Persyarekatan
Bangsa-Bangsa
Einstein
kedua dalam hidupku—yang mengenalkanku
pada
diriku sendiri—adalah tokoh legendaris ini: Mak
Birah,
dukun beranak kampung kami.
"Waktu
kau lahir, Ikal....
"Nyalo."
Nyalo, tak lain ucapan terakhir yang dipakai orang Melayu
jika
kehabisan kata untuk melukiskan dahsyatnya
angin,
gemuruh hujan, dan gempita petir.
"Tengah
malam pula...."
Mengapa
alam bergelora menyambutku? Tak jelas,
yang
pasti hanya saat itu ibuku senewen ingin anak perempuan.
Ibu
sudah bosan setiap hari dikerubuti laki-laki:
ayahku
dan empat orang abangku yang cenderung mengacau.
Tertekan
batinnya mengurusi makhluk yang secara
alamiah
punya ego lebih besar dari tubuhnya sendiri. Ibu,
yang
berteori bahwa seni pengelolaan rumah tangga terletak
pada
anak perempuan, mengaku lambat laun terkorosi
jiwanya,
sebab bujang-bujang di rumah kami hanya bisa diredam
dengan
menerapkan manajemen mandor kawat.
Dulu,
setelah mendapat anak lelaki pada persalinan
pertama,
Ibu tersenyum pahit mendengar Mak Birah meneriakkan
Bujang! pada persalinan kedua. la bersalin lagi, Mak
Birah
memekik: Nomor tiga! Bujang lagi! Persis teriakan panitia
penghitungan
suara. Namun Ibu, yang besar dalam penindasan
Jepang
sehingga menjadi pribadi yang liat, tak sudi takluk
meski
Mak Birah, lagi-lagi, berseru bujang
pada persalinan
keempat.
la pantang menyerah sebelum Mak Birah berteriak
dayang!
"Persalinan
kelima ...," cerita Mak Birah.
"Bahkan
ibumu sudah menyiapkan nama anak perempuan."
Nama
itu, Nur Tantiana Wassalam. Nur adalah cahaya.
Tantiana dari bahasa Melayu pedalaman, tanti', artinya ditunggu-
tunggu. Wassalam, ya wassalam.
Secara halus, nama
itu
berarti cahaya terakhir yang telah lama
ditunggu-tunggu.
Hari
persalinan tiba. Mak Birah selalu menceritakan ini
setiap
aku mengantar tembakau untuknya.
"Ibumu,
perempuan yang keras pendiriannya....
"Kau
tahu, Ikal? Tanggal 23 Oktober waktu itu, pukul
setengah
dua belas malam, hujan lebat. Sudah satu jam ibumu
sakit
perut, tapi tak sedikit pun ia mau mengejan."
Perempuan
tua temperamental itu meninggikan suaranya.
"Kupaksa
berkali-kali ia mengejan, dilawannya semua
Andrea
Hirata 14
perintahku!
Ibumu tersengal-sengal, matanya melotot melihat
jam
weker.
"Jam
weker! Masya Allah! Jam weker! Aneh, bukan?!"
Tembakau
yang tadi kuberikan tak dilinting Mak Birah
tapi
diremasnya menjadi bola kecil dan dibelesakkannya
ke
dalam geraham. Artinya, ia sedang serius.
"Tak
ada yang paham apa mau ibumu!"
Cerita
makin seru.
"Hampir
pukul dua belas malam, ketubannya pecah!
Ibumu
megap-megap tapi masih berkeras tak mau mengejan!
Matanya
tak berkedip mengawasi jam weker! Bibibibimu
tak
dapat membujuknya agar mengejan, keadaan
sudah
gawat, kami cemas bukan buatan!
"Kuhardik
ibumu: 'Nyi! Mengapa kaupandangi terus
jam
weker itu?! Kau mau melahirkan tidak?!'
"Ibumu
tak peduli! Sama sekali tak peduli! Dianggapnya
angin
saja gertakku!
"Itulah
kalau kau mau tahu watak ibumu! Keras seperti
kawat!
Aku marah besar!"
Aku
tegang menyimak.
"Kumarahi
lagi ibumu: 'Apa maumu Nyi?! Keluarkan
bayimu!
Sekarang!'
"Ibumu
pucat, kehabisan napas, tapi masih membatu!
"Air
ketuban bersimbah-simbah, aku panik, habis sudah
kesabaranku!
"Apa
kau mau mati, Nyi!?'
"Ibumu
tersentak, ia menatapku, tajam sekali."
15
EDENSOR
Dan
inilah bagian yang paling kusukai dari seluruh
cerita
ini.
"Sambil
terengah ibumu membentakku: 'Kautengok
baik-baik
jam weker itu, Rah! Tunggu sampai jarum panjangnya
lewat
angka dua belas! Aku ingin anak ini lahir
tanggal
24 Oktober! Tidakkah kaudengar maklumat di
radio?!
Dua puluh empat Oktober adalah hari berdirinya
Persyarekatan Bangsa-Bangsa, PBB! Hari yang penting! Aku
mau
anak ini jadi juru pendamai seperti PBB!'"
Pukul
dua belas malam lewat sedikit, bayi itu lahir,
sungsang,
kakinya lebih dulu. Baru setengah tubuhnya di
alam
bebas, lewat paha sedikit, bahkan sebelum matanya
melihat
dunia, demi mengecek propertinya, Mak Birah
bersorak.
"Nomor
lima! Bujang!"
Andrea
Hirata 16
No comments:
Post a Comment