6.
DEWA YUNANI
ERVIN
pernah mengatakan bahwa dia tinggal sendirian di suatu apartemen di
daerah
Casablanca. Apartemen itu dia beli dari uang yang diberikan oleh
orangtuanya.
Saat itu aku tahu bahwa keluarga Ervin secara ekonomi pasti jauh di
atas
rata-rata. Yang jelas lebih tinggi tarafnya daripada keluargaku, karena aku
yang
berasal
dari keluarga yang berkecukupan saja tidak pernah diberi uang oleh
orangtuaku
untuk membeli apartemen pribadi. Orangtuaku adalah jenis orang yang
lebih
memilih untuk menghabiskan uang mereka untuk membiayai pendidikan
anak-anaknya
setinggi-tingginya, daripada menghambur-hamburkan uang untuk
hal-hal
yang sebenarnya tidak perlu. Misalnya membeli apartemen mewah.
“Well, welcome to my home,” ucapnya ceria ketika kami melangkah masuk ke
apartemennya.
“Lo pakai kamar mandi yang di master
bedroom saja, Dri. Kamar
mandi
yang di luar jarang dipakai jadi peralatan mandinya kurang komplet.”
Aku
hanya bisa ternganga melihat apartemen yang didesain untuk laki-laki itu.
Segalanya
terlihat serbamaskulin. Mulai dari sofa yang serbaputih, entertainment
center dengan
teknologi terkni yang serbahitam, dapur yang serbakrom, dan
lantainya
yang terbuat dari marmer putih. Tapi yang mengagumkan adalah bahwa
semuanya
terlihat rapi, teratur, dan terurus. Tanpa kusadari rupanya Ervin sedang
menanyakan
sesuatu padaku. Aku mengikuti arah suara itu dan mendapati diriku
berada
di sebuah kamar tidur paling sensual yang pernah kulihat. Kata yang
muncul
di kepalaku ketika melihat kamar itu adalah SEKSI. Dilihat dari ukurannya
aku
yakin ini adalah kamar tidur utama. Dua dinding dari kamar itu adalah kaca
yang
menghadap ke skyline Jakarta dan karena apartemen itu berada di lantai 25,
pemandangannya
hampir tidak terbatas. Tempat tidur berukuran King dengan
headboard bersandar
pada kaca ditutupi bedcover hitam dengan bantal-bantal
berwarna
merah darah dan abu-abu. Salah satu pintu lemari pakaian Ervin terbuka,
sehingga
aku bisa melihat bahwa segala sesuatunya tersimpan dengan rapi. Dan
sekali
lagi aku dapat mencium aroma vanila. Kulihat Ervin telah menggantung
bajuku
di salah satu gagang pintu lemarinya, di sebelahnya ada satu setel jas hitam
yang
sudah dipasangkan dengan kemeja putih dan dasi bernada emas.
Ervin
tetap berbicara, dan tidak satu patah kata pun yang bisa kutangkap.
“Nice apartment,”
akhirnya aku bisa berkata-kata setelah membisu selama
sepuluh
menit.
“Thanks.
Sederhana aja, tapi gue betah di sini.”
Apa?
Bisa-bisanya dia ngomong sesantai itu? Kalau punya apartemen sekeren
itu,
wah, aku tidak mau keluar rumah lagi, teriakku dalam hati.
“Sudah
hampir jam tujuh, lo mendingan buruan mandi. Gue mandi di kamar
mandi
satunya jadi lo nggak perlu buru-buru. Handuk ada di bawah sink di
kamar
mandi.
Oh ya, sikat gigi yang baru ada di laci, terus kalau lo perlu peralatan
perempuan,
lo pakai saja barangnya Tasya yang ada di mecidine
cabinet.”
Ketika
mendengar nama Tasya aku baru teringat Ervin sekarang sedang
berpacaran
dengan Tasya.
Ya
ampuuun! Terima kasih Tuhan, mengingatkanku supaya tidak memikirkan
hal
yang tidak-tidak.
“Nggak
apa-apa, gue bawa kok,” ucapku. Aku sebetulnya mau tanya ke Ervin
apa
Tasya tidak keberatan aku numpang mandi di rumah pacarnya yang superhot
ini?
Tapi aku tidak tahu bagaimana menanyakannya dengan nada tidak peduli.
