42
BIDADARI
- BIDADARI SURGA
"KAU
ada di Four Seasons Hotel, Miss Headstone. Kamar suite terbaik yang kami
miliki. Aku manajer hotel ini, ada yang bisa kubantu?"
Goughsky
nyengir, menatap wajah lebam Yashinta. Wajah yang mulai sadar. Matanya
mengerjap-ngerjap. Menatap sekitar. Ingin tahu. Di mana ia sekarang? Seperti
biasa, Si Mata Biru nya yang duduk di sebelah lebih dulu mengendalikan situasi.
Menjelaskan sambil bergurau.
Yashinta berusaha
duduk. Sakit. Semua bagian tubuhnya terasa sakit. Tapi ia bisa beranjak duduk.
Kaki kirinya di gips. Tulangnya ternyata hanya retak, tidak patah. Luka di
badannya sudah dikeringkan. Menyisakan gurat lebam membiru hampir di sekujur
tubuh. Kepalanya di bebat kain, ada dua luka di sana. Jadi rambut panjangnya
yang indah tertutupi.
Lima belas menit Goughsky tiba di posko awal,
helikopter milik Mr dan Mrs Yoko, yang sedang ada urusan bisnis di Indonesia
juga tiba. Pasangan paruh baya itu kebetulan sedang berada di sekitar Gunung
Semeru. Berbaik hati mengirimkan helikopter. Jadi tubuh pingsan Yashinta bisa
segera dilarikan ke rumah sakit kota provinsi terdekat. Mendapatkan pertolongan
pertama.
"Kau
sama sekali tidak terllhat cantik lagi, Miss Headstone." Goughsky nyengir
amat lebar. Bahkan tertawa. Membantu Yashinta duduk bersandarkan bantal-bantal.
Yashinta tidak
menjawab.Tubuhnya masih mengumpulkan tenaga. Kalau sedikit sehat, ia otomatis
akan mendelik, menyahut ketus, pura-pura marah. Ia sedang membiasakan diri menatap
ruang rawatnya yang terang benderang. Matanya silau setelah pingsan dua puluh
jam. Berjalan menyeret kakinya selama dua belas jam. Kemudian pingsan lagi enam
jam. Di luar sana semburat merah mulai terlihat, Pagi datang menjelang.
"Jam berapa
sekarang?"
"05.30,
masih sempat untuk shalat shubuh—"
Yashinta memejamkan
mata. Mengangguk. Kepalanya masih terasa nyeri. Berusaha mengingat kejadian dua
hari terakhir. SMS dari Mamak. Bergegas turun dari puncak Semeru. Kakinya yang
menginjak batuan getas. Jatuh, Menghajar dahan-dahan. Entahlah.... ia lupa.
Yang Yashinta ingat ia justru sedang bermimpi setelah itu. Duduk seharian
melihat anak berang-berang bermain di sungai. Celap-celup. Puas sekali.
Membuatnya lupa waktu. Hingga Kak Laisa menepuk bahunya. Mengajak pulang.
Cahaya-cahaya itu. Ia yang siuman. Tubuhnya yang terasa sakit. Kakinya yang
patah. Mengigit bibir, berjuang untuk keluar dari lembah tempat ia jatuh.
Melangkah tertatih dengan bantuan dua tongkat kayu di tangan. Turun. Ia harus
bergegas. Kak Laisa menunggu di perkebunan mereka. Kak Laisa?
"Kak
Lais?" Yashinta menoleh ke Goughsky.
"Baik....
Kak Lais baik-baik saja. Lima belas menit lalu Profesor Dalimunte menelepon,
Kak Laisa baik-baik saja, Kau tahu, saat Profesor Dalimunte menelepon, tiga
monster sibuk menyela, sibuk berteriak kapan kau tiba. Mereka seperti lupa
kalau Wawak mereka sedang sakit keras."
Yashinta tertunduk,
menghela nafas, sedih. Bagaimanalah? Dengan gips di kaki, dengan tubuh lemah
seperti ini, bagaimanalah ia bisa segera pulang. Kak Laisa pasti
menunggunya....
