7.
BERITA DUKA
BEBERAPA
bulan setelah Ball, kakakku dan suaminya sudah menetap permanen di
Jakarta,
sehingga ada banyak hal yang ada di pikiranku selain Ervin dan Baron.
Contohnya
kegiatan hari ini, yaitu berbelanja baju bayi untuk calon keponakanku.
“Mbak,
ini lucu ya, tapi gila deh, GAP di sini mahalnya tuh gila-gilaan,” ucapku
masih
takjub dengan harga barang-barang di Jakarta.
Kakakku
kemudian melirik overall bayi yang aku tunjukkan padanya. “Lucu
memang....
Nggak ah, nggak seberapa mahal, masuk akal,” ucapnya santai sambil
melirik
harga baju bayi itu, yang berdigit enam. “Kira-kira cocok nggak ya buat anak
gue?”
lanjutnya. Tentunya kakakku yang suaminya berpenghasilan lebih dari
seratus
ribu dolar per tahun tidak pernah mengkhawatirkan uang.
“Penting
nggak sih beli baju bayi semahal itu?” ujarku yang kemudian disambut
dengan
tawa terbahak-bahak kakakku.
Setelah
mengelilingi mal selama lebih dari dua jam, dengan hasil dua kantong
besar
berisi baju-baju bayi, kami lalu berjalan menuju eskalator untuk turun ke
pelataran
parkir. Tiba-tiba kakakku bertanya, “Loon, kamu masih suka hang out
sama
siapa tuh teman kamu dari kantor, Luvin, Muffin, Stuffing, eh siapa ya
namanya?”
Yah,
begitulah kakakku memanggil aku... loon, kependekan dari baloon, alias
balon.
Menurut dia, tubuhku yang dulunya kurus sekarang sudah mengembang
hingga
terlihat seperti balon.
“Hah,
masa gue punya teman namanya „Stuffing” sih? Yang benar saja!
Memangnya
kalkun? Kalau Kevin sih ada, bagian Product Placement,” balasku
sambil
tertawa terbahak-bahak dan hampir tersandung saat turun eskalator.
Kakakku
tertawa bersamaku. “Ya kalau gitu namanya siapa dong?”
“Ervin,”
jawabku, sambil masih berusaha keras untuk tidak tertawa lagi.
“Ah
iya, Ervin. Aneh ya, but anyway, so?”
“Artinya
a friend of the sea, whatever that
means. Well, ya nggak ada so-lah, mau
digimanain
lagi?”
“A friend of the sea?
Maksudnya apa tuh? Kerang, ikan, apa timun laut?”
Aku
hanya tertawa cekikikan mendengar komentar itu.
Lalu
kakakku menambahkan, “Jadi sudah nggak jalan lagi?”
“Sudah
jarang, dia kan punya pacar,” jelasku.
Kini
giliran kakakku yang hampir terpeleset di lantai mal karena kaget. “Lho,
dia
punya pacar?”
Aku
mengangguk.
Kakakku
melanjutkan, “Memangnya dia nggak sama kamu?”
Aku
menatapnya dengan bingung. “Ya nggaklah, namanya juga kita cuma
teman,”
jelasku.
Aku
dapat melihat bahwa kakaku tidak menyetujui jenis hubunganku dengan
Ervin.
Tapi dia hanya berdiam diri dan mengerutkan kening. Aku bisa memahami
kekhawatiran
keluargaku dengan status single dan tidak punya pacarku ini. Sewaktu
aku
berumur 28 tahun dan baru pulang dari Amerika, tidak satu pun anggota
keluargaku
yang pernah menyinggung hal-hal yang menyerempet soal laki-laki.
Tetapi
setelah hampir dua tahun ada di Indonesia dan aku masih belum pernah
memperkenalkan
seorang laki-laki pun kepada mereka, jelas-jelas keluargaku mulai
khawatir.
Meskipun orangtua ataupun kakakku tidak pernah mengucapkan sepatah
kata
pun kepadaku mengenai hal ini, tetapi aku dapat membaca dari gelagat dan
cara
mereka memandangku. Mungkin mereka khawatir aku akan jadi perawan tua
yang
tinggal sendiriam di suatu rumah kecil yang banyak kucingnya. Hahaha...
