Sunday, September 6, 2015

Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 6

6. DEWA YUNANI

ERVIN pernah mengatakan bahwa dia tinggal sendirian di suatu apartemen di
daerah Casablanca. Apartemen itu dia beli dari uang yang diberikan oleh
orangtuanya. Saat itu aku tahu bahwa keluarga Ervin secara ekonomi pasti jauh di
atas rata-rata. Yang jelas lebih tinggi tarafnya daripada keluargaku, karena aku yang
berasal dari keluarga yang berkecukupan saja tidak pernah diberi uang oleh
orangtuaku untuk membeli apartemen pribadi. Orangtuaku adalah jenis orang yang
lebih memilih untuk menghabiskan uang mereka untuk membiayai pendidikan
anak-anaknya setinggi-tingginya, daripada menghambur-hamburkan uang untuk
hal-hal yang sebenarnya tidak perlu. Misalnya membeli apartemen mewah.
Well, welcome to my home,” ucapnya ceria ketika kami melangkah masuk ke
apartemennya. “Lo pakai kamar mandi yang di master bedroom saja, Dri. Kamar
mandi yang di luar jarang dipakai jadi peralatan mandinya kurang komplet.”
Aku hanya bisa ternganga melihat apartemen yang didesain untuk laki-laki itu.
Segalanya terlihat serbamaskulin. Mulai dari sofa yang serbaputih, entertainment
center dengan teknologi terkni yang serbahitam, dapur yang serbakrom, dan
lantainya yang terbuat dari marmer putih. Tapi yang mengagumkan adalah bahwa
semuanya terlihat rapi, teratur, dan terurus. Tanpa kusadari rupanya Ervin sedang
menanyakan sesuatu padaku. Aku mengikuti arah suara itu dan mendapati diriku
berada di sebuah kamar tidur paling sensual yang pernah kulihat. Kata yang
muncul di kepalaku ketika melihat kamar itu adalah SEKSI. Dilihat dari ukurannya
aku yakin ini adalah kamar tidur utama. Dua dinding dari kamar itu adalah kaca
yang menghadap ke skyline Jakarta dan karena apartemen itu berada di lantai 25,
pemandangannya hampir tidak terbatas. Tempat tidur berukuran King dengan
headboard bersandar pada kaca ditutupi bedcover hitam dengan bantal-bantal
berwarna merah darah dan abu-abu. Salah satu pintu lemari pakaian Ervin terbuka,
sehingga aku bisa melihat bahwa segala sesuatunya tersimpan dengan rapi. Dan
sekali lagi aku dapat mencium aroma vanila. Kulihat Ervin telah menggantung
bajuku di salah satu gagang pintu lemarinya, di sebelahnya ada satu setel jas hitam
yang sudah dipasangkan dengan kemeja putih dan dasi bernada emas.
Ervin tetap berbicara, dan tidak satu patah kata pun yang bisa kutangkap.
Nice apartment,” akhirnya aku bisa berkata-kata setelah membisu selama
sepuluh menit.
Thanks. Sederhana aja, tapi gue betah di sini.”
Apa? Bisa-bisanya dia ngomong sesantai itu? Kalau punya apartemen sekeren
itu, wah, aku tidak mau keluar rumah lagi, teriakku dalam hati.
“Sudah hampir jam tujuh, lo mendingan buruan mandi. Gue mandi di kamar
mandi satunya jadi lo nggak perlu buru-buru. Handuk ada di bawah sink di kamar
mandi. Oh ya, sikat gigi yang baru ada di laci, terus kalau lo perlu peralatan
perempuan, lo pakai saja barangnya Tasya yang ada di mecidine cabinet.”
Ketika mendengar nama Tasya aku baru teringat Ervin sekarang sedang
berpacaran dengan Tasya.
Ya ampuuun! Terima kasih Tuhan, mengingatkanku supaya tidak memikirkan
hal yang tidak-tidak.
“Nggak apa-apa, gue bawa kok,” ucapku. Aku sebetulnya mau tanya ke Ervin
apa Tasya tidak keberatan aku numpang mandi di rumah pacarnya yang superhot
ini? Tapi aku tidak tahu bagaimana menanyakannya dengan nada tidak peduli.
