Partner in Crime
Ratusan
ribu kalong menyerbu pesisir. Perutnya buncit
karena
puas menjarah putik kemang di pulau-pulau
kecil
tak bertuan. Kepaknya sombong tak peduli. Hewan
berparas
mengerikan serupa tikus terkutuk itu mendekor
langit
dengan bercak-bercak hitam, hanyut di angkasa dilatari
deburan
troposfer. Belitong menjelang malam, adalah
semburan
warna dari seniman impresi yang melukis spontan,
tak
dibuat-buat, dan memikat. Azan magrib mengalir
ke
dalam rumah-rumah panggung orang Melayu, umat berduyun-
duyun
menuju masjid, menuju kemenangan.
Masjid,
seperti oase bagi semua anak Melayu udik. Di
sana,
bukan sekadar tempat salat dan mengaji, tapi tempat
bermain
dan membuat janji-janji. Masjid nan indah, tasbihnya
berupa-rupa,
kaligrafinya memesona, dan pilar-pilar
tingginya
memantul-mantulkan suara. Di atas lantai pualam
terbentang
sajadah panjang dari Turki, semerbak harum
setanggi,
kitab-kitab tua sejarah nabi, dan lebih dari
Ayah
kembali pusing memikirkan namaku. Wajahnya redup.
Diusap-usapnya
kopiah resaman-nya. la kehabisan cara
mengatasiku
dan kehabisan nama untukku.
"Baiklah
Bujang, sekarang pilihlah sendiri nama untukmu...."
Saat
itu aku tengah membolak-balik halaman majalah
Aktuil. Di salah satu pojoknya aku membaca berita usang
tentang
polisi Italia yang dibuat repot seorang wanita sinting
karena
memanjat tiang telepon dan mengancam menerjunkan
diri
jika Elvis Presley tak membalas suratnya.
Nama
wanita itu Andrea Galliano.
"Ayahanda,
bagaimana kalau Andrea?"
Telinga
Ibu berdiri.
"Aih!
Nama macam apa itu? Itu bukan nama orang
Islam!"
semuanya,
para jemaah putri! Belum lagi satu kegembiraan
yang
aneh, kegembiraan yang secara ajaib menjelma kalau
Ramadan
tiba. Mungkin jika Ramadan, orang Islam mendadak
menjadi
dermawan, berebutan mengantar tambul
ke
masjid.
Semuanya
semakin indah karena keluarga kami memungut
Arai,
sepupu jauhku, yang mendadak menjadi sebatang
kara
dalam usia delapan tahun. Maka, aku memanggilnya
Lone
Ranger. la memanggilku Tonto dan kami
segera
menjadi partner in crime.
Andrea
Hirata 26
Ayah
berpendirian lain. Mungkin karena ia sudah mati
akal.
"Kalau
begitu maumu Bujang, apa tadi? Andrea... ah,
bagus
juga kedengarannya, tak ada salahnya dicoba ...."
Ibu
tak terima.
"Yah.
Ni, tak ada nama orang Melayu seperti itu. Itu
nama
orang Barat. Mereka tak peduli soal nama dan itu
nama
anak perempuan."
Ayah
menangkis.
"Bukankah
selalu kauidamkan anak perempuan, Bu?"
Ibu
berbalik meninggalkan kami, marah, tapi aneh, ia
tersenyum.
Mulai malam itu aku punya nama baru. Di peraduan
kukenang
kembali nama-namaku. Aku menarik kesimpulan,
ternyata
tabiat orang tak berhubungan dengan
gelar
yang disematkan kepadanya, bukan pula bagaimana
ia
menginginkan orang hormat kepadanya, tapi lebih pada
berapa
besar ia menaruh hormat kepada dirinya sendiri.
Kebenaran
sederhana ini membuat hatiku ngilu.
No comments:
Post a Comment