12.
KUCING-KUCINGAN
SESUAI
dengan rencanaku, selama beberapa hari aku sukses menghindari Ervin.
Karena
aku tidak pernah mengangkat HP-ku akhirnya Ervin berusaha
menghubungiku
di rumah. Nomor telepon yang sebelumnya adalah off limits
baginya.
Tapi atas bantuan Sony, asistenku si pengkhianat itu, Ervin pun
mendapatkan
nomor telepon rumahku. Beberapa kali dia menelepon tapi aku tidak
ada
di rumah, tapi aku dan dia tahu bahwa aku menolak untuk menerima telepon
itu.
Setiap kali dia meninggalkan pesan, suaranya terdengar semakin putus harapan.
Rupanya
dia betul-betul ingin bicara denganku. Hingga akhirnya Ervin
meninggalkan
voicemail untukku, yang membuatku merasa bersalah karena tidak
menghiraukannya.
“Adri,
ini gue. Kita perlu bicara. Gue nggak tahu gue salah apa lagi sama elo.
Why won’t you talk to me? Apa gara-gara kejadian malam itu? I’m sorry, okay. Tapi,
tolong
dong telepon gue, biar kita bisa ngomongin soal itu. Please...”
Alasan
aku menolak untuk berbicara dengan Ervin sebetulnya cukup simple.
Aku
masih perlu waktu untuk menganalisis perasaanku terhadapnya.
*
* *
Suatu
sore ketika aku baru saja pulang dari rumah kakakku yang sudah
diperbolehkan
pulang dari rumah sakit oleh dokter, Sarah meneleponku. Aku tahu
bahwa
kemungkinan besar Ervin memintanya untuk melakukannya, dan aku tahu
bahwa
mungkin Sarah sudah tahu panjang-lebar tentang kejadian memalukan
beberapa
hari yang lalu di rumahku itu.
“Mbak,
ini Sarah.”
“Halo,
Sar, apa kabar? Kita masih jadi kan jalan buat weekend depan?”
“Iya,
jadi dong. So kita mau ke mana nih? Oh iya, omong-omong congrats ya,
kakaknya
Mbak sudah punya momongan, aku baru dengar dari Ervin.”
Aku
langsung terdiam ketika mendengar Sarah menyebutkan nama Ervin.
Entah
kenapa, tapi tiba-tiba perutku terasa mulas. Aku baru sadar kemudian bahwa
Sarah
sedang memanggil-manggil namaku.
“Mhhhh,
ke tempat biasalah. Anyway, iya, makasih, gue sudah jadi tante nih,”
ucapku
sambil tertawa. Itu adalah pertama kali aku bisa tertawa lepas dan bebas.
Bebas
dari Ervin.
Untuk
pertama kalinya aku sadar bahwa sudah sekitar tiga hari belakangan ini
wajah,
bahkan nama Baron tidak pernah terlintas di kepalaku. Yang ada di
pikiranku
cuma Ervin.
“Ya
sudah, jadi jam satuan ya.” Kata-kata Sarah membangunkanku dari
lamunan.
Sebelum
aku menutup telepon Sarah berkata, “Omong-omong, telepon Mas
Ervin
tuh, dia lagi agak-agak sedih.”
Sebelum
aku bisa membalas komentarnya, Sarah sudah menutup telepon.
Ketika
mendengar nama Ervin aku hanya bisa terdiam. Meskipun aku sudah
menyangka
komentar itu akan muncul cepat atau lambat, aku tetap mengharapkan
bahwa
itu akan terjadi nanti, tidak secepat ini. Dan Sarah menyebut Ervin dengan
kata
Mas, ini berarti urusannya memang serius.
*
* *
Selama
beberapa hari aku masih tetap main kucing-kucingan dengan Ervin.
Akhirnya
suatu Selasa malam ketika aku sedang tidur-tiduran dengan ibuku di
tempat
tidurnya, beliau pun menanyakan tentang Ervin.
“Di,
teman kamu yang waktu itu nungguin kamu di rumah sakit baik juga ya.”
Aku
tidak menghiraukan komentar ibuku, mataku terus memandang televisi.
“Kok
kamu nggak mau terima teleponnya sih? Memangnya kenapa?”
Aku
pura-pura tidak mendengarkan ibuku.
“Eh,
Di, ditanya kok cuek gitu sih?”
Akhirnya
aku mengalihkan mataku dari televisi dan menatap ibuku. “Nggak
kenapa-napa
kok, lagi nggak mood saja ngomong sama dia.”
“Lho
kok gitu sih, sudah diantar, ditungguin sampai pagi... kurang apa lagi?”
“Kurang
sih nggak, cuma...”
