11
LIMA
KINCIR ANGIN
"MAKSUDMU,
kita bisa mengangkat air sungai itu dengan kincir-kincir itu, Dali?"
Salah seorang
pemuda bertanya, memecah lengang setelah Dalimunte selesai menunjukkan
gambar-gambarnya.
Dalimunte
mengangguk mantap.
"Lantas
membuatnya mengairi ladang-ladang kita?" Bertanya lagi. Sedikit terpesona,
lebih banyak sangsinya.
Dalimunte
mengangguk sekali lagi. Bahkan kincir-kincir itu bisa sekalian digunakan
sebagai pembangkit listrik.
"Itu lima
meter tingginya, Dalimunte! Sebesar apa kincir yang harus kita buat agar bisa
mengangkat air dari sungai bawah cadas? Kau harusnya tahu itu."
Pemuda
itu berseru sedikit putus-asa.
"Tidak
besar. Tidak besar!" Dalimunte menjawab cepat. Setelah lima menit
menjelaskan kertas-kertasnya dengan terbata-bata, meski masih gugup, dia jauh
lebih tenang sekarang, "Tapi kita akan membuat lima kincir air, membuatnya
bertingkat! Tidak besar!"
"Mustahil!
Itu tidak mudah dilakukan—" Pemuda yang lainnya menimpali, memotong,
"Bagaimana
kau akan memastikan kincir-kincir itu bisa bergerak bersamaan? Menyusunnya agar
bisa sesuai satu sama lain? Memasangnya di cadas batu?"
"Ergh,
dengan, dengan disusun secara tepat...."
"Secara
tepat? Bah, secara tepat menurutmu itu apa. Kau tahu tidak ada yang sekolah
hingga kelas enam di sini selain kau...."
Tertawa, beberapa penduduk menyeringai.
"Lantas
bagaimana pula kau akan memastikan air itu bisa dialirkan sejauh satu kilometer
ke ladang-ladang kita?" Yang lain berseru. Bertanya.
"Dengan
pipa-pipa—"
"Pipa-pipa? Itu pasti mahal membuatnya,
Dalimunte! Belum lagi kayu-kayu. Pasak besi, Rel pemutar! Mana cukup uang kas
kampung...."
Mengeluh.
"Tidak!
Tidak mahal, hanya dengan pipa bambu—"
"Bambu?
Omong-kosong! Kincir air itu tidak akan cukup kuat. Babak-babak kita dulu
pernah membuatnya,"
Seruan-seruan
sangsi terdengar. Balai kampung itu ramai kembali oleh seruan-seruan.
"Ergh, aku sudah membuat dua kemarin.... Sudah ada di sungai bawah
cadas—"
Dalimunte mencoba meningkahi keramaian
setelah terdiam sebentar, dia tidak menyangka akan ada banyak pertanyaan,
seruan ragu-ragu semacam ini. Sepanjang pagi tadi dia hanya memikirkan hanya
bilang soat idenya. Sisanya terserah Wak Burhan. Ternyata —
"Kau
sudah buat dua? Lantas apa kincirnya bekerja?" Pemuda yang lain mendesak.
Ingin tahu.
Mata-mata serempak
memandang ingin tahu. Dalimunte seketika terdiam. Dia tidak tahu itu. Mana
sempat lihatnya, keburu disuruh pulang Kak Laisa. Jangan-jangan kincirnya malah
roboh duluan tidak cukup kokoh dihantam arus deras sungai. Dalimunte mulai ragu
dengan idenya. Menatap sekitar mencari dukungan. Wak Burhan hanya diam.
Seruan-seruan semakin ramai terdengar.
Dalimunte menelan ludah. Tertunduk.
Sia-sia. Idenya akan mubazir. Tidak ada yang menanggapinya serius. Persis
seperti selama ini, penduduk kampung seolah sudah pasrah dengan takdir cadas
lima meter itu. Mereka toh dulu sudah berkali-kali membuat kincir air raksasa,
dan tidak ada hasilnya. Dalimunte perlahan mengumpulkan kertas-kertas,
tertunduk, menelan ludah.
"Tentu saja
kincir-kincir itu bekerja!"
Seseorang
tiba-tiba berseru. Berseru dengan suara lantang sekali. Membuat dengung lebah
terdiam. Seketika.
Dalimunte
menoleh. Gerakan tangannya terhenti. Dia kenal sekali intonasi suara itu. Kak
Laisa! Kak Laisa sudah berdiri dari duduknya.
"Kita
bisa melakukannya. Apa susahnya membuat kincir-kincir itu. Jika Dalimunte bisa
membuat dua dengan bambu seadanya, kita bisa membuatnya yang lebih bagus, lebih
kokoh."
Kak Laisa
berseru, melangkah ke depan.
Mata-mata sekarang memandang Kak Laisa.
Gadis tanggung berumur enam belas tahun itu dengan berani justru 'galak'
membalas tatapan penduduk lainnya yang jelas-jelas lebih tua dan lebih besar
darinya. Kak Laisa terlihat begitu yakin dengan setiap kalimatnya. Sama sekali
tidak terlihat gugup.
"Itu akan
membuang-buang tenaga, Lais— "
Pemuda yang tadi menyahut, berusaha
menurunkan intonasi suaranya. "Tidak ada yang akan membuang-buang tenaga,
Tidak ada, Jogar—" Kak Laisa menukas cepat. Lebih galak.
