Sunday, September 6, 2015

Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 12

12. KUCING-KUCINGAN

SESUAI dengan rencanaku, selama beberapa hari aku sukses menghindari Ervin.
Karena aku tidak pernah mengangkat HP-ku akhirnya Ervin berusaha
menghubungiku di rumah. Nomor telepon yang sebelumnya adalah off limits
baginya. Tapi atas bantuan Sony, asistenku si pengkhianat itu, Ervin pun
mendapatkan nomor telepon rumahku. Beberapa kali dia menelepon tapi aku tidak
ada di rumah, tapi aku dan dia tahu bahwa aku menolak untuk menerima telepon
itu. Setiap kali dia meninggalkan pesan, suaranya terdengar semakin putus harapan.
Rupanya dia betul-betul ingin bicara denganku. Hingga akhirnya Ervin
meninggalkan voicemail untukku, yang membuatku merasa bersalah karena tidak
menghiraukannya.
“Adri, ini gue. Kita perlu bicara. Gue nggak tahu gue salah apa lagi sama elo.
Why won’t you talk to me? Apa gara-gara kejadian malam itu? I’m sorry, okay. Tapi,
tolong dong telepon gue, biar kita bisa ngomongin soal itu. Please...
Alasan aku menolak untuk berbicara dengan Ervin sebetulnya cukup simple.
Aku masih perlu waktu untuk menganalisis perasaanku terhadapnya.
* * *
Suatu sore ketika aku baru saja pulang dari rumah kakakku yang sudah
diperbolehkan pulang dari rumah sakit oleh dokter, Sarah meneleponku. Aku tahu
bahwa kemungkinan besar Ervin memintanya untuk melakukannya, dan aku tahu
bahwa mungkin Sarah sudah tahu panjang-lebar tentang kejadian memalukan
beberapa hari yang lalu di rumahku itu.
“Mbak, ini Sarah.”
“Halo, Sar, apa kabar? Kita masih jadi kan jalan buat weekend depan?”
“Iya, jadi dong. So kita mau ke mana nih? Oh iya, omong-omong congrats ya,
kakaknya Mbak sudah punya momongan, aku baru dengar dari Ervin.”
Aku langsung terdiam ketika mendengar Sarah menyebutkan nama Ervin.
Entah kenapa, tapi tiba-tiba perutku terasa mulas. Aku baru sadar kemudian bahwa
Sarah sedang memanggil-manggil namaku.
“Mhhhh, ke tempat biasalah. Anyway, iya, makasih, gue sudah jadi tante nih,”
ucapku sambil tertawa. Itu adalah pertama kali aku bisa tertawa lepas dan bebas.
Bebas dari Ervin.
Untuk pertama kalinya aku sadar bahwa sudah sekitar tiga hari belakangan ini
wajah, bahkan nama Baron tidak pernah terlintas di kepalaku. Yang ada di
pikiranku cuma Ervin.
“Ya sudah, jadi jam satuan ya.” Kata-kata Sarah membangunkanku dari
lamunan.
Sebelum aku menutup telepon Sarah berkata, “Omong-omong, telepon Mas
Ervin tuh, dia lagi agak-agak sedih.”
Sebelum aku bisa membalas komentarnya, Sarah sudah menutup telepon.
Ketika mendengar nama Ervin aku hanya bisa terdiam. Meskipun aku sudah
menyangka komentar itu akan muncul cepat atau lambat, aku tetap mengharapkan
bahwa itu akan terjadi nanti, tidak secepat ini. Dan Sarah menyebut Ervin dengan
kata Mas, ini berarti urusannya memang serius.
* * *
Selama beberapa hari aku masih tetap main kucing-kucingan dengan Ervin.
Akhirnya suatu Selasa malam ketika aku sedang tidur-tiduran dengan ibuku di
tempat tidurnya, beliau pun menanyakan tentang Ervin.
“Di, teman kamu yang waktu itu nungguin kamu di rumah sakit baik juga ya.”
Aku tidak menghiraukan komentar ibuku, mataku terus memandang televisi.
“Kok kamu nggak mau terima teleponnya sih? Memangnya kenapa?”
Aku pura-pura tidak mendengarkan ibuku.
“Eh, Di, ditanya kok cuek gitu sih?”
Akhirnya aku mengalihkan mataku dari televisi dan menatap ibuku. “Nggak
kenapa-napa kok, lagi nggak mood saja ngomong sama dia.”
“Lho kok gitu sih, sudah diantar, ditungguin sampai pagi... kurang apa lagi?”
“Kurang sih nggak, cuma...”
