41
MASA
- MASA BERBAIKAN
"BAGAIMANA kabar
bayi-bayinya?" Goughsky bertanya, suaranya pelan. Sengaja, biar tidak
mengganggu pengamatan. Berdua berdiri di atas menara intai setinggi dua belas
meter. Ada sepuluh menara seperti itu di Taman Nasional Gunung Gede,
masing-masing berjarak seratus meter. Menyeruak di tengah-tengah rimba, di atas
kanopi pepohonan. Dibangun dengan dana dari Mr dan Mrs Yoko. Tempat yang paling
tepat untuk mengintai elang jawa.
"Apa?"
Yashinta menoleh. Meski suaranya juga pelan, tapi intonasinya tetap ketus. Ia
sebal sekali, setelah cuti dua minggu yang menyenangkan di perkebunan, saat
kembali ke basecamp, siang ini, di jadwal pembagian tugas mengintai mereka
tertulis: Goughsky &
Yashinta, menara 9. Itu
pasti kerjaan rekan peneliti lokal yang bertugas menyusun jadwal. Sengaja
benar. Lihatlah, dari beberapa menara di kejauhan, beberapa kolega peneliti
melambai-lambaikan tangan. Tersenyum. Mengacungkan jempol. Terlihat jelas wajah
puas mereka dari teropong.
"Apa kabar
bayi-bayinya?" Goughsky tersenyum, mengulang pertanyaan.
"Baik!" Yashinta menjawab
pendek. Menyeringai. Sejak kapan mahkluk setengah bule setengah melayu ini
bertanya soal pribadi? Sambil tersenyum pula? Yashinta mendesis sebal dalam
hati. Itulah tabiat keras kepala, jelas-jelas sejak dulu Goughsky selalu peduli
dengan anggota timnya, dan selalu tersenyum saat bicara.
"Pasti
salah satu nama anak itu Delima, bukan?" "Bagaimana kau tahu?"
Yashinta melipat dahinya. Goughsky tertawa pelan, mengangkat bahu,
"Yang
memberikan nama pasti Laisa, kan? Anak Profesor Dalimunte kalau tidak salah,
Intan. Jadi mudah ditebak, Laisa sejak awal sengaja memberikan nama-nama batu
permata ke mereka!"
"Kau tahu
dari rnana anak Kak Dali bernama Intan?" Yashinta benar-benar melipat
dahinya. "Ssst!" Goughsky menyuruhnya diam. Dari kejauhan terlihat
seekor burung terbang rendah. Teropong-teropong terangkat. Juga milik peneliti
di menara lainnya. Bukan. Itu bukan elang jawa.
"Dari
mana kau tahu Kak Laisa? Kak Dali? Intan?"
Yashinta melepas
teropongnya. Bertanya sekali lagi. Menyelidik.
"Loh, bukannya kau sendiri yang sering menceritakan
mereka? Keluarga di lembah indah itu? Sibuk bercerita saat makan malam, makan
siang, sarapan. Di mana saja. Membuat yang lain pekak mendengarnya. Tentu saja
aku tahu—"
"Tapi, tapi aku tidak bercerita
untukmu." Yashinta memotong, seperti biasa ngotot. Goughsky hanya tertawa,
menatap Yashinta lamat-lamat. Yang bagi Yashinta tatapan itu
sama
saja seperti kemarin-kemarin: merendahkan, menilainya anak kecil yang keras
kepala. "Yash, aku tidak tahu mengapa kau sebenci itu kepadaku.... Aku
tadi kan hanya bertanya baik-baik, apa kabar bayi Ikanuri dan Wibisana? Kau
tidak perlu ketus, bukan?"
"Siapa
pula yang ketus?" Yashinta menyergah.
Goughsky menghela
nafas. Sudahlah. Memasang teropongnya. Kembali menyapu langit hutan Gunung
Gede. Penelitian mereka sudah separuh jalan. Sudah berhasil menginventarisir
jumlah populasi elang langka tersebut. Bulan depan sudah mulai masuk ke fase
lebih penting. Menyiapkan system perlindungan. Mulai dari pemetaan area
konservasi, sosialisasi kepada penduduk setempat, hingga kemungkinan mengembang
biakkan burung itu di luar ekosistem hutan ini. Membawa beberapa pasangan ke
kebun binatang yang lebih maju misalnya.
Hingga
sore, tidak ada satupun elang jawa yang teramati dari menara 9. Nihil.
Bagaimana akan dapat? Jika Yashinta hanya sibuk menyumpah-nyumpah dalam hati.
Yashinta ingat sekali, pertama kali menara itu didirikan, Goughsky memberikan
latihan tentang insting, bagaimana menemukan elang-elang itu:
"Kita
tidak menemukan mereka.... Merekalah yang akan menemukan kita.... Berlatihlah
mengenali objek dengan baik. Mengenali ciri-ciri fisik elang jawa dengan
sempurna. Kesempatan melihat mereka terbang di langit hanya beberapa detik, dan
kita tidak mau menjadi orang paling tolol karena ragu-ragu apakah itu elang
jawa atau bukan. Kecuali kalian bisa menyuruh elang itu untuk pose di langit
sana, lantas kalian mencocokkannya dengan gambar di buku—"
Yang lain sih tertawa, asyik
mendengarkan Goughsky dengan tatapan terpesona. Yashinta hanya menatap sebal.
