Sunday, September 6, 2015

Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 7

7. BERITA DUKA

BEBERAPA bulan setelah Ball, kakakku dan suaminya sudah menetap permanen di
Jakarta, sehingga ada banyak hal yang ada di pikiranku selain Ervin dan Baron.
Contohnya kegiatan hari ini, yaitu berbelanja baju bayi untuk calon keponakanku.
“Mbak, ini lucu ya, tapi gila deh, GAP di sini mahalnya tuh gila-gilaan,” ucapku
masih takjub dengan harga barang-barang di Jakarta.
Kakakku kemudian melirik overall bayi yang aku tunjukkan padanya. “Lucu
memang.... Nggak ah, nggak seberapa mahal, masuk akal,” ucapnya santai sambil
melirik harga baju bayi itu, yang berdigit enam. “Kira-kira cocok nggak ya buat anak
gue?” lanjutnya. Tentunya kakakku yang suaminya berpenghasilan lebih dari
seratus ribu dolar per tahun tidak pernah mengkhawatirkan uang.
“Penting nggak sih beli baju bayi semahal itu?” ujarku yang kemudian disambut
dengan tawa terbahak-bahak kakakku.
Setelah mengelilingi mal selama lebih dari dua jam, dengan hasil dua kantong
besar berisi baju-baju bayi, kami lalu berjalan menuju eskalator untuk turun ke
pelataran parkir. Tiba-tiba kakakku bertanya, “Loon, kamu masih suka hang out
sama siapa tuh teman kamu dari kantor, Luvin, Muffin, Stuffing, eh siapa ya
namanya?”
Yah, begitulah kakakku memanggil aku... loon, kependekan dari baloon, alias
balon. Menurut dia, tubuhku yang dulunya kurus sekarang sudah mengembang
hingga terlihat seperti balon.
“Hah, masa gue punya teman namanya „Stuffing” sih? Yang benar saja!
Memangnya kalkun? Kalau Kevin sih ada, bagian Product Placement,” balasku
sambil tertawa terbahak-bahak dan hampir tersandung saat turun eskalator.
Kakakku tertawa bersamaku. “Ya kalau gitu namanya siapa dong?”
“Ervin,” jawabku, sambil masih berusaha keras untuk tidak tertawa lagi.
“Ah iya, Ervin. Aneh ya, but anyway, so?
“Artinya a friend of the sea, whatever that means. Well, ya nggak ada so-lah, mau
digimanain lagi?”
A friend of the sea? Maksudnya apa tuh? Kerang, ikan, apa timun laut?”
Aku hanya tertawa cekikikan mendengar komentar itu.
Lalu kakakku menambahkan, “Jadi sudah nggak jalan lagi?”
“Sudah jarang, dia kan punya pacar,” jelasku.
Kini giliran kakakku yang hampir terpeleset di lantai mal karena kaget. “Lho,
dia punya pacar?”
Aku mengangguk.
Kakakku melanjutkan, “Memangnya dia nggak sama kamu?”
Aku menatapnya dengan bingung. “Ya nggaklah, namanya juga kita cuma
teman,” jelasku.
Aku dapat melihat bahwa kakaku tidak menyetujui jenis hubunganku dengan
Ervin. Tapi dia hanya berdiam diri dan mengerutkan kening. Aku bisa memahami
kekhawatiran keluargaku dengan status single dan tidak punya pacarku ini. Sewaktu
aku berumur 28 tahun dan baru pulang dari Amerika, tidak satu pun anggota
keluargaku yang pernah menyinggung hal-hal yang menyerempet soal laki-laki.
Tetapi setelah hampir dua tahun ada di Indonesia dan aku masih belum pernah
memperkenalkan seorang laki-laki pun kepada mereka, jelas-jelas keluargaku mulai
khawatir. Meskipun orangtua ataupun kakakku tidak pernah mengucapkan sepatah
kata pun kepadaku mengenai hal ini, tetapi aku dapat membaca dari gelagat dan
cara mereka memandangku. Mungkin mereka khawatir aku akan jadi perawan tua
yang tinggal sendiriam di suatu rumah kecil yang banyak kucingnya. Hahaha...
