35
PERNIKAHAN
KEDUA DAN KETIGA
SAYANGNYA, meski dengan semua pemahaman tersebut,
dengan melihat sendiri semua kenyataan itu (menyaksikan kebahagiaan Mamak saat
menggendong Intan), Ikanuri dan Wibisana sempurna mengulang kejadian
sebelumnya. Mereka berdua membuat Wulan dan Jasmine menunggu lebih lama lagi.
Tetap tidak ada kepastian. Padahal setiap jadwal pulang dua bulanan, Wulan dan
Jasmine sekarang juga ikut pulang. Ikut menghabiskan hari di perkebunan
strawberry. Menjadi bagian anggota keluarga.
Enam bulanberlalu. Tetap tidak ada tanda-tanda
hubungan mereka akan melangkah ke tahapan yang lebih serius. Kak Laisa tidak
hanya sekali mengajak bicara Ikanuri dan Wibisana, soal melintas, tentang tidak
usah menunggu. Sudah berkali-kiili. Tetapi kedua sigung itu hanya mengangguk.
Nyengir, lantas berkata ringan,
"Siapa
pula yang akan menunggu Kak Lais? Kita hanya belum siap saja, kok. Kak Lais sok
ditunggu sih!!"
"Usia kalian sudah lebih dari tiga puluh tahun.
Sudah memiliki pekerjaan yang baik. Memiliki rumah. Sudah matang. Apa lagi yang
kalian harus siapkan?" Kak Laisa ikut tertawa, kembali bertanya serius.
Ikanuri dan Wibisana lagi-lagi hanya menimpali sambil bergurau. Yang justru
sebenarnya malah menutupi masalah besar mereka berdua.
Dulu waktu kasus Dalimunte, mereka berdua sebenarnya
tidak habis pikir bagaimana mungkin Dalimunte harus menunggu begitu lama hingga
akhirnya mengambil keputusan. Mereka juga dulu begitu sebal saat harus
mengantar malam-malam Cie Hui yang menangis pulang ke kota kecamatan. Tidak
bisa mengerti mengapa Dalimunte yang jenius dan amat rasional bisa jadi sekeras
kepala itu? Seolah-olah melemparkan seluruh akal sehat yang dimilikinya. Begitu
sulitkah untuk mengambil keputusan melintas Kak Laisa?
Sekarang mereka sesungguhnya paham ternyata urusan
itu memang tidak mudah. Setiap pulang dua bulanan, menyaksikan Kak Laisa yang
tersenyum riang menggendong Intan. Membawa Intan mengelilingi perkebunan
strawberry. Mengenalkannya dengan tetangga lain. Makan malam, meriah. Penuh
tawa. Tapi di penghujung shubuh, menyasikan sendiri Kak Laisa yang berdiri di
lereng lembah. Sendirian. Senyap. Melihat paradoks tersebut. Membuat mereka
tidak pernah memiliki gambaran masalah yang utuh. Apa yang selama ini dirasakan
Kak Laisa?
Apakah yang
sesungguhnya Kak Laisa rasakan?
Ikanuri dan Wibisana tidak seberuntung Dalimunte
dalam urusan ini. Mereka tidak memiliki mekanisme berbicara serius dengan Kak
Laisa, seperti Dalimunte yang suka menemani berdiri di lereng perkebunan. Jadi
enam bulan berlalu, yang terjadi hanya percakapan penuh gurauan,
jawaban-jawaban ngarang, dan sebagainya. Tanpa kemajuan yang berarti.
Enam bulan lagi
berlalu. Dua sigung nakal itu tetap tidak bisa mengambil keputusan. Justru
sibuk mengingat-ingat masa lalu. Segala kebaikan Kak Laisa kepada mereka.
Segala keburukan mereka kepada Kak Laisa, maka dua sigung itu makin ringkih
dengan keputusan. Bagaimanalah mereka ekan membuat Kak Laisa dilintas untuk
yang kedua dan ketiga kalinya sekaligus? Ya Allah, meski Kak Laisa terlihat
baik-baik saja, meski Kak Laisa bilang ia memang baik-baik saja tapi mereka
tidak akan tega melakukannya. Tidak setelah menyadari Kak Laisa mengorbankan
seluruh masa kecil dan renajanya untuk mereka.