Kak
Laisa yang selalu ada ketika ia butuh. Sekarang? Saat Kak Laisa sakit keras dan
membutuhkan adik-adiknya? Tubuh Yashinta bergetar menahan sesak. Ia menangis
tertahan. "Kau jangan menangis, Yash." Goughsky menelan ludah. Meski
dia tipikal pemuda yang suka bergurau, Goughsky amat perasa. Tak tahan melihat
orang lain menangis. Mengingatkan ia dengan masa-masa yatimpiatu. Apalagi yang
menangis, Miss Headstone tersayangnya ini.
"Aku harus
pulang, Gough. Harus segera pulang.... Tapi kaki ini.... Ya Allah—"
"Kau
akan segera pulang, Yash. Pagi ini juga. Aku berjanji, paling lambat kita tiba
di Lembah Lahambay sebelum siang berakhir" Goughsky berkata mantap.
"Bagaimana?
Bagaimana caranya?"
"Kalau
Wawak sakit gini, nggak asyik! Kemarin nggak ada yang nemenin kita keliling
perkebunan. Padahal Delima sudah bawa sepeda BMX!"
"Iya,
Juwita juga sudah bawa sepeda." Juwita, 'saudara kembar'-nya (mereka lahir
dihari yang sama) menimpali. Mengurut kaki kiri Wak Laisa.
"Wawak
sakit apa sih? Sudah dua hari kok nggak sembuh-sembuh?" Delima bertanya,
menghentikan gerakan tangannya.
Laisa tersenyum. Berusaha memperbaiki duduknya. Cie
Hui membantu, sekalian membenahi posisi infus dan belalai plastik.
"Kalian
jangan banyak tanya, napa. Kata dokter tadi, Wak Laisa nggak boleh banyak
bicara dulu." Intan yang duduk di samping Wak Laisa dengan tissue di
tangan menyergah. Menyuruh adik-adiknya diam. Sok mengerti apa yang dokter bilang.
"Yeee.,.. Orang nanya gitu doang. Emang nggak
boleh!" Delima mendesis sebal dalam hati. Persis sekali ulah Ikanuri dulu
waktu kecil. Bersungut-sungut. Meneruskan mengurut kaki Wak Laisa.
Mereka baru saja selesai shalat shubuh. Duduk
berkeliling memenuhi kamar Kak Laisa. Di luar semburat merah semakin terang.
Embun menggantung di buah strawberry yang memerah, ranum. Ikanuri dan Wibisana
sudah jauh lebih tenang. Menatap anak-anak mereka yang sejak tadi sibuk protes.
"Kan kalau Wawak sehat, harusnya Wak Laisa bisa
ngelanjutin cerita sebulan lalu." Itu keluhan pertama Delima. Ia menunggu
cerita-cerita itu.
"Kan
setelah cerita, Wak Laisa nemenin kita jalan-jalan di lereng, mengambil embun
dengan tangkai rumput. Membuat kristal-kristal di telapak tangan." Itu
keluhan kedua Delima.
Tidak mengerti soal
kristal-kristal itu? Begini, kalian mencari tangkai rumput yang lembut, gagang
rumput teki misalnya. Lantas pelan-pelan mengambil embun menggelayut di daun.
Jangan sampai pecah. Kemudian diletakkan di telapak tangan. Membuat lukisan
dengan kristal embun. Berkilau diterpa cahaya matahai pagi. Saling sombong
telapak tangan siapa yang paling indah.
Nah, karena sudah terlanjur menjelaskan bagian yang
ini, kalian juga berhak tahu jawaban bagaimana sebenamya Mamak mendidik
anak-anaknya hingga menjadi begitu cerdas dan membanggakan. Tumbuh dengan
karakter yang kuat. Ahklak yang baik.
Tentu saja semua itu hasil dari proses yang baik.
Tidak ada anak-anak di dunia yang instant tumbuh seketika menjadi baik. Masa
kanak-kanak adalah masa 'peniru'. Mereka memperhatikan, menilai, lantas
mengambil kesimpulan. Lingkungan, keluarga, dan sekitar akan membentuk watak
mereka. Celakalah, kalau proses 'meniru' itu keliru. Contoh yang keliru.
Teladan yang salah. Dengan segala keterbatasan lembah dan kehidupan miskin,
anak-anak yang keliru meniru justru bisa tumbuh tidak terkendali.
