduk di kursi
halaman bertahan beberapa jam lagi. Bang Jogar menyuruh mereka pulang saat
menjelang tengah malam.
Dalimunte menunggui Wak Laisa di kamar.
Tertidur di kursi sebelah ranjang. Eyang Lainuri dibimbing Wulan dan Jasmine
beranjak ke kamar. Tidur. Eyang Lainuri terlalu lelah. Sudah seminggu terakhir
kurang tidur menunggui Kak Laisa bersama dokter dan perawat. Malam ini ia bisa
tidur lebih baik. Dalimunte yang menggantikan berjaga. Kata dokter
selepas memeriksa
seluruh status peralatan pukul sepuluh malam, Wak Laisa baik-baik saja. Semua
fungsi tubuhnyn terkendali. Intan hanya menguap sok mengerti, sementara Juwita
dan Delima sudah jatuh tertidur. Digendong Ummi masing-masing ke kamar besar di
lantai dua.
Cie Hui menyerahkan tiga mukena kecil.
Ketiga gadis kecil itu sudah kembali dari kamar mandi. Wudhu. Biasanya setiap
jadwal pulang, paling susah membangunkan Juwita dan Delima. Mereka selalu saja
pura-pura tidur, menaruh bantal di kepala, bergelung dibalik selimut, dan trik
macam Abi nya dulu. Tapi pagi ini mereka bangun tepat waktu seperti yang lain.
Menurut saat diajak Intan ke kamar mandi. Dan tidak banyak bicara saat
mengenakan mukena (tidak jahil saling tarik, berisik). Wajah-wajah basah. Shalat
shubuh. Dalimunte, Mamak Lainuri, dan yang lain sudah duduk menunggu.
Shubuh yang menyenangkan. Udara pagi
terasa sejuk. Di surau entahlah siapa yang sedang mengumandangkan adzan. Tidak
ada lagi suara keras Wak Burhan. Sudah sejak lama pula penduduk kampung dan
anak-anak tidak perlu lagi membawa obor ke surau.
"Ummi, Wak
Laisa shalatnya gimana?"
Juwita bertanya pelan sambil melipat mukena, selesai
shalat. Kan, biasanya Wak Laisa ikut mereka, berjejer di sebelah Eyang.
Biasanya juga selepas shalat Wak Laisa suka bercerita tentang sahabat-sahabat
Nabi. Bercerita apa saja. Sekarang Wak Laisa kan sakit parah? Shalatnya pasti
susah.
"Wak Laisa shalat
sambil berbaring, sayang." " Emangnya boleh, ya?"
Juwita melipat dahi. Jasmine mengangguk. Meski
kemudian pelan menghela nafas. Tentu Juwita sedikit kesulitan bagaimana
membayangkan shalat seperti itu. Dan akan lebih susah lagi membayangkan
bagaimana sulitnya Kak Laisa shalat dengan kondisi tubuh yang amat menyedihkan.
Dibalut infus dan belasan belalai plastik.
Tetapi mereka benar-benar terkejut, saat
beranjak ke kamar perawatan Wak Laisa. Lihatlah, Wak Laisa ternyata shalat
sambil duduk. Bersandarkan bantal-bantal. Wajah itu pucat, terlihat lemah, dan
sedikit gemetar, tapi matanya. Matanya terlihat begitu damai.
Wak Laisa shalat shubuh sambil duduk.
Selepas
kejadian malam itu, Dalimunte tidak patah arang meski perjodohan dengan kakak
kelasnya gagal total. Kak Laisa meski sekali dua bilang, Dali tidak perlu
memaksakan diri mencarikan jodoh buatnya, mengalah. Membiarkan Dalimuinte yang
justru semakin hari semakin terlihat semangat,
"Kakak sendiri yang bilang jodoh itu di tangan
tangan Alloh. Hanya soal waktu. Jadi biarkan Dali terus berusaha. Semoga
akhimya jodoh kakak datang." Kak Laisa hanya mengangguk.