Dalimunte akhirnya melibatkan diri dalam urusan
tersebut. Memberikan banyak penjelasan. Menjawab banyak pertanyaan, tapi tetap
tidak ada hasilnya. Yashinta dalam satu dua pembicaraan di ruang depan, juga
ikut mendesak.
"Susah
amat sih? Semakin lama tidak ada kepastian, nanti semakin banyak dosanya,
tahu!" Nyengir. Ikanuri dan Wibisana hanya menatap datar Yashinta. Adik
mereka belum merasakan sendiri betapa semua ini tidak mudah.
"Atau menunggu Kak Wulan dan Kak Jasmine
dijodohkan seperti Kak Cie Hui dulu? Hati-hati loh, sekarang saja Kak Wulan dan
Kak Jasmine sudah tidak bisa ikut ke perkebunan, bukan?"
Tertawa.
Mamak dan Cie Hui juga ikut tertawa mendengar gurauan Yashinta. Ikanuri melotot
sebal, tangannya seperti biasa terangkat. Malam itu Wulan dan Jasmine memang
tidak bisa ikut pulang ke perkebunan. Ada acara keluarga.
"Eh,
eh, lihat, lihat!" Yashinta berseru. Menunjuk Intan yang sejak tadi duduk
menatap sekitar. Perlahan mulai berdiri. Perhatian di beranda berpindah.
Menoleh.
" Aduh mau
belajar jalan ya? Sini sayang, sini sama Tante Yash....
Kaki-kaki kecil
Intan sedikit bergetar menopang tubuhnya.
Muka
menggemaskan itu menyeringai. Mulutnya terbuka. Mata besar beningnya menatap
sekeliling. Usia Intan hamir setahun, masanya belajar berjalan.
"Ayo,
ayo..., Tang-ting-tung! Intan manis, ayo jalan.." Yashinta tertawa,
berseru memberikan semangat Yang lain ikut tertawa.
Kaki Intan bersiap melangkah. Membuat percakapan
soal Ikanuri dan Wibisana terlupakan. Wajah Mamak berseri-seri. Apalagi Kak
Laisa. Ikutan duduk jongkok di sebelah Yashinta. Memberikan semangat.
Mata hitam besar Intan mengerjap-ngerjap. Sejenak.
Dan seperti mengerti benar kalau ia sedang menjadi pusat perhatian, bayi kecil
itu mendadak duduk kembali begitu saja. Nyengir lebar. Seolah-olah hendak berjalannya
tadi hanya tepu-tepu. Membuat yang lain terdiam, 'kecewa' (meski kemudian
tertawa). Sejak kecil Intan memang sudah begitu. Sok-jadi pusat perhatian.
Intan sudah benar-benar
bisa berjalan ketika akhirnya Ikanuri dan Wibisana berhasil mengambil keputusan
penting tersebut. Saat usia Ikanuri dan Wibisana hampir tiga puluh lima tahun.
Bukan. Tentu saja bukan karena Wulan dan Jasmine akan dijodohkan orang tua
mereka masing-masing,
Siang itu, Kak Laisa terbata menelepon adik-adiknya.
Teknologi telepon genggam sudah tiba di lembah mereka. Dan mereka sudah
memiliki enam nomor penting untuk keluarga. Waktu itu, Dalimunte terpaksa
bergegas meninggalkan konvensi fisika di Kuala Lumpur, melupakan kalau
presentasinya penting sekali untuk karir penelitiannya (dia baru saja
mendapatkan gelar profesor). Bergegas terbang langsung ke Jakarta, Transit
sebentar menjemput Cie Hui dan Intan, yang sudah pandai berlari.
Ikanuri dan Wibisana juga segera meninggalkan
pekerjaan di bengkel mereka. Pulang. Kabar dari Kak Laisa mengkhawatirkan.
