Wawancara
Tamat
SMA, aku dan Arai merantau ke Jawa. Di Bogor
kami
melamar kerja. Sebuah usaha distributor memanggil
untuk
wawancara. Wawancara: indah dan kota sekali
kedengarannya.
Kami mempersiapkan diri dengan
membaca
buku Tiga Serampai Rahasia Sukses
Wawancara.
Pada
bab tujuh "Membuat Pewawancara Terkesan", pengarang
buku
itu berulang kali mengingatkan "jangan sekalikali
mengulang
pertanyaan pewawancara, karena pertama,
Anda
dianggap tidak memerhatikan, kedua,
Anda tidak sopan,
dan
ketiga, ada yang tak beres dengan telinga Anda."
Dengan
pakaian terbaik, kami berangkat. Aku gugup.
Seumur-umur
baru kali ini aku diwawancara, ah, diwawancara,
sungguh
modern!
Ternyata
calon majikan kami, seorang wanita mungil
berkulit
putih, sangat informal. la menemui kami di kantornya,
sebuah
garasi. la baru bangun tidur, berkaus oblong dan
celana
pendek. Kardus besar bertumpuk-tumpuk berantakan.
Di
luar garasi, seorang pria menggeber gas Harley Davidson.
Gadis
itu membaca surat panggilan. la berusaha keras
mengingat
sesuatu. Agaknya ia lupa pernah membuat panggilan.
la
mengamati kami dan berteriak, "Da... da... na...."
Broomm
... bum! Bum ... brooomm ....
Andrea
Hirata
Gadis
itu menggeleng. Tendangan gas Harley memekakkan,
ia
menjerit.
"Phaaa
... kha ...."
Bromm!!
Bum! Brom!!
"Phaa
"
Brom!
Brooomm....
"Kha!!!!???"
"Naik
kapal, Bu, ya, naik kapal!! Brom! Kapal ternak!!"
"Phaa...??"
Brom!
Brom!
"Kapal
ternak, Bu, K A P A L...!"
Bbroooomm....
"Phaa!?"
"KAPAAAAAAALLL!"
38
"Ja
... na ..."
Broooom....
"Na...
da??"
Suaranya
timbul tenggelam di antara raungan Harley.
Kuingat
pesan buku Tiga Serampai: pantang mengulang
pertanyaan
pewawancara! Aku pun menebak-nebak.
"Dari
Belitong, Bu...."
Broomm
... bum! Brooomm ....
"Ya,
dari Belitong!!"
Gadis
itu jengkel. la membanting surat panggilan, menarik
tanganku,
lalu merogoh sakunya, mengeluarkan
uang
lima ribu.
"Ini
ongkos angkot3. Pulang sana!"
EDENSOR
Meski
gagal dengan gadis kecil itu tapi tak mengapa. Paling
tidak
kami telah diundang, walau ia lupa pernah mengundang,
dan
diundang untuk wawancara, ah, kata itu, selalu
menimbulkan
perasaan senang dalam hatiku.
Berbekal
ijazah SMA, kami melamar lagi. Sebuah perusahaan
penyedia keperluan dapur memanggil. Sesuai wejangan
buku
Tiga Serampai, kami melatih pernapasan agar
tak
gampang gugup.
Kantor
perusahaan itu adalah sebuah ruko. Kami memencet
bel,
rolling door bergulung naik. Di dalamnya, seorang
perempuan
gemuk berbalik. Agaknya tadi ia mau ke kamar
kecil
karena di depannya ada pintu bertulisan TOILET. Ia
mengamati
kami yang berdiri di ambang pintu ruko.
"Kalian
diterima," katanya.
Ya,
begitu saja. Tanpa basa-basi apa pun, bahkan tanpa
mempersilakan
masuk dan tanpa wawancara!
Perempuan
itu masuk ke dalam toilet, srak! Srok!
Srak!
Srok! lalu keluar dan sambil mengeringkan tangannya
yang
basah dengan tisu, ia bersabda, "Potong rambut
Angkutan
kota—Peny.
39
gondrongmu
itu, mandi yang bersih, besok pagi pukul
enam
datang lagi ke sini."
Cepat
dan praktis. Tak ada kejadian seperti yang sering
kulihat
di TV, misalnya: Congratulations! Selamat bergabung!
Silakan menandatangani kontrak,
Anda akan menjadi
aset penting perusahaan kami! Atau, Orang
dengan kualifikasi
seperti Andalah yang kami cari
selama ini!
Esoknya
perempuan itu menyuruh kami naik ke bak
mobil
pick up, berkeliling, lalu menurunkan kami di sebuah
perumahan.
la menyerahkan dua tas besar dan memberi
sedikit
instruksi. Jadilah kami salesman
alat-alat dapur,
dari
pintu ke pintu.