Aku tahu bahwa jam biologisku akan habis masa berlakunya tidak lama lagi,
oleh sebab itu, kalau ingin punya anak, aku harus menikah secepatnya. Tapi,
bagaimana aku bisa menikah kalau calon suami saja tidak punya? Tentu saja, aku
selalu bisa adopsi, tetapi aku tahu bahwa aku ingin anak itu lahir dari rahimku
sendiri, maka pilihan untuk mengadopsi akhirnya aku coret. Buntutnya, hanya
pilihan in-vitro vertilization yang tertinggal. Masalah utamanya adalah mencari bank
sperma yang bonafide. Kalau bank sperma di luar negeri mungkin masih bisa
dipercaya, karena kebanyakan yang menyumbangkan sperma adalah murid fakultas
kedokteran, tapi kalau di Jakarta, aku tidak bisa dan tidak berani mengambil risiko.
Setelah berulang kali memikirkan tentang pilihanku, aku memutuskan untuk
melakukan “Sperm Shopping” dengan membuat daftar tentang kriteria si
penyumbang sperma. Aku keluar dengan persyaratan seperti:
1. Nilai IQ harus di atas 130
2. Tinggi harus di atas 160 sentimeter
3. Umur harus di antara 25 hingga 35 tahun. Karena menurut informasi yang
telah kukumpulkan, sperma seorang laki-laki adalah paling aktif pada
golongan umur tersebut
4. Tidak memiliki sejarah sakit jantung, diabetes, apalagi sakit kelamin.
5. Dan memiliki wajah yang agak lumayan. Tentu saja hal ini agak sulit untuk
diketahui di bank sperma karena biasanya para donor tidak
mengikutsertakan foto mereka.
Tetapi akhirnya aku justru membuat daftar yang sangat terbatas (mengingat
jumlah laki-laki yang kukenal) berisi nama laki-laki yang mungkin bisa kuminta
spermanya, seperti:
1. Vincent (sebelum aku tahu bahwa dia sudah menikah).
2. Ervin (ketika aku pertama kali bertemu dengannya dan sebelum aku tahu
bahwa aktivitas seksualnya terlalu aktif, sehingga aku tidak yakin apa dia
akan masih punya sperma tersisa untuk disumbangkan).
3. Patrick (bosku, yang kemudian harus kucoret karena ini tidak etis).
4. Sony (asistenku yang juga harus kucoret karena ternyata keluarganya ada
keturunan diabetes, selain juga bahwa ini tidak etis).
5. Baron (apa aku cukup berani untuk meminta spermanya? Untuk berbicara
dengannya saja aku tidak berani).
Setelah memutar balik ide mengenai in-vitro, tapi otakku masih buntuk untuk
mengeluarkan pilihan nama lain selain yang sudah kusebutkan, akhirnya pilihan invitro
pun terpaksa dihapuskan. Dan aku kembali ke angka nol.
Lagian, ini kan Indonesia. Hamil di luar nikah? Mau digosipin sekampung, apa?
* * *
Aku sedang menunggu bapakku yang akan tiba dari Bali di Terminal F Bandara
Soekarno-Hatta. Aku duduk di salah satu bangku panjang yang ada di depan pintu
keluar. Aku sedang mencari tisu basah dari tasku ketika tiba-tiba ada dua tangan
kecil yang memelukku dari belakang.
Aunt Oli, Papa has been looking for you.”
Aku sempat bergeming selama beberapa detik sebelum kemudian memutar
tubuh dan melihat ada seorang anak kecil yang mungkin berumur sekitar lima atau
enam tahun dengan kaus yang bertuliskan Hard Rock Cafe Bali. Anak itu pun
terlihat kaget ketika sadar bahwa aku bukan orang yang dicarinya. Dia celingukan
seperti mencari orang lain yang seharusnya ada di belakangnya. Ketika sadar bahwa
dia sendirian, bibirnya kemudian mulai bergetar, siap untuk menangis.
Holy Crap. Aku bisa mendengar suara teriakan di dalam kepalaku.
Aku memang kurang berpengalaman dengan anak kecil, apalagi anak kecil yang
akan, sedang, atau lepas menangis. Aku lalu berlutut di hadapannya, mencoba
menarik napas panjang.
Adriana Amandira, santai saja deh. Ini cuma anak kecil. Aku mencoba
menenangkan diriku.