Akhirnya
aku memutuskan untuk diam saja.
Ervin
tersenyum dan menutup pintu kamar, meninggalkanku sendirian di
dalam
kamar yang bahkan berdiri di dalamnya saja aku sudah merasa berdosa,
apalagi
harus mandi dan ganti baju.
Ya
Tuhan, ampunilah hambamu ini...
Setelah
selesai mandi dan menggunakan make-up
secukupnya, masalah yang
agak-agak
memalukan terjadi. Ritsleting gaun di sisi kanan badanku yang dimulai
dari
garis korset sampai paha, macet. Aku berusaha menariknya beberapa kali tapi
ritsleting
itu tetap macet. Ketika sedang berusaha menarik ritsleting itu sekali lagi,
tiba-tiba
aku mendengar suara ketukan yang diikuti oleh suara Ervin.
“Dri,
gue boleh masuk nggak? Dasi gue ketinggalan di dalam.”
“Mmmhhh...
ya... tunggu...,” ucapku gagap. Aku buru-buru mencari dasi Ervin
yang
ternyata tertinggal di atas nightstand. Dalam hati aku bertanya, Lho kok, baju
Ervin
sudah tidak ada di kamar, padahal tadi sewaktu aku masuk ke kamar mandi
masih
ada? Berarti tadi dia masuk kamar lagi ketika aku sedang di kamar mandi.
Ya
ampuuunnnnnnn!!!
Aku
membuka pintu kamar sedikit dan mengulurkan dasi itu padanya.
“Lo
nggak apa-apa, Dri?” tanya Ervin sambil melingkarkan dasi itu di lehernya.
Aku
melihat ada kerut-kerut di keningnya.
“Nggak,
nggak apa-apa kok,” jawabku lemas.
Tanpa
menghiraukanku Ervin mendorong pintu kamar dan melangkah masuk.
Otomatis
aku mengambil beberapa langkah mundur.
“Terus,
kenapa lo kelihatan panik?”
“Nggak,
ini... ritsleting gue macet,” ucapku sambil berusaha untuk menarik
rapat
gaunku yang terbelah dan memperlihatkan korset berwarna nude.
“Perlu
dibantu?”
“Nggak,
nggak, gue... bisa sendiri kok.”
Ervin
memberikan pandangan tidak percaya. “Sudah sini, sebelah mana sih?”
“Gue
bisa kok, Vin, cuma macet sedikit,” ucapku putus asa.
Tapi
Ervin tidak mendengarkanku dan memutar tubuhku sehingga bagian
bajuku
yang masih terbuka menghadapnya. Dia kemudian menarikku ke arah
tempat
tidur sebelum kemudian dia duduk di ujung tempat tidur itu dan
menghadapku.
“Whoa... nice underwear,” ucapnya.
Aku
rasanya mau mati saja. Malu sekali. Memang kuakui korsetku bisa dibilang
seksi
karena terbuat dari renda-renda halus dan satin berwarna kulit, jadi kalau
dilihat
dari jauh aku terkesan nude.
“Eh,
elo nih, keadaan darurat malahan bercanda.” Aku berusaha keras supaya
suaraku
terdengar tenang, tapi aku menyadari suaraku malahan terdengar agak
serak.
Tapi
rupanya, Ervin benar-benar menyukai pakaian dalamku. “Apaan nih,
Victoria‟s Secret ya?” tanyanya.
Aku
sempat kaget, dia tahu Victoria‟s Secret. Tapi hari
ini aku mengenakan
brand lain.
“Bukan, ini Agent Provocateur,” jawabku.
“Yang
luar biasa mahal itu?” teriaknya kaget.
Aku
menarik napas dalam-dalam. Kenapa aku harus heran kalau Ervin bisa
tahu
harga-harga pakaian dalam wanita? Pastinya dia sudah sering membeli
barang-barang
sejenis ini untuk pacar-pacarnya.
“Iya,”
jawabku singkat.
Aku
merasakan tangannya menyentuh kulit yang melapitis tulang igaku dalam
usaha
untuk menarik ritsletingku ke atas. Aku hampir saja meloncat kaget. Terakhir
kali
ada laki-laki yang menyentuhku seperti ini adalah sewaktu aku ke dokter untuk
physical check-up.
