Curly
Di
Bandara Soekarno Hatta aku mempelajari
lampiran
surat pengumuman beasiswa Uni Eropa
itu.
Berlapis-lapis. Semuanya ada di sana: jalur detail perjalanan,
penjemput,
bahkan telah disiapkan alamat e-mail
intranet,
lengkap dengan user name dan password
untuk
akses
data warehouse universitas.
Kami
akan ke Belanda dulu dan akan dijemput seorang
pegawai
dari kantor perwakilan Uni Eropa di Amsterdam
lalu
ke kantor pusat Uni Eropa di Belgia. Kulihat
nama
penjemput kami: Ms. F. Somers. Dari cara menulis
namanya,
aku mendapat kesan pastilah Somers ini seorang
ibu-ibu
gemuk, atau lajang lapuk, pegawai yang tak penting,
pengurus
hal remeh temeh dibagian administrasi.
Ms.
itu ditegaskan betul dalam deretan namanya. Suatu
isyarat
yang nyata, seperti bubungan tebal asap unggun Indian
Cherokee,
bahwa dirinya available, masih sendiri.
Hijau,
hijau seluas mata memandang. Biru, biru tak putus-
putus,
semakin tinggi semakin biru, samar, dan melesat,
kutinggalkan
Indonesia. Tiga puluh tiga ribu kaki di atas permukaan
laut,
enam belas jam paling tidak, diam, sepi, terapung-
apung.
Dini hari, lewat jendela kulihat tiga aliran sungai
berkejaran.
Kubuka buku saku Coffins World
Atlas. Sungai-
sungai
itu—Rhein, Maas, dan Schelde—bermuara di Belanda.
Permukaannya
ganjil. Tak pernah kulihat tanah berwarna
putih.
Desember, musim salju. Tiba di bandara Schippol
Arai
membentangkan kedua tangannya lebar-lebar, persis
seperti
dilakukannya dulu di atas bak truk kopra ketika ia masih
kecil
saat aku dan ayahku menjemputnya: Dunia,
sambutlah
aku! Ini aku, Arai, datang
untukmu! Demikian maknanya.
Masih
dalam lingkar pemanas Bandara Schippol, kami tak
menyadari
kalau suhu dingin di luar seganas gigitan hewan
buas.
Kami celingukan mencari wanita gemuk petugas administrasi
itu.
Pasti ia berdiri di sana, di antara para penjemput,
sambil
memegang benda semacam bat pingpong
dengan
tulisan dari tinta emas: Mr.
Andrea Hirata and
Mr. Arai Ichsanul Mahidin, welcome
to Holland. Namun,
tak
ada tanda semacam itu. Yang ada hanya gadis muda
berandal
yang berteriak-teriak tak keruan ini.
"Oiiik! Oiiik! Oiiiiikkkk!"
Ia
berlari-lari menuju kami, kami terkejut, menoleh
kiri-kanan,
siapakah dia! Ia pasti salah mengenali orang.
Andrea
Hirata 52
"Oiiik! Oiiik! Oiiiikk!!"
Tapi
memang kami yang dipanggilnya. Aneh. Kami
berhenti,
ia megap-megap.
"Waithhhh..." dengusnya. Ia membungkuk, keringatnya
bersimbah,
dadanya kembang kempis. Lalu ia tegak lagi,
bertelakan
pinggang sambil mengatur napas. Kami masih
mematung.
Bingung. Siapakah gadis berandal ini! Ia sangat
jangkung,
180 senti mungkin. Atletis, padat berisi. Tubuhnya
dibangun
kerangka Kaukasia yang sempurna. Ia
mengenakan
shapely tank top. Perutnya kelihatan dan pasti
dia
sering sit up. Rambutnya berantakan, pirang menyalanyala.
Belakangan
kami tahu, oik adalah cara orang Belanda
menyebut
hai.
Aku
harus menengadah untuk melihat wajahnya dan
aku
terkesiap. Ia gadis muda yang luar biasa cantik, gorgeous.
Aku
seakan menatap cover majalah Vogue.
Apa yang diinginkan wanita bule
yang jelita ini!
Ia
mengatur napas dan kami terbius pesonanya. Ia sangat
mirip
Daria Werbowy, Anda tahu kan? Supermodel
haute couture yang sering melenggok di Fashion TV berbusana
Dolce
and Gabbana itu. Kenal, kan? Kenal? Sudahlah,
tak
usah dipusingkan. Aku sendiri tak kenal.
"EU scholarship awardees,
yeeah ...?" tanyanya akrab.
Tak
menunggu jawaban ia nyerocos lagi.
"Saya
Famke ...." Ia menyalami Arai. Bola matanya biru
langit,
bukan, lebih indah, biru buah ganitri muda.
"Famke
Somers."
53
EDENSOR
Ya,
Tuhan, inilah Ms. F. Somers yang kusangka ibuibu
gendut
petugas administrasi itu. Sekarang, terus terang
aku
gugup karena ia cantik tak kepalang tanggung.
"Saya
mengenali kalian dari foto saja...." Ia tersenyum
senang.
"Saya
Arai," orang udik itu memperkenalkan diri.
"What! Ray!"
"Oh,
no ...A... rai."
"Great ...."
Kalau
sempat Arai mengiyakan Ray
itu, aku sudah siap
mengenalkan
diri sebagai curly4.
"And you ... bagaimana sebaiknya aku memanggilmu,
Kawan?"
Native Eropa pertama yang kami temui di tanah airnya
sendiri,
keramahannya mencengangkan. Ia meraih koper
kami.
Koper berat kulit buaya itu ringan saja di tangannya.
"Ikut
aku, dan pakai jaketmu."
Kami
membuntutinya menuruni tangga dan memasuki
platform kereta underground.
Terlepas dari sistem pemanas
Bandara
Schippol, kami langsung menggigil digigit suhu
dingin
delapan derajat celcius. Famke tergelak melihat
kami
gemelutuk. Ia sendiri hanya bercelana jeans
ketat bolong-
bolong
dan tank top itu.
"Jangan
cemas, Kawan, kita segera naik kereta, nanti
di
dalam panas lagi," katanya.
4
Ikal-Peny.
Andrea
Hirata 54
Aku
takjub melihat gadis Belanda ini. Tak sedikit pun
ia
kedinginan. Tak heran Kumpeni bisa menjajah kita sampai
karatan.
Dari central station Amsterdam kami naik kereta
menuju
Brussel. Dalam sekejap, kami akrab dengan
Famke.
Ia tak berhenti bicara dan kami tak berkedip menatap
kecantikannya.
Seperti kami, ia juga penerima beasiswa
Uni
Eropa, ia mahasiswi Amsterdam School of the Arts. Ia
mendalami
street performances atau pertunjukan seni jalanan.
Perspektifnya
tentang seni jalanan amat memikat.
"Jalanan
adalah karya seni instalasi yang sempurna. Ia
lurus,
berhiaskan lampu dan bunga, menikung, menanjak,
dan
kadang-kadang buntu. Ia mengarahkan, meloloskan,
menjebak,
dan menyesatkan."
Aku
terpana.
"Jalan
tempat berparade, pamer kejayaan, juga tempat
menggelandang.
Jalan tempat lari dari kenyataan, tempat
mencari
nafkah. Orang hilir mudik di jalan, mereka bergerak
indah,
melamun, riang, dan berduyun-duyun, siapa
mereka?
Ke manakah mereka?"
Belum
pernah kudengar pandangan seperti itu, pandangan
yang
mengandung kecerdasan seni tingkat tinggi.
"Jalanan
seperti panggung dengan kemungkinan konfigurasi
dekorasi
yang amat luas. Semua kemungkinan seni
dapat
ditampilkan di jalanan. Seniman jalanan menghadapi
tantangan
seni terbesar."
Endesor - Bab 11
No comments:
Post a Comment