“Cuma kenapa? Tapi kan kasian lho, dia sudah nelepon beberapa kali, lamalama
Ibu jadi nggak enak kan bohong sama dia. Sudah mana kerjaannya nanyain
kabarnya Ibu sama Bapak lagi.”
“Ah, dasar enyak-enyak, susah deh. Itu memang style-nya Ervin, Bu, selalu
kayak gitu.”
“Oh?”
Tiba-tiba bapakku yang dari tadi berpura-pura sibuk dengan pekerjaannya di
ruang sebelah, meskipun aku tahu dia juga ikut mendengarkan percakapan kami,
mengomentari, “Ngomongin siapa sih?” teriaknya.
“Mau tahu saja deh,” jawab ibuku juga dengan berteriak keras.
“Ngomongin si Muffin lagi deh ya?” balas bapakku tidak kalah kerasnya.
Aku dan Ibuku saling tatap. “Hah?” ucap kami bersamaan.
“Iya, katanya Tita, kamu kan suka jalan sama si Muffin itu, kan?” lanjut
bapakku.
“Pak, Ervin, E-R-V-I-N, bukan Muffin, memangnya makanan,” balasku sambil
mengulum senyum. “Ye... masa gosipin tentang aku sama Mbak Tita sih?”
tambahku.
Aku terbahak-bahak mendengar komentar bapakku. Bapakku adalah orang
terakhir yang kupikir akan tertarik pada love life-ku. Sebagai seorang konsultan
pajak yang cukup sukses, bapakku hampir tidak pernah ada di rumah. Empat hari
dalam satu minggu dia biasanya ada di luar kota untuk memberikan pelatihan atau
seminar pajak. Terkadang ibuku ikut menemani, tapi lebih sering ibuku memilih
tinggal di rumah saja.
“Memangnya menurut Ibu sama Bapak orangnya oke, ya?”
Aku mendengar langkah bapakku menuju ke arah kamar tidur. Tidak lama
kemudian dia muncul sambil mengangguk lalu berkata, “Yah, itu kan kamu yang
bisa nilai.”
“Oh iya, reuniannya kamu kapan tuh?” tanya ibuku.
“Sabtu depan,” jawabku.
Dengan begitu pembicaraan kami pun berakhir.
* * *
Aku tidak membalas telepon Baron sekali pun, semenjak dia meneleponku beberapa
hari yang lalu. Banyak permasalahan yang harus kuselesaikan dengan Ervin dulu.
Akhirnya hari Sabtu, Desember tanggal 15 pun tiba. Jana sudah memutuskan bahwa
dia yang akan menjemputku, karena untuk pertama kalinya dia bisa punya waktu
off dari anak-anaknya, dan dia mau merayakan hari kebebasannya itu. Karena acara
reuninya akan dimulai sekitar jam tujuh, Jana menjemputku jam lima sore,
kemudian dalam perjalanan, kami menjemput Dara. Nadia yang rumahnya di ujung
dunia, alias di Kelapa Gading, terpaksa harus naik taksi apabila Kafka, suaminya,
menolak mengantarnya. Tapi tentu saja sebagai suami tercinta, Kafka seperti biasa
bersedia mengantar sang istri ke mana pun dia pergi.
“Dri, lo nggak apa-apa? Muka lo agak panik gitu,” tanya Jana.
“Gue kelihatan panik?” Aku mencoba mencari cermin. Aku melatih senyumku
beberapa kali di depan cermin tempat bedakku. Setelah puas bahwa wajahku sudah
cukup ceria, aku kembali memfokuskan perhatianku pada percakapan dengan
sobat-sobatku.
Setibanya kami di Senayan, suasana reuni sudah dimulai. Mulai dari angkatan
kelas satu sampai kelas tiga, mulai dari anak kelas A hingga D, semuanya terlihat
bercakap-cakap dan bernostalgia bersama-sama. Ketika aku melangkah masuk ke
restoran, aku dapat mengenali Baron dari kejauhan. Dia sedang ngobrol dengan
beberapa orang lain yang tidak terlalu kukenal. Baron kemudian berpaling dan
melihatku. Dengan antusias dia melambaikan tangannya, dan hanya dengan satu
senyuman dari Baron, hilanglah Ervin dari pikiranku. Tiba-tiba jantungku berdetak
lebih kencang dan aku merasa sedikit gerah.
“Dri, Dri, itu Baron, kan?” bisik Jana. Aku langsung mengangguk.
“Masih ganteng ya,” tambah Dara.
