44
PERNIKAHAN
TERAKHIR
SENJA
datang untuk ke sekian kalinya di lembah indah itu. Lantas apa peranku dalam
cerita ini? Aku hanya saksi hidup.
Aku yang menerima SMS
dari Mamak Lainuri dua hari lalu, di senja itu akhirnya tiba (sesungguhnya ada
lima sms yang terkirimkan; satu untukku). Berdiri sejenak di atas bukit tertinggi
Lembah Lahambay. Memarkir motor besarku di jalanan. Jalan selebar tiga meter
yang sekarang beraspal mulus. Tentu saja, bagianku tidak terlalu penting di
keluarga ini. Hanya turis yang pernah mampir. Pertama kali singgah, begitu
terpesona melihat kehidupan mereka. Begitu terpesona melihat lembah mereka.
Begitu terpesona melihat apa yang telah dilakukan keluarga ini demi kehidupan
yang lebih baik bagi penduduk lembah. Bermalam di rumah Mamak Lainuri. Dan
menjadi sahabat baik keluarga itu.
Turis yang selalu singgah dengan ransel
besar di punggung.
Lihatlah, sore ini sempurna merah. Langit terlihat
merah. Awan-awan putih terlihat memerah. Dari atas bukit ini kalian bisa
melihat kanopi pepohonan. Hamparan perkebunan strawberry sejauh mata memandang.
Di batasi oleh sungai besar dengan cadas setinggi lima meter itu. Di batasi
kawasan hutan konservasi, yang lebat mengelilingi lembah. Seekor elang melenguh
di kejauhan, aku tersenyum, melambaikan tangan. Membalas salam hangatnya,
Dari atas bukit ini, empat desa yang terdapat di
lembah itu terlihat berjejer rapi. Rumah-rumah semi permanen yang asri. Seperti
villa-villa indah. Satu dua lampu rumah mereka mulai menyala. Bersamaan dengan
lampu jalanan. Kerlip kuning yang menawan. Suara orang mengaji di surau terdengar.
Menunggu saat adzan maghrib setengah jam lagi. Ayat-ayat itu terdengar
menyenangkan. Seperti mengalir bersama angin lembah yang segar.
Buah strawberry terlihat merah di seluruh tepian
perkebunan, ranum menggoda. Aku lembut memetiknya satu. Menciumnya lekat-lekat.
Buah yang besar. Tersenyum. Memasukkan buah itu ke saku jaket. Nanti akan
bilang ke Mamak Lainuri, aku baru saja memetik satu buah strawberry mereka.
Belum halal di makan kalau belum bilang. Dan Mamak sambil tersenyum akan
bilang,
"Kau aneh sekali, Tere.... Selalu hanya memakan
satu butir buah strawberry setiap kali datang ke sini.... Dan selalu saja
merasa wajib untuk bilang sudah memetiknya.... Kau bagian dari keluarga ini,
anakku..."
Keluarga yang
menyenangkan. Meski mungkin sore ini, suka atau tidak suka, siap atau tidak,
waktu yang berputar akan mengambil seseorang, akan mengakhiri kisah hidupnya.
Sungguh begitulah hidup ini. Datang. Pergi. Senang. Susah. Tidak peduli meski
seseorang itu anggota keluarga yang amat kita cintai. Tidak peduli. Aku
menghela nafas panjang. Kembali menaiki motor besarku. Menghidupkan mesin.
Menderu. Meski derumnya lembut, tapi amat bertenaga.
Tapi ada yang lebih menderu lagi. Lebih bising. Aku
menolehkan kepala ke garis cakrawala, helikopter itu mendekat. Terbang rendah
dengan kecepatan penuh. Membawa anggota terakhir keluarga mereka. Si bungsu
dari Lima bersaudara,
Aku tersenyum lebar, lantas menekan pedal gas,
meluncur menuju rumah panggung itu. Menjadi saksi urusan ini. Mungkin pula jika
mereka mengijinkan, menuliskan kembali kisah-kisah masa kecil mereka yang
indah.
Satu jam lalu, saat Intan, Juwita dan Delima duduk
melingkar di ranjang besar Wak Laisa. Menunggui bersama yang lain, sibuk
bercerita tentang sekolah masing-masing (Wak Laisa yang meminta mereka bercerita).
Sibuk melaporkan ponten masing-masing. Sibuk
melaporkan soal 'Safe The Earth'. Hamster belang
Intan tiba-tiba ikut loncat ke ranjang. Mengagetkan yang lain. Tertawa. Tapi
bagi Laisa yang sudah lelah, kaget sekecil itu membuatnya tersengal. Peralatan
medis berdengking. Grafik hijau itu putus-putus.
Dokter segera
mengambil alih urusan.
"RIO
JAHAT!" Intan berteriak sambil menangis. Mencengkeram hamstemya, bersiap
melemparkannya lewat jendela.
"Jangan,
sayang.... Jangan dilempar—" Cie Hui berusaha membujuk, berusaha menarik
tangan putrinya,
"Rio
Jahat, Ummi! Rio bikin Wawak pingsan! Intan benci!" Gadis itu tidak
mendengarkan. Maka rusuh dokter mengembalikan kesadaran Laisa, rusuh pula yang
lain membujuk Intan agar diam, membujuk agar ia meletakkan kembali hamster
belangnya.
Setengah jam berlalu, situasi berangsur-angsur
terkendali, meski tetap tak sadarkan diri, nafas Kak Laisa kembali normal.
Hamster belang itu juga urung dilempar, terlanjur loncat dan kabur duluan saat
Intan masih bersikukuh hendak menghukumnya. Juwita dan Delima sekarang duduk di
pojok kamar. Takut-takut Mereka amat gentar melihat Wak Laisa-nya yang mendadak
kejang-kejang