Hey there. Well, look at you, don’t you look handsome in that Hard Rock T-shirt?
ucapku dengan nada setenang mungkin dan menempelkan senyuman seramah
mungkin di wajahku. Andai saja kakakku dapat melihatku, kemungkinan besar dia
akan berpikir aku sedang mencoba untuk menakuti anak kecil ini, bukannya
menenangkannya. Kakakku selalu berpendapat bahwa mulutku terlalu penuh gigi.
Untung saja anak itu tidak jadi menangis. Dia hanya memandangku kemudian
memandangi T-shirt yang dikenakannya sebelum kemudian menatapku kembali.
My name is Tim,” ucapnya sambil menunjuk dirinya.
Aku mengembuskan napas lega. “Well, hello, Tim, I’m...” Aku berpikir sejenak,
mungkin Adriana akan terdengar terlalu panjang, “I’m Didi,” ucapku akhirnya.
Aku memperhatikan anak kecil itu dan menyadari bahwa wajahnya yang agak
kebule-bulean terlihat sangat familier meskipun aku yakin bahwa aku belum pernah
bertemu dengannya. Tidak lama kemudian, aku melihat seorang laki-laki agak
tinggi, sedikit gemuk, dengan rambut ikal kecokelatan berlari-lari ke arah kami.
There you are,” ucapnya lega, kemudian berlutut di hadapan Timdan berkata
dengan suara yang lebih otoritatif. “Jangan jauh-jauh dariku lagi, oke.”
Kemudian laki-laki itu berdiri untuk memandangku yang sedang
memperhatikannya dengan saksama dan tertegunlah kami berdua. Pada saat itu aku
akhirnya bisa memastikan kenapa wajah anak keci litu terlihat familier.
“Mbak Didi, ya?” tanya laki-laki itu.
Aku sempat terkejut karena dia masih mengingatku, apalagi namaku. Aku
mengangguk.
“Kamu adiknya Baron, ya?” tanyaku dengan suara rok ragu, meskipun dalam
hati aku sudah sadar semenjak awal siapa dia.
“Kalvin,” lanjutnya sambil menunjuk dirinya.
“Iya, halo, apa kabar?” tanyaku mencoba menahan rasa antusias yang meluapluap
di dalam diriku. Akhirnya aku menemukan orang yang bisa
menghubungkanku dengan Baron.
“Baik,” jawabnya.
Kalvin atau lebih akrab dipanggil Kal, adalah satu-satunay saudara Baron yang
kukenal, dan mereka berdua memang mirip, hampir seperti anak kembar.
“Ini Timothy, anakku. Kami baru datang dari Bali. Sekarang lagi nunggu
jemputan.”
“Oh iya, I guess Aunt Oli itulah ya?”
“Iya.”
Aku hanya mengangguk.
“Kapan balik dari Amerika?” tanya Kal lagi.
Dengan cepat aku menjawab, “Sudah hampir dua tahun.” Meskipun aku
bertanya-tanya dari mana dia bisa tahu aku ada di Amerika selama ini?
“Kerja?”
Aku mengangguk. “Human development. Kamu?”
“Aku di manajemen hotel di Bali, kami sekeluarga tinggal di sana, ini ke Jakarta
untuk urusan keluarga.”
“Oh...,” adalah satu-satunya jawaban yang bisa kukeluarkan.
Kal hanya tersenyum. “Pokoknya kapan-kapan kalau ke Bali, telepon aku ya.”
Kal kemudian memberiku kartu namanya.
Aku menerima kartu nama itu, membacanya sekilas dan mulai mengaduk-aduk
tasku untuk mengeluarkan satu kotak hitam berisi kartu namaku dan memberikan
satu padanya.
“Nanti aku bilang ke Baron deh aku ketemu sama Mbak di sini,” ucap Kal
sambil tertawa.
Betapa cara dia tertawa mengingatkanku pada Baron. Seingatku memang Kelvin
tidak pernah memanggil Baron dengan kata Kak, Bang, ataupun Mas, dia cuma
memanggil Baron apa adanya.
Aku berdebat dengan diriku sendiri. Apakah aku berani untuk bertanya atau
tidak. Akhirnya aku memberanikan diri. “Apa kabarnya Baron? Sudah lama nggak
ketemu.”