Ia tidak perlu diajari soal itu. Sejak kecil ia terlatih di hutan. Belajar
langsung dari ahlinya. Tahu apa coba mahkluk setengah bule ini soal rimba?
"Tentu saja aku
tahu, aku dibesarkan di hutan salju Uzbekistan. Sendirian. Yatim piatu.
Menghadapi kerasnya belantara. Umur dua belas tahun aku harus berkelahi dengan
beruang salju raksasa. Memitingnya dengan tangan ini."
Goughsky tertawa menjelaskan, sambil menunjukkan
lengannya yang kekar. Saat itu mereka sedang menemukan jejak beruang di lereng
Gunung Gede. Menjawab pertanyaan kolega peneliti lokal yang bertanya itu jejak
apa.
Yang lain lagi-lagi terpesona. Dan
Yashinta lagi-lagi menatap sebal. Itu pasti bohong. Bule sialan ini sengaja
memancing-mancing emosinya, karena semalam di basecamp, Yashinta menceritakan
kejadian Kak Laisa dan tiga harimau di Gunung Kendeng. Mahkluk
setengah-setengah ini pasti tidak mau kalah dengannya. Mengarang cerita-cerita
menyebalkan itu.
"Hati-hati,
Yash! Itu sarang landak, biasanya ada sisa durinya." Goughsky sigap
menarik lengan Yashinta.
"Aku
tahu!" Yashinta yang melamun, menjawab pendek. Menarik kakinya yang
terlanjur melangkah.
Senja membungkus lereng
Gunung Gede. Garis horizon terlihat merah. Kabut turun melingkupi. Dingin.
Mereka beriringan berjalan menuju basecamp. Kembali dari menara 9. Yashinta
memperbaiki syal di leher. Menyibak belukar di sebelahnya. Menghindari sarang
landak itu. Berdiam diri sepanjang jalan. Diam-diam berpikir. Yang itu
sebenarnya ia tidak tahu. Bahkan Yashinta tidak yakin apakah Kak Laisa bisa
mengenali sarang landak hanya dengan melihat selintas di tengah remang senja
seperti ini? Melirik ke belakang Goughsky terlihat melangkah santai. Mata
birunya terlihat indah di remang senja.
Yashinta buru-buru menoleh ke depan
lagi.
Kemajuan proyek konservasi elang jawa
mereka sejauh ini menggembirakan. Mr dan Mrs Yoko datang di bulan ke sembilan.
Kunjungan selama seminggu. Langsung membawa helikopter pribadi mereka. Pasangan
itu terlihat senang memperhatikan foto-foto, peta area konservasi, rencana
program sosialisasi, dan sebagainya.
"Kemajuan yang baik, very well.... Awalnya aku
cemas kalian akan lebih sering bertengkar dibandingkan mengerjakan proyek ini,
my dear." Mrs Yoko menyentuh lembut lengan Yashinta.
"Tidak.
Tentu saja kami tidak sibuk bertengkar. Kalian tahu, Yash ternyata bisa
diandalkan....
Ia bisa menjadi sekretaris proyek yang
baik. Ia pandai sekali kalau urusan catat-mencatat." Goughsky yang
menjawab. Sambil tertawa.
Yashinta
ikut tertawa.
Dua
bulan terakhir, meski ia masih sering bertengkar dengan Goughsky, sering menjawab
ketus, tapi ia mulai terbiasa. Seperti batu yang terkena tetesan air, keras
kepalanya mulai bisa berlubang dengan sabaaaarnya Goughsky. Jadi ia hanya ikut
tertawa dengan gurauan pemuda Uzbek itu. Tidak sibuk mendesis sebal dalam hati.
Dan
itu bermula dua bulan lalu, saat jadwal pulang rutin dua bulanan Yashinta ke
perkebunan strawberry, bule itu berbaik hati mengantarnya ke bandara.
Menyerahkan dua ukiran kayu sebelum ia melangkah menuju pintu keberangkatan.
"Aku
membuatnya sendiri—"
"Tidak
mungkin!" Yashinta memotong. Bagaimana mungkin mahkluk setengah-setengah
ini bisa mengukir kayu seindah ini. Dengan masing-masing bergambar beruang
salju sedang bermain. Pohon-pohon cemara. Bukankah ia tidak pernah melihat
Goughsky melakukan kerajinan tangan itu selama di basecamp.
"Aku
membuatnya saat kalian masih sibuk mendengkur tidur shubuh-shubuh. Terserah
Yash sajalah. Percaya atau tidak," Goughsky tertawa, mengangkat bahu,
"Berikan ke Delima
dan Juwita, hadiah dariku. Dari paman setengah-setengahnya.... Kalau kau tidak
keberatan, bisikkan ke telinga-telinga kecil mereka, selamat datang di dunia
yang indah."
