Pengembara Samia
"Tak
tanggung-tanggung, Bu, kata Mahader pemanjat
kelapa,
nama ini dapat membuat orang menjadi bijak."
Aku
ngomel dalam hati, bagaimana kalau aku tak sudi
dengan nama baru itu?
Ayah:
Arti nama ini adalah pria lemah lembut nan berjiwa
besar!
Aku:
Hmm... bagus sekali ya, tak seorang pun
minta pendapatku,
padahal akulah yang akan memikul
nama itu seumur
hidup!
Adikku,
yang gembrot dan lugunya minta ampun itu,
tak
peduli. la meniup-niup gelembung sabun. Bruuuphhh...
brupphh.
"Apakah
gerangan nama yang hebat itu, Yah
Ni?"
Ayahku
bangkit, berkumandang.
"Waaa
... dudh!! Wadudh! Itulah namanya! Kata
Mahader,
nama itu gelar untuk menghormati orang yang
paling
tinggi akhlaknya di kalangan pengembara Samia!"
Ibu:
Subhanallah! Mahasuci Allah! Hebat nian nama
itu!
Aku:
Wadudh? Pastilah pengembara berkafiyeh
yang suka
minum susu kambing itu!
Adikku:
Bruuuphhh... brupphh.
Sayang
seribu sayang, pengembara Samia yang bijak bestari
itu
menjelma menjadi garong. Tak lama setelah nama agung
itu
dilekatkan kepadaku, aku memimpin komplotan santri
Andrea
Hirata 22
untuk
menjarah tambul, penganan yang disumbangkan
umat
ke masjid jika Ramadan. "Ketua Wadudh," begitu santri-
santri
itu memanggilku. Nakalku makin menjadi. Aku
blingsatan
mencari diriku sendiri, tersesat dalam ide-ide
yang
sinting. Dengan sogokan sebungkus kuaci, kuhasut
adikku
si nomor enam itu untuk menyanyikan lagu "Indonesia
Raya"
dengan pengeras suara masjid. Suaranya yang
cadel
melolong-lolong seantero kampung.
Aku
dan Ayah kena sidang.
"Wadudh
sudah tak bisa diatur!! Tak boleh lagi dia ke
masjid
ini!" Haji Satar emosi.
Para
penggawa yang mengelilingi kami menganggukangguk.
"Oh, gawat...."
Wajah
Ayah biru menahan malu. la menatapku. Tatapan
yang
tak pernah kukenal sebelumnya. Naluriku berbisik,
Ayah
akan mengambil tindakan ekstrem untuk
mengganjarku.
Aku mengerut ketakutan.
"Onar!
Hanya onar saja dibuatnya!!" Wak Tarjik histeris.
Kopiahnya
pernah kulumuri minyak rem.
Ayah
makin tajam menatapku. Aku tak pernah dikasari
ayahku,
bahkan ia tak pernah menaikkan suaranya kepadaku,
tak
pernah, walau hanya sekali. Namun, kejadian
"Indonesia
Raya" itu memang sudah kelewat batas. Majelis
menuntut
Ayah bertindak tegas. Dalam mata Ayah, jelas
kubaca
ia tak tega kepadaku. Posisinya serbasalah. Ia bak
Ibrahim
yang diperintah Tuhan menyembelih anaknya.
23
EDENSOR
Aku
miris membayangkan dibuang Ayah ke pesantren Pulau
Penyengat,
menyeberangi Selat Melaka, tak pulang bertahun-
tahun.
Aku terlalu kecil untuk sanksi sekeras itu.
"Beri
hukuman berat sekalian agar Wadudh jera!"
hardik
Taikong Hamim.
Berat
sekali cobaan Ayah.
"Bagaimana
keputusanmu, Pak Cik?! Apa tindakanmu
agar
tabiat buruk Wadudh tak terulang lagi?!" Taikong
tak
sabar, nadanya mengancam.
Suasana
hening.
"Bagaimana,
Pak Cik?"
Ayah
berulang kali menarik napas panjang.
"Baiklah,
Taikong...."
Suara
Ayah terbata-bata karena ia akan menyesali keputusan
kejamnya
padaku. Tapi ia tak punya pilihan lain.
Aku
terkulai di lengannya. Majelis waswas menunggu keputusan
keras
Ayah....
"Akan
kuganti lagi namanya...."
Endesor - Bab 5
No comments:
Post a Comment