Aku
tahu bahwa jam biologisku akan habis masa berlakunya tidak lama lagi,
oleh
sebab itu, kalau ingin punya anak, aku harus menikah secepatnya. Tapi,
bagaimana
aku bisa menikah kalau calon suami saja tidak punya? Tentu saja, aku
selalu
bisa adopsi, tetapi aku tahu bahwa aku ingin anak itu lahir dari rahimku
sendiri,
maka pilihan untuk mengadopsi akhirnya aku coret. Buntutnya, hanya
pilihan
in-vitro vertilization yang tertinggal. Masalah utamanya adalah mencari bank
sperma
yang bonafide. Kalau bank sperma di luar negeri mungkin masih bisa
dipercaya,
karena kebanyakan yang menyumbangkan sperma adalah murid fakultas
kedokteran,
tapi kalau di Jakarta, aku tidak bisa dan tidak berani mengambil risiko.
Setelah
berulang kali memikirkan tentang pilihanku, aku memutuskan untuk
melakukan
“Sperm Shopping” dengan membuat daftar tentang kriteria si
penyumbang
sperma. Aku keluar dengan persyaratan seperti:
1.
Nilai IQ harus di atas 130
2.
Tinggi harus di atas 160 sentimeter
3.
Umur harus di antara 25 hingga 35 tahun. Karena menurut informasi yang
telah
kukumpulkan, sperma seorang laki-laki adalah paling aktif pada
golongan
umur tersebut
4.
Tidak memiliki sejarah sakit jantung, diabetes, apalagi sakit kelamin.
5.
Dan memiliki wajah yang agak lumayan. Tentu saja hal ini agak sulit untuk
diketahui
di bank sperma karena biasanya para donor tidak
mengikutsertakan
foto mereka.
Tetapi
akhirnya aku justru membuat daftar yang sangat terbatas (mengingat
jumlah
laki-laki yang kukenal) berisi nama laki-laki yang mungkin bisa kuminta
spermanya,
seperti:
1.
Vincent (sebelum aku tahu bahwa dia sudah menikah).
2.
Ervin (ketika aku pertama kali bertemu dengannya dan sebelum aku tahu
bahwa
aktivitas seksualnya terlalu aktif, sehingga aku tidak yakin apa dia
akan
masih punya sperma tersisa untuk disumbangkan).
3.
Patrick (bosku, yang kemudian harus kucoret karena ini tidak etis).
4.
Sony (asistenku yang juga harus kucoret karena ternyata keluarganya ada
keturunan
diabetes, selain juga bahwa ini tidak etis).
5.
Baron (apa aku cukup berani untuk meminta spermanya? Untuk berbicara
dengannya
saja aku tidak berani).
Setelah
memutar balik ide mengenai in-vitro, tapi otakku masih buntuk untuk
mengeluarkan
pilihan nama lain selain yang sudah kusebutkan, akhirnya pilihan invitro
pun
terpaksa dihapuskan. Dan aku kembali ke angka nol.
Lagian,
ini kan Indonesia. Hamil di luar nikah? Mau digosipin sekampung, apa?
*
* *
Aku
sedang menunggu bapakku yang akan tiba dari Bali di Terminal F Bandara
Soekarno-Hatta.
Aku duduk di salah satu bangku panjang yang ada di depan pintu
keluar.
Aku sedang mencari tisu basah dari tasku ketika tiba-tiba ada dua tangan
kecil
yang memelukku dari belakang.
“Aunt Oli, Papa has been looking for you.”
Aku
sempat bergeming selama beberapa detik sebelum kemudian memutar
tubuh
dan melihat ada seorang anak kecil yang mungkin berumur sekitar lima atau
enam
tahun dengan kaus yang bertuliskan Hard Rock Cafe Bali. Anak itu pun
terlihat
kaget ketika sadar bahwa aku bukan orang yang dicarinya. Dia celingukan
seperti
mencari orang lain yang seharusnya ada di belakangnya. Ketika sadar bahwa
dia
sendirian, bibirnya kemudian mulai bergetar, siap untuk menangis.
Holy Crap. Aku
bisa mendengar suara teriakan di dalam kepalaku.
Aku
memang kurang berpengalaman dengan anak kecil, apalagi anak kecil yang
akan,
sedang, atau lepas menangis. Aku lalu berlutut di hadapannya, mencoba
menarik
napas panjang.
Adriana
Amandira, santai saja deh. Ini cuma anak kecil. Aku mencoba
menenangkan
diriku.
