20
KAU
HARUS TETAP SEKOLAH!
"DALIMUNTE
baru saja tiba di perkebunan strawberry..."
Wibisana memasukkan telepon genggamnya ke saku.
Ikanuri mengangguk. Terbatuk pelan. Kerongkongannya sedikit sakit. Ini mungkin
gara-gara kehujanan di Pegunungan Alpen, Swiss semalam. Atau karena kelelahan,
kurang tidur, setelah belasan jam tanpa jeda melanglang buana. Atau juga karena
dia terlalu banyak sesak mengenang masa kecil itu.
"Jasmine dan Wulan juga sudah tiba di kota
kabupaten. Lancar. Perjalanan mereka tidak banyak masalah. Kata Jasmine; Juwita
dan Delima tertidur di mobil."
Wibisana
menghela nafas. Jelas perjalanan akan lebih lancar jika kedua putri mereka sudah
tertidur. Biasanya mereka berdua sibuk minta berhenti setiap kali melihat
apalah. Sibuk berteriak-teriak, bertengkar. Pernah Juwita dan Delima membuat
rombongan dari kota provinsi terhenti total hanya gara-gara mereka melihat ada
burung kwao yang melintas di depan mobil, lantas hinggap di pohon. Memaksa Abi
mereka menangkap burung itu, tidak mau mendengarkan penjelasan kalau tinggi
pohonnya saja hampir dua puluh meter.
Ikanuri mengusap wajah lelahnya.
Layar raksasa penunjuk jadwal dan status
penerbangan di langit-langit gedung ultra-modern Paris International Airport
memamerkan kecanggihannya. Tidak kurang tiga puluh baris
jadwal penerbangan terpampang otomatis di layar tersebut. Merah. Hijau. Kuning.
Display yang mengagumkan.
Moskow, Departure
07.30. California, Departure 07.35. Riyadh, Arrive 07.40. Singapore, Departure
07.40. Hongkong, Delay 07.45. Jakarta, Departure 07.45.
Ikanuri
melirik jam di pergelangan tangan, masih satu setengah jam lagi jadwal
penerbangan mereka. Mengusap wajah sekali lagi. Masih lama, seharusnya mereka
masih punya waktu untuk sarapan. Menikmati sepotong donut dan segelas kopi gaya
Perancis. Tapi perutnya tidak lapar. Dia penat itu benar, lelah tentu saja.
Tapi dia tidak mengantuk atau lapar. Tadi kereta Eurostar tiba di stasiun Gare
de Nord, Paris pukul 05.30 (hanya terlambat setengah jam, meski terhenti oleh
longsoran itu selama dua jam). Mereka shalat shubuh di kabin kereta. Lantas
langsung meluncur menuju bandara. Menumpang subway Paris-Bandara. Segera
check-in.
"Kau sudah
menelepon Yashinta, lagi?" Ikanuri bertanya. Wibisana mengangguk,
"Tetapi, tetap tidak ada nada sambungnya…." menelan ludah.
Ikanuri
menghela nafas panjang. Nah, setelah nyaris sepuluh jam tidak berhasil
menghubungi Yashinta, dia akhirnya ikut cemas. Tidak ada nada sambung? Selama
itu kah? Kemana pula anak itu di waktu sepenting dan semendesak ini? Apa masih
di puncak Semeru? Mengamati alap-alap kawah? Tidak mungkin sinyal telepon
genggam satelitnya tidak menjangkau daerah tersebut. Lantas kemana anak ini
hingga telepon genggamnya tidak aktif? Kehabisan baterai? Tidak mungkin.
Yashinta pendaki gunung profesional. Ia selalu membawa baterai cadangan.
"Kau sudah
telepon Goughsky?" Ikanuri teringat
Wibisana seperti tersadarkan. Kenapa tidak
terpikirkan sejak tadi? Semua kepanikan ini membuat kepala mereka tumpul. Ya!
Goughsky. WNI keturunan Uzbekistan itu kolega Yashinta di lembaga konservasi,
Bogor. Tiga tahun terakhir, di mana ada Yashinta, di situ juga ada Goughsky.
Dan sebaliknya. Mereka kompak tidak hanya urusan konservasi. Lebih dari itu....