Kami bertiga kemudian tertawa mendengar komentar itu. Nadia yang baru
datang langsung nimbrung. Berempat kami melangkah mencari penyegar
kerongkongan, lebih tepatnya minuman bersoda. Kalau bisa yang ada alkoholnya
untuk menenangkan detak jantungku yang melonjak-lonjak karena melihat Baron
dengan kemeja lengan panjang berwarna hitam dan jins yang membuatnya terlihat
lebih... handsome daripada biasanya.
Koordinasi reuni itu ternyata cukup baik. Makanan yang tersedia adalah buffet,
dan meskipun ada sekitar dua ratus orang yang hadir, kami tidak merasa penuh
sesak, dan semua orang terlihat cukup menikmati suasana reuni. Aku pun
melupakan Baron untuk beberapa saat dan mulai sibuk ngobrol dengan banyak
orang yang sudah lama tidak kutemui. Khresna yang dulunya adalah badut kelas
sekarang sudah jadi dosen bahasa Jerman di UI. Hartawan, anak yang dulunya
sering dijadikan bual-bualan anak-anak karena tingkah laku kocaknya, sekarang
sudah jadi pengacara yang cukup andal. Rini, anak yang dulunya sering dipanggil
“brung” karena ukuran tubuhnya yang cukup besar sehingga kalau berjalan seperti
mengeluarkan suara “brung... brung... brung...”, sekarang berpenampilan bagaikan
model. Tinggi dan langsing.
Tanpa disadari, jam di tanganku sudah menunjukkan pukul sepuluh. Ketika aku
dan sobat-sobatku sedang minum-minum dan ngobrol, tiba-tiba kulihat Baron
menghampiri kerumunan kecil kami. Nadia yang duduk di sebelahku ternyata
langsung memberikan kode kepada Jana dan Dara yang duduk membelakangi
Baron.
“Halo,” sapa Baron padaku.
Ketiga sobatku yang langsung sadar bahwa kemungkinan besar Baron mau
ngobrol denganku, meninggalkanku dengannya. Tapi sebelumnya, aku sadar Jana
menggenggam tanganku untuk memastikan bahwa aku memang ingin sendiri
dengan Baron. Aku menurunkan daguku sebagai tanda “Ya” dan Dara dan Nadia
langsung menggeret Jana ke arah toilet wanita.
“Sori, mereka memang suka kayak gitu.” Aku berusaha keras untuk
menjelaskan tingkah laku ketiga sobatku yang dari dulu sampai sekarang masih
suka kumat dan membuatku malu.
Baron hanya tersenyum dan duduk di kursi di sampingku.
Aku baru sadar bahwa sepanjang malam aku tidak melihat Olivia.
“Olivia ke mana, Ron?” tanyaku.
“Dia lagi ke Yogya,” jawabku singkat. “Anyway, omong-omong gimana kabar
kamu? Semenjak aku telepon habis Mbak Tita melahirkan, kita belum sempat
ngobrol lagi.”
“Iya... sori, tapi aku lagi banyak kerjaan akhir-akhir ini,” ucapku berbohong.
Mudah-mudahan Baron tidak melihat kebohonganku ini.
Baron sempat terlihat ragu, tapi kemudian dia tersenyum. “Bagus deh kalau
gitu, soalnya aku sangka kamu menghindar dari aku.”
“Menghindar? Nggak lah, mana bisa, aku kan...” Aku kemudian sadar bahwa
kalimat yang akan kukatakan selanjutnya bukanlah sesuatu yang akan mampu
kukatakan kepadanya.
“Kamu kenapa?”
“Nggak, nggak, nggak apa-apa.”
Setelah beberapa saat kami pun hanya duduk tanpa berbicara. Dapat kulihat
tatapan beberapa teman Baron yang kurang mengenakkan kepadaku.
“Ron, mmmhhhh, kayaknya aku mesti... nyari anak-anak deh, lagian juga
teman-teman kamu pasti mau ngobrol sama kamu juga.” Aku buru-buru berdiri,
tapi Baron menarik pergelangan tanganku.
“Eh, Dri, Dri, mau ke mana?” tanya Baron menahanku.
Aku hanya melirikkan mataku ke arah teman-temannya yang sekarang sedang
melemparkan pandangan sadis kepadaku, dan Baron pun mengerti. Baron
meletakkan gelas yang sedang dipegangnya, menggandeng tanganku dengna paksa
dan menggeretku keluar dari restoran. Aku kaget ketika dia berani menggandengku
di depan teman-temannya, membuatku semakin kikuk.
Baron tidak melepaskan genggamannya ketika kami sudah ada di luar restoran.