Namun sepertinya semua upaya Dalimunte
akan sia-sia. Kali ini Dalimunte memutuskan untuk tidak mengajak yang
bersangkutan ke Lembah Lahambay sebelum memastikan banyak hal. Dalimunte
memulainya dengan mencari seseorang yang dia pikir cukup baik dan memadai untut
Kak Laisa. Menjelaskan Kak Laisa dengan baik dan lengkap Memperlihaikan foto.
Terhenti. Proses itu diulang lagi. Mencari seseorang yang dia pikir cukup baik
dan memadai untuk Kak Laisa. Menjelaskan siapa sebenarnya Kak Laisa dengan baik
dan lengkap. Memperlihatkan foto. Terhenti. Mencari seseorang yang dia pikir
cukup baik dan memadai untuk Kak Laisa...
Enam
bulan berlalu. Tetap sia-sia. Belum ada hasil Proses itu selalu terhenti. Enam
bulan berlalu lagi.
Sekarang
giliran Yashinta yang lulus dari kuliah S1-nya. Kabar baik berikutnya di lembah
indah mereka. Siang itu Mamak Lainuri, Dalimunte, Cie Hui, Ikanuri, dan
Wibisana duduk di kursi baris terdepan. Berjejer. Menatap bangga Yashinta yang
begitu cantik dengan toga wisudanya. Hari itu resmi sudah menjadi harinya
Yashinta. Ia lulus dengan predikat cumlaude, terbaik. Menjadi wakil
wisudawan saat memberikan sambutan.
"Untuk Mamak, yang
setiap malam berdoa buat Yash dan kami.... Yang doanya mungkin saja telah
membuat langit diaduk-aduk...." Gadis cantik itu mulai tersendat, ia tiba
di penghujung sambutannya,
"Untuk Kak Dalimunte yang selalu menjadi
teladan, mengajarkan proses belajar, mengajar, mengajarkan tentang
ketekunan.... Untuk Kak Ikanuri dan Kak Wibisana yang meski nakal, selalu
dimarahi Mamak, namun memberikan pemahaman ke Yash tentang menjalani hidup
dengan rileks dengan indah" Gadis itu tertawa, menyeka matanya.
"Dan...
dan..." Yashinta terdiam. Tersendat
Dalimunte yang tahu
kalimat apa yang akan disampaikan Yashinta sekarang, menggenggam tangan Kak
Laisa yang duduk di sebelahnya. Menatap wajah Kak Laisa yang juga menangis
tertahan melihat Yashinta berdiri di panggung Wisuda.
"Dan untuk Kak
Laisa...." Yashinta terbata, "Untuk Kak Laisa yang telah mengorbankan
seluruh hidupnya demi kami... Yang selalu mengajarkan makna kata bekerja keras,
bekerja keras.... Yang demi Yash, demi Kak Dalimunte, demi kami semua... dulu
memutuskan berhenti sekolah.... Untuk Kak Laisa yang selalu menepati janji...
tidak perah datang terlambat buat kami.... Kami, kami tidak akan pernah melihat
Kak Laisa berdiri di sini, tapi bagi kami, Kak Laisa-lah yang selalu berdiri di
sini...."
Aula besar itu lengang. Tidak ada yang
tahu siapa sesungguhnya Kak Laisa. Apa perannya datam cerita yang disebutkan
Yashinta. Tapi ucapan itu amat tulus, dari hati yang menjadi saksi langsung
atas masa lalu tersebut. Maka sempurna sudah kalimat Yashinta membuat yang lain
tersentuh. Menggantung di langit-langit ruang wisuda. Kak Laisa mengusap
pipinya yang basah.
"Terima kasih.... Terima kasih karena Kak Lais
dulu telah mengajak Yash melihat lima anak berang-berang itu....
Sungguh...." Dan Yashinta tidak kuasa lagi melanjutkan kalimatnya.
Melangkah turun. Sedikit berlari menuju kursi Mamak dan Kak Laisa. Memeluk Kak
Laisa dan Mamak erat-erat. Menciumi rambut gimbal Kak Lais.
