Segitiga Tak Mungkin
Arai,
Weh, dan Mak Birah, bagiku seperti bangunan
segitiga
tak mungkin, impossible triangle Oscar Reutersvard
dengan
dimensi yang susah diterjemahkan, dengan sudut-
sudut
yang mengandung anomali. Mak Birah, seorang
protagonis,
amat menghargai kehidupan dan menganggapnya
sebagai
perayaan kebesaran Allah. Sebaliknya Weh, sang
antagonis,
mengutuki hidupnya sendiri. Baginya, kelahiran
adalah
keputusan aklamasi tanpa negosiasi dan selamatlah
manusia
yang tak pernah lahir. Sedangkan Arai, ketika
orang
yang senasib dengannya tersuruk-suruk,
ia
malah memperlihatkan jiwa besar,
lebih
dari siapa pun.
Hari
ini, di kelas, Lone Ranger
itu
menggenggam tanganku
kuat-kuat.
Ia terpesona pada
benda
yang dibawa guru sastra
SMA
kami, Pak Balia.
eBook
oleh Nurul Huda Kariem MR.
MR. Collection's
"La originalidad consiste
en volver al origen, Antoni Gaudi,
maestro
mozaik, Barcelona 1877."
Dengan
gaya teatrikal, Pak Balia memikat murid-muridnya
sambil
mengelus benda itu—seekor iguana dari tanah
liat
replika karya Gaudi.
"Orisinalitas berarti
kembali pada bentuk orisinal."
Kulit
iguana itu ditempeli ratusan mozaik berwarnawarni
dari
pecahan kecil porselen: piring, kendi, tempayan,
dan
ubin. Unik, ganjil, artistik.
"Murid-muridku,
berkelanalah, jelajahi Eropa, jamah
Afrika,
temukan mozaik nasibmu di pelosok-pelosok dunia.
Tuntut
ilmu sampai ke Sorbonne di Prancis, saksikan
karya-karya
besar Antoni Gaudi di Spanyol."
Kalimat
itu adalah letupan pertama angan-angan yang
menggelisahkan
kami sepanjang waktu. Pungguk merindukan
bulan!
Tapi kepribadian Arai membuatku selalu
berada
di puncak Everest semangatku.
"Bermimpilah,
karena Tuhan akan memeluk mimpimimpi
itu,"
katanya. Esoknya Arai menumpang truk ke
Tanjong
Pandan. la terbanting-banting di dalam bak, berdiri
di
celah tong-tong timah, hanya untuk membeli poster
Jim
Morrison.
"Penyanyi
kesayanganku, Kal!" Arai bangga memamerkan
poster
itu. Tak tampak lelah di matanya.
"Mengapa
Jim Morrison, Rai?"
"Karena
aku akan berjumpa dengannya, walau hanya
pusaranya,
di Prancis!"
Andrea
Hirata 34
Arai
yakin pada Jim Morrison, yakin pada Prancis,
dan
yakin pada pujaan hatinya Zakiah Nurmala, perempuan
yang
selama tiga tahun di SMA ditaksirnya, dan selama
tiga
tahun itu pula ia ditolak. Tak pernah kujumpai
orang
segigih Arai.
EDENSOR
Suatu
ketika, pada bulan puasa, kami harus pulang karena
ayahku
sakit. Tak ada kendaraan yang dapat ditumpangi.
Kami
berjalan kaki, tiga puluh kilometer dari kota tempat
SMA
kami berada.
Matahari
membara, tepat di atas kepala. Panas menjerang
tanpa
ampun, aspal meleleh. Perutku kosong, kerongkongan
kering.
Aku melangkah seperti rangka kayu yang
reyot.
Pandangan berkunang-kunang. Kami kehausan dan
menderita
dehidrasi, bahkan sudah tak lagi berkeringat.
Aku
tak sanggup, waktu melewati danau aku ingin membatalkan
puasaku.
"Jangan,"
sergah Arai tersengal-sengal.
la
membopongku. Kami melangkah terseret-seret.
Aku
tak mampu bertahan. Kembali melewati danau, aku
mendesak
ingin minum.
"Jangan,"
sergah Arai.
"Jangan,
Tonto, jangan menyerah."
Arai
menaikkan tubuhku ke atas punggungnya. la memikulku.
Langkahnya
limbung, terseok-seok berkilo-kilo
meter.
la istirahat sebentar, lalu memikulku lagi. Napasnya
35
meregang
satu per satu, hidungnya mendengus-dengus seperti
hewan
disembelih. Tumitnya mengucurkan darah karena
terjepit
jalinan kasar sepatu karet ban mobil. la melangkah
terus,
terhuyung-huyung. Tak sedikit pun ia mau
menyerah.
Sampai
di rumah, aku terkapar tak berdaya. Arai tersenyum.
Aku
menatap matanya dalam-dalam. Tiba-tiba
Prancis
rasanya dekat saja.
No comments:
Post a Comment