Dia menuntunku untuk duduk bersamanya di salah satu meja yang tersedia di sana
sebelum kemudian duduk di sampingku. Dalam hati aku tahu ini salah. Ada satu
motto hidupku kalau sudah menyangkut cinta. Jangan pernah ngambil pacar orang,
tunangan orang, apalagi suami orang. Nanti kamar. Tapi aku tidak mampu
membuat diriku melangkah pergi dari Baron.
“Kamu nggak enak ya sama anak-anak?” tanya Baron.
Aku tidak menjawab pertanyaannya, hanya mengangkat kedua alisku.
Lalu Baron bertanya tiba-tiba, “Jadi kamu sama Ervin dekat?”
Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaannya. “Wah, kamu mesti kasih
definisi „dekat,” balasku sambil tertawa.
“Jujur, aku agak kaget waktu lihat kamu sama dia di Hard Rock,” Baron
melontarkan pernyataan ini dalam satu napas sebelum melanjutkan. “Aku nggak
nyangka ternyata kamu date-nya Ervin. Sebetulnya, aku yang mau ngajak kamu ke
Hard Rock Sabtu malam itu.”
Aku terbatuk-batuk beberapa menit dan Baron menepuk-nepuk punggungku.
Tenggorokanku terasa kering. “Aku sama Ervin memang suka jalan bareng, itu
saja,” akhirnya aku bisa berkata.
“Jadi kamu nggak dating sama dia?” Baron ternyata cukup serius dengan seri
pertanyaan ini.
“Memangnya kenapa sih nanya-nanya?” tanyaku akhirnya.
“Nggak, soalnya... dari nada bicara dan tindakan Ervin, aku menangkap
hubungan kalian lebih daripada sekadar teman.”
Oh, rupanya bukan aku saja yang sadar soal tingkah laku aneh Ervin malam itu.
“Apa kamu lagi dekat sama orang lain?” tanya Baron lagi.
Aku rasnaya ingin melempar sepatuku ke Baron. Buat apa dia menanyakan
urusan pribadiku? Dia saja yang tidak tahu apa yang menyebabkan kehidupan
cintaku berantakan total seumur hidupku.
“Nggak,” akhirnya aku menjawab. “Nggak ada waktu,” lanjutku.
Baron mengangguk puas. Percakapan pun berganti arah. “Kamu tadi datang
sama siapa?” tanyanya.
Aku yang merasa lega atas bahan pembicaraan baru, menjawab, “Jana tadi yang
jemput aku, kami datang bertiga sama Dara.”
“Oh.”
So, kamu kok nggak ikut Oli ke Yogya?” tanyaku.
“Nggak. Katanya dia mau pergi sendiri,” balas Baron cuek.
Aku menatap Baron dengan bingung. Entah kenapa kok sepertinya aku
mendapati bahwa dia tidak terlihat kehilangan, bahkan terlihat agak-agak tidak
peduli pada Olivia.
“Oh,” adalah satu-satunya kata yang bisa kukeluarkan.
“Kamu masih suka berenang?” tanya Baron tiba-tiba.
Aku kemudian tertawa, karena teringat memori itu. Baron dan aku memang
bergabung dalam tim renang sekolah kami sewaktu SMP kelas satu dan dua. Aku
ingat betul bahwa selama dua tahun kami banyak menghabiskan waktu bersamasama
hanya dengan mengenakan pakaian renang yang cukup minim.
Aku menggeleng. “Sudah nggak. Kamu?”
Baron pun menggeleng.
Akhirnya aku memberanikan diri untuk menanyakan pertanyaan yang keluar
dari mulut Ervin ketika di Hard Rock.
“Ron... aku boleh tanya sesuatu ke kamu?”
Baron menatapku dan mengangguk.
“Apa maksud Ervin waktu dia bilang kalau kamu cinta mati sama aku waktu
SMP?”
Baron terdiam sesaat sebelum menjawab, “Kamu dengar kata-kata itu ya? Aku
sangka kamu nggak dengar. Aku berharap kamu nggak dengar.”
Aku tertawa garing. “Kamu suka sama aku waktu itu?” candaku dengan nada
getir.
“Apa kamu nggak pernah tahu itu?” lanjutnya pelan sambil mengempaskan
tubuhnya ke sandaran kursi.
Aku tidak bisa bernapas. He liked me? teriakku dalam hati. Aku masih tidak
percaya.
“Ada rasa sih, aku juga waktu itu sempat suka sama kamu....”
Cinta sama kamu lebih tepatnya, ucapku dalam hati.
Baron memotong kalimatku. “Kamu juga suka sama aku??!! Tapi kenapa kok
kamu nggak pernah ngasih perhatian ke aku sih?”
