KODRAT
MANUSIA
"JIKA
ada seseorang yang tidak mempermasalahkan usia, dan apapun dari Kakak.... Jika
ada seseorang yang tetap bersedia menikah walau telah melihat foto-foto
Kakak.... Namun, namun...."
"Katakan
saja, Dali. Langsung ke pokok permasalahan."
Kak Laisa memotong lembut, menatap wajah adiknya
lamat-lamat. Bukan sekali dua ini mereka membicarakan urusan perjodohan. Bukan
pula sekali dua ini mereka melakukan pembicaraan di lereng perkebunan strawbery
saat malam tiba di penghujungnya. Ia amat mengenal intonasi, mimik muka, bahkan
helaan nafas Dalimunte saat bicara. Jadi kenapa adiknya harus merasa amat
sungkan.
"Katakan
saja, Dali. Namun kenapa?"
Kak Laisa bertanya sekali lagi, memegang lengan
adiknya. Tingginya hanya sedada Dalimunte. Hamparan buah strawberry terlihat
remang di bawah cahaya rembulan. Jadwal pulang dua bulanan mereka. Semuanya
berkumpul, kecuali Yashinta, yang masih kuliah di Belanda. Hanya menelepon saat
mereka ramai duduk di beranda rumah panggung.
"Dali
yakin dia pilihan yang baik. Jodoh yang baik.... Dia teman riset Dali di lab.
Umurnya empat puluh. Saleh. Berakhlak baik. Dari keluarga yang baik.
Namun..."
Dalimunte
menelan ludah. Deskripsi yang penuh informasi dalam satu tarikan nafas itu
terhenti.
Kak Laisa
tersenyum, namun apa?
"Dia sudah menikah.... Maksud Dali, mereka
sudah lima belas tahun menikah, dan istrinya tidak bisa mengandung. Istrinya
yang meminta dia menikah lagi.... Maksud Dali, mereka sudah melihat foto dan
bio-data Kakak. Istrinya juga sudah setuju.... Mereka benar-benar keluarga yang
menyenangkan, keluarga yang bahagia.... Dia berjanji akan mencintai Kak Laisa
dengan baik, istrinya juga berjanji akan menerima Kak Laisa dengan
baik...." Dalimunte menghela nafas. Terhenti sejenak. Setelah tertahan,
penjelasan itu akhirnya meluncur bagai bebat air yang jebol,
Lengang,
Hanya
terdengar suara burung
hantu di kejauhan.
"Dia
sudah menikah.... Maksud Dali, apakah Kak Laisa bersedia jadi istri
kedua?" Dalimunte bertanya ragu-ragu. Meski dengan intonasi suara yang
lebih baik. Lebih jelas.
Sekali lagi hanya lengang.
Dan sungguh tidak ada keputusan malam
itu.
Kak Laisa hanya tepekur. Tertunduk menatap ribuan
polybag strawberry yang membentang luas memenuhi lereng lembah. Entahlah apa
yang dipikirkan Kak Laisa. Entah apa yang sedang berkecamuk di kepalanya.
Dalimunte ikutan terdiam. Tidak bertanya lagi. Urusan ini tentu saja tidak
mudah. Istri kedua? Apakah ada wanita di dunia ini yang dengan mudah memutuskan
menjadi istri kedua? Meski dengan banyak alasan bijak. Apakah harga diri Kak
Laisa terganggu dengan pertanyaan itu? Setelah sekian lama tidak mendapatkan
jodoh, setelah sekian lama ditolak baik secara halus
atau kasar sekalian, pilihan yang tersedia baginya ternyata hanya istri kedua?
Ya Allah?
Hanya lengang. Tidak ada keputusan malam
itu.
Dan juga tidak malam-malam berikutnya
saat jadwal pulang.
Mamak tak kuasa membantu Dalimunte memberikan
penjelasan kepada Kak Laisa. Wak Burhan juga meski dulu amat yakin bahwa solusi
yang baik bagi Laisa dalam urusan ini adalah menjadi istri kedua juga tidak
bisa membantu banyak. Ikanuri dan Wibisana yang akhirnya tahu masalah itu dari
Dalimunte juga diam. Menelan ludah. Dalimunte sengaja tidak memberitahu
Yashinta, karena pasti adik terkecil mereka akan menolak mentah-mentah pilihan
tersebut.