“Hah, belum ketemu? Sudah dua tahun di sini masih belum ketemu?” tanya Kal
dengan nada agak-agak bingung. “Dia sih baik-baik saja. Kami datang soalnya hari
Minggu dia tunangan, jadi kami harus ada untuk persiapan Hari H-nya.”
Begitu mendengar kata tunangan aku langsung lemas.
I am an idiot. Aku memarahi diriku sendiri yang tidak pernah memberanikan diri
untuk menghubungi Baron selama dua tahun ini. Kini harapanku untuk
mendapatkan Baron sudah benar-benar pupus. Aku mencoba untuk tidak
menunjukkan emosiku yang sebenarnya.
“Oh,” ucapku sambil tersenyum kaku.
“Mbak kayaknya kenal deh sama calonnya Baron. Oli.”
Aku memandang Kalvin bingung. Oli? Siapa pula Oli? Memangnya aku kenal
dengan perempuan bernama Oli?
Tiba-tiba seorang wanita bergegas menghampiri kerumunan kecil kami. Aku
langsung tanggap bahwa wanita ini pasti Aunt Oli yang dimaksud oleh Timothy.
Apabila dilihat sekilas wanita itu memang mirip sekali denganku, bentuk tubuh,
tinggi, dan potongan rambut kami sama persis. Aku sekarang mengerti kenapa anak
Kal bisa mengira aku adalah wanita ini.
“Kal, sudah siap belum nih?” tanya wanita itu.
Saat wanita itu sudah cukup dekat, sadarlah aku siapa dia. Olivia, atau lebih
akrab dipanggil Oli adalah cewek yang kukenal sewaktu SMP dulu. Aneh, kok
Olivia datang menjemput Kal sih? Memangnya mereka kenal? Baru beberapa detik
kemudian aku sadar siapa Olivia sebenarnya.
“Adri, ya ampuuuuuuunnnnn, ke mana aja?” tanyanya sambil bergerak
memelukku. Aku mencoba untuk tidak kelihatan canggung. Sekarang aku sadar
bahwa Baron akan bertunangan dengan Olivia, hatiku bagaikan hancur lebih
berkeiping-keping lagi. Kusadari bahwa Olivia adalah salah satu cewek paling
cantik sewaktu SMP dan Baron selalu suka padanya. Tanpa disangka-sangka
ternyata jodoh tidak lari jauh. Lebih parahnya lagi, aku selalu suka pada Olivia.
Walaupun tidak pernah akrab, tapi kami cukup mengenal satu sama lain.
Aku mencoba memberikan pelukan yang senormal mungkin. “Baik, ya ampun
nggak disangka-sangka ternyata calonnya Baron tuh elo.”
Olivia sempat tertegun, mencoba menebak dari mana aku mendapatkan ide itu,
tapi kemudian Kal memberikan kode yang menandakan bahwa informasi itu datang
darinya dan Olivia pun tersenyum maklum.
“Iya nih, hehehe... sori ya nggak ngundang-ngundang, tapi acara tunangannya
cuma buat keluarga dekat saja.”
“Gue ngerti kok. Selamat ya,” balasku, mencoba meringankan suasana.
Kemudian beberapa detik berlalu di dalam keheningan yang tidak nyaman. Aku
sangat bersyukur ketika Kal mengatakan bahwa mereka harus berpamitan.
“Kita harus ciao nih, yang jemput sudah datang. Sampai ketemu lagi ya,” ucap
Kal sambil mencoba menggendong Timothy yang sekarang sedang berusaha keras
untuk mendapatkan perhatianku dengan menarik-narik tas tanganku.
Bye,” jawabku sambil menepuk-nepuk kepala Timothy. Kemudian berlalulah
mereka. Beberapa saat kemudian aku melihat bapakku.
* * *
Tiga minggu setelah pertemuanku dengan Kalvin yang sangat tidak disangkasangka
itu aku hanya bisa menyimpan berita duka tersebut dan tidak
menceritakannya kepada siapa-siapa. Aku merasa orang-orang di sekitarku cukup
sibuk dengan urusan mereka hanya untuk mendengarkanku bercerita tentang
“temanku” yang akan menikah. Sangat tidak signifikan. Tapi sejujurnya, alasan
utama mengapa aku tidak menceritakan hal ini kepada siapa-siapa adalah karena
tidak ada satu pun yang tahu tentang obsesiku pada Baron.