Berang-berang itu selalu penting
baginya. Enam bulan kenudian, Yashinta akan melanjutkan studi S2-nya di Eropa.
Ia mendapatkan beasiswa penelitian konservasi ekologi, bahkan beasiswa itu
ditawarkan saat Yashinta masih menulis tugas akhir kuliah Sl-nya. Kecintaannya
atas alam tumbuh subur sejak melihat anak berang-berang tersebut. Dan sejak
kecil Yashinta sudah belajar dari guru terbaiknya soal mengenal alam.
"Kalau dulu kita
yang mengajak Yash ngelihat anak harimau di Gunung Kendeng, pasti tadi juga
disebut-sebut, Ikanuri nyengir, tertawa kecil melihat Yashinta yang masih
mememeluk Kak Laisa.
"Yap! Bisa jadi lebih lebih mengharu biru dari
ini kalimat-kalimatnya. Harimau ini, kan. Lebih keren dibanding
berang-berang."
Wibisana
menimpali, dengan wajah sok serius Mengangguk-anguk.
Dalimunte menyikut dua sigung yang tidak kecil lagi
itu. Tapi Mamak dan Kak Laisa ikut tertawa.
Benar-benar terlupakan masa-masa delapan
belas tahun silam. Hari ini, Yashinta bukan gadis kecil berkepang umur enam
tahun lagi. Saat ini umurnya sudah dua puluh empat, dan Yashim tumbuh menjadi
gadis yang cantik menawan. Lihatlah, lepas prosesi wisuda itu, ada banyak
sekali teman lelaki Yashin yang pura-pura mengajak foto bersama,
"Buat kenangan
terakhir, Yash!" atau seruan ragu-ragu dari wajah merah mereka,
"Ah-ya, boleh aku minta nomor teleponmu?" Yashinta hanya melotot.
Saat
itu tidak ada yang tahu, kalau bertahun-tahun terakhir Yashinta amat membenci
kelakuan teman lelakinya sibuk mencari perhatian. Apakah mereka akan tetap
sibuk mencari perhatian jika wajah dan fisiknya seperti Kak Laisa?
Omong-kosong. Mereka tidak benar-benar menyukai dirinya.
Menyukai apa-adanya.
Mereka hanya menyukai tampilan fisik dan wajah. Seperti seekor lebah tertarik
atas indahnya kelopak bunga. Seperti seekor rubah yang tertarik pasangannya
karena bau tubuhnya. Maka hewan-lah sejatinya perangai mereka. Beruntung, tidak
ada yang terlalu memperhatikan tatapan benci Yashinta.
Perkebunan strawberry malam itu terang
benderang.
Kak Laisa sama seperti saat kelulusan
Dalimunte, Ikanuri dan Wibisana, merayakan kelulusan Yashinta di hamparan
halaman rumah pangung. Mengundang tetangga. Semua berkumpul. Meriah. Meja-meja
panjang tersusun rapi. Kursi-kursi dipenuhi wajah riang. Makanan terhampar....
Hingga pukul sembilan ketika anak-anak mulai lelah berlarian, ketika malam
beranjak matang, keramaian mulai berkurang. Tetangga satu persatu beranjak
pulang. Menatap Mamak dan Kak Laisa dengan tatapan kagum dan hormat. Lihatlah,
anak-anak di keluarga ini berhasil menyelesaikan sekolah tingginya.Sarjana,
Dalimunte malah lulusan S3, doktor, sekolah luar negeri. Tidak pernah
terbayangkan, anak-anak yatim, yang sejak kecil ditinggal Babak karena mati
diterkam harimau sekarang sudah besar-besar, berpendidikan.
Wak Burhan yang terlihat paling bahagia.
Menebar senyum. Menepuk bahu Dalimunte berkali-kali, berkata lebar,
" Aku sudah
menduga. Aku sudah menduganya dari dulu!"
NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 31
No comments:
Post a Comment