Empat bulan berlalu, Dalimunte terpaksa berbohong
kepada rekan risetnya saat dia mulai meminta jawaban,
"Kak
Laisa membutuhkan waktu lama untuk memutuskan. Aku tidak tahu berapa lama
lagi...."
Kabar baiknya,
rekan riset Dalimunte tidak terlalu mendesak,
"Tak
masalah, Dali. Laisa memang harus memikirkannya matang-matang. Tidak hanya persiapan
dirinya sendiri, tapi ia juga harus mempersiapkan diri bagaimana tetangga
sekitar akan menilainya... Kau tahu, untuk tiba di keputusan menikah lagi, kami
berdua memerlukan waktu hampir lima tahun. Jadi aku bisa menunggu kabar baik
dari Kak Laisa beberapa bulan lagi,"
Tersenyum. Itu kunjungan ke sekian kali Dalimunte ke
keluarga itu. Kali ini bersama Cie Hui. Bagaimana tetangga sekitar akan
menilainya? Dalimunte terdiam lama, menelan ludah. Urusan ini jelas-jelas tidak
lazim di Lembah Lahambay. Gadis tua saja sudah menjadi aib. Dilintas adiknya
menikah pula. Dan sekarang satu lagi status baru Kak Laisa: istri kedua. Itu
benar-benar tidak lazim.
Meski bukan jadwal
rutin seharusnya, Dalimunte, Ikanuri dan Wibisana pulang lagi ke lembah satu
minggu kemudian. Wak Burhan meninggal. Di usia 88 tahun. Proses kematian yang
indah. Tanpa sakit. Tanpa proses. Wak Burhan meninggal saat sujud shalat shubuh
di surau. Membuat jamaah bingung karena imam mereka tidak kunjung bangkit untuk
duduk tasyahud akhir. Ternyata Wak Burhan yang suara kerasnya selalu menghias
Lembah Lahambay sudah meninggal. Yashinta yang sejak kecil dulu amat dekat
dengan Wak Burhan (karena sering mengadu soal Kak Laisa) ingin memaksakan diri
pulang. Tapi Dalimunte melarang, Yashinta sedang melakukan riset S2-nya.
"Kata
Mamak tadi sebenarnya tidak ada yang tahu berapa persis umur Wak Burhan....
Nisan itu hanya sembarang menulis tahun lahir.... Mamak pun tidak tahu."
Kak
Laisa memecah sunyi lereng perkebunan. Jadwal bicara mereka penghujung malam.
"Bagaimana Mamak akan tahu? Mamak saja tidak tahu kapan tahun lahirnya
sendiri? Juga tanggal lahir kita, bukan? " Dalimunte tertawa kecil.
Bergurau. Itu benar, waktu mereka mendaftar sekolah dulu, mereka mengisi
sembarang kolom tanggal lahir. Mamak dan kebiasaan penduduk lembah, selalulalai
untuk mencatat tanggal lahir. Mereka hanya ingat si anu lahir saat musim tanam
tahun kapan. Musim penghujan tahun kapan, musim paceklik, dan seterusnya. Tidak
ada yang mencatat detail hingga hari dan bulan.
"Wak
Burhan terlihat senang sekali tahun-tahun terakhir meski hidup sendiri.... Dia
bangga sekali dengan penghidupan pang baik di lembah. Dia juga bangga sekali
denganmu, Dalimunte. Berkali-kali bilang ke anak-anak yang belajar ngaji di
surau soal pentingnya sekolah, 'Biar kalian bisa jadi Oom Dalimunte yang hebat.
Sering masuk tipi' — "
Kak Laisa
tersenyum, menatap langit cerah, mengenang masa-masa lalu itu.
Semua penduduk lembah
tahu, Wak Burhan meski menikah dua kali, hampir menghabiskan hidupnya sendiri.
Istri muda (istri kedua) Wak Burhan yang dulu menikah di
usia tujuh puluhan sudah meninggal lima tahun silam.
Anak satu-satunya dari istri pertama juga meninggal di usia muda. Diterkam
penguasaGunung Kendeng.
"Aku
ingat sekali kata-katanya, yang selalu diucapkan setiap kali bertandang ke
rumah, bercakap-cakap dengan Mamak, 'Meski terlahir sendiri, sudah menjadi
kodrat manusia untuk berketuarga, memiliki tempat untuk berbagi, memiliki teman
hidup'..."
Kak Laisa mendadak
terhenti. Menghela nafas.