Dadaku
rasanya mau meledak, tapi aku menarik napas dalam-dalam sambil
menutup
mataku dan menghitung sampai lima sebelum membuka mataku kembali.
Ternyata
bukannya naik, ritsleting itu malah turun. Kini ada kerutan-kerutan kecil
di
kening Ervin, yang setelah mengenalnya selama beberapa bulan ini, kuketahui
sebagai
tanda bahwa dia sedang berkonsentrasi penuh. Aku melihatnya menarik
ritsleting
itu naik-turun.
“Sorry, Dri,
tapi gue mesti pakai lilin. Sebentar ya.” Ervin lalu merentangkan
tubuhnya
yang tinggi itu dan membuka laci nightstand. Beberapa detik kemudian,
sebatang
lilin berwarna hitam muncul di genggamannya.
Tanpa
kusadari dia telah menggosokkan lilin itu pada ritsleting bajuku. Untung
saja
bajuku berwarna hitam juga, sehingga bekas lilinnya tidak kelihatan. Sekali
lagi
dia
mencoba untuk menarik ritsletingku ke atas dan kali ini berhasil.
“Thanks ya,”
ucapku menarik napas lega.
“No problem. Okay, we’d better go, sudah jam setengah delapan lewat.”
Aku
langsung membereskan barang-barangku. Aku dapat merasakan tatapan
Ervin
di belakangku. Dia memang tidak terang-terangan menatapku, tapi aku tahu
dia
agak-agak... apa kata-kata yang tepat... kaget, ya, kaget melihatku malam itu.
Aku
tahu bahwa aku bukanlah perempuan paling cantik, tapi malam itu kuakui,
aku
kelihatan cukup berbeda. Rambutku yang panjang kubiarkan terurai karena
bajuku
berpotongan rendah di depan dan aku menggunakan rambutku untuk
sedikit
menutupi belahan dadaku. Gaunku yang panjangnya sedengkul dan agak
ketat
dapat sedikit menunjukkan bentuk tubuhku. Gaun itu tidak berlengan tapi
bukan
spagetti strap sehingga masih terlihat seksi tapi tidak slutty.
Sepatuku yang
berwarna
emas cukup membuat kakiku terlihat lebih putih dan haknya yang tidak
terlalu
tinggi cukup membuat kakiku terlihat lebih langsing.
“Dri,
tinggal saja dulu, nanti pulang baru lo ambil,” komentar Ervin.
“Tapi
berarti nanti gue mesti balik lagi ke sini dong,” balasku tanpa
menghiraukannya.
“Iya,
nanti gue antar lo. Sekarang tinggal dulu.”
“Nanti
gue mesti ngambil mobil dari kantor, Vin, ribet jadinya kalau bolakbalik.”
Aku
yang tadinya mau membawa mobilku ke rumah Ervin terpaksa membatalkan
rencana
itu karena sudah diburu-buru oleh Ervin. Dia memang berjanji akan
mengantarku
untuk mengambil mobilku dari kantor setelah pulang dari Ball.
“Gampanglah,
nanti kita ke sini dulu sebelum gue lo antar ngambil mobil.”
Aku
masih berdebat dengan diriku untuk beberapa saat, tapi akhirnya aku
menyerah.
“Okay, fine,”
akhirnya aku berkata. Aku sebetulnya paling tidak suka meninggalkan
barang-barangku
berserakan di rumah orang, apalagi di rumah laki-laki yang
tidak
ada hubungan apa-apa denganku. Tapi malam itu aku tidak punya pilihan
lain.
Kami
pun bergegas menuju lift. Di dalam lift kusadari Ervin mencoba mengikat
dasinya
sambil tetap menggenggam jas di tangan kirinya.
“Boleh
gue bantu?” tanyaku.
Dia
hanya mengangguk.
“Tolong
pegangin sebentar.” Aku menyerahkan tas tanganku yang berwarna
emas
dan terbuat dari satin itu padanya. Tas tangan itu seharusnya membuatnya
terlihat
lucu, tapi benda itu justru membuatnya terlihat semakin maskulin.
Aku
mulai menumpukan perhatian pada dasinya. Kami berdiri cukup dekat
dan
aku yakin dia bisa mencium rambutku. Aku meminjam sampo yang ada di
kamar
mandinya, meksipun tidak tahu apakah itu milik Tasya atau Ervin. Malam
itu
tubuh Ervin menguarkan aroma yang sedikit berbeda, selain ada vanila dan
musk, dia
juga menguarkan satu aroma lain, setelah beberapa saat aku baru sadar itu
apa...