Aku hanya memandangnya dengan tatapan kosong. Bagaimana aku bisa
menjelaskan bahwa aku tahu jenis perempuan yang dia suka dan aku jelas-jelas
tidak memiliki kriteria yang diinginkannya. Atau yang kupikir “diinginkannya”.
“Padahal aku sudah berusaha narik perhatian kamu, tapi kayaknya kamu nggak
ada interest sama sekali ke aku. Kadang-kadang memang kamu suka baik, dan
sesekali, meskipun itu jarang, kalau aku kepergok lagi ngeliatin kamu, kamu
senyum ke aku. Tapi itu saja,” lanjut Baron berapi-api.
Aku tahu betul bahwa pernyataannya penuh dengan fakta. “Iya, sori, but give me
a break, will you, I was 15. Lagian seluruh sekolah selalu tahu kalau kamu sama Olivia
will be together eventually. Terus belum lagi gara-gara banyak yang suka sama kamu.
Tambahan lagi setelah agak lama, aku lihat kamu juga nyuekin aku, jadi ya sudah.”
Baron teridam beberapa saat. Urat-urat di lengannya keluar sehingga terlihat
seperti tato dengan garis-garis biru.
“Aku bukan nyuekin kamu, tapi aku nyoba untuk move on,” jelas Baron pelan.
“Kamu tahu nggak aku perlu waktu bertahun-tahun untuk ngelupain kamu?”
Ya Tuhan. Apa mungkin Baron telah mencintaiku selama bertahun-tahun tanpa
sepengetahuanku?
“Ron...”
“Kenapa kamu harus muncul sekarang, Di? Kenapa nggak setahun yang lalu?
Atau bahkan enam bulan yang lalu?” Baron menatapku dalam. Aku masih belum
bisa mencerna semua informasi yang dilemparkannya secara bertubi-tubi itu.
“Nggak akan ngaruh, Ron. Kamu tetap akan married sama Olivia, dan aku tetap
akan...” Sebelum aku bisa menyelesaikan alur pemikiranku Baron sudah
memotongku.
“Nggak, nggak... Kamu nggak ngerti maksud aku...”
“Ron...”Aku berusaha menahan emosi Baron yang sedang meluap-luap.
Tapi bagaikan tidak mendengarku, Baron melanjutkan penjelasannya. “Aku
kelimpungan waktu tahu kamu berangkat ke Amerika, jauh banget, aku nggak bisa
ngejar. Aku pernah nyoba beberapa kali untuk cari tahu informasi tentang kamu,
tapi aku terlalu gengsi untuk nanya ke teman-teman kamu, dan itu memang salah
aku, aku akui itu, tapi aku mau memperbaiki itu semua. Kalau aku tinggalin Olivia,
apa kamu mau sama aku?”
Holy shit. He loves me, NOT “loved”, untuk masa lalu, he “loves” me, with an “s”,
untuk saat ini.
Tapi ketika kalimat terakhirnya dapat dicerna oleh otakku di antara katakatanya
yang lain yang membuat hatiku berbunga-bunga, rasa bungah itu hilang
dalam sekejap mata.
“Oke, stop, stop sekarang juga. Kamu nih ngomong apa sih?” teriakku panik.
Tanpa kusangka-sangka Baron kemudian menggenggam tanganku dan
mencoba mencari suatu kepastian dariku. Tiba-tiba kulihat Nadia sedang berjalan
cepat ke arahku. “Dri, Dri, eh, gue harus pulang nih. Kafka sudah jemput.”
Nadia berhenti beberapa langkah dari hadapanku. Tatapannya jatuh ke tangan
kananku yang sedang digenggam erat oleh Baron. Aku yakin Nadia juga tidak
ketinggalan melihat wajah kami berdua yang merah padam. Dengan rasa bersalah
aku buru-buru melirik ke jam tanganku yang sudah menunjukkan jam 00.10, buruburu
kutarik tanganku dari genggaman Baron.
“Gila, gue sangkain masih jam sebelas. Ya sudah, say hi ya buat Kafka.” Aku
bergegas berdiri dan melangkah ke arah Nadia, memeluk dan mencium pipinya.
“Telepon gue besok, atau gimana kek, minggu depan mungkin kita bisa jalan lagi.”
Nadia hanya berdiri terpaku beberapa saat tanpa reaksi. Dan situasi menjadi
semakin parah ketika Dara muncul sambil meneriakkan namaku. “Dri... Nih dia
anaknya, dicariin dari tadi sama Jana, dia mau pulang, gue juga sudah capek.”