Dalimunte yang berdiri di sebelahnya menoleh. Dia
juga pernah mendengar kalimat itu dari Wak Burhan. Sudah hampir lima bulan
mereka tidak membicarakan perjodohan itu. Sungkan. Dalimunte takut menyinggung
perasaan Kak Laisa. Malam ini? Dalimunte ikut menghela nafas panjang. Malam ini
mungkin tidak membicarakan hal itu setelah kematian Wak Burhan.
"Apakah,
ergh, apakah Kak Laisa enggan dengan sebutan istri kedua? Maksud Dali, apakah
Kak Laisa khawatir dengan penilaian tetangga sekitar?" Setelah berdiam
diri satu sama lain, Dalimunte akhirnya memutuskan untuk membicarakan hal
tersebut. Mungkin ini saat yang tepat.
Kak Laisa
menoleh. Menatap wajah Dalimunte lamat-lamat,
"Tentu
tidak, Dali. Bukankah dulu Kakak pernah bilang: buat apa kau memikirkan apa
yang dipikirkan orang lain, buat apa kau mencemaskan apa yang akan dinilai
orang lain... Tentu saja bukan itu masalahnya."
"Lantas, maksud Dali, mengapa Kak Laisa tidak
kunjung mengambil keputusan? Setidaknya untuk bilang ya atau tidak.... Wak
Burhan dulu pernah bilang, jika ada alasan baiknya, menjadi istri kedua
tidaklah selalu buruk. Dia pilihan yang baik buat Kak Laisa. Istrinya juga
mengijinkan.... Dan Dali yakin sekali, mereka juga akan menjadi bagian yang
tepat bagi keluarga kita...."
Kak Laisa diam sejenak.
Membiarkan angin pagi
menelislk rambut gimbalnya. Dingin.
"Setiap
kali menatap hamparan perkebunan strawberry ini, aku selalu merasa, Allah amat
baik kepada kita.... Kau tahu Dali, setiap kali mendengar kabar kalian.
Mendengar apa yang telah kalian lakukan. Aku merasa, Allah benar-benar baik
kepada kita. Kakak sungguh merasa cukup dengan semua ini.... Umurku hampir
empat puluh tahun, Dali. Setelah sekian lama jodoh itu tidak pernah datang, aku
pikir itu bukan masalah besar lagi.... Mungkin benar sudah menjadi kodrat manusia
untuk menikah, berkeluarga. Mungkin Wak Burhan benar. Tapi itu tidak pernah
menjadi sebuah kewajiban, kan.... Sejak lama aku sudah bisa menerima kenyataan
jika memang menjadi takdirku hidup sendiri, jika memang tak ada lelaki yang
menyukai tampilan wajah dan fisik. Keterbatasan ini
"Ah,
Allah sudah amat baik dengan memberikan kalian, adik-adik yang hebat. Keluarga
kita. Perkebunan ini, Kakak sungguh sudah merasa cukup dengan semua
itu...."
Kak Laisa
menghela nafas, terdiam lagi.
"Apakah
Kakak tetap menginginkan menikah? Tentu saja, Dali. Namun jika perjodohan itu
harus datang, Kakak tidak ingin proses itu justru mengganggu kebahagiaan yang
sudah ada. Bukan karena sebutan istri kedua itu, Dali, Bukan pula karena cemas
apa yang akan dipikirkan tetangga. Tetapi Kakak tidak mau pernikahan itu
menganggu kebahagiaan yang telah ada...."
Malam itu setelah bicara hingga shubuh. Saat adzan
terdengar dari surau (entahlah siapa yang mengumandangkan adzan tersebut
sekarang). Akhirnya keputusan itu diambil. Dalimunte akhirnya mengerti mengapa
begitu lama keputusan itu terbelengkalai, Kak Laisa enggan menyakiti perasaan
istri pertama calon perjodohan ini. Butuh berkali-kali menyakinkan Kak Laisa
kalau pernikahan itu justru karena permintaan istri pertama.
Sungguh tak akan ada yang tersakiti. Tentu saja, di
hati paling dalam istri pertama proses ini mungkin akan menyakitinya karena ia
tetap manusia yang memiliki perasaan, tapi kasus ini amat berbeda. Mungkin
inilah solusi terbaik buat dua masalah yang bersisian.
Shubuh itu akhirnya keputusan penting
itu berhasil diambil.
No comments:
Post a Comment