"Siapa
yang akan memastikannya akan berhasil, Lais? Kita dulu pernah membuat kincir
besar itu. Dan percuma saja, terlalu besar, air sungai tidak cukup kuat untuk
memutarnya, cadas itu terlalu tinggi!"
Salah satu orang
tua memotong. Berusaha menjelaskan.
"Kalian
tidak mendengarkan dengan baik kalau begitu. LIMA KINCIR AIR. Dalimunte bilang
lima kincir air! Bukan kincir raksasa—"
"Apa
bedanya? Siapa yang akan menjamin itu berhasil?"
"Tidak ada. Tidak ada yang menjamin
itu akan berhasil. Benar! Itu akan membuang-buang tenaga jika gagal! Tapi jika
berhasil? Kita sudah bertahun-tahun hanya menggantungkan nasib ladang kita,
hidup kita, kampung kita, dari kebaikan hujan. Sudah saatnya kita
membuat irigasi sendiri
untuk ladang-ladang itu. Berpuluh-puluh tahun sejak kincir raksasa itu gagal
dibuat tidak ada lagi yang memikirkan bagaimana caranya mengangkat air sungai
dari bawah cadas. Tidak ada salahnya mencoba kincir-kincir air itu. Lima kincir
bertingkat. Itu masuk akal. Semasuk akalnya seperti kita berharap benih di
ladang tumbuh saat musim penghujan! —"
Kak
Laisa berkata lantang dan cepat. Amat meyakinkan.
Seruan-seruan terdengar lagi dibalai
kampung. Lebih ramai dibanding saat membicarakan perambah hutan tadi.
Seruan-seruan ragu-ragu, seruan-seruan sangsi, meski sekarang anggukan-anggukan
kecil mulai bermunculan.
"Tidak
ada salahnya, bukan?" Laisa menatap sekitar.
"Sampai
kapan kita harus mengalah atas cadas lima meter itu! Sampai kapan?"
Penduduk justru saling bersitatap.
"Baik.
Sekarang siapa yang setuju dengan usul Dalimunte?"
Kak
Laisa berseru dari tengah-tengah balai kampung, menghentikan dengung lebah
untuk kedua kalinya. Menatap tajam.
Muka-muka masih saling bersitatap
satu-sama-lain. Sedetik. Dua detik. Dalimunte menggigit bibir. Sia-sia. Urusan
ini tidak selancar yang dibayangkannya. Ide lima kincir air itu percuma.
Lihatlah, tidak ada yang hendak mengacungkan tengan, meski Kak Laisa terlihat
amat yakin dengan idenya.
"Siapa
yang setuju dengan usul Dalimunte?" Kak Laisa bertanya tegas. Sekali lagi.
Tiga puluh detik berlalu. Tetap lengang.
Yashinta yang pertama
kali mengangkat tangannya, takut-takut (entah ia mengerti atau tidak urusan
itu). Muka gadis kecil enam tahun itu menyeringai menggemaskan seperti biasa.
Orang-orang menoleh. Wak Burhan menyusul, ikut megangkat tangan dengan mantap,
sambil tersenyum ke arah Yashinta. Lantas Mamak Lainuri, Ikanuri, Wibisana,
terus ibu-ibu kampung lainnya, hingga orang tua, dan akhirnya pemuda-pemuda
itu.
Kak Laisa tertawa lebar. Menyikut bahu
Dalimunte yang berdiri di sampingnya. Anggukan dan seruan 'kenapa tidak'
sekarang ramai keluar dari mulut penduduk. Mereka akan mencobanya. Sekali lagi!
Tertawa lebar dengan ide lima kincir air itu.
Dalimunte mengigit bibir. Menghela
nafas, lega.
Hari
itulah saat Dalimunte menyadari sesuatu. Memang dia yang memulai ide lima
kincir air tersebut, tapi semua orang tahu, karena Kak Laisa-lah ide itu
akhirnya dikerjakan. Hari itulah, Dalimunte belajar satu hal: bagaimana
bicara yang baik di hadapan orang banyak. Belajar langsung dari Kak
Laisa yang entah bagaimana caranya menguasai benar hal tersebut. Begitu yakin.
Begitu tenang.
Dalimunte mungkin tidak akan pernah tahu. Tidak
pernah! Kak Laisa sama gugupnya seperti dia, sama gentarnya bicara di
tengah-tengah balai kampung itu. Tetapi Kak Laisa tidak akan pernah membiarkan
adik-adiknya kecewa. Tidak akan pernah membiarkan adiknya merasa malu. Jika
harus ada yang kecewa dan malu, itu adalah ia. Bukan adik-adiknya. Bagi Laisa,
sejak babak pergi, hidupnya amat sederhana. Adik-adiknya berhak atas masa depan
yang lebih baik dibandingkan dirinya. Lagipula Laisa akhirnya mengerti kenapa
Dalimunte bolos sekolah kemarin. Maka demi rasa sesal telah memukul lengan
Dalimunte, keberanian itu muncul begitu saja. Memberikan energi yang luar
biasa. Begitu yakin. Begitu tenang. Dan tidak hanya hari itu Laisa
melakukannya. Sungguh tidak. Ia melakukannya berkali-kali sepanjang umurnya.
Demi keempat
adik-adiknya.
No comments:
Post a Comment