Ketika Dara sadar bahwa Baron sedang berdiri di belakangku, dia terdiam dan
memberikan pandangan penuh tanda tanya kepada Nadia yang hanya mengangkat
bahu. Kemudian kurasakan tangan Baron di leherku. Otomatis aku langsung
merinding. Dan aku yakin itu bukan gara-gara angin sepoi-sepoi yang tiba-tiba
bertiup.
“Dri?” tanya Dara padaku sambil menatap Baron dengan penuh cirga.
“Kamu sudah mau pulang?” tanya Baron padaku dan tidak menghiraukan
tatapan curiga dari Dara.
“Nggak, eh... iya, aduh...” Aku terbata-taba. Lalu aku menghitung sampai tiga
dalam hati sebelum berbicara lagi. “Jana yang antar aku ke sini, kalau aku nggak
pulang sama dia, nanti aku nggak bisa pulang,” jawabku.
Saat itu juga Jana muncul sambil melambai-lambaikan tangannya memanggilku
dan Dara. “Woi... pulang yuk,” teriaknya.
Pada saat yang bersamaan aku melihat serombongan teman Baron memandang
ke arahku karena teriakan Jana yang cukup keras itu.
“Aku bisa antar kamu pulang kalau misalnya kamu belum mau pulang,” tibatiba
Baron berkata, yang tentunya membuat aku, Dara, dan Nadia kaget.
Pada saat itu kulihat Jana berjalan ke arahku. “Sudah siap?” Ketika dia melihat
bahwa aku sedang berdiri dengan Baron, Jana pun mencoba untuk menaturalkan
suasana. “Eh, elo, Ron, masih ngobrol saja sama Adri.”
Baron melemparkan senyumannya, karena dia tahu Jana hanya mencoba untuk
meringankan suasana. Tapi dia ngedrop bom terakhirnya yang paling dahsyat.
“Kalau lo pada suah mau pulang, gue bisa antar Didi nanti,” ucap Baron tanpa
berkedip ketika menatap Dara, Jana, dan Nadia.
Lidahku langsung kelu, kerongkonganku kering, perutku terasa mual dan aku
tidak bisa bernapas. Jana yan gmasih belum sadar apa yang terjadi hanya tersenyum
bingung.
“Nggak apa-apa kan kalau sobat lo gue pinjam malam ini?” tanya Baron lagi
dengan penuh harap pada Dara.
Aku memandang Baron tidak percaya, dalam hati aku berkata, “Are you kidding
me?
“Gimana, Dri?” tanya Dara.
Aku terdiam. Aku harus membuat pilihan. Di satu sisi aku tahu bahwa
pembicaraanku dengan Baron masih jauh dari kata “Selesai”. Tapi di sisi lainnya
aku tidak berani untuk sendirian dengan Baron. Aku tidak bisa memercayai diriku
sendiri untuk tidak melakukan hal-hal yang akhirnya akan kusesali seumur hidup.
Oke, terakhir kali aku hanya berdua dengan laki-laki yang bukan pacar atau
anggota keluargaku, itu tidak berakhir buruk. Mudah-mudahan yang ini juga sama,
pikirku dalam hati.
“Di?” tanya Baron lagi.
Jana kemudian mencairkan suasana dan berkata, “Ya sudah, lo antar Adri
pulang sampai pintu rumahnya ya, awas kalau nggak,” dengan nada bercanda tapi
penuh ancaman.
Sebelum aku bisa berkata apa-apa lagi, Jana, Dara, dan Nadia sudah berlalu,
meninggalkanku dengan Baron sendirian.
“Yuk,” ucap Baron pelan sambil menggandengku menuju mobilnya yang
diparkir tidak jauh dari situ.
Kami baru saja berjalan beberapa langkah ketika aku mendapat ide cemerlang.
“Ron, aku ke kamar mandi sebentar ya.” Aku langsung berlari ke dalam restoran
dan masuk ke kamar mandi. Aku mengunci diriku di salah satu stall dan duduk di
atas toilet.
Oh my God, what have I done?” ucapku pelan pada diriku sendiri.
Kutenggelamkan wajahku di antara kedua belah tangan. Dalam kebingungan
sempat terlintas ide untuk melarikan diri, tapi ketika aku mengintip ke luar untuk
memastikan apakah aku bisa lari ke pintu keluar tanpa terlihat oleh Baron, ternyata
dia sedang menungguku di depan pintu WC wanita.
Sialan! Tidak mungkin!
Akhirnya setelah mencoba menimbang-nimbang solusi lain dan tidak
mendapatkannya, aku mengaku kalah dan melangkah ke luar kamar mandi dengan
wajah pura-pura sakit perut.
“Ron... aku kayaknya mendingan pulang deh, soalnya perutku sakit. Mungkin
tadi aku salah makan.”