DOSA.
“Oke,
dah kelar...” Aku tidak meneruskan kalimatku karena kudapati wajah
Ervin
berada cukup dekat dengan pipiku. Bibirnya hampir menyentuh kulitku.
Seakan
baru tersadar bahwa aku sudah selesai mengikat dasinya, dia
mengalihkan
perhatiannya pada mataku. Emosinya tak terbaca. Aku mundur
beberapa
langkah dan pintu lift terbuka. Sepasang bule setengah baya melangkah
masuk
lift. Mereka tersenyum padaku dan Ervin.
“You both are going to a party?” tanya wanita bule itu, yang aku tebak adalah sang
istri.
“Yes,” jawab Ervin
singkat tapi sopan. Aku hanya mengangguk.
“Don’t they look great together, honey?” tanya wanita itu pada suaminya.
“Yes, you both make a charming couple,” ucap sang suami cuek.
Sebelum
aku dan Ervin bisa mengklarifikasi bahwa kami bukan couple, lift
itu
sudah
tiba di lantai dasar.
“Have a great time tonight,” kata sang istri.
“You too,”
sahutku.
Aku
dan Ervin saling pandang dan tersenyum.
*
* *
Selama
Ball aku duduk terpisah dengan Ervin karena kami diwajibkan untuk duduk
berdasarkan
divisi. Tapi setelah menu makan malam selesai dihidangkan, kami
semua
table hop dan aku mendapati Ervin duduk di sampingku sambil membawa
sepiring
Tiramisu.
“Mau,
Dri?” tanyanya yang langsung menyodorkan sepotong kue ke mulutku.
Refleks,
aku hanya membuka mulut dan menelan kue itu.
Aku
mendapati banyak perempuan yang berusaha menarik perhatian Ervin,
tapi
sepertinya Ervin memang sengaja tidak menghiraukan mereka.
“Kayaknya
elo banyak fans ya,” ledekku.
“Hah?
Apaan?” tanyanya sok polos dengan mulut penuh Tiramisu.
“Fans,”
ucapku lagi sambil menyodorkan serbet untuknya.
Ervin
mengambil serbet itu dan menyapu bibirnya.
Dengan
menggerakkan kepalaku, aku menunjuk sepasukan perempuan yang
mungkin
berumur dua puluh tahunan yang aku yakin adalah para assistant di
kantorku.
“Ohhhh,
hehehe... susah kalau jadi orang ngetop, gini deh akibatnya,” ucapnya
ge-er.
Aku
hanya tersenyum. Biasanya aku akan melanjutkan pembicaraan ini dengan
meminta
pendapat Ervin tentang perempuan mana yang menurutnya terlihat paling
cantik
malam itu. Tapi malam itu aku tidak sanggup mengatakan apa-apa. Aku
takut
dia akan memujiku hanya karena aku yang menanyakan hal tersebut atau
lebih
parah lagi... seperti biasanya Ervin akan memilih perempuan lain yang
jelasjelas
jauh
lebih cantik daripada aku dan membuatku merasa silly karena
telah
menanyakan
hal itu.
Tibai-tiba
Ervin menarik tanganku. “Let’s go
dancing,” ucapnya.
Dan
tanpa menunggu jawabanku, Ervin langsung menarikku ke lantai dansa.
Dan
diiringi oleh suara Michael Bublé yang melantunkan Fly Me to the Moon,
untuk
pertama
kalinya Ervin membuatku tertawa ceria hanya karena aku sedang
bersamanya.
Semua rasa canggung yang kurasakan beberapa jam yang lalu kini
hilang
tak bersisa. Ervin ternyata seorang dancer
yang cukup handal, sehingga aku
hanya
perlu mengikuti langkahnya. Ervin meletakkan tangan kirinya di pinggangku
dan
tangan kanannya menggengam tangan kiriku.
“Lo
sadar kan hari Senin kantor bakalan penuh gosip tentang kita?” bisikku
pada
Ervin.
“Lo
khawatir digosipin sama gue?” tanya Ervin.
“No...!”
jawabku dengan nada menggurui.