“Cuma
kenapa? Tapi kan kasian lho, dia sudah nelepon beberapa kali, lamalama
Ibu
jadi nggak enak kan bohong sama dia. Sudah mana kerjaannya nanyain
kabarnya
Ibu sama Bapak lagi.”
“Ah,
dasar enyak-enyak, susah deh. Itu memang style-nya Ervin, Bu, selalu
kayak
gitu.”
“Oh?”
Tiba-tiba
bapakku yang dari tadi berpura-pura sibuk dengan pekerjaannya di
ruang
sebelah, meskipun aku tahu dia juga ikut mendengarkan percakapan kami,
mengomentari,
“Ngomongin siapa sih?” teriaknya.
“Mau
tahu saja deh,” jawab ibuku juga dengan berteriak keras.
“Ngomongin
si Muffin lagi deh ya?” balas bapakku tidak kalah kerasnya.
Aku
dan Ibuku saling tatap. “Hah?” ucap kami bersamaan.
“Iya,
katanya Tita, kamu kan suka jalan sama si Muffin itu, kan?” lanjut
bapakku.
“Pak,
Ervin, E-R-V-I-N, bukan Muffin, memangnya makanan,” balasku sambil
mengulum
senyum. “Ye... masa gosipin tentang aku sama Mbak Tita sih?”
tambahku.
Aku
terbahak-bahak mendengar komentar bapakku. Bapakku adalah orang
terakhir
yang kupikir akan tertarik pada love
life-ku. Sebagai seorang konsultan
pajak
yang cukup sukses, bapakku hampir tidak pernah ada di rumah. Empat hari
dalam
satu minggu dia biasanya ada di luar kota untuk memberikan pelatihan atau
seminar
pajak. Terkadang ibuku ikut menemani, tapi lebih sering ibuku memilih
tinggal
di rumah saja.
“Memangnya
menurut Ibu sama Bapak orangnya oke, ya?”
Aku
mendengar langkah bapakku menuju ke arah kamar tidur. Tidak lama
kemudian
dia muncul sambil mengangguk lalu berkata, “Yah, itu kan kamu yang
bisa
nilai.”
“Oh
iya, reuniannya kamu kapan tuh?” tanya ibuku.
“Sabtu
depan,” jawabku.
Dengan
begitu pembicaraan kami pun berakhir.
*
* *
Aku
tidak membalas telepon Baron sekali pun, semenjak dia meneleponku beberapa
hari
yang lalu. Banyak permasalahan yang harus kuselesaikan dengan Ervin dulu.
Akhirnya
hari Sabtu, Desember tanggal 15 pun tiba. Jana sudah memutuskan bahwa
dia
yang akan menjemputku, karena untuk pertama kalinya dia bisa punya waktu
off dari
anak-anaknya, dan dia mau merayakan hari kebebasannya itu. Karena acara
reuninya
akan dimulai sekitar jam tujuh, Jana menjemputku jam lima sore,
kemudian
dalam perjalanan, kami menjemput Dara. Nadia yang rumahnya di ujung
dunia,
alias di Kelapa Gading, terpaksa harus naik taksi apabila Kafka, suaminya,
menolak
mengantarnya. Tapi tentu saja sebagai suami tercinta, Kafka seperti biasa
bersedia
mengantar sang istri ke mana pun dia pergi.
“Dri,
lo nggak apa-apa? Muka lo agak panik gitu,” tanya Jana.
“Gue
kelihatan panik?” Aku mencoba mencari cermin. Aku melatih senyumku
beberapa
kali di depan cermin tempat bedakku. Setelah puas bahwa wajahku sudah
cukup
ceria, aku kembali memfokuskan perhatianku pada percakapan dengan
sobat-sobatku.
Setibanya
kami di Senayan, suasana reuni sudah dimulai. Mulai dari angkatan
kelas
satu sampai kelas tiga, mulai dari anak kelas A hingga D, semuanya terlihat
bercakap-cakap
dan bernostalgia bersama-sama. Ketika aku melangkah masuk ke
restoran,
aku dapat mengenali Baron dari kejauhan. Dia sedang ngobrol dengan
beberapa
orang lain yang tidak terlalu kukenal. Baron kemudian berpaling dan
melihatku.
Dengan antusias dia melambaikan tangannya, dan hanya dengan satu
senyuman
dari Baron, hilanglah Ervin dari pikiranku. Tiba-tiba jantungku berdetak
lebih
kencang dan aku merasa sedikit gerah.
“Dri,
Dri, itu Baron, kan?” bisik Jana. Aku langsung mengangguk.
“Masih
ganteng ya,” tambah Dara.