Lupakan soal tender suku cadang salah satu perusahaan otomatif lokal.
Nanti-nanti bisa diurus. Mereka harus segera pulang.
Yashinta yang sedang menyelam di Kepulauan Kaimana,
Papua juga pulang. Membuat sebal kolega penelitiannya dari Inggris. Karena
secara teknis, Yashinta yang menjadi guide riset tentang konservasi terumbu
karang. Jadi kalau guide-nya pulang, siapa yang akan memandu mereka?
"Mamak
sakit keras.... Pulang.... Kalian harus segera pulang.... Berangkat dengan
pesawat pertama."
Hanya itu kalimat terbata Kak Laisa. Lebih banyak
seruan tertahan, dan denting kecemasan. Maka mereka tidak perlu menunggu dua
kali. Segera pulang. Bagaimanalah? Bukankah Mamak tidak pernah sakit selama
ini? Mamak yang terlihat selalu kuat. Selalu sehat. Paling juga dulu-dulu hanya
demam biasa. Sehari dua sudah membaik dengan sendirinya. Tetap mengerjakan
banyak hal. Memasak gula aren. Menganyam anyaman rotan. Ke kebun. Membersihkan
gulma. Hanya perlu di kerok dan berbekam. Sembuh. Bagaimanalah Mamak sekarang
sakit keras? Itu enar-benar mencemaskan.
Mereka tiba di bandara
kota provinsi hampir bersamaan. Ikanuri langsung mengemudikan mobil balap
modifikasi yang diantar karyawan bengkelnya. Menuju rumah sakit kota
provinsi dengan kecepatan tinggi. Mamak dirawat di
sana. Berlarian sepanjang koridor. Sejenak tidak mempedulikan Intan (yang
teganya) malah puf di saat-saat penting tersebut Membuat bau tidak sedap dalam
mobil balap Ikanuri.l Menerobos pintu paviliun.
Dan langkah-langkah
mereka terhenti. Berdiri terdiam, berusaha mengendalikan nafas, di depan pintu
ruang rawat Mamak. Lihatlah, Mamak terbaring lemah di atas ranjang. Pucat. Kak
Laisa yang duduk menunggui berdiri melihat adik-adiknya datang.
Yashinta yang pertama kali menghambur. Memeluk Kak
Laisa, bertanya cemas, berseru cemas, gemetar mendekat. Menatap wajah Mamak
yang sedang tertidur. Dua belalai plastik membalut lengan. Peralatan medis yang
berdesis pelan. Dalimunte ikut mendekat, menelan ludah. Ikanuri dan Wibisana
kehilangan kata-kata. Hanya Cie Hui yang sibuk mengendalikan Intan (yang
seperti biasa berseru-seru senang setiap kali melihat Wak Laisa dan Eyang
Lainurinya, tidak peduli apakah yang dilihatnya lagi sehat atau lagi sakit)
"A-pa,
a-pa.... Mamak baik-baik saja?"
Yashinta
bertanya gugup. Gemetar berusaha meraih jemari Mamak.
Kak Laisa tersenyum,
menenangkan, membimbing adiknya duduk di kursi. Mengangguk, "Masa kritis
Mamak sudah lewat....Kata dokter Mamak sudah terkendali, sudah mulai
membaik—"
Terlihat sekali bagaimana ekspresi wajah empat kakak
beradik itu berubah. Dalimunte langsung mendekap Ikanuri dan Wibisana. Menghela
nafas panjang. Tersenyum lega. Yashinta malah menangis. Tersedu. Wahai, rasa
lega dan kebahagiaan itu dekat sekali dengan tangis. Kalian akan menangis
karena perasaan lega yang luar biasa. Bagaimana tidak? Yashinta harus
menanggung rasa cemas sejak dua belas jam lalu. Penerbangan langsung dari
Sorong. Transit sebentar di Jakarta. Wajah Mamak dengan rambut berubannya terus
terbayang di jendela pesawat, saat menatap biru lautan. Membuatnya mengaduh
berkali-kali dalam perjalanan.