“Jadi
kenapa?” desak Ervin.
“Karena
sekarang semua perempuan yang ada di ruangan ini... dan beberapa
laki-laki...”
Aku memberinya tatapan iseng sebelum melanjutkan, “lagi bertanyatanya
kenapa
elo dansa sama gue tapi nggak sama mereka,” jelasku.
Ervin
mengerutkan keningnya sesaat, seakan-akan dia sedang berpikir keras.
“Kalau
soal yang laki-laki, jelas-jelas gue nggak bisa dansa sama mereka, nanti
makin
ada gosip lagi,” balas Ervin dengan mata berbinar-binar. Mau tidak mau aku
tertawa
dengan usahanya membalas godaanku.
“Kalau
yang perempuan, well... cuma elo yang bisa gue ajak dansa dan nggak
minta
gue untuk ngantar mereka pulang malam ini,” lanjut Ervin.
“Well... not to burst your bubble, lo tetap harus ngantar gue ngambil mobil malam
ini,”
candaku.
Ervin
mengerutkan kening, sepertinya berpikir keras tentang pendapatku,
sehingga
aku tertawa lagi.
“Kalau
gitu... lo satu-satunya perempuan di sini yang nggak akan minta gue
untuk
nelepon elo besok pagi untuk basa-basi dan bilang bahwa gue mau ketemu
elo
lagi di luar jam kantor, bla bla bla...,” ucap Ervin.
“Jadi
menurut lo gue kurang demanding?” ucapku pura-pura marah.
“No... tapi
menurut gue, lo perempuan paling nggak rese dan nggak bawel yang
gue
tahu.”
“So basically menurut
lo sikap gue ini kayak cowok?” candaku.
Tiba-tiba
Ervin menarikku ke pelukannya dan berbisik, “Cowok yang seksi
banget.”
Pada
detik itu darah di sekujur tubuhku membeku. Tapi tiba-tiba aku ingat...
Tasya...
Tasya... Tasya...
Pelan-pelan
kutarik wajahku dan menatap wajah Ervin. “Ervin Daniswara, elo
ngerayu
gue?” tanyaku mencoba meringankan suasana malam itu yang jelas-jelas
mulai
terasa seperti ada kembang api yang meledak-ledak di sekitarku dan Ervin.
“Tentu
saja nggak,” balas Ervin. Tapi dari tatapan matanya aku tidak terlalu
yakin
bahwa dia mengatakan hal yang sebenarnya.
Untung
saja kemudian Michael Bublé mengakhiri lagunya dan
menyelamatkanku
dari pikiran yang mulai bercabang.
“Kayaknya
gue harus pulang, Vin,” ucapku pada Ervin ketika dia mengikutiku
kembali
ke mejaku.
“Ini
sudah hampir jam dua belas, Dri, apa nggak lebih baik lo pulang besok
saja?”
tanyanya.
“Hah?
Maksud lo?”
“Tidur
di apartemen gue malam ini, nggak apa-apa, kan?”
Entah
apa karena imajinasiku saja, tapi sepertinya Ervin menanyakan hal yang
lain
sama sekali daripada kata-kata itu sendiri.
Dan
hanya dengan itu tamengku langsung naik. Aku harus melindungi diriku
sepenuhnya
dari Ervin.
“Mmmhhh...
kalo lo nggak keberatan, gue bisa pinjam kunci lo saja. Gue bisa
naik
taksi ke apartemen lo untuk ngambil barang. Lo nggak usah ikut. Nanti kunci
gue
selipin di bawah keset di depan pintu, gimana?”
Please please please... say yes, aku tidak yakin aku bisa menolak tawarannya lagi
untuk
kedua kalinya.
Tapi
sepertinya Ervin tidak membaca kegelisahanku. Aku jadi semakin gugup
mengingat
bagaimana Ervin memandangiku sepanjang malam itu. Dan sejujurnya,
setiap
kali aku sadar akan tatapannya, jantungku berhenti berdetak beberapa detik.
“Lo
mau pulang sekarang?” tanya Ervin padaku.
“Iya...
takut kemalaman.”
“Ya
sudah, yuk, gue antar.”
“Yakin?
Gue bisa kok naik taksi, cuma gue mesti pinjam kunci.”
“Gue
juga sudah selesai kok.”