Kami
bertiga kemudian tertawa mendengar komentar itu. Nadia yang baru
datang
langsung nimbrung. Berempat kami melangkah mencari penyegar
kerongkongan,
lebih tepatnya minuman bersoda. Kalau bisa yang ada alkoholnya
untuk
menenangkan detak jantungku yang melonjak-lonjak karena melihat Baron
dengan
kemeja lengan panjang berwarna hitam dan jins yang membuatnya terlihat
lebih...
handsome daripada biasanya.
Koordinasi
reuni itu ternyata cukup baik. Makanan yang tersedia adalah buffet,
dan
meskipun ada sekitar dua ratus orang yang hadir, kami tidak merasa penuh
sesak,
dan semua orang terlihat cukup menikmati suasana reuni. Aku pun
melupakan
Baron untuk beberapa saat dan mulai sibuk ngobrol dengan banyak
orang
yang sudah lama tidak kutemui. Khresna yang dulunya adalah badut kelas
sekarang
sudah jadi dosen bahasa Jerman di UI. Hartawan, anak yang dulunya
sering
dijadikan bual-bualan anak-anak karena tingkah laku kocaknya, sekarang
sudah
jadi pengacara yang cukup andal. Rini, anak yang dulunya sering dipanggil
“brung”
karena ukuran tubuhnya yang cukup besar sehingga kalau berjalan seperti
mengeluarkan
suara “brung... brung... brung...”, sekarang berpenampilan bagaikan
model.
Tinggi dan langsing.
Tanpa
disadari, jam di tanganku sudah menunjukkan pukul sepuluh. Ketika aku
dan
sobat-sobatku sedang minum-minum dan ngobrol, tiba-tiba kulihat Baron
menghampiri
kerumunan kecil kami. Nadia yang duduk di sebelahku ternyata
langsung
memberikan kode kepada Jana dan Dara yang duduk membelakangi
Baron.
“Halo,”
sapa Baron padaku.
Ketiga
sobatku yang langsung sadar bahwa kemungkinan besar Baron mau
ngobrol
denganku, meninggalkanku dengannya. Tapi sebelumnya, aku sadar Jana
menggenggam
tanganku untuk memastikan bahwa aku memang ingin sendiri
dengan
Baron. Aku menurunkan daguku sebagai tanda “Ya” dan Dara dan Nadia
langsung
menggeret Jana ke arah toilet wanita.
“Sori,
mereka memang suka kayak gitu.” Aku berusaha keras untuk
menjelaskan
tingkah laku ketiga sobatku yang dari dulu sampai sekarang masih
suka
kumat dan membuatku malu.
Baron
hanya tersenyum dan duduk di kursi di sampingku.
Aku
baru sadar bahwa sepanjang malam aku tidak melihat Olivia.
“Olivia
ke mana, Ron?” tanyaku.
“Dia
lagi ke Yogya,” jawabku singkat. “Anyway, omong-omong gimana kabar
kamu?
Semenjak aku telepon habis Mbak Tita melahirkan, kita belum sempat
ngobrol
lagi.”
“Iya...
sori, tapi aku lagi banyak kerjaan akhir-akhir ini,” ucapku berbohong.
Mudah-mudahan
Baron tidak melihat kebohonganku ini.
Baron
sempat terlihat ragu, tapi kemudian dia tersenyum. “Bagus deh kalau
gitu,
soalnya aku sangka kamu menghindar dari aku.”
“Menghindar?
Nggak lah, mana bisa, aku kan...” Aku kemudian sadar bahwa
kalimat
yang akan kukatakan selanjutnya bukanlah sesuatu yang akan mampu
kukatakan
kepadanya.
“Kamu
kenapa?”
“Nggak,
nggak, nggak apa-apa.”
Setelah
beberapa saat kami pun hanya duduk tanpa berbicara. Dapat kulihat
tatapan
beberapa teman Baron yang kurang mengenakkan kepadaku.
“Ron,
mmmhhhh, kayaknya aku mesti... nyari anak-anak deh, lagian juga
teman-teman
kamu pasti mau ngobrol sama kamu juga.” Aku buru-buru berdiri,
tapi
Baron menarik pergelangan tanganku.
“Eh,
Dri, Dri, mau ke mana?” tanya Baron menahanku.
Aku
hanya melirikkan mataku ke arah teman-temannya yang sekarang sedang
melemparkan
pandangan sadis kepadaku, dan Baron pun mengerti. Baron
meletakkan
gelas yang sedang dipegangnya, menggandeng tanganku dengna paksa
dan
menggeretku keluar dari restoran. Aku kaget ketika dia berani menggandengku
di
depan teman-temannya, membuatku semakin kikuk.
Baron
tidak melepaskan genggamannya ketika kami sudah ada di luar restoran.
