38
MAAFKAN KAMI
TENGAH malam
kedua di lembah sejak SMS dari Mamak.
Dalimunte masih terjaga.
Juga Mamak dan yang lain. Kak Laisa jatuh tertidur, kondisinya tetap status
quo. Kata dokter, tidak membaik, juga tidak memburuk. Juwita dan Delima meski
tadi ngotot bilang ingin menunggu Abi-Abi mereka (Ikanuri dan Wibisana) tiba,
tapi tubuh kanak-kanak mereka terlanjur lelah. Digendong Ummi masing-masing
masuk kamar besar, lantai dua. Intan yang terakhir digendong masuk kamar.
Telepon genggam Dalimunte berdengking. Buru-buru
diangkat, siapa pula yang tengah malam begini menghubunginya. Tidak mungkin
Ikanuri dan Wibisana, karena mereka lima belas menit lalu baru saja lapor sudah
tiba di kota kecamatan. Sekarang sedang ngebut
secepat mobil balap itu bisa melaju ke perkebunan
strawberry. Berusaha menepati janji, tiba sebelum tengah malam. Apakah Yashinta
yang telepon?
Goughsky. Ternyata yang
menelepon WNI keturunan Uzbekistan itu. "Yashinta sudah ditemukan, Kak
Dali—"
Pelan
saja Goughsky melapor. Langsung ke pokok pembicaraan. Tapi meski pelan, membuat
Dalimunte berseru tertahan.
"Kami
menyebar belasan orang mencarinya. Menyusuri jalan setapak, memeriksa lembah,
sia-sia... Saat kami mulai putus-asa, ia sendiri yang datang ke posko
pendakian, dengan kaki patah. Ya Allah, andaikata Kak Dali bisa melihat energi
sebesar itu. Yashinta memaksa kakinya berjalan delapan kilometer, dengan tubuh
terluka, pelipis berdarah...."
Dalimunte sudah tidak mendengarkan detail lagi.
Kabar adiknya ditemukan selamat membuatnya lega bukan main. Sejak Ikanuri dan
Wibisana mengontak Goughsky tiga puluh enam jam lalu dari Paris, kecemasan atas
nasib Yashinta meninggi. Apalagi dua rekan Yashinta justru bingung saat tahu
Yashinta belum tiba di posko awal pendakian Gunung Semeru. Tim SAR setempat
diturunkan, Goughsky yang sama hafalnya dengan Yashinta jalur pendakian Semeru
memimpin pencarian. Siang malam. Menyusuri semua kemungkinan. Dua puluh empat
jam berlalu, mereka akhirnya menemukan telepon genggam satelit Yashinta yang
remuk, tapi tidak ada tubuh Yashinta di atas belukar itu. Hanya seekor peregrin
dan dua ekor bajing yang sibuk memperhatikan.
Dan lima menit yang
lalu, betapa terkejutnya Tim SAR yang berjaga di posko awal pendakian, Yashinta
datang sendiri dengan tubuh luka, tertatih dengan tongkat seadanya di tangan.
Langsung jatuh pingsan. Goughsky segera meluncur turun. Menghentikan pencarian.
Menelepon Dalimunte. Melaporkan kondisi terakhir.
"Yashinta baik-baik saja.... Hanya lelah,
terlalu lelah.... Ya Allah, saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.... Dia
bertahan hidup selama tiga puluh enam jam tanpa air minum sekalipun..."
Dalimunte menelan ludahnya. Ketegangan itu mencair.
Mamak menatapnya. Ingin tahu apa yang membuat wajah Dalimunte berubah
sedemikian rupa. Juga Cie Hui, Wulan dan Jasmine.
"Aku
akan segera membawa Yashinta pulang ke perkebunan. Sebentar lagi helikopter
milik Mr dan Mrs Yoko tiba.... Langsung setelah mendapatkan perawatan, Yashinta
akan segera pulang, Mr dan Mrs Yoko mengijinkan helikopternya dibawa ke Lembah
Lahambay—" Goughsky herjanji.
Menutup
pembicaraan.
Dalimunte
menghembuskan nafas lega.
"Ada apa?"
Cie Hui bertanya, memegang lengan suaminya. "Yashinta, Yashinta sudah
ditemukan — "
Dalimunte
berbisik pelan. Ditemukan? Cie Hui melipat dahi. Tidak mengerti. Beruntung
Mamak tidak mendengarkan. Kalau tidak akan timbul banyak sekali pertanyaan.
Karena Dalimunte selalu bilang Yashinta masih di perjalanan. Terlambat saat
turun dari Gunung Semeru. Hujan deras disana. Penerbangan juga banyak di
cancel. Menutupi fakta kalau sudah 36 jam tdepon genggam satelit Yashinta putus
kontak.
Beruntung
pula, sebelum Mamak benar-benar ingin bertanya, mendadak terdengar suara derum
mobil di luar.
Pintu-pintu yang
dibanting. Seruan Bang Jogar. Langkah kaki yang berderak menaiki anak tangga
kayu.
Dan
sekejap, Ikanuri dan Wibisana sudah masuk ke dalam ruangan. Setengah berlari.
Dengan wajah cemas
Ikanuri bahkan tidak mempedulikan Dalimunte yang
berdiri di depan kamar. Melewati Cie Hui, Jasmine, Wulan, bahkan Mamak. Ikanuri
langsung menghambur ke ranjang Kak
Laisa. Matanya berkaca-kaca. Sungguh ia sesak
menahan kalimat itu. Kalimat yang tertahan seperempat abad lebih, 25 tahun.
Sungguh sejak di kereta ekspress Eurostar dia takut tak sempat lagi
mengatakannya.
Ikanuri langsung bersimpuh, gemetar menciumi tangan
Kak Laisa, Wajahnya buncah sudah oleh rasa sesal. Dan dia seketika menangis—
"Maafkan
Ikanuri.... Sungguh maafkan Ikanuri, Kak Lais.... Maafkan Ikanuri yang dulu
selalu bilang Kak Laisa bukan kakak kami— ?" Dan Ikanuri tersungkur sudah.
Tersedu.
Padahal saat itu Kak Laisa masih
tertidur.
NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 39
No comments:
Post a Comment