Hanya
beberapa minggu bekerja, kami dipecat. Penjualan
kami
memalukan, demikian istilah perempuan itu.
Nasibku
membaik karena diterima bekerja di kantor
pos.
Sedang Arai merantau ke Kalimantan, bekerja dan kuliah
di
sana. Sambil bekerja di kantor pos Bogor, aku melanjutkan
kuliah.
Lewat surat kukabarkan kepada ayahku
bahwa
aku telah menjadi seorang amtenaar
dalam kolom
pangkat
tata usaha, dan punya seragam. Benar pendapat
Ayah
dulu, mereka yang berseragam tampak lebih pintar.
Pangkatku:
Pengatur Muda Pos. Bukan sembarang, Kawan.
Dengan
pangkat itu aku berwenang mencairkan wesel sampai
seratus
lima puluh ribu rupiah. Di atas angka itu, atasanku,
Amtenaar Odji Dahrodji, yang turun tangan.
Aku
berjasa bagi mahasiswa miskin yang tak punya
bukti
sah bahwa ia warga Republik, sehingga sulit meng-
Andrea
Hirata 40
uangkan
wesel. Biasanya mahasiswa IPB dari daerah minus
itu
cengar-cengir menghadapku, dan wajahnya berbunga
waktu
punggung weselnya kuhantam dengan cap sakti
mandraguna
ini:
Saat
menghujamkan cap itu aku dilanda perasaan
menjadi
orang penting, dirasuki sindrom kekuasaan. OK,
Power is sweet. Sekarang aku paham mengapa orang gila kuasa.
Aku
mengerti mengapa banyak pejabat hilir mudik ke
paranormal
agar tetap berjaya, dan maklum melihat pejabat
pensiun
segera kena borok usus atau mati separuh badan.
Aku
dan Arai berhasil menyelesaikan kuliah tepat
waktu.
Kami mengikuti tes beasiswa untuk sekolah strata
dua
ke Eropa.
41
EDENSOR
Sejak
kecil aku harus bekerja keras demi pendidikan,
mengorbankan
segalanya. Harapan yang diembuskan beasiswa
itu
membuatku terpukau. Aku sadar bahwa apa yang
kualami
selama ini bukanlah aku sebagai diriku. Beasiswa
itu
menawarkan semacam turning point: titik belok bagi hidupku,
sebuah
kesempatan yang mungkin didapat orang
yang
selalu mencari dirinya sendiri. Aku telah tertempa untuk
mengejar
pendidikan, apa pun taruhannya.
Aku
memutuskan keluar dari pekerjaan di kantor pos
yang
telah menggiringku ke kutub moderat. Semakin lama
semakin
berkurang tantangannya. Pekerjaan itu tidak
memberiku
kelimpahan, tapi memberi keamanan finansial
dan
kehidupan yang itu-itu saja, demikian gampang diramalkan
kesudahannya.
Aku terjamin secara sederhana, terlindung
oleh
sistem, stabil secara psikologis, mapan secara
sosial,
dan semua itu membuatku bosan. Aku merasa seperti
tupai
yang sibuk menggendong pinangnya, kura-kura
yang
mengerut ke dalam tamengnya, atau siput yang sembunyi
di
balik cangkangnya.
Aku
ingin hidup mendaki puncak tantangan, menerjang
batu
granit kesulitan, menggoda mara bahaya, dan memecahkan
misteri
dengan sains. Aku ingin menghirup berupa-
rupa
pengalaman lalu terjun bebas menyelami labirin
lika-liku
hidup yang ujungnya tak dapat disangka. Aku
mendamba
kehidupan dengan kemungkinan-kemungkinan
yang
bereaksi satu sama lain seperti benturan molekul
uranium:
meletup tak terduga-duga, menyerap, mengikat,
Andrea
Hirata 42
mengganda,
berkembang, terurai, dan berpencar ke arah
yang
mengejutkan. Aku ingin ke tempat-tempat yang jauh,
menjumpai
beragam bahasa dan orang-orang asing. Aku
ingin
berkelana, menemukan arahku dengan membaca
bintang
gemintang. Aku ingin mengarungi padang dan
gurun-gurun,
ingin melepuh terbakar matahari, limbung
dihantam
angin, dan menciut dicengkeram dingin. Aku
ingin
kehidupan yang menggetarkan, penuh dengan penaklukan.
Aku ingin hidup! Ingin merasakan
sari pati hidup!
Endesor - Bab 9
No comments:
Post a Comment