Dia
menuntunku untuk duduk bersamanya di salah satu meja yang tersedia di sana
sebelum
kemudian duduk di sampingku. Dalam hati aku tahu ini salah. Ada satu
motto hidupku
kalau sudah menyangkut cinta. Jangan pernah ngambil pacar orang,
tunangan
orang, apalagi suami orang. Nanti kamar. Tapi aku tidak mampu
membuat
diriku melangkah pergi dari Baron.
“Kamu
nggak enak ya sama anak-anak?” tanya Baron.
Aku
tidak menjawab pertanyaannya, hanya mengangkat kedua alisku.
Lalu
Baron bertanya tiba-tiba, “Jadi kamu sama Ervin dekat?”
Aku
sedikit terkejut mendengar pertanyaannya. “Wah, kamu mesti kasih
definisi
„dekat‟,” balasku sambil tertawa.
“Jujur,
aku agak kaget waktu lihat kamu sama dia di Hard Rock,” Baron
melontarkan
pernyataan ini dalam satu napas sebelum melanjutkan. “Aku nggak
nyangka
ternyata kamu date-nya Ervin. Sebetulnya, aku yang mau ngajak kamu ke
Hard
Rock Sabtu malam itu.”
Aku
terbatuk-batuk beberapa menit dan Baron menepuk-nepuk punggungku.
Tenggorokanku
terasa kering. “Aku sama Ervin memang suka jalan bareng, itu
saja,”
akhirnya aku bisa berkata.
“Jadi
kamu nggak dating sama dia?” Baron ternyata cukup serius dengan seri
pertanyaan
ini.
“Memangnya
kenapa sih nanya-nanya?” tanyaku akhirnya.
“Nggak,
soalnya... dari nada bicara dan tindakan Ervin, aku menangkap
hubungan
kalian lebih daripada sekadar teman.”
Oh,
rupanya bukan aku saja yang sadar soal tingkah laku aneh Ervin malam itu.
“Apa
kamu lagi dekat sama orang lain?” tanya Baron lagi.
Aku
rasnaya ingin melempar sepatuku ke Baron. Buat apa dia menanyakan
urusan
pribadiku? Dia saja yang tidak tahu apa yang menyebabkan kehidupan
cintaku
berantakan total seumur hidupku.
“Nggak,”
akhirnya aku menjawab. “Nggak ada waktu,” lanjutku.
Baron
mengangguk puas. Percakapan pun berganti arah. “Kamu tadi datang
sama
siapa?” tanyanya.
Aku
yang merasa lega atas bahan pembicaraan baru, menjawab, “Jana tadi yang
jemput
aku, kami datang bertiga sama Dara.”
“Oh.”
“So, kamu kok nggak
ikut Oli ke Yogya?” tanyaku.
“Nggak.
Katanya dia mau pergi sendiri,” balas Baron cuek.
Aku
menatap Baron dengan bingung. Entah kenapa kok sepertinya aku
mendapati
bahwa dia tidak terlihat kehilangan, bahkan terlihat agak-agak tidak
peduli
pada Olivia.
“Oh,”
adalah satu-satunya kata yang bisa kukeluarkan.
“Kamu
masih suka berenang?” tanya Baron tiba-tiba.
Aku
kemudian tertawa, karena teringat memori itu. Baron dan aku memang
bergabung
dalam tim renang sekolah kami sewaktu SMP kelas satu dan dua. Aku
ingat
betul bahwa selama dua tahun kami banyak menghabiskan waktu bersamasama
hanya
dengan mengenakan pakaian renang yang cukup minim.
Aku
menggeleng. “Sudah nggak. Kamu?”
Baron
pun menggeleng.
Akhirnya
aku memberanikan diri untuk menanyakan pertanyaan yang keluar
dari
mulut Ervin ketika di Hard Rock.
“Ron...
aku boleh tanya sesuatu ke kamu?”
Baron
menatapku dan mengangguk.
“Apa
maksud Ervin waktu dia bilang kalau kamu cinta mati sama aku waktu
SMP?”
Baron
terdiam sesaat sebelum menjawab, “Kamu dengar kata-kata itu ya? Aku
sangka
kamu nggak dengar. Aku berharap kamu nggak dengar.”
Aku
tertawa garing. “Kamu suka sama aku waktu itu?” candaku dengan nada
getir.
“Apa
kamu nggak pernah tahu itu?” lanjutnya pelan sambil mengempaskan
tubuhnya
ke sandaran kursi.
Aku
tidak bisa bernapas. He liked me? teriakku dalam hati. Aku masih tidak
percaya.
“Ada
rasa sih, aku juga waktu itu sempat suka sama kamu....”
Cinta
sama kamu lebih tepatnya, ucapku dalam hati.
Baron
memotong kalimatku. “Kamu juga suka sama aku??!! Tapi kenapa kok
kamu
nggak pernah ngasih perhatian ke aku sih?”