Akhirnya aku memutuskan untuk diam saja.
Ervin tersenyum dan menutup pintu kamar, meninggalkanku sendirian di
dalam kamar yang bahkan berdiri di dalamnya saja aku sudah merasa berdosa,
apalagi harus mandi dan ganti baju.
Ya Tuhan, ampunilah hambamu ini...
Setelah selesai mandi dan menggunakan make-up secukupnya, masalah yang
agak-agak memalukan terjadi. Ritsleting gaun di sisi kanan badanku yang dimulai
dari garis korset sampai paha, macet. Aku berusaha menariknya beberapa kali tapi
ritsleting itu tetap macet. Ketika sedang berusaha menarik ritsleting itu sekali lagi,
tiba-tiba aku mendengar suara ketukan yang diikuti oleh suara Ervin.
“Dri, gue boleh masuk nggak? Dasi gue ketinggalan di dalam.”
“Mmmhhh... ya... tunggu...,” ucapku gagap. Aku buru-buru mencari dasi Ervin
yang ternyata tertinggal di atas nightstand. Dalam hati aku bertanya, Lho kok, baju
Ervin sudah tidak ada di kamar, padahal tadi sewaktu aku masuk ke kamar mandi
masih ada? Berarti tadi dia masuk kamar lagi ketika aku sedang di kamar mandi.
Ya ampuuunnnnnnn!!!
Aku membuka pintu kamar sedikit dan mengulurkan dasi itu padanya.
“Lo nggak apa-apa, Dri?” tanya Ervin sambil melingkarkan dasi itu di lehernya.
Aku melihat ada kerut-kerut di keningnya.
“Nggak, nggak apa-apa kok,” jawabku lemas.
Tanpa menghiraukanku Ervin mendorong pintu kamar dan melangkah masuk.
Otomatis aku mengambil beberapa langkah mundur.
“Terus, kenapa lo kelihatan panik?”
“Nggak, ini... ritsleting gue macet,” ucapku sambil berusaha untuk menarik
rapat gaunku yang terbelah dan memperlihatkan korset berwarna nude.
“Perlu dibantu?”
“Nggak, nggak, gue... bisa sendiri kok.”
Ervin memberikan pandangan tidak percaya. “Sudah sini, sebelah mana sih?”
“Gue bisa kok, Vin, cuma macet sedikit,” ucapku putus asa.
Tapi Ervin tidak mendengarkanku dan memutar tubuhku sehingga bagian
bajuku yang masih terbuka menghadapnya. Dia kemudian menarikku ke arah
tempat tidur sebelum kemudian dia duduk di ujung tempat tidur itu dan
menghadapku.
Whoa... nice underwear,” ucapnya.
Aku rasanya mau mati saja. Malu sekali. Memang kuakui korsetku bisa dibilang
seksi karena terbuat dari renda-renda halus dan satin berwarna kulit, jadi kalau
dilihat dari jauh aku terkesan nude.
“Eh, elo nih, keadaan darurat malahan bercanda.” Aku berusaha keras supaya
suaraku terdengar tenang, tapi aku menyadari suaraku malahan terdengar agak
serak.
Tapi rupanya, Ervin benar-benar menyukai pakaian dalamku. “Apaan nih,
Victorias Secret ya?” tanyanya.
Aku sempat kaget, dia tahu Victorias Secret. Tapi hari ini aku mengenakan
brand lain. “Bukan, ini Agent Provocateur,” jawabku.
“Yang luar biasa mahal itu?” teriaknya kaget.
Aku menarik napas dalam-dalam. Kenapa aku harus heran kalau Ervin bisa
tahu harga-harga pakaian dalam wanita? Pastinya dia sudah sering membeli
barang-barang sejenis ini untuk pacar-pacarnya.
“Iya,” jawabku singkat.
Aku merasakan tangannya menyentuh kulit yang melapitis tulang igaku dalam
usaha untuk menarik ritsletingku ke atas. Aku hampir saja meloncat kaget. Terakhir
kali ada laki-laki yang menyentuhku seperti ini adalah sewaktu aku ke dokter untuk
physical check-up.