“Hey there. Well, look at you, don’t you look handsome
in that Hard Rock T-shirt?”
ucapku
dengan nada setenang mungkin dan menempelkan senyuman seramah
mungkin
di wajahku. Andai saja kakakku dapat melihatku, kemungkinan besar dia
akan
berpikir aku sedang mencoba untuk menakuti anak kecil ini, bukannya
menenangkannya.
Kakakku selalu berpendapat bahwa mulutku terlalu penuh gigi.
Untung
saja anak itu tidak jadi menangis. Dia hanya memandangku kemudian
memandangi
T-shirt yang dikenakannya sebelum kemudian menatapku kembali.
“My name is Tim,”
ucapnya sambil menunjuk dirinya.
Aku
mengembuskan napas lega. “Well,
hello, Tim, I’m...” Aku berpikir sejenak,
mungkin
Adriana akan terdengar terlalu panjang, “I’m
Didi,” ucapku akhirnya.
Aku
memperhatikan anak kecil itu dan menyadari bahwa wajahnya yang agak
kebule-bulean
terlihat sangat familier meskipun aku yakin bahwa aku belum pernah
bertemu
dengannya. Tidak lama kemudian, aku melihat seorang laki-laki agak
tinggi,
sedikit gemuk, dengan rambut ikal kecokelatan berlari-lari ke arah kami.
“There you are,”
ucapnya lega, kemudian berlutut di hadapan Timdan berkata
dengan
suara yang lebih otoritatif. “Jangan jauh-jauh dariku lagi, oke.”
Kemudian
laki-laki itu berdiri untuk memandangku yang sedang
memperhatikannya
dengan saksama dan tertegunlah kami berdua. Pada saat itu aku
akhirnya
bisa memastikan kenapa wajah anak keci litu terlihat familier.
“Mbak
Didi, ya?” tanya laki-laki itu.
Aku
sempat terkejut karena dia masih mengingatku, apalagi namaku. Aku
mengangguk.
“Kamu
adiknya Baron, ya?” tanyaku dengan suara rok ragu, meskipun dalam
hati
aku sudah sadar semenjak awal siapa dia.
“Kalvin,”
lanjutnya sambil menunjuk dirinya.
“Iya,
halo, apa kabar?” tanyaku mencoba menahan rasa antusias yang meluapluap
di
dalam diriku. Akhirnya aku menemukan orang yang bisa
menghubungkanku
dengan Baron.
“Baik,”
jawabnya.
Kalvin
atau lebih akrab dipanggil Kal, adalah satu-satunay saudara Baron yang
kukenal,
dan mereka berdua memang mirip, hampir seperti anak kembar.
“Ini
Timothy, anakku. Kami baru datang dari Bali. Sekarang lagi nunggu
jemputan.”
“Oh
iya, I guess Aunt Oli itulah ya?”
“Iya.”
Aku
hanya mengangguk.
“Kapan
balik dari Amerika?” tanya Kal lagi.
Dengan
cepat aku menjawab, “Sudah hampir dua tahun.” Meskipun aku
bertanya-tanya
dari mana dia bisa tahu aku ada di Amerika selama ini?
“Kerja?”
Aku
mengangguk. “Human development. Kamu?”
“Aku
di manajemen hotel di Bali, kami sekeluarga tinggal di sana, ini ke Jakarta
untuk
urusan keluarga.”
“Oh...,”
adalah satu-satunya jawaban yang bisa kukeluarkan.
Kal
hanya tersenyum. “Pokoknya kapan-kapan kalau ke Bali, telepon aku ya.”
Kal
kemudian memberiku kartu namanya.
Aku
menerima kartu nama itu, membacanya sekilas dan mulai mengaduk-aduk
tasku
untuk mengeluarkan satu kotak hitam berisi kartu namaku dan memberikan
satu
padanya.
“Nanti
aku bilang ke Baron deh aku ketemu sama Mbak di sini,” ucap Kal
sambil
tertawa.
Betapa
cara dia tertawa mengingatkanku pada Baron. Seingatku memang Kelvin
tidak
pernah memanggil Baron dengan kata Kak, Bang, ataupun Mas, dia cuma
memanggil
Baron apa adanya.
Aku
berdebat dengan diriku sendiri. Apakah aku berani untuk bertanya atau
tidak.
Akhirnya aku memberanikan diri. “Apa kabarnya Baron? Sudah lama nggak
ketemu.”