Aku
hanya memandangnya dengan tatapan kosong. Bagaimana aku bisa
menjelaskan
bahwa aku tahu jenis perempuan yang dia suka dan aku jelas-jelas
tidak
memiliki kriteria yang diinginkannya. Atau yang kupikir “diinginkannya”.
“Padahal
aku sudah berusaha narik perhatian kamu, tapi kayaknya kamu nggak
ada
interest sama sekali ke aku. Kadang-kadang memang kamu suka baik, dan
sesekali,
meskipun itu jarang, kalau aku kepergok lagi ngeliatin kamu, kamu
senyum
ke aku. Tapi itu saja,” lanjut Baron berapi-api.
Aku
tahu betul bahwa pernyataannya penuh dengan fakta. “Iya, sori, but give me
a break, will you, I was 15. Lagian seluruh sekolah selalu tahu kalau kamu sama Olivia
will be together eventually. Terus belum lagi gara-gara banyak yang suka sama kamu.
Tambahan
lagi setelah agak lama, aku lihat kamu juga nyuekin aku, jadi ya sudah.”
Baron
teridam beberapa saat. Urat-urat di lengannya keluar sehingga terlihat
seperti
tato dengan garis-garis biru.
“Aku
bukan nyuekin kamu, tapi aku nyoba untuk move
on,” jelas Baron pelan.
“Kamu
tahu nggak aku perlu waktu bertahun-tahun untuk ngelupain kamu?”
Ya
Tuhan. Apa mungkin Baron telah mencintaiku selama bertahun-tahun tanpa
sepengetahuanku?
“Ron...”
“Kenapa
kamu harus muncul sekarang, Di? Kenapa nggak setahun yang lalu?
Atau
bahkan enam bulan yang lalu?” Baron menatapku dalam. Aku masih belum
bisa
mencerna semua informasi yang dilemparkannya secara bertubi-tubi itu.
“Nggak
akan ngaruh, Ron. Kamu tetap akan married
sama Olivia, dan aku tetap
akan...”
Sebelum aku bisa menyelesaikan alur pemikiranku Baron sudah
memotongku.
“Nggak,
nggak... Kamu nggak ngerti maksud aku...”
“Ron...”Aku
berusaha menahan emosi Baron yang sedang meluap-luap.
Tapi
bagaikan tidak mendengarku, Baron melanjutkan penjelasannya. “Aku
kelimpungan
waktu tahu kamu berangkat ke Amerika, jauh banget, aku nggak bisa
ngejar.
Aku pernah nyoba beberapa kali untuk cari tahu informasi tentang kamu,
tapi
aku terlalu gengsi untuk nanya ke teman-teman kamu, dan itu memang salah
aku,
aku akui itu, tapi aku mau memperbaiki itu semua. Kalau aku tinggalin Olivia,
apa
kamu mau sama aku?”
Holy shit. He loves me, NOT “loved”, untuk masa lalu, he
“loves” me, with an “s”,
untuk
saat ini.
Tapi
ketika kalimat terakhirnya dapat dicerna oleh otakku di antara katakatanya
yang
lain yang membuat hatiku berbunga-bunga, rasa bungah itu hilang
dalam
sekejap mata.
“Oke,
stop, stop sekarang juga. Kamu nih ngomong apa sih?” teriakku panik.
Tanpa
kusangka-sangka Baron kemudian menggenggam tanganku dan
mencoba
mencari suatu kepastian dariku. Tiba-tiba kulihat Nadia sedang berjalan
cepat
ke arahku. “Dri, Dri, eh, gue harus pulang nih. Kafka sudah jemput.”
Nadia
berhenti beberapa langkah dari hadapanku. Tatapannya jatuh ke tangan
kananku
yang sedang digenggam erat oleh Baron. Aku yakin Nadia juga tidak
ketinggalan
melihat wajah kami berdua yang merah padam. Dengan rasa bersalah
aku
buru-buru melirik ke jam tanganku yang sudah menunjukkan jam 00.10, buruburu
kutarik
tanganku dari genggaman Baron.
“Gila,
gue sangkain masih jam sebelas. Ya sudah, say hi
ya buat Kafka.” Aku
bergegas
berdiri dan melangkah ke arah Nadia, memeluk dan mencium pipinya.
“Telepon
gue besok, atau gimana kek, minggu depan mungkin kita bisa jalan lagi.”
Nadia
hanya berdiri terpaku beberapa saat tanpa reaksi. Dan situasi menjadi
semakin
parah ketika Dara muncul sambil meneriakkan namaku. “Dri... Nih dia
anaknya,
dicariin dari tadi sama Jana, dia mau pulang, gue juga sudah capek.”
Ketika
Dara sadar bahwa Baron sedang berdiri di belakangku, dia terdiam dan
memberikan
pandangan penuh tanda tanya kepada Nadia yang hanya mengangkat
bahu.