Dadaku rasanya mau meledak, tapi aku menarik napas dalam-dalam sambil
menutup mataku dan menghitung sampai lima sebelum membuka mataku kembali.
Ternyata bukannya naik, ritsleting itu malah turun. Kini ada kerutan-kerutan kecil
di kening Ervin, yang setelah mengenalnya selama beberapa bulan ini, kuketahui
sebagai tanda bahwa dia sedang berkonsentrasi penuh. Aku melihatnya menarik
ritsleting itu naik-turun.
Sorry, Dri, tapi gue mesti pakai lilin. Sebentar ya.” Ervin lalu merentangkan
tubuhnya yang tinggi itu dan membuka laci nightstand. Beberapa detik kemudian,
sebatang lilin berwarna hitam muncul di genggamannya.
Tanpa kusadari dia telah menggosokkan lilin itu pada ritsleting bajuku. Untung
saja bajuku berwarna hitam juga, sehingga bekas lilinnya tidak kelihatan. Sekali lagi
dia mencoba untuk menarik ritsletingku ke atas dan kali ini berhasil.
Thanks ya,” ucapku menarik napas lega.
No problem. Okay, we’d better go, sudah jam setengah delapan lewat.”
Aku langsung membereskan barang-barangku. Aku dapat merasakan tatapan
Ervin di belakangku. Dia memang tidak terang-terangan menatapku, tapi aku tahu
dia agak-agak... apa kata-kata yang tepat... kaget, ya, kaget melihatku malam itu.
Aku tahu bahwa aku bukanlah perempuan paling cantik, tapi malam itu kuakui,
aku kelihatan cukup berbeda. Rambutku yang panjang kubiarkan terurai karena
bajuku berpotongan rendah di depan dan aku menggunakan rambutku untuk
sedikit menutupi belahan dadaku. Gaunku yang panjangnya sedengkul dan agak
ketat dapat sedikit menunjukkan bentuk tubuhku. Gaun itu tidak berlengan tapi
bukan spagetti strap sehingga masih terlihat seksi tapi tidak slutty. Sepatuku yang
berwarna emas cukup membuat kakiku terlihat lebih putih dan haknya yang tidak
terlalu tinggi cukup membuat kakiku terlihat lebih langsing.
“Dri, tinggal saja dulu, nanti pulang baru lo ambil,” komentar Ervin.
“Tapi berarti nanti gue mesti balik lagi ke sini dong,” balasku tanpa
menghiraukannya.
“Iya, nanti gue antar lo. Sekarang tinggal dulu.”
“Nanti gue mesti ngambil mobil dari kantor, Vin, ribet jadinya kalau bolakbalik.”
Aku yang tadinya mau membawa mobilku ke rumah Ervin terpaksa membatalkan
rencana itu karena sudah diburu-buru oleh Ervin. Dia memang berjanji akan
mengantarku untuk mengambil mobilku dari kantor setelah pulang dari Ball.
“Gampanglah, nanti kita ke sini dulu sebelum gue lo antar ngambil mobil.”
Aku masih berdebat dengan diriku untuk beberapa saat, tapi akhirnya aku
menyerah.
Okay, fine,” akhirnya aku berkata. Aku sebetulnya paling tidak suka meninggalkan
barang-barangku berserakan di rumah orang, apalagi di rumah laki-laki yang
tidak ada hubungan apa-apa denganku. Tapi malam itu aku tidak punya pilihan
lain.
Kami pun bergegas menuju lift. Di dalam lift kusadari Ervin mencoba mengikat
dasinya sambil tetap menggenggam jas di tangan kirinya.
“Boleh gue bantu?” tanyaku.
Dia hanya mengangguk.
“Tolong pegangin sebentar.” Aku menyerahkan tas tanganku yang berwarna
emas dan terbuat dari satin itu padanya. Tas tangan itu seharusnya membuatnya
terlihat lucu, tapi benda itu justru membuatnya terlihat semakin maskulin.