“Hah,
belum ketemu? Sudah dua tahun di sini masih belum ketemu?” tanya Kal
dengan
nada agak-agak bingung. “Dia sih baik-baik saja. Kami datang soalnya hari
Minggu
dia tunangan, jadi kami harus ada untuk persiapan Hari H-nya.”
Begitu
mendengar kata tunangan aku langsung lemas.
I am an idiot. Aku
memarahi diriku sendiri yang tidak pernah memberanikan diri
untuk
menghubungi Baron selama dua tahun ini. Kini harapanku untuk
mendapatkan
Baron sudah benar-benar pupus. Aku mencoba untuk tidak
menunjukkan
emosiku yang sebenarnya.
“Oh,”
ucapku sambil tersenyum kaku.
“Mbak
kayaknya kenal deh sama calonnya Baron. Oli.”
Aku
memandang Kalvin bingung. Oli? Siapa pula Oli? Memangnya aku kenal
dengan
perempuan bernama Oli?
Tiba-tiba
seorang wanita bergegas menghampiri kerumunan kecil kami. Aku
langsung
tanggap bahwa wanita ini pasti Aunt Oli yang dimaksud oleh Timothy.
Apabila
dilihat sekilas wanita itu memang mirip sekali denganku, bentuk tubuh,
tinggi,
dan potongan rambut kami sama persis. Aku sekarang mengerti kenapa anak
Kal
bisa mengira aku adalah wanita ini.
“Kal,
sudah siap belum nih?” tanya wanita itu.
Saat
wanita itu sudah cukup dekat, sadarlah aku siapa dia. Olivia, atau lebih
akrab
dipanggil Oli adalah cewek yang kukenal sewaktu SMP dulu. Aneh, kok
Olivia
datang menjemput Kal sih? Memangnya mereka kenal? Baru beberapa detik
kemudian
aku sadar siapa Olivia sebenarnya.
“Adri,
ya ampuuuuuuunnnnn, ke mana aja?” tanyanya sambil bergerak
memelukku.
Aku mencoba untuk tidak kelihatan canggung. Sekarang aku sadar
bahwa
Baron akan bertunangan dengan Olivia, hatiku bagaikan hancur lebih
berkeiping-keping
lagi. Kusadari bahwa Olivia adalah salah satu cewek paling
cantik
sewaktu SMP dan Baron selalu suka padanya. Tanpa disangka-sangka
ternyata
jodoh tidak lari jauh. Lebih parahnya lagi, aku selalu suka pada Olivia.
Walaupun
tidak pernah akrab, tapi kami cukup mengenal satu sama lain.
Aku
mencoba memberikan pelukan yang senormal mungkin. “Baik, ya ampun
nggak
disangka-sangka ternyata calonnya Baron tuh elo.”
Olivia
sempat tertegun, mencoba menebak dari mana aku mendapatkan ide itu,
tapi
kemudian Kal memberikan kode yang menandakan bahwa informasi itu datang
darinya
dan Olivia pun tersenyum maklum.
“Iya
nih, hehehe... sori ya nggak ngundang-ngundang, tapi acara tunangannya
cuma
buat keluarga dekat saja.”
“Gue
ngerti kok. Selamat ya,” balasku, mencoba meringankan suasana.
Kemudian
beberapa detik berlalu di dalam keheningan yang tidak nyaman. Aku
sangat
bersyukur ketika Kal mengatakan bahwa mereka harus berpamitan.
“Kita
harus ciao nih, yang jemput sudah datang. Sampai ketemu lagi ya,” ucap
Kal
sambil mencoba menggendong Timothy yang sekarang sedang berusaha keras
untuk
mendapatkan perhatianku dengan menarik-narik tas tanganku.
“Bye,” jawabku sambil
menepuk-nepuk kepala Timothy. Kemudian berlalulah
mereka.
Beberapa saat kemudian aku melihat bapakku.
*
* *
Tiga
minggu setelah pertemuanku dengan Kalvin yang sangat tidak disangkasangka
itu
aku hanya bisa menyimpan berita duka tersebut dan tidak
menceritakannya
kepada siapa-siapa. Aku merasa orang-orang di sekitarku cukup
sibuk
dengan urusan mereka hanya untuk mendengarkanku bercerita tentang
“temanku”
yang akan menikah. Sangat tidak signifikan. Tapi sejujurnya, alasan
utama
mengapa aku tidak menceritakan hal ini kepada siapa-siapa adalah karena
tidak
ada satu pun yang tahu tentang obsesiku pada Baron.