* * *
Persiapan untuk Nujuh Bulanan kakakku berjalan dengan mulus, meskipun hari Hnya
baru akan terlaksana sekitar dua minggu lagi. Aku meminta izin untuk
meninggalkannya selama lima hari untuk berlibur dengan Ina, salah satu temanku
dan kakakku selama kami di Amerika. Rencananya memang Mbak Tita akan ikut
serta, tetapi karena terlalu mepet dengan acara Nujuh Bulanan-nya, akhirnya dia
memutuskan untuk tetap tinggal di Jakarta.
Bulan ini adalah bulan September, dan aku sudah berencana akan berlibur
dengan Ina ke Singapura semenjak enam bulan yang lalu. Ina harus mengadakan
kunjungan bisnis ke sana dan aku merencanakan untuk menggunakan beberapa
hari paid leave-ku yang tidak bisa di rollover ke tahun depan.
Ketika aku sedang menyusun laporan terakhir yang harus kuserahkan ke bosku
sebelum berangkat ke Singapura, Pat melongokkan kepalanya ke ruanganku.
Hey, are you still going to Singapore this weekend?” katanya menanyakan waktu
kepergianku.
No, not this weekend, Pat, but tomorrow, remember?” Bukan akhir minggu, Pat, kan
aku bakal berangkat besok. Dasar pelupa!
Ah yes, besok, sori, aku sibuk belakangan ini,” jawab Pat sambil tersenyum
minta maaf.
“Sibuk? Kau bilang dirimu sibuk? Bagaimana aku? Aku kerja sampai hampir
sinting!” gerutuku.
Pat hanya tertawa mendengar komentarku.
“Bukannya kau punya asisten? Seharusnya kau tidak begitu sibuknya,”
ledeknya. Patric tahu betul sifatku yang sedikit obsesif-kompulsif sehingga
terkadang mengalami masalah untuk mendelegasikan pekerjaan ke asistenku.
Aku hanya memandang Pat dengan tatapan mengalah.
“Ya sudah, selamat bersenang-senang ya. Kau akan pergi dengan temanmu
yang imut itu, kan?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada sok cuek.
“Inara, ya, aku akan pergi dengannya.”
“Sialan, seharusnya aku ikut pergi bersama kalian. Atau paling tidak aku bisa
minta Dave mengontrak firma temanmu itu untuk mewakili kita.”
Aku terbahak-bahak ketika dia berkata begitu. Pat memang punya crush dengan
Ina semenjak pertemuan mereka beberapa bulan yang lalu.
“Kurasa temanku tidak akan terlalu senang kalau tahu kau duda empat puluh
lima tahun dengan seorang putri berusia sepuluh tahun.”
Pat mengeluarkan ekspresi pura-pura kaget dengan tangan di dada segala. “Oh,
kena aku. Ya sudah, hati-hati ya. Kau masuk lagi hari Rabu?”
“Ya, Rabu, dan tidak usah susah-susah telepon ponselku hanya untuk
mengeluhkan pekerjaan, karena aku tidak akan membawanya.”
“Kau tidak akan bawa ponsel? Well, aku bisa saja minta nomor telepon hotemu
dari orang di bagian Business Development itu, siapa namanya...?”
“Ervin. Dan tidak, kau tidak bisa menanyakan nomor telepon hotelku
kepadanya, karena dia bahkan tidak tahu aku pergi ke Singapura,” balasku.
“Rasanya aku mendengar nada sedih dalam suaramu.” Pat melemparkan
senyuman usilnya kepadaku, tetpai aku hanya mengerling dan melanjutkan
pekerjaanku.
Hubunganku dengan Ervin selama satu tahun pertama memang selalu terkena
gosip, apalagi setelah hampir satu kantor melihatku berdansa dengan Ervin di Good
Life Ball, tetapi akhirnya orang kantor beralih ke gosip lain ketika mengetahui
bahwa memang tidak ada apa-apa di antara kami berdua selain persahabatan. Lain
halnya dengan kolega-kolegaku, Pat terkadang memang masih suka iseng dan
menyebut nama Ervin hanya untuk melihat reaksiku. Sayangnya aku sudah tahu

kebiasaan ini dan sudah cukup kebal dengan usahanya.


Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 8

No comments:

Post a Comment