Kemudian kurasakan tangan Baron di leherku. Otomatis aku langsung
merinding.
Dan aku yakin itu bukan gara-gara angin sepoi-sepoi yang tiba-tiba
bertiup.
“Dri?”
tanya Dara padaku sambil menatap Baron dengan penuh cirga.
“Kamu
sudah mau pulang?” tanya Baron padaku dan tidak menghiraukan
tatapan
curiga dari Dara.
“Nggak,
eh... iya, aduh...” Aku terbata-taba. Lalu aku menghitung sampai tiga
dalam
hati sebelum berbicara lagi. “Jana yang antar aku ke sini, kalau aku nggak
pulang
sama dia, nanti aku nggak bisa pulang,” jawabku.
Saat
itu juga Jana muncul sambil melambai-lambaikan tangannya memanggilku
dan
Dara. “Woi... pulang yuk,” teriaknya.
Pada
saat yang bersamaan aku melihat serombongan teman Baron memandang
ke
arahku karena teriakan Jana yang cukup keras itu.
“Aku
bisa antar kamu pulang kalau misalnya kamu belum mau pulang,” tibatiba
Baron
berkata, yang tentunya membuat aku, Dara, dan Nadia kaget.
Pada
saat itu kulihat Jana berjalan ke arahku. “Sudah siap?” Ketika dia melihat
bahwa
aku sedang berdiri dengan Baron, Jana pun mencoba untuk menaturalkan
suasana.
“Eh, elo, Ron, masih ngobrol saja sama Adri.”
Baron
melemparkan senyumannya, karena dia tahu Jana hanya mencoba untuk
meringankan
suasana. Tapi dia ngedrop bom terakhirnya yang paling dahsyat.
“Kalau
lo pada suah mau pulang, gue bisa antar Didi nanti,” ucap Baron tanpa
berkedip
ketika menatap Dara, Jana, dan Nadia.
Lidahku
langsung kelu, kerongkonganku kering, perutku terasa mual dan aku
tidak
bisa bernapas. Jana yan gmasih belum sadar apa yang terjadi hanya tersenyum
bingung.
“Nggak
apa-apa kan kalau sobat lo gue pinjam malam ini?” tanya Baron lagi
dengan
penuh harap pada Dara.
Aku
memandang Baron tidak percaya, dalam hati aku berkata, “Are you kidding
me?”
“Gimana,
Dri?” tanya Dara.
Aku
terdiam. Aku harus membuat pilihan. Di satu sisi aku tahu bahwa
pembicaraanku
dengan Baron masih jauh dari kata “Selesai”. Tapi di sisi lainnya
aku
tidak berani untuk sendirian dengan Baron. Aku tidak bisa memercayai diriku
sendiri
untuk tidak melakukan hal-hal yang akhirnya akan kusesali seumur hidup.
Oke,
terakhir kali aku hanya berdua dengan laki-laki yang bukan pacar atau
anggota
keluargaku, itu tidak berakhir buruk. Mudah-mudahan yang ini juga sama,
pikirku
dalam hati.
“Di?”
tanya Baron lagi.
Jana
kemudian mencairkan suasana dan berkata, “Ya sudah, lo antar Adri
pulang
sampai pintu rumahnya ya, awas kalau nggak,” dengan nada bercanda tapi
penuh
ancaman.
Sebelum
aku bisa berkata apa-apa lagi, Jana, Dara, dan Nadia sudah berlalu,
meninggalkanku
dengan Baron sendirian.
“Yuk,”
ucap Baron pelan sambil menggandengku menuju mobilnya yang
diparkir
tidak jauh dari situ.
Kami
baru saja berjalan beberapa langkah ketika aku mendapat ide cemerlang.
“Ron,
aku ke kamar mandi sebentar ya.” Aku langsung berlari ke dalam restoran
dan
masuk ke kamar mandi. Aku mengunci diriku di salah satu stall dan
duduk di
atas
toilet.
“Oh my God, what have I done?” ucapku pelan pada diriku sendiri.
Kutenggelamkan
wajahku di antara kedua belah tangan. Dalam kebingungan
sempat
terlintas ide untuk melarikan diri, tapi ketika aku mengintip ke luar untuk
memastikan
apakah aku bisa lari ke pintu keluar tanpa terlihat oleh Baron, ternyata
dia
sedang menungguku di depan pintu WC wanita.
Sialan!
Tidak mungkin!
Akhirnya
setelah mencoba menimbang-nimbang solusi lain dan tidak
mendapatkannya,
aku mengaku kalah dan melangkah ke luar kamar mandi dengan
wajah
pura-pura sakit perut.
“Ron...
aku kayaknya mendingan pulang deh, soalnya perutku sakit. Mungkin
tadi
aku salah makan.”