Aku mulai menumpukan perhatian pada dasinya. Kami berdiri cukup dekat
dan aku yakin dia bisa mencium rambutku. Aku meminjam sampo yang ada di
kamar mandinya, meksipun tidak tahu apakah itu milik Tasya atau Ervin. Malam
itu tubuh Ervin menguarkan aroma yang sedikit berbeda, selain ada vanila dan
musk, dia juga menguarkan satu aroma lain, setelah beberapa saat aku baru sadar itu
apa... DOSA.
“Oke, dah kelar...” Aku tidak meneruskan kalimatku karena kudapati wajah
Ervin berada cukup dekat dengan pipiku. Bibirnya hampir menyentuh kulitku.
Seakan baru tersadar bahwa aku sudah selesai mengikat dasinya, dia
mengalihkan perhatiannya pada mataku. Emosinya tak terbaca. Aku mundur
beberapa langkah dan pintu lift terbuka. Sepasang bule setengah baya melangkah
masuk lift. Mereka tersenyum padaku dan Ervin.
You both are going to a party?” tanya wanita bule itu, yang aku tebak adalah sang
istri.
Yes,” jawab Ervin singkat tapi sopan. Aku hanya mengangguk.
Don’t they look great together, honey?” tanya wanita itu pada suaminya.
Yes, you both make a charming couple,” ucap sang suami cuek.
Sebelum aku dan Ervin bisa mengklarifikasi bahwa kami bukan couple, lift itu
sudah tiba di lantai dasar.
Have a great time tonight,” kata sang istri.
You too,” sahutku.
Aku dan Ervin saling pandang dan tersenyum.
* * *
Selama Ball aku duduk terpisah dengan Ervin karena kami diwajibkan untuk duduk
berdasarkan divisi. Tapi setelah menu makan malam selesai dihidangkan, kami
semua table hop dan aku mendapati Ervin duduk di sampingku sambil membawa
sepiring Tiramisu.
“Mau, Dri?” tanyanya yang langsung menyodorkan sepotong kue ke mulutku.
Refleks, aku hanya membuka mulut dan menelan kue itu.
Aku mendapati banyak perempuan yang berusaha menarik perhatian Ervin,
tapi sepertinya Ervin memang sengaja tidak menghiraukan mereka.
“Kayaknya elo banyak fans ya,” ledekku.
“Hah? Apaan?” tanyanya sok polos dengan mulut penuh Tiramisu.
“Fans,” ucapku lagi sambil menyodorkan serbet untuknya.
Ervin mengambil serbet itu dan menyapu bibirnya.
Dengan menggerakkan kepalaku, aku menunjuk sepasukan perempuan yang
mungkin berumur dua puluh tahunan yang aku yakin adalah para assistant di
kantorku.
“Ohhhh, hehehe... susah kalau jadi orang ngetop, gini deh akibatnya,” ucapnya
ge-er.
Aku hanya tersenyum. Biasanya aku akan melanjutkan pembicaraan ini dengan
meminta pendapat Ervin tentang perempuan mana yang menurutnya terlihat paling
cantik malam itu. Tapi malam itu aku tidak sanggup mengatakan apa-apa. Aku
takut dia akan memujiku hanya karena aku yang menanyakan hal tersebut atau
lebih parah lagi... seperti biasanya Ervin akan memilih perempuan lain yang jelasjelas
jauh lebih cantik daripada aku dan membuatku merasa silly karena telah
menanyakan hal itu.
Tibai-tiba Ervin menarik tanganku. “Let’s go dancing,” ucapnya.
Dan tanpa menunggu jawabanku, Ervin langsung menarikku ke lantai dansa.
Dan diiringi oleh suara Michael Bublé yang melantunkan Fly Me to the Moon, untuk
pertama kalinya Ervin membuatku tertawa ceria hanya karena aku sedang
bersamanya. Semua rasa canggung yang kurasakan beberapa jam yang lalu kini
hilang tak bersisa. Ervin ternyata seorang dancer yang cukup handal, sehingga aku
hanya perlu mengikuti langkahnya. Ervin meletakkan tangan kirinya di pinggangku
dan tangan kanannya menggengam tangan kiriku.
“Lo sadar kan hari Senin kantor bakalan penuh gosip tentang kita?” bisikku
pada Ervin.
“Lo khawatir digosipin sama gue?” tanya Ervin.
No...!” jawabku dengan nada menggurui.