Saat aku berkesempatan mampir di lembah indah
mereka, saat bicara dengan Mamak yang usianya hari itu sudah tujuh puluh tahun
(meski masih terlihat gagah), aku mengerti satu hal: bercerita. Mamak tidak
bisa memberikan mekanisme pendidikan canggih selain bercerita. Keluhan Delima
pagi ini tentang kelanjutan cerita dari Wawaknya adalah warisan mekanisme
belajar Mamak tersebut.
Selepas shubuh, meski penat karena dua jam memasak
gula aren di dapur, seusai shalat bersama, mengaji bersama, Mamak akan
menyempatkan diri lima belas menit hingga setengah jam bercerita. Tentang
Nabi-Nabi, sahabat Rasul, tentang keteladanan manusia, tentang keteladanan
hewan dan alam liar (dongeng-dongeng), negeri-negeri ajaib, dan sebagainya.
Dari situlah imajinasi mereka terbentuk. Tidak ada gambar-gambar, karena Mamak
tidak bisa membelikan mereka buku cerita. Juga tidak ada televisi. Mereka bisa
melihatnya langsung di alam sekitar. Lembah mereka.
Dan proses bercerita itu dilengkapi secara utuh
dengan teladan. Kerja keras. Berdisiplin. Laisa sejak umur dua belas tahun,
terbiasa bangun jam tiga shubuh. Shalat malam bersama
Mamak, lantas membantu di dapur. Sejak kecil Mamak
mengajarkan ritus agama yang indah kepada mereka. Shalat maiam salah satunya.
"Lais,
seandainya kita bisa mengukurnya seperti timbangan beras, shalat malam yang
baik seharga seluruh dunia dan seisinya."
Dengan teladan yang ada di depan mata, maka Yashinta
kecil saat usianya menjejak belasan tahun, tidak perlu disuruh-suruh untuk
shalat malam, gadis kecil itu melihat Mamak dan Kakak-kakaknya, maka otomatis
ia ikut. Kebiasaan yang terus ada hingga mereka tumbuh besar. Saat perkebunan
strawberry memberikan janji kehidupan yang lebih baik, Mamak dan Kak Lais tentu
saja tak perlu lagi memasak gula aren selepas shalat malam. Waktu itulah yang
sering digunakan Kak Laisa untuk berdiri di lereng lembah. Menatap hamparan
perkebunan, menghabiskan penghujung malam ditemani Dalimunte Bersyukur atas
kehidupan mereka.
Apakah dengan cerita
dan teladan itu maka kelakuan ansk-anak bisa dikendalikan? Belum tentu.
Lihatlah Ikanuri dan Wibisana, dua sigung itu tetap saja nakal tapi
pemberontakan masa kecil mereka memang khas ulah anak kecil yang butuh proses
untuk mengerti. Saat cerita-cerita, teladan, berbagai kejadian itu berhasil
memberi sekali saja pengertian, maka mereka akan berubah. Seperti pagi ini,
jika ada Ikanuri, maka yang menjadi imam shalat bukan Dalimunte. Ikanuri jauh
lebih pandai mengaji. Suara dan tartil-nya lebih baik. Meski dialah yang paling
bandel belajar mengaji dulu.
"Pagi
ini biar Eyang yang cerita...." Suara Eyang memutus wajah-wajah cemberut
Delima dan Juwita.
Anak-anak menoleh. Eyang tersenyum mendekat.
Memperbaiki tudung rambutnya. Naik ke atas ranjang besar Wak Laisa.
"Horee!"
Delima berseru senang. Eyang sama jagonya dengan Wak Laisa kalau bercerita.
Jangan dibandingkan Abi mereka. Tidak seru. Kalau Abi yang cerita, kebanyakan
ngarangnya.
Pagi itu, saat semburat
matahari mulai menerabas jendela kamar Kak Laisa yang dibuka lebar-lebar.