Baron memandangku dengan tatapan curiga. “Dri, kamu pernah pakai alasan
itu waktu kita masih SMP supaya kamu nggak usah diantar pulang sama sopirku
sehabis Prom.”
Sekali lagi Baron membuatku terkejut. Memang malam Prom itu Baron
menawarkan untuk mengantarku pulang karena sebagai panitia, aku, dia, dan
beberapa anak lainnya terpaksa pulang lebih lambat. Meskipun ada sopir yang
menjemputnya, tapi aku tetap merasa takut berada sendirian di bangku belakang.
Akhirnya aku meminta bapakku menjemputku.
“Waktu itu kamu aku lepas pulang sendiri, walaupun alasan kamu nggak
masuk akal. Kalau aku tahu malam itu malah terakhir aku ketemu kamu selama
lebih dari sepuluh tahun berikutnya, aku nggak akan ninggalin kamu. Sekarang
kamu harus ikut aku, ayo, nggak pakai alasan-alasan lagi.” Dan dengan begitu
Baron menggeretku ke mobilnya.
Dalam perjalanan ke mobil kami berpapasan dengan beberapa teman Baron
yang memberikan pandangan tidak suka dan penuh curiga.
So i wasn’t the most popular kid in school. Big deal.
“Ron, mau ke mana lo? Eh, itu anak orang mau lo kemanain?” tanya Irene, salah
satu mantan pacar Baron.
“Ron, Oli ke mana, Ron?” tanya seseorang lagi.
Beberapa pertanyaan lain dilontarkan oleh teman-teman Baron yang tidak
digubris sama sekali olehnya. Dia tetap menggenggam tanganku dan hanya
melambaikan tangan pada teman-temannya.
Beberapa saat kemudian aku menemukan diriku sedang dalam perjalanan
menuju Tangerang. Setelah aku sadar bahwa Baron tidak akan membuka
pembicaraan, aku berkata, “Ron, kita mau ke mana?” tanyaku pelan.
“Makan,” jawabnya pendek.
“Tapi kita baru makan,” ucapku bingung.
“Ya kita makan lagi,” balasnya.
Kami kemudian berdiam diri lagi. Akhirnya, bosan dengan kesunyian aku
menanyakan satu hal yang sudah menggangguku semenjak malam kami bertemu di
Hard Rock.
“Ron, kamu sama Oli baik-baik saja, kan?” tanyaku pelan.
Tiba-tiba tanpa disangka-sangka Baron memotong jalur ke kiri menuju tempat
peristirahatan tol. Kemudian dia menghentikan mobilnya di bawah salah satu
lampu neon besar yang menyinari pelataran rest stop itu. Ketika dia mematikan
mesin mobil kupikir dia mau ke toilet, tapi ketika dia tidak beranjak dari kursinya,
aku jadi bingung. Rest stop itu terlihat sepi, hanya ada sekitar tiga mobil lain yang
parkir cukup berjauhan dari mobil kami.
“Ehm...” Aku mencoba untuk menanyakan kenapa dia berhenti tanpa sebab.
“Aku nggak mau ngomongin Oli lagi. Aku mau ngomongin tentang kita. Kamu
tuh bikin aku gila, tahu nggak?”
Aku tidak ingat persis apa yang terjadi, tiba-tiba aku dapat merasakan Baron
mencium bibirku dengan paksa, tangan kirinya mencengkeram leherku dan tangan
kanannya sudah ada di atas pahaku yang untungnya tertutup celana jins.
Karena terlalu kaget selama beberapa detik aku tidak berbuat apa-apa.
Ciumannya terasa sangat terburu-buru, aku tidak terbiasa dengan jenis ciuman
seperti ini. Aku bisa merasakan lidah Baron di seluruh mulutku dan kedua
tangannya di sekujur tubuhku. Aku mencoba menjaga mulutku agar tetap tertutup.
Tapi kemudian tangan kanannya masuk ke bawah kausku dan semua pertahananku
hilang. Aku buka mulutku dan merasakan lidah Baron bersentuhan dengan lidahku.
Kedua tanganku melingkari lehernya dan menariknya untuk lebih dekat denganku.
Aku dapat merasakan kulit tengkuk Baron terasa agak basah.