“Jadi kenapa?” desak Ervin.
“Karena sekarang semua perempuan yang ada di ruangan ini... dan beberapa
laki-laki...” Aku memberinya tatapan iseng sebelum melanjutkan, “lagi bertanyatanya
kenapa elo dansa sama gue tapi nggak sama mereka,” jelasku.
Ervin mengerutkan keningnya sesaat, seakan-akan dia sedang berpikir keras.
“Kalau soal yang laki-laki, jelas-jelas gue nggak bisa dansa sama mereka, nanti
makin ada gosip lagi,” balas Ervin dengan mata berbinar-binar. Mau tidak mau aku
tertawa dengan usahanya membalas godaanku.
“Kalau yang perempuan, well... cuma elo yang bisa gue ajak dansa dan nggak
minta gue untuk ngantar mereka pulang malam ini,” lanjut Ervin.
Well... not to burst your bubble, lo tetap harus ngantar gue ngambil mobil malam
ini,” candaku.
Ervin mengerutkan kening, sepertinya berpikir keras tentang pendapatku,
sehingga aku tertawa lagi.
“Kalau gitu... lo satu-satunya perempuan di sini yang nggak akan minta gue
untuk nelepon elo besok pagi untuk basa-basi dan bilang bahwa gue mau ketemu
elo lagi di luar jam kantor, bla bla bla...,” ucap Ervin.
“Jadi menurut lo gue kurang demanding?” ucapku pura-pura marah.
No... tapi menurut gue, lo perempuan paling nggak rese dan nggak bawel yang
gue tahu.”
So basically menurut lo sikap gue ini kayak cowok?” candaku.
Tiba-tiba Ervin menarikku ke pelukannya dan berbisik, “Cowok yang seksi
banget.”
Pada detik itu darah di sekujur tubuhku membeku. Tapi tiba-tiba aku ingat...
Tasya... Tasya... Tasya...
Pelan-pelan kutarik wajahku dan menatap wajah Ervin. “Ervin Daniswara, elo
ngerayu gue?” tanyaku mencoba meringankan suasana malam itu yang jelas-jelas
mulai terasa seperti ada kembang api yang meledak-ledak di sekitarku dan Ervin.
“Tentu saja nggak,” balas Ervin. Tapi dari tatapan matanya aku tidak terlalu
yakin bahwa dia mengatakan hal yang sebenarnya.
Untung saja kemudian Michael Bublé mengakhiri lagunya dan
menyelamatkanku dari pikiran yang mulai bercabang.
“Kayaknya gue harus pulang, Vin,” ucapku pada Ervin ketika dia mengikutiku
kembali ke mejaku.
“Ini sudah hampir jam dua belas, Dri, apa nggak lebih baik lo pulang besok
saja?” tanyanya.
“Hah? Maksud lo?”
“Tidur di apartemen gue malam ini, nggak apa-apa, kan?”
Entah apa karena imajinasiku saja, tapi sepertinya Ervin menanyakan hal yang
lain sama sekali daripada kata-kata itu sendiri.
Dan hanya dengan itu tamengku langsung naik. Aku harus melindungi diriku
sepenuhnya dari Ervin.
“Mmmhhh... kalo lo nggak keberatan, gue bisa pinjam kunci lo saja. Gue bisa
naik taksi ke apartemen lo untuk ngambil barang. Lo nggak usah ikut. Nanti kunci
gue selipin di bawah keset di depan pintu, gimana?”
Please please please... say yes, aku tidak yakin aku bisa menolak tawarannya lagi
untuk kedua kalinya.
Tapi sepertinya Ervin tidak membaca kegelisahanku. Aku jadi semakin gugup
mengingat bagaimana Ervin memandangiku sepanjang malam itu. Dan sejujurnya,
setiap kali aku sadar akan tatapannya, jantungku berhenti berdetak beberapa detik.
“Lo mau pulang sekarang?” tanya Ervin padaku.
“Iya... takut kemalaman.”
“Ya sudah, yuk, gue antar.”
“Yakin? Gue bisa kok naik taksi, cuma gue mesti pinjam kunci.”
“Gue juga sudah selesai kok.”