Menimpa wajah anak-anak. Menimpa wajah Mamak. Menimpa wajah Kak Laisa yang
terlihat begitu damai. Ikut mendengarkan cerita. Pagi itu, saat kabut masih
mengambang di atas hamparan merah ranum buah strawberry, Mamak bercerita
tentang: bidadari-bidadari surga. Melanjutkan cerita Laisa ke anak-anak sebulan
yang lalu. Andaikata di sini ada Yashinta, ia akan senang sekali, itu cerita
favoritnya waktu kecil.
Dan sungguh di surga
ada bidadari-bidadari bermata jeli (Al Waqiah: 22). Pelupuk mata
bidadari-bidadari itu selalu berkedip-kedip bagaikan sayap burung indah. Mereka
baik lagi cantik jelita. (Ar Rahman: 70). "Eyang, cantikan mana, bidadari
atau Delima?" Delima menyela. Membuat Kak Laisa tertawa, meski kemudian
tersengai. Intan meraih tissue, membersihkan bercak darah. Dulu Yashinta dengan
pedenya akan menyela Mamak,
"Hm....
Pasti tetap lebih cantik Yash, kan?"
Andaikata ada seorang wanita penghuni surga
mengintip ke bumi, niscaya dia menerangi ruang antara bumi dan langit. Dan
niscaya aromanya memenuhi ruang antara keduanya. Dan sesungguhnya kerudung di
atas kepalanya lebih baik daripada dunia seisinya (Hadits Al Bukhari).
"Wuih?
Keren. Memangnya wangi bidadari itu seperti apa, Eyang?" Delima sibuk
menyela lagi.
"Berisik. Diam saja napa, biar Eyang terus
cerita." Intan mendelik galak. Kak Laisa sekali lagi tertawa kecil. Dulu
Yashinta juga suka sekali memotong cerita.
"Bidadari
itu kan untuk perempuan? Kalau untuk anak laki nyebutnya apa, Mak?" Dan
biasanya Ikanuri yang kesal cerita Mamak dipotong terus menjawab asal,
"Nyebutnya
bidadara.... Bidadara-Bidadara Surgi!"
Tidak dulu. Tidak
sekarang. Kanak-kanak selalu memberikan respon yang sama atas mekanisme ini.
Membuat imajinasi mereka terbang, dan tanpa mereka sadari, ada pemahaman arti
berbagi, berbuat baik, dan selalu bersyukur yang bisa diselipkan.
Pagi semakin tinggi.
Eyang terus bercerita hingga lima belas menit ke depan. Kak Laisa memejamkan
matanya. Ia pagi ini benar-benar merasa lelah. Tiga monster kecil ini
memberikan energi tambahan untuk bertahan lebih dari 48 jam. Tetapi waktunya
tinggal sedikit lagi. Hanya menunggu Yash, adiknya tersayang.
Suara Mamak berkata lembut terngiang di telinganya:
bidadari-bidadari surga, seolah-olah adalah telur yang tersimpan dengan baik
(Ash-Shaffat: 49)....
Kak Laisa jatuh tertidur, dengan sungging senyum dan
satu kalimat doa: Ya Allah, jadikan Lais salah satu bidadari-bidadari surga....
Sementara ratusan
kilometer dari arah barat. Helikopter itu melesat dengan cepat. Sebelum
matahari tenggelam. Sebelum semuanya benar-benar terlambat. Yashinta harus
tiba di perkebunan strawberry.NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 43
Karna Di ERTIGAPOKER Sedang ada HOT PROMO loh!
ReplyDeleteBonus Deposit Member Baru 100.000
Bonus Deposit 5% (klaim 1 kali / hari)
Bonus Referral 15% (berlaku untuk selamanya
Bonus Deposit Go-Pay 10% tanpa batas
Bonus Deposit Pulsa 10.000 minimal deposit 200.000
Rollingan Mingguan 0.5% (setiap hari Kamis
ERTIGA POKER
ERTIGA
POKER ONLINE INDONESIA
POKER ONLINE TERPERCAYA
BANDAR POKER
BANDAR POKER ONLINE
BANDAR POKER TERBESAR
SITUS POKER ONLINE
POKER ONLINE
ceritahiburandewasa
MULUSNYA BODY ATASANKU TANTE SISKA
KENIKMATAN BERCINTA DENGAN ISTRI TETANGGA
CERITA SEX TERBARU JANDA MASIH HOT