Sejak saat itu, Yashinta sedikit banyak
menyadari beberapa hal. Cerita-cerita hebat masa kecil Goughsky benar. Ayahnya
yang bekerja di Siberia, salah-satu teknisi pengeboran ladang minyak di sana.
Sebelumnya, ayah Goughsky pemah kerja di pengilangan minyak Arun, Aceh, makanya
menikah dengan wanita Indonesia. Sayang, tragedi badai salju menghabisi komplek
ladang minyak di Siberia. Meninggalkan Goughsky yang baru berumur enam tahun.
Yatim piatu. Dibesarkan kerabat di pinggiran hutan salju. Makanya pemuda Uzbek
iiu jauh lebih tangguh dan tahu lebih banyak tentang kehidupan liar
dibandingkan Yashinta. Cerita soal memiting beruang salju raksasa itu benar adanya.
Fase
sosialisasi proyek kepada penduduk lokal juga membuat Yashinta menyadari sisi
lain Goughsky. Pemuda bule itu memang tidak sok akrab, sok alim, dan sok
sebagainya. Penduduk yang suka sekali menangkapi elang jawa itu jauh lebih
menyukai Goughsky dibandingkan peneliti lokal lainnya. Mereka lebih menurut
dengan kalimat-kalimat pemuda Uzbek itu. Yang meski saat memberikan penyuluhan,
intonasi melayunya masih terdengar agak ganjil.
Dan
yang lebih penting lagi, tentu saja Yashinta mulai menyadari kalau mahkluk
setengah-setengahnya itu cukup tampan. Menatap mata birunya....
Jadi
sejak itu, Yashinta dan Goughsky mulai terlihat rukun, membuat rekan peneliti
lokal lainnya lebih sering menggoda,
"Kalian
sejak kapan pacaran?" Maka Yashinta akan melotot marah.
"Apa kubilang dulu? Bertengkar sekarang,
bersenang-senang kemudian!" Kalau yang ini, Goughsky ikutan melempar
spidol. Membuat yang lain semakin semangat menggoda.
Seminggu berlalu, Mr dan Mrs Yoko
kembali ke London dengan setumpuk progress report, Yashinta baru tahu, saat
Goughsky kuliah di Belanda, Mr dan Mrs Yoko-lah yang menjadi sponsor, sekaligus
menjadi anak angkat pasangan tersebut. Jadi tidak mungkin Goughsky sibuk
mencari perhatian untuk mendapatkan dana penelitian kepada keluarga kaya itu.
Justru sebenarnya, Goughsky lah yang merekomendasikan keluarga Yoko untuk
mendanai penelitiannya,
Memasuki bulan-bulan
terakhir proyek konservasi mereka, kedekatan Yashinta dan Goughsky sudah
sedemikian rupa berubah. Tidak ada lagi seruan-seruan sebal. Teriakan-teriakan
marah. Jawaban-jawaban ketus. Bagaimana tidak? Saat Goughsky harus presentasi
ke London, Yashinta justru uring-uringan di basecamp, Bosan. Tidak seru. Tidak
ada yang jahil dan mengajaknya bertengkar. Selama dua minggu tidak ada yang
menatapnya seperti anak kecil keras kepala. Tidak ada yang mentertawakannya.
Benar-benar tidak ada. Terasa sepi.
Ah, si bungsu keluarga Lembah Lahambay,
yang dulu muka imut menggemaskan miliknya begitu riang menatap berang-berang
mandi di sungai, yang suka sekali berlarian di lereng lembah, akhimya jatuh
cinta. Maka tersipu malulah Yashinta saat kolega peneliti lokal bilang,
"Gough, selama kau pergi dua minggu.... Kau
tahu, ada yang selalu berdiri di menara 9 malam-malam, menatap bulan
lamat-lamat, berharap menemukan wajahmu."
Yashinta
menimpuk rekan kerjanya dengan sepatu.
NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 42
Karna Di ERTIGAPOKER Sedang ada HOT PROMO loh!
ReplyDeleteBonus Deposit Member Baru 100.000
Bonus Deposit 5% (klaim 1 kali / hari)
Bonus Referral 15% (berlaku untuk selamanya
Bonus Deposit Go-Pay 10% tanpa batas
Bonus Deposit Pulsa 10.000 minimal deposit 200.000
Rollingan Mingguan 0.5% (setiap hari Kamis
ERTIGA POKER
ERTIGA
POKER ONLINE INDONESIA
POKER ONLINE TERPERCAYA
BANDAR POKER
BANDAR POKER ONLINE
BANDAR POKER TERBESAR
SITUS POKER ONLINE
POKER ONLINE
ceritahiburandewasa
MULUSNYA BODY ATASANKU TANTE SISKA
KENIKMATAN BERCINTA DENGAN ISTRI TETANGGA
CERITA SEX TERBARU JANDA MASIH HOT