“Gue pamit dulu ya sama Pat, gue ketemu elo di lobi,” ucapku dan langsung
bergegas mencari bosku. Beberapa hari setelah aku mulai bekerja untuk Mr. Patrick
Morris, aku mengetahui bahwa beliau menolak untuk dipanggil “Sir” ataupun “Mr.
Morris” oleh siapa pun. Dia lebih memilih dipanggil “Pat”.
Ketika kami tiba kembali di apartemen, jam sudah menunjukkan pukul dua
belas malam. Sebenarnya aku merasa agak takut pulang malam-malam sendirian,
tapi sepertinya malam itu aku akan lebih aman berada di jalan yang sepi menuju
Rempoa daripada satu atap dengan Ervin. Aku tidak percaya dengan diriku sendiri
untuk tidak melakukan hal yang gila. Aku buru-buru lari ke kamar tidur Ervin dan
membereskan barang-barangku. Aku mendengar Ervin sedang berbicara di telepon.
Lalu dia melongokkan kepalanya ke kamar tidur.
“Gue sudah titip mobil lo ke Mas Toto, satpam yang jaga malam di parkiran
kantor. Dia bilang dia bakalan jagain mobil lo.”
Aku yang terlalu kaget, tidak bisa berkata-kata.
Ervin lalu membuka salah satu pintu lemarinya dan mengeluarkan sebuah kaus
berukuran besar dengan tulisan Rice University.
“Gue tebak lo nggak bawa baju tidur. Ini, pakai saja kaus sama celana pendek
gue. Sori, gue nggak punya underwear buat elo, kecuali kalau lo mau pakai boxer
briefs-nya gue,” ucapnya sambil tersenyum iseng. Ervin meletakkan pakaian itu di
tempat tidur.
Aku masih tidak bisa berkata-kata.
“Lo mendingan tidur di sini, soalnya kasurnya lebih empuk. Seprainya baru
diganti kemarin, jadi lo nggak usah khawatir. Gue tidur di kamar sebelah.”
Ketika aku tidak menjawab juga akhirnya dia berkata, “Dri... is everything
alright?”
Aku mengalami masalah bernapas. Bagaimana mungkin aku tidur di kamar ini?
Di kamar Ervin, di tempat tidur Ervin? Entah apa saja yang sudah dia lakukan di
atas situ. Berapa banyak perempuan yang sudah pernah merasakan tempat tidur
itu? Aku memang tahu Ervin sexually active, tapi saat mendapat konfirmasi tentang
itu dengan menemukan kotak kondom yang hanya setengah terisi di kamar mandi
tadi, aku hampir terpeleset.
I know I shouldn’t look. Tapi aku tidak sengaja. Okay, that’s a lie. Aku memang
mencarinya. Tapi kotak kondom itu adalah hal pertama yang kulihat ketika
membuka medicine cabinet di kamar mandi, jadi sebetulnya kejadian itu bukan
salahku sepenuhnya.
“Vin, gue pulang saja deh,” akhirnya aku bisa berkata-kata.
“Nggak, Dri, lo mendingan tunggu sampai pagi. Kalau gue nggak minum
alkohol tadi, gue mau antar elo, tapi kayaknya lebih safe kalau nggak ada dari kita
yang keluar dari apartemen ini sampai pagi. Besok lo gue antar untuk ambil mobil,
sekarang lebih baik lo tidur. Oh ya, apa perlu gue telepon rumah lo untuk ngasih
tahu lo sama gue?”
Hah?? Sudah gila si Ervin. Aku bisa digoreng bapakku.
“Nggak, nggak, nanti mereka gue telepon, takutnya orang rumah sudah tidur.”
Okay then, good night.”
Dengan begitu Ervin menutup pintu dan meninggalkanku di kamar itu. Aku
duduk terpaku di atas tempat tidur, sebelum kemudian menenggelamkan wajah di
kedua tanganku.
What am I doing here?” ucapku pelan. Aku memandangi tasku yang baru separo
dikemas dan mulai mengeluarkan beberapa peralatan mandi yang kuperlukan. Aku
masuk kembali ke kamar mandi dan membasahi sekujur tubuhku dengan air panas,
sepanas-panasnya yang bisa kutolerir. Setelah mandi aku berpikir aku akan
bergadang semalaman. Mungkin dengan tidak tidur di rumahnya... koreksi... di
tempat tidur Ervin... aku tidak akan merasa terlalu berdosa.