“Gue
pamit dulu ya sama Pat, gue ketemu elo di lobi,” ucapku dan langsung
bergegas
mencari bosku. Beberapa hari setelah aku mulai bekerja untuk Mr. Patrick
Morris,
aku mengetahui bahwa beliau menolak untuk dipanggil “Sir” ataupun “Mr.
Morris”
oleh siapa pun. Dia lebih memilih dipanggil “Pat”.
Ketika
kami tiba kembali di apartemen, jam sudah menunjukkan pukul dua
belas
malam. Sebenarnya aku merasa agak takut pulang malam-malam sendirian,
tapi
sepertinya malam itu aku akan lebih aman berada di jalan yang sepi menuju
Rempoa
daripada satu atap dengan Ervin. Aku tidak percaya dengan diriku sendiri
untuk
tidak melakukan hal yang gila. Aku buru-buru lari ke kamar tidur Ervin dan
membereskan
barang-barangku. Aku mendengar Ervin sedang berbicara di telepon.
Lalu
dia melongokkan kepalanya ke kamar tidur.
“Gue
sudah titip mobil lo ke Mas Toto, satpam yang jaga malam di parkiran
kantor.
Dia bilang dia bakalan jagain mobil lo.”
Aku
yang terlalu kaget, tidak bisa berkata-kata.
Ervin
lalu membuka salah satu pintu lemarinya dan mengeluarkan sebuah kaus
berukuran
besar dengan tulisan Rice University.
“Gue
tebak lo nggak bawa baju tidur. Ini, pakai saja kaus sama celana pendek
gue.
Sori, gue nggak punya underwear buat elo, kecuali kalau lo mau pakai boxer
briefs-nya
gue,” ucapnya sambil tersenyum iseng. Ervin meletakkan pakaian itu di
tempat
tidur.
Aku
masih tidak bisa berkata-kata.
“Lo
mendingan tidur di sini, soalnya kasurnya lebih empuk. Seprainya baru
diganti
kemarin, jadi lo nggak usah khawatir. Gue tidur di kamar sebelah.”
Ketika
aku tidak menjawab juga akhirnya dia berkata, “Dri... is everything
alright?”
Aku
mengalami masalah bernapas. Bagaimana mungkin aku tidur di kamar ini?
Di
kamar Ervin, di tempat tidur Ervin? Entah apa saja yang sudah dia lakukan di
atas
situ. Berapa banyak perempuan yang sudah pernah merasakan tempat tidur
itu?
Aku memang tahu Ervin sexually active, tapi saat mendapat konfirmasi tentang
itu
dengan menemukan kotak kondom yang hanya setengah terisi di kamar mandi
tadi,
aku hampir terpeleset.
I know I shouldn’t look. Tapi aku tidak sengaja. Okay,
that’s a lie. Aku memang
mencarinya.
Tapi kotak kondom itu adalah hal pertama yang kulihat ketika
membuka
medicine cabinet di kamar mandi, jadi sebetulnya kejadian itu bukan
salahku
sepenuhnya.
“Vin,
gue pulang saja deh,” akhirnya aku bisa berkata-kata.
“Nggak,
Dri, lo mendingan tunggu sampai pagi. Kalau gue nggak minum
alkohol
tadi, gue mau antar elo, tapi kayaknya lebih safe
kalau nggak ada dari kita
yang
keluar dari apartemen ini sampai pagi. Besok lo gue antar untuk ambil mobil,
sekarang
lebih baik lo tidur. Oh ya, apa perlu gue telepon rumah lo untuk ngasih
tahu
lo sama gue?”
Hah??
Sudah gila si Ervin. Aku bisa digoreng bapakku.
“Nggak,
nggak, nanti mereka gue telepon, takutnya orang rumah sudah tidur.”
“Okay then, good night.”
Dengan
begitu Ervin menutup pintu dan meninggalkanku di kamar itu. Aku
duduk
terpaku di atas tempat tidur, sebelum kemudian menenggelamkan wajah di
kedua
tanganku.
“What am I doing here?”
ucapku pelan. Aku memandangi tasku yang baru separo
dikemas
dan mulai mengeluarkan beberapa peralatan mandi yang kuperlukan. Aku
masuk
kembali ke kamar mandi dan membasahi sekujur tubuhku dengan air panas,
sepanas-panasnya
yang bisa kutolerir. Setelah mandi aku berpikir aku akan
bergadang
semalaman. Mungkin dengan tidak tidur di rumahnya... koreksi... di
tempat
tidur Ervin... aku tidak akan merasa terlalu berdosa.