*
* *
Persiapan
untuk Nujuh Bulanan kakakku berjalan dengan mulus, meskipun hari Hnya
baru
akan terlaksana sekitar dua minggu lagi. Aku meminta izin untuk
meninggalkannya
selama lima hari untuk berlibur dengan Ina, salah satu temanku
dan
kakakku selama kami di Amerika. Rencananya memang Mbak Tita akan ikut
serta,
tetapi karena terlalu mepet dengan acara Nujuh Bulanan-nya, akhirnya dia
memutuskan
untuk tetap tinggal di Jakarta.
Bulan
ini adalah bulan September, dan aku sudah berencana akan berlibur
dengan
Ina ke Singapura semenjak enam bulan yang lalu. Ina harus mengadakan
kunjungan
bisnis ke sana dan aku merencanakan untuk menggunakan beberapa
hari
paid leave-ku yang tidak bisa di rollover
ke tahun depan.
Ketika
aku sedang menyusun laporan terakhir yang harus kuserahkan ke bosku
sebelum
berangkat ke Singapura, Pat melongokkan kepalanya ke ruanganku.
“Hey, are you still going to Singapore this weekend?” katanya menanyakan waktu
kepergianku.
“No, not this weekend, Pat, but tomorrow, remember?” Bukan akhir minggu, Pat, kan
aku
bakal berangkat besok. Dasar pelupa!
“Ah yes,
besok, sori, aku sibuk belakangan ini,” jawab Pat sambil tersenyum
minta
maaf.
“Sibuk?
Kau bilang dirimu sibuk? Bagaimana aku? Aku kerja sampai hampir
sinting!”
gerutuku.
Pat
hanya tertawa mendengar komentarku.
“Bukannya
kau punya asisten? Seharusnya kau tidak begitu sibuknya,”
ledeknya.
Patric tahu betul sifatku yang sedikit obsesif-kompulsif sehingga
terkadang
mengalami masalah untuk mendelegasikan pekerjaan ke asistenku.
Aku
hanya memandang Pat dengan tatapan mengalah.
“Ya
sudah, selamat bersenang-senang ya. Kau akan pergi dengan temanmu
yang
imut itu, kan?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada sok cuek.
“Inara,
ya, aku akan pergi dengannya.”
“Sialan,
seharusnya aku ikut pergi bersama kalian. Atau paling tidak aku bisa
minta
Dave mengontrak firma temanmu itu untuk mewakili kita.”
Aku
terbahak-bahak ketika dia berkata begitu. Pat memang punya crush dengan
Ina
semenjak pertemuan mereka beberapa bulan yang lalu.
“Kurasa
temanku tidak akan terlalu senang kalau tahu kau duda empat puluh
lima
tahun dengan seorang putri berusia sepuluh tahun.”
Pat
mengeluarkan ekspresi pura-pura kaget dengan tangan di dada segala. “Oh,
kena
aku. Ya sudah, hati-hati ya. Kau masuk lagi hari Rabu?”
“Ya,
Rabu, dan tidak usah susah-susah telepon ponselku hanya untuk
mengeluhkan
pekerjaan, karena aku tidak akan membawanya.”
“Kau
tidak akan bawa ponsel? Well, aku bisa saja minta nomor telepon hotemu
dari
orang di bagian Business Development itu, siapa namanya...?”
“Ervin.
Dan tidak, kau tidak bisa menanyakan nomor telepon hotelku
kepadanya,
karena dia bahkan tidak tahu aku pergi ke Singapura,” balasku.
“Rasanya
aku mendengar nada sedih dalam suaramu.” Pat melemparkan
senyuman
usilnya kepadaku, tetpai aku hanya mengerling dan melanjutkan
pekerjaanku.
Hubunganku
dengan Ervin selama satu tahun pertama memang selalu terkena
gosip,
apalagi setelah hampir satu kantor melihatku berdansa dengan Ervin di Good
Life
Ball, tetapi akhirnya orang kantor beralih ke gosip lain ketika mengetahui
bahwa
memang tidak ada apa-apa di antara kami berdua selain persahabatan. Lain
halnya
dengan kolega-kolegaku, Pat terkadang memang masih suka iseng dan
menyebut
nama Ervin hanya untuk melihat reaksiku. Sayangnya aku sudah tahu
kebiasaan
ini dan sudah cukup kebal dengan usahanya.
Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 8
No comments:
Post a Comment