Tapi ketika aku menyandarkan kepalaku pada bantal-bantal Ervin yang empuk
dan beraroma vanila itu, aku langsung terlelap.
Aku terbangun oleh bunyi HP-ku, butuh beberapa menit sebelum aku ingat di
mana aku berada. Buru-buru aku angkat HP-ku yang masih berbunyi. Telepon itu
ternyata dari Ibu yang menanyakan keberadaanku. Rupanya tadi malam karena
terlalu gelisah, aku lupa menelepon rumah. Setelah mengatakan bahwa aku akan
pulang sebentar lagi dan menutup telepon, aku sadar bahwa di luar sudah mulai
terang. Beker Ervin sudah menunjukkan pukul enam pagi. Baru saat itu aku
menyadari ada foto Tasya berukuran postcard di atas nightstand sebelah kiri. Aku
memang belum pernah bertemu Tasya, jadi tidak tahu wajahnya. Ternyata lain dari
perkiraanku, Tasya bukan tipe cewek mal seperti pacar-pacar Ervin sebelumnya.
Tasya tampak cukup biasa walaupun memakai make-up tebal.
Dengan rasa bersalah aku buur-buru mencuci muka, mengganti baju, dan
membereskan barang-barangku. Kuputuskan untuk menggunakan baju kerjaku lagi
karena tidak mau terlihat seperti baru bangun tidur. Aku membuka pintu kamar
dan mendapati bahwa semuanya masih gelap, sinar matahari tidak bisa menembus
gorden tebal yang menutupi jendela. Satu-satunya penerangan adalah lampu malam
yang terletak di sebelah pintu masuk yang dibiarkan menyala oleh Ervin. Dia masih
tidur rupanya. Tadinya aku berencana menunggu hingga dia bangun, tapi
kuperhatikan bahwa pintu apartemen Ervin bisa terkunci secara otomatis. Aku
buru-buru menulis pesan di selembar kertas dan meninggalkannya di meja kecil di
sebelah pintu masuk.
Vin,
Terima kasih untuk semuanya. Don’t worry, I’ll pick my car up on my way home.
Sampai ketemu hari Senin.
Adri
Dengan begitu aku melangkah pulang. Ketika tiba di lobi, aku berpapasan
dengan seorang perempuan yang sedang bergegas menuju lift. Aku merasa
mengenali wajahnya. Setelah agak lama aku sadar itu Tasya. Aku tidak tahu Tasya
tinggal di apartemen ini juga... Lalu satu pemikiran keluar dari kepalaku.
Ya ampun, hampir saja... Untung aku sudah keluar dari apartemen Ervin, kalau
tidak bisa gawat.
Buru-buru aku ngacir mencari taksi. Tapi karena tidak ada taksi sepagi itu,
akhirnya aku naik ojek. Bodo amat deh, pokoknya aku harus cabut sebelum Ervin
tahu aku sudah pulang tanpa pamit dan sebelum Tasya sadar bahwa ada seorang
wanita yang menginap di apartemen pacarnya semalam, tanpa sepengetahuannya.
Aku menerima telepon dari Ervin setengah jam kemudian ketika sedang dalam
perjalanan pulang. Dia menanyakan mengapa aku tidak membangunkannya. Aku
menjelaskan semuanya dan memohon maaf karena tidak berpamitan secara
langsung. Ervin tidak menyinggung Tasya sama sekali, sehingga aku pun berdiam
diri juga soal berpapasan dengan Tasya di lobi.
Setahuku semuanya beres ketika aku menutup telepon. Tapi hari Senin itu aku
dengan Ervin sudah putus sama Tasya. Aku kurang tahu siapa yang mengakhiri
hubungan itu, tapi Ervin terlihat tidak terlalu peduli, sehingga aku juga tidak mau
bertanya-tanya. Tapi pada saat itulah aku memutuskan bahwa aku betul-betul harus

menghubungi Baron secepatnya.


No comments:

Post a Comment