Baron
memandangku dengan tatapan curiga. “Dri, kamu pernah pakai alasan
itu
waktu kita masih SMP supaya kamu nggak usah diantar pulang sama sopirku
sehabis
Prom.”
Sekali
lagi Baron membuatku terkejut. Memang malam Prom itu Baron
menawarkan
untuk mengantarku pulang karena sebagai panitia, aku, dia, dan
beberapa
anak lainnya terpaksa pulang lebih lambat. Meskipun ada sopir yang
menjemputnya,
tapi aku tetap merasa takut berada sendirian di bangku belakang.
Akhirnya
aku meminta bapakku menjemputku.
“Waktu
itu kamu aku lepas pulang sendiri, walaupun alasan kamu nggak
masuk
akal. Kalau aku tahu malam itu malah terakhir aku ketemu kamu selama
lebih
dari sepuluh tahun berikutnya, aku nggak akan ninggalin kamu. Sekarang
kamu
harus ikut aku, ayo, nggak pakai alasan-alasan lagi.” Dan dengan begitu
Baron
menggeretku ke mobilnya.
Dalam
perjalanan ke mobil kami berpapasan dengan beberapa teman Baron
yang
memberikan pandangan tidak suka dan penuh curiga.
So i wasn’t the most popular kid in school. Big deal.
“Ron,
mau ke mana lo? Eh, itu anak orang mau lo kemanain?” tanya Irene, salah
satu
mantan pacar Baron.
“Ron,
Oli ke mana, Ron?” tanya seseorang lagi.
Beberapa
pertanyaan lain dilontarkan oleh teman-teman Baron yang tidak
digubris
sama sekali olehnya. Dia tetap menggenggam tanganku dan hanya
melambaikan
tangan pada teman-temannya.
Beberapa
saat kemudian aku menemukan diriku sedang dalam perjalanan
menuju
Tangerang. Setelah aku sadar bahwa Baron tidak akan membuka
pembicaraan,
aku berkata, “Ron, kita mau ke mana?” tanyaku pelan.
“Makan,”
jawabnya pendek.
“Tapi
kita baru makan,” ucapku bingung.
“Ya
kita makan lagi,” balasnya.
Kami
kemudian berdiam diri lagi. Akhirnya, bosan dengan kesunyian aku
menanyakan
satu hal yang sudah menggangguku semenjak malam kami bertemu di
Hard
Rock.
“Ron,
kamu sama Oli baik-baik saja, kan?” tanyaku pelan.
Tiba-tiba
tanpa disangka-sangka Baron memotong jalur ke kiri menuju tempat
peristirahatan
tol. Kemudian dia menghentikan mobilnya di bawah salah satu
lampu
neon besar yang menyinari pelataran rest
stop itu. Ketika dia mematikan
mesin
mobil kupikir dia mau ke toilet, tapi ketika dia tidak beranjak dari kursinya,
aku
jadi bingung. Rest stop itu terlihat sepi, hanya ada sekitar tiga mobil lain yang
parkir
cukup berjauhan dari mobil kami.
“Ehm...”
Aku mencoba untuk menanyakan kenapa dia berhenti tanpa sebab.
“Aku
nggak mau ngomongin Oli lagi. Aku mau ngomongin tentang kita. Kamu
tuh
bikin aku gila, tahu nggak?”
Aku
tidak ingat persis apa yang terjadi, tiba-tiba aku dapat merasakan Baron
mencium
bibirku dengan paksa, tangan kirinya mencengkeram leherku dan tangan
kanannya
sudah ada di atas pahaku yang untungnya tertutup celana jins.
Karena
terlalu kaget selama beberapa detik aku tidak berbuat apa-apa.
Ciumannya
terasa sangat terburu-buru, aku tidak terbiasa dengan jenis ciuman
seperti
ini. Aku bisa merasakan lidah Baron di seluruh mulutku dan kedua
tangannya
di sekujur tubuhku. Aku mencoba menjaga mulutku agar tetap tertutup.
Tapi
kemudian tangan kanannya masuk ke bawah kausku dan semua pertahananku
hilang.
Aku buka mulutku dan merasakan lidah Baron bersentuhan dengan lidahku.
Kedua
tanganku melingkari lehernya dan menariknya untuk lebih dekat denganku.
Aku
dapat merasakan kulit tengkuk Baron terasa agak basah.
Dari
bibirku Baron mengalihkan ciumannya ke arah leher dan aku bisa
merasakan
giginya di leherku. Meskipun tidak keras, tapi aku yakin besok aku
harus
pakai turtle neck, kalau tidak, semua orang bisa lihat bekasnya. Tubuhku mulai
terasa
gerah, seperti aku sedang berdiri terlalu dekat dengan api unggun. Entah
suara-suara
aneh apa yang kukeluarkan ketika menciumnya, tapi aku bisa
mendengar
geramannya ketika aku mulai menggunakan lidahku untuk
merasakannya.