Tapi
ketika aku menyandarkan kepalaku pada bantal-bantal Ervin yang empuk
dan
beraroma vanila itu, aku langsung terlelap.
Aku
terbangun oleh bunyi HP-ku, butuh beberapa menit sebelum aku ingat di
mana
aku berada. Buru-buru aku angkat HP-ku yang masih berbunyi. Telepon itu
ternyata
dari Ibu yang menanyakan keberadaanku. Rupanya tadi malam karena
terlalu
gelisah, aku lupa menelepon rumah. Setelah mengatakan bahwa aku akan
pulang
sebentar lagi dan menutup telepon, aku sadar bahwa di luar sudah mulai
terang.
Beker Ervin sudah menunjukkan pukul enam pagi. Baru saat itu aku
menyadari
ada foto Tasya berukuran postcard di atas nightstand sebelah kiri. Aku
memang
belum pernah bertemu Tasya, jadi tidak tahu wajahnya. Ternyata lain dari
perkiraanku,
Tasya bukan tipe cewek mal seperti pacar-pacar Ervin sebelumnya.
Tasya
tampak cukup biasa walaupun memakai make-up
tebal.
Dengan
rasa bersalah aku buur-buru mencuci muka, mengganti baju, dan
membereskan
barang-barangku. Kuputuskan untuk menggunakan baju kerjaku lagi
karena
tidak mau terlihat seperti baru bangun tidur. Aku membuka pintu kamar
dan
mendapati bahwa semuanya masih gelap, sinar matahari tidak bisa menembus
gorden
tebal yang menutupi jendela. Satu-satunya penerangan adalah lampu malam
yang
terletak di sebelah pintu masuk yang dibiarkan menyala oleh Ervin. Dia masih
tidur
rupanya. Tadinya aku berencana menunggu hingga dia bangun, tapi
kuperhatikan
bahwa pintu apartemen Ervin bisa terkunci secara otomatis. Aku
buru-buru
menulis pesan di selembar kertas dan meninggalkannya di meja kecil di
sebelah
pintu masuk.
Vin,
Terima
kasih untuk semuanya. Don’t worry, I’ll pick my car up on my way home.
Sampai
ketemu hari Senin.
Adri
Dengan
begitu aku melangkah pulang. Ketika tiba di lobi, aku berpapasan
dengan
seorang perempuan yang sedang bergegas menuju lift. Aku merasa
mengenali
wajahnya. Setelah agak lama aku sadar itu Tasya. Aku tidak tahu Tasya
tinggal
di apartemen ini juga... Lalu satu pemikiran keluar dari kepalaku.
Ya
ampun, hampir saja... Untung aku sudah keluar dari apartemen Ervin, kalau
tidak
bisa gawat.
Buru-buru
aku ngacir mencari taksi. Tapi karena tidak ada taksi sepagi itu,
akhirnya
aku naik ojek. Bodo amat deh, pokoknya aku harus cabut sebelum Ervin
tahu
aku sudah pulang tanpa pamit dan sebelum Tasya sadar bahwa ada seorang
wanita
yang menginap di apartemen pacarnya semalam, tanpa sepengetahuannya.
Aku
menerima telepon dari Ervin setengah jam kemudian ketika sedang dalam
perjalanan
pulang. Dia menanyakan mengapa aku tidak membangunkannya. Aku
menjelaskan
semuanya dan memohon maaf karena tidak berpamitan secara
langsung.
Ervin tidak menyinggung Tasya sama sekali, sehingga aku pun berdiam
diri
juga soal berpapasan dengan Tasya di lobi.
Setahuku
semuanya beres ketika aku menutup telepon. Tapi hari Senin itu aku
dengan
Ervin sudah putus sama Tasya. Aku kurang tahu siapa yang mengakhiri
hubungan
itu, tapi Ervin terlihat tidak terlalu peduli, sehingga aku juga tidak mau
bertanya-tanya.
Tapi pada saat itulah aku memutuskan bahwa aku betul-betul harus
menghubungi
Baron secepatnya.
No comments:
Post a Comment