Meski sayangnya enam bulan terakhir hubungan mereka berantakan. Bermasalah. Ah,
Goughsky pasti tahu di mana Yashinta. Kalau pun tidak, anak itu rela menukarkan
nyawa untuk memastikan di mana Yashinta sekarang
Wibisana buru-buru menarik HP dari saku
celana.
Sebenarnya
inilah urusan paling pelik dari hubungan kakak-adik yang mengesankan tersebut.
Saat kehidupan lebih baik datang menjemput, janji-janji kesempatan lebih besar
di luar Lembah Lahambay tiba, saat itulah mereka menyadari jika Kak Laisa
semakin 'tertinggal' dibelakang. Bukan. Bukan soal pendidikan, toh, meski tidak
sekolah Kak Laisa tetap seperti tahu segalanya. Bukan pula soal kesempatan
melakukan hal-hal besar, toh meski tetap di lembah, Kak Laisa sungguh tetap
bisa melakukan hal-hal besar, Kak Laisa bahkan berhasil merubah wajah seluruh
lembah. Kesejahteraan penduduk, pendidikan anak-anak, akses atas kesempatan.
Dan tentu saja juga bukan soal materi dan sebagainya, karena jelas Kak Laisa
boleh menguasai seluruh Lembah Lahambay dengan perkebunan strawberry-nya.
Dua
bulan setelah kejadian sakit Yashinta, instalasi listrik pertama akhirnya
terpasang di rumah-rumah kayu. Mahasiswa KKN itu membuktikan kalau bantuan dari
kampus tidak omong-kosong. Maka terang-benderanglah lembah tersebut. Bukan
main. Anak-anak yang selama ini hanya terbiasa dengan lampu canting dan ribuan
larik kunang-kunang mengerjap-ngerjap menatap bohlam lampu belasan watt.
Berpendar-pendar. Seperti melihat pesawat UFO mendarat, dengan mahkluk angkasa
di dalamnya (ini celetukan Ikanuri yang asal ngarang saat pertama kali melihat
bohlam lampu di surau). Kincir air itu berfungsi ganda, dengan generator yang
terpasang, sekarang sekaligus menjadi pembangkit tenaga listrik. Dalimunte
belajar banyak dari kakak-kakak mahasiswa Semakin menyukai membuat sesuatu.
Sesuatu yang berguna.
Selepas
mahasiswa KKN itu pulang ke kota provinsi, Laisa membujuk Mamak untuk mulai
menanam strawberry di kebun mereka. Laisa nyaris menghabiskan satu minggu untuk
membujuk Mamak.
"Aku tidak akan
membiarkan Dalimunte, Ikanuri, Wibisana, dan Yashinta putus sekolah karena
mengganti tanaman di kebun, Mak. Aku tahu, kalau aku gagal, mereka bisa putus
sekolah kehabisan bayaran, tapi sungguh aku tidak ingin itu terjadi.... Aku
ingin melakukannya, karena justru dengan beginilah kita akhirnya berkesempatan
memiliki uang yang cukup buat sekolah Dali di kota kecamatan tahun depan....
Lais mohon, ijinkan Lais menanam buah itu."
Kak Lais, menyeka
wajahnya yang berkeringat, menggenggam lengan Mamak. Meyakinkan. "Kita
tidak pernah menanamnya, Lais...." Mamak menatap lamat-lamat wajah
sulungnya. Menghela nafas pelan. Ia selalu yakin dengan Laisa.
Tetapi menanam
strawberry di lembah ini? Bahkan Mamak baru kali itu mendengar ada buah yang
bernama strawberry.
"Laisa sudah
mencatatnya, lihat, Mak! Kakak-kakak itu bilang banyak hal. Lihat. Laisa bahkan
menggambar banyak petunjuk dari kakak-kakak mahasiswa..."
Laisa memperlihatkan
buku tulis butut sisa sekolahnya tujuh tahun silam. Tulisan-tulisan yang jelek
dan kecil. Ilustrasi-ilustrasi seadanya.
Tidak
susah menyiapkan polybag, bibit-bibit, hingga menjualnya ke kota kecamatan.