Yashinta menyeka pipinya. Menatap wajah Mamak yang
tertidur pulas. Wajah itu masih pucat, tapi Kak Laisa benar, hela nafas Mamak
sudah terkendali. Rona muka Mamak tenteram. Yashinta menciumi jemari Mamak.
Mendekapnya ke pipi. Seperti tidak pernah bertemu bertahun-tahun lamanya,
padahal mereka baru saja pulang sebulan yang lalu. Dan Yashinta menangis lagi.
Ia tadinya sungguh takut. Takut kehilangan. Dalimunte mendekap kepala adiknya.
Menenangkan. Ikanuri dan Wibisana ikut menyeka matanya yang berkaca-kaca. Belum
pernah mereka merasa begitu dekat dalam keluarga. Begitu mencintai satu sama
lain. Dan begitu takut kehilangan satu sama lain.
Ya Allah, mereka
sungguh saling mencintai karena Engkau.
Intan mendadak menangis
kencang-kencang. Terlupakan. Gadis kecil itu sibuk protes. Menggerak-gerakkan
pantatnya. Apalagi kalau bukan untuk membuat bau tak sedap itu menguar di
ruangan rawat Eyangnya. Sibuk mencari perhatian.
Satu jam berlalu, Cie Hui membawa Intan ke
pengalengan strawberry di kota provinsi. Ada penginapan karyawan di sana.
Mengganti popok Intan yang super bau. Beristirahat. Yashinta meski tidak mau
meninggalkan Mamak, meski memaksa tetap menunggui, menjelang malam ikut
menyusul, ia terlampau lelah dengan perjalanan jarak jauh. Dan Kak Laisa
menyuruhnya istirahat, "Mamak akan baik-baik saja Yash.... Kalau kau juga
jatuh sakit, kau hanya akan menambah masalah—"
Sejak dulu
Yashinta selalu menurut dengan Kak Laisa.
Menyisakan Laisa,
Dalimunte, Ikanuri dan Wibisana di ruang rawat Mamak. Duduk di kursi plastik
yang diberikan perawat. Dokter yang merawat Mamak ternyata mengenali Profesor
Dalimunte, tertawa lebar, bahkan menawarkan ruang rawat terbaik di rumah sakit
itu saat melakukan pemeriksaan jam sembilan tadi.
Senyap.
Ruangan rawat inap itu
hening. Hanya menyisakan desis suara pendingin ruangan. Meski lelah, Dalimunte
tidak bisa tidur. Juga Ikanuri dan Wibisana. Kak Laisa perlahan memperbaiki
selimut Mamak. Lantas menatap wajah-wajah kusut adiknya. Tersenyum.
Menarik
kursinya mendekati Ikanuri dan Wibisana.
|
|||
Dua sigung yang tidak kecil lagi itu
|
mengangkat
|
kepala. Menatap Kak Laisa yang
|
|
sekarang persis duduk di depannya.
|
|||
"Ikanuri, Wibisana..." Kak
|
Laisa
|
berkata lembut menyentuh lengan adik-adiknya,
|
|
"Kita memang tidak akan pernah
|
tahu....
|
Tidak pernah
|
bisa menebak,
menduga. Tetapi
|
suatu
hari nanti, salah-satu dari anggota kelarga yang amat kita dntai pasti akan
pergi. Siap atau tidak, suka atau tidak...."
Dalimunte
mengusap wajahnya.
Menatap
Kak Laisa. Tidak mengerti apa yang sebenarnya hendak disampaikan Kak Laisa.
"Lihatlah.... Mamak sekarang tertidur nyenyak.... Begitu damai, begitu
tenang, begitu babagia. Karena Mamak sudah amat bahagia dengan hidupnya.
Memiliki kalian, sebagai anak-anaknya, adalah kebahagiaan terbesar yang tidak
pernah dibayangkan Mamak. Mamak tahun-tahun terakhir amat bahagia nienghabiskan
masa tuanya di perkebunan strawberry..."