Dari bibirku Baron mengalihkan ciumannya ke arah leher dan aku bisa
merasakan giginya di leherku. Meskipun tidak keras, tapi aku yakin besok aku
harus pakai turtle neck, kalau tidak, semua orang bisa lihat bekasnya. Tubuhku mulai
terasa gerah, seperti aku sedang berdiri terlalu dekat dengan api unggun. Entah
suara-suara aneh apa yang kukeluarkan ketika menciumnya, tapi aku bisa
mendengar geramannya ketika aku mulai menggunakan lidahku untuk
merasakannya. Baru aku sadar, sudah terlalu lama aku menghabiskan waktuku
tanpa mencium orang yang aku betul-betul suka. Minus Ervin, karena itu bukan
ciuman, tapi kecelakaan.
Ketika teringat Ervin, pikiran bersalah muncul di benakku. Stop, aku tidak boleh
seperti ini. Ciuman tidak akan menyelesaikan masalah. Aku mencoba untuk berpikir
jernih.
“Stop,” aku mencoba mengatakan kata itu di antara ciuman Baron yang semakin
tinggi intensitasnya. Aku mencoba menekan dadanya agar menjauh, tapi rupanya
itu justru malah membuatnya menciumku lebih dalam lagi. Jujur saja, aku rasanya
sudah mau gila. Aku mau berteriak slow down, this is going too fast. Alhasil yang
keluar adalah, “Stop,” aku berkata lagi dengan lebih keras.
No!!” Kudengar suara Baron di antara napasnya yang semakin memburu.
Aku kemudian mendorong bahunya sekuat tenaga, sambil berteriak. “Aku
bilang stop.” Baron melepaskan cengkeramannya pada leherku dan menarik
tangannya dari kait braku yang sudah berhasil dia lepas. Dia terlihat shock. Aku
mencoba menarik napas, begitu juga dia. Aku mengambil napas dalam-dalam
sebelum berkata, “What the hell are we doing?
“Di...” Baron mencoba berbicara.
Aku menatap wajahnya yang terlihat agak-agak marah, bersalah, tersinggung,
bingung, dan sedih. Bibirnya yang selalu kemerah-merahan sekarang lebih merah
lagi karena ciumanku.
Did I do that? tanyaku pada diriku sendiri.
Rambutnya yang tadinya rapi, kini agak berantakan. Tanpa sadar ternyata aku
sudah membuka semua kancing di kemeja hitamnya yang tadinya tertutup rapat.
Untung kausnya masih terpasang. Aku yakin penampilanku tidak jauh berbeda
dengannya. Kualihkan perhatianku dengan mencoba untuk merapikan rambutku
menggunakan jari-jariku dan memasang kait braku kembali. Baron pun merapikan
kemeja dan rambutnya.
“Bisa antar aku pulang, Ron?” tanyaku walaupun nadaku lebih seperti perintah
daripada permintaan. Tiba-tiba terbayang wajah Olivia di kepalaku. Dalam hati aku
memohon maaf kepada Olivia karena telah melakukan hal yan gbisa menyakitkan
hatinya kalau dia sampai tahu. Aku berterima kasih kepada Tuhan karena telah
menyadarkanku. Sejujurnya, kalau aku membiarkan diriku, entah apa yang sudah
kukerjakan.
Bagaimana mungkin hanya karena Baron, aku hampir rela melepaskan
keperawananku. Di mobil, pula. Rasa marah mulai muncul ketika aku sadar bahwa
kelihatannya ini bukan pertama kalinya Baron melakukan hal ini di mobil. Perutku
langsung terasa mual.
Kurasakan Baron menarikku ke pelukannya dan berkata sesuatu yang akhirnya
bisa kudengar dengan jelas. “I’m sorry, I’m sorry, I’m sorry...” Dia mencium keningku
dan memelukku semakin erat.
Aku mengistirahatkan kepalaku di dadanya, aku dapat mencium aroma
tubuhnya yang khas. Aroma yang kucintai karena aku mencintainya. Aku
merasakan jantungnya masih berdetak lebih cepat daripada biasanya.
“Aku antar kamu pulang,” bisik Baron pelan.
Aku mengangguk. Baron pun melepaskan pelukannya dan men-starter mobil.
Kami tidak berbicara sepatah kata pun dalam perjalanan pulang ke rumahku. Aku
hanya bersuara untuk memberikan arah.
“Aku telepon kamu besok,” ucap Baron ketika aku akan melangkahkan kakiku
keluar dari mobilnya setibanya kami di depan rumahku.
Aku hanya menggeleng tanpa menatap Baron. Aku masih mencoba mencerna
kejadian sejam yang lalu. Aku bingung, apa sebenarnya arti semua ini?
Baron menarik bahuku dan memaksaku menatapnya. “Camkan ini, Di, aku cinta
kamu.” Lalu Baron melepaskanku.

Oh my God. I am sooooo screwed.


Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 13

No comments:

Post a Comment