Baru aku sadar, sudah terlalu lama aku menghabiskan waktuku
tanpa
mencium orang yang aku betul-betul suka. Minus Ervin, karena itu bukan
ciuman,
tapi kecelakaan.
Ketika
teringat Ervin, pikiran bersalah muncul di benakku. Stop, aku tidak boleh
seperti
ini. Ciuman tidak akan menyelesaikan masalah. Aku mencoba untuk berpikir
jernih.
“Stop,”
aku mencoba mengatakan kata itu di antara ciuman Baron yang semakin
tinggi
intensitasnya. Aku mencoba menekan dadanya agar menjauh, tapi rupanya
itu
justru malah membuatnya menciumku lebih dalam lagi. Jujur saja, aku rasanya
sudah
mau gila. Aku mau berteriak slow down, this is going too fast. Alhasil yang
keluar
adalah, “Stop,” aku berkata lagi dengan lebih keras.
“No!!”
Kudengar suara Baron di antara napasnya yang semakin memburu.
Aku
kemudian mendorong bahunya sekuat tenaga, sambil berteriak. “Aku
bilang
stop.” Baron melepaskan cengkeramannya pada leherku dan menarik
tangannya
dari kait braku yang sudah berhasil dia lepas. Dia terlihat shock. Aku
mencoba
menarik napas, begitu juga dia. Aku mengambil napas dalam-dalam
sebelum
berkata, “What the hell are we doing?”
“Di...”
Baron mencoba berbicara.
Aku
menatap wajahnya yang terlihat agak-agak marah, bersalah, tersinggung,
bingung,
dan sedih. Bibirnya yang selalu kemerah-merahan sekarang lebih merah
lagi
karena ciumanku.
Did I do that? tanyaku
pada diriku sendiri.
Rambutnya
yang tadinya rapi, kini agak berantakan. Tanpa sadar ternyata aku
sudah
membuka semua kancing di kemeja hitamnya yang tadinya tertutup rapat.
Untung
kausnya masih terpasang. Aku yakin penampilanku tidak jauh berbeda
dengannya.
Kualihkan perhatianku dengan mencoba untuk merapikan rambutku
menggunakan
jari-jariku dan memasang kait braku kembali. Baron pun merapikan
kemeja
dan rambutnya.
“Bisa
antar aku pulang, Ron?” tanyaku walaupun nadaku lebih seperti perintah
daripada
permintaan. Tiba-tiba terbayang wajah Olivia di kepalaku. Dalam hati aku
memohon
maaf kepada Olivia karena telah melakukan hal yan gbisa menyakitkan
hatinya
kalau dia sampai tahu. Aku berterima kasih kepada Tuhan karena telah
menyadarkanku.
Sejujurnya, kalau aku membiarkan diriku, entah apa yang sudah
kukerjakan.
Bagaimana
mungkin hanya karena Baron, aku hampir rela melepaskan
keperawananku.
Di mobil, pula. Rasa marah mulai muncul ketika aku sadar bahwa
kelihatannya
ini bukan pertama kalinya Baron melakukan hal ini di mobil. Perutku
langsung
terasa mual.
Kurasakan
Baron menarikku ke pelukannya dan berkata sesuatu yang akhirnya
bisa
kudengar dengan jelas. “I’m sorry,
I’m sorry, I’m sorry...” Dia mencium
keningku
dan
memelukku semakin erat.
Aku
mengistirahatkan kepalaku di dadanya, aku dapat mencium aroma
tubuhnya
yang khas. Aroma yang kucintai karena aku mencintainya. Aku
merasakan
jantungnya masih berdetak lebih cepat daripada biasanya.
“Aku
antar kamu pulang,” bisik Baron pelan.
Aku
mengangguk. Baron pun melepaskan pelukannya dan men-starter mobil.
Kami
tidak berbicara sepatah kata pun dalam perjalanan pulang ke rumahku. Aku
hanya
bersuara untuk memberikan arah.
“Aku
telepon kamu besok,” ucap Baron ketika aku akan melangkahkan kakiku
keluar
dari mobilnya setibanya kami di depan rumahku.
Aku
hanya menggeleng tanpa menatap Baron. Aku masih mencoba mencerna
kejadian
sejam yang lalu. Aku bingung, apa sebenarnya arti semua ini?
Baron
menarik bahuku dan memaksaku menatapnya. “Camkan ini, Di, aku cinta
kamu.”
Lalu Baron melepaskanku.
Oh my God. I am sooooo screwed.
Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 13
No comments:
Post a Comment