Ikanuri dan Dalimunte
menahan nafas. Tertunduk. Mereka juga tidak mengerti apa yang hendak dikatakan
Kak Laisa. Tapi kalimat-kalimat itu menusuk. Kepergian dari anggota keluarga
yang kita cintai?
"Ikanuri,
Wibisana.... Kakak berkali-kali bilang, tidak baik membuat Wulan dan Jasmine
menunggu terlalu lama.... Kalian tidak seharusnya menunggu Kakak. Karena kita
tidak pernah tahu apa yang akan terjadi besok lusa.... Kalau kalian ingin
pernikahan kalian masih sempat dilihat langsung Mamak, sempat disaksikan oleh
Mamak, segeralah menikah...
Dengan kebaikan Allah, tentu saja Mamak akan segera sembuh.
Esok lusa Mamak akan tetap bersama kita. Menghabiskan hari tuanya di perkebunan
strawberry. Tetapi kalau kalian tetapkeras kepala menunggu sesuatu yang mungkin
tidak akan pernah terjadi...." Kak Laisa terdiam sejenak. Menatap tulus
wajah adik-adiknya.
Ruangan itu
hening lagi.
"Kalau
kalian tetap keras kepala menunggu Kakak, maka kalian mungkin akan kehilangan
kesempatan membuat Mamak semakin bahagia di masa tuanya. Apa yang dulu sering
Kakak katakan? Pernikahan kalian akan membuat rumah panggung kita lebih ramai.
Anak-anak kalian sungguh akan membuat suasana terlihat berbeda. Lihatlah,
Intan, meski tadi membuat suster ngomel-ngomel, tetap saja wajah imutnya
menggemaskan, bukan...."
Kak
Laisa tertawa Mengingat kejadian saat Intan nangis kencang-kencang tadi.
Ikanuri dan Wibisana ikut tersenyum.
Malam itu, keputusan penting tersebut
akhirnya diambil
Pernikahan kedua dan ketiga di keluarga itu terjadi
sebulan kemudian. Mamak pulang dari rumah sakit setelah dirawat empat hari
lagi. Meski masih lemah, tapi wajah Mamak sudah segar saat kembali. Sakit
radang hatinya membaik dengan cepat
"Bagaimana
mungkin Mamak sakit? Sakit hati pula. Bukankah selama ini Mamak selalu bahagia,
meski kami bandel dan nakal? Ada-ada saja." Ikanuri bergurau. Membuat yang
lain tertawa.
Ikanuri dan Wibisana
kembali ke kota seberang pulau seminggu kemudian. Langsung meminang Wulan dan
Jasmine. Mereka lagi-lagi melakukannya di saat yang bersamaan. Dengan cara yang
sama pula, sama-sama hiperbolik (meski menyentuh), "Ayah, Ibu, aku tidak
bisa menjanjikan banyak hal buat putri kalian. Aku tidak memiliki gunung harta
seperti Kak Laisa dengan ribuan hektar kebun strawberry-nya. Aku juga tidak
sepintar Profesor Dalimunte yang terkenal itu. Tetapi aku punya hati. Hati yang
terlanjur mencintai Wulan (jasmine; saat Wibisana yang bicara dengan calon
mertuanya).... Terima kasih banyak telah membesarkan putri kalian hingga
menjadi begitu cantik, begitu menawan. Dengan segenap rasa.
Ayah, Ibu, ijinkanlah aku meminangnya...." Membuat orang tua Wulan dan
Jasmine berkaca-kaca (rumah mereka hanya berjarak dua blok). Meski besoknya
saat keluarga mereka saling bercerita, terpaksa manyun satu sama lain karena
baru tahu kalimat indah calon menantu mereka fotokopi satu sama l.iin.
Urung saling menyombong.
Ikanuri dan Wibisana memutuskan untuk menikah di
hari yang sama. Di Lembah Lahambay, lembah indah mereka.
NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 36
No comments:
Post a Comment