Kata kakak-kakak itu, buah strawberry mahal sekali di supermarket kota
provinsi, harus didatangkan dari negara lain pula. Lembah mereka cocok untuk
menanam strawberry. Iklimnya tepat. Suhunya tepat. Ketinggiannya baik. Dan
tanahnya subur. Laisa berbinar-binar memperllihatkan angka-angka. Perhitungan
keuntungan yang lebih besar dibanding menanam jagung, atau padi. Tubuh Laisa
yang hanya setinggi dada Mamak terlihat bergerak-gerak antusias.
Maka,
karena Mamak tak kuasa melarang Laisa, separuh kebun akhirnya ditanami dengan
strawberry setelah panen jagung berikutnya. Keputusan besar. Dan amat beresiko.
Dalimunte tidak banyak berkomentar. Ikanuri dan Wibisana nyengir, sepertinya lebih
mudah mengurus polybag-polybag ini daripada menyiangi gulma setiap hari, bukan?
Hanya Yashinta yang berseru-seru riang, melihat gambar-gambar buah strawberry
sepertinya buah merah ranum mereka akan lucu-lucu.
Tetapi Laisa keliru. Tidak mudah.
Sungguh tidak mudah.
Meski
ia memiliki pengetahuan bagaimana menanam strawberry, namun mengurus ratusan
polybag bukan pekerjaan gampang. Delapan bulan berlalu, kebun strawberry itu
gagal total. Separuh batangnya mati oleh musim penghujan, terendam. Separuh
lagi buahnya busuk saat diangkut ke kota kecamatan untuk dibawa ke kota
provinsi. Itu terjadi saat Dalimunte menjelang ujian akhir. Kabut buram
menggantung di mata Kak Laisa. Bagaimanalah? Aduh, situasi jadi amat muram.
Meski Mamak sekalipun tidak menyalahkannya, Kak Laisa belakangan lebih banyak
menghabiskan waktu memandangi separuh kebun yang dipenuhi polybag hitam. Kosong
dengan batang strawberry yang layu.
Panen jagung sisa setengah lahan mereka
juga ternyata buruk.
Gerimis
membasuh lembah. Laisa berdiri mematung. Sendirian di tepi ladang. Tubuh gempal
dan pendek itu basah. Senja membungkus ladang. Langit mulai gelap, lembayung
jingga tenggelam di balik Gunung Kendeng. Satu dua burung layang-layang terbang
menerobos bilur air hujan. Melenguh. yang justru menambah senyap suasana.
"Mamak
menyuruh Kakak pulang."
Laisa menoleh.
Dalimunte melangkah mendekat. Amat pelan. Tertunduk. Lantas sedikit ragu-ragu
menyerahknn daun pisang. Laisa menggeleng. Sudah basah. Biarkan saja.
Dari tadi siang ia di kebun. Menatap kegagalannya.
Sengaja belum pulang meski adzan maghrib sebentar lagi terdengar. Ia amat
enggan pulang. Hari ini Dalimunte menerima hasil ujian sekolahnya. Mamak minggu
lalu sudah bilang, mereka hanya punya uang buat Yashinta yang mulai masuk kelas
dua, dan Ikanuri serta Wibisana yang menginjak kelas lima. Tapi tidak untuk
Dalimunte yang akan melanjutkan sekolah di kecamatan.
Senyap.
Dalimunte
ikut melepas daun pisang dikepalanya. Membiarkan tubuhnya basah seperti Kak Laisa.
Berdiri di sebelah Kak Laisa, ikut menatap kebun mereka. Onggokan
kantong-kantong plastik hitam. Seekor elang melintas rendah. Begitu anggun di
garis horizon lembah. Lengang tiga menit.
Hanya gerimis yang
terus membasuh dinginnya tanah. "Kata Mamak, kakak bisa mencobanya lagi
tahun depan...."
Dalimunte
berkata pelan, antara terdengar dan tidak. Menunduk, menggigit bibirnya.
Laisa menoleh. Dalimunte sudah lebih
tinggi darinya sekarang. Setahun berlalu sejak kincir air dibuat, bahkan
Ikanuri dan Wibisana sudah lebih tinggi dari Laisa.
Mereka berdiam
diri lagi.
"Sebenamya...
sebenarnya, Dali juga tidak senang sekolah. Sungguh — "
Dalimunte berkata serak. Dia membuang ingus. Dari
lima bersaudara, Dalimunte-lah yang paling mudah terharu.
"Kakak tahu, Dali bahkan lebih suka bekerja di
kebun membantu Mamak, membantu Kakak. Dali tidak suka sekolah. Jadi Kakak tidak
usah sedih...."
Laisa menelan
ludah. Menggigit bibirnya.
"Dali kan bisa belajar dari mana saja. Pinjam
buku. Tidak mesti sekolah. Dali tidak harus membuat Kakak susah—"
"kau bicara
apa, Dali!" Laisa memotong suara adiknya.
"Dali tidak ingin sekolah. Dali tidak ingin
membuat Kak Lais sedih. Tak ingin lihat Mamak kerja keras dipanggang matahari.
Dali tidak ingin sekolah—"
"kau harus tetap
sekolah!" Laisa memotong sekali lagi kalimat adiknya, berkata dengan suara
serak. Tapi kalimat itu terdengar hambar, tidak setegas seperti biasanya.
Bagaimanalah? Untuk membayar uang pangkal saja tidak ada. Apalagi ongkos
Dalimunte bolak-balik ke kota kecamatan. Bagaimana mungkin ia bisa menjanjikan
itu?
"Dali tidak ingin
sekolah. SUNGGUH—" "DIAM!" Suara Kak Laisa bergetar. "Kau
tetap sekolah Dali!"
Dalimunte
terisak, mengusap matanya. Tertunduk dalam-dalam. Lihatlah, gara-gara dia harus
sekolah Kak Laisa harus bekerja sepanjang hari di ladang. Kenapa hanya Kak
Laisa yang bekerja keras. Dali juga bisa. Dali juga mau, agar Ikanuri,
Wibisana, dan Yashinta terus sekolah.
Rinai air hujan tumpah
bersama rinai kesedihan di hati Dalimunte. "Tidak tahun ini, tidak
sekarang.... Tapi kau harus terus sekolah, Dali...." Laisa berbisik pelan
memecah sedan.
"Jika Mamak tidak punya uang tahun ini, maka
Mamak akan punya tahun depan... paling lambat tahun depan kau harus kembali
sekolah... Kau dengar kakak... kau dengar kakak, Dali? Kakak, kakak berjanji
akan melakukannya Sungguh—"
Laisa mengenggam lengan adiknya. Berusaha menahan
serak di kerongkongan. Ia tidak ingin menangis di depan Dalimunte.
Lihattah, sebenarnya kalau kalian tidak
terbiasa dengan pemandangan ini, maka kalian akan menduga, justru Laisa lah
yang menjadi adik dari Dalimunte. Padahal mereka hanya berjarak enam tahun satu
sama lain. Tubuh Laisa tidak akan tumbuh lagi.
Dalimunte
membuang ingusnya.
Kak Laisa pelan menarik tangan Dalimunte, tersenyum
tulus. Tadi sepanjang hari ia benar-benar bersalah atas keputusannya mengganti
tanaman di ladang delapan bulan silam. Seharian Laisa pergi ke kebun karena
tidak kuasa menunggu Dalimunte di rumah membawa kabar kelulusannya seperti
Mamak dan yang lain. Tetapi gerimis ini menumbuhkan satu pemahaman baru
baginya. Pembicaran senja ini menanamkan semangat baru.
Tidak.
Tentu saja urusan ini berbeda dengan dirinya dulu. Dalimunte selalu memiliki
kesempatan untuk kembali sekolah. Tidak sekarang, tahun depan dia akan kembali
melanjutkan sekolah di kota kecamatan. Sepanjang ia terus bekerja keras demi
adik-adiknya. Kesempatan itu pasti akan datang.
"Berapa
nilai rata-rata ujian akhirmu?"
Laisa bertanya, samil berjalan menyusuri
jalan setapak yang sekarang licak oleh lumpur. Dalimunte pelan menyebutkan
angka, berusaha mengimbangi langkah gesit kakaknya di
depan. Ujung-ujung
semak bergoyang terkena gerakan mereka. Memercikkan bulir air yang menggelayut
di ujung-ujung daunnya. Benang sari bunga belukar luruh, menerpa anak rambut.
Laisa tersenyum lebar mendengarnya. Jika ada yang bertanya siapa paling pintar
di dunia ini, siapa paling pandai, maka ia akan menjawabnya dengan bangga itulah
Dalimunte, adiknya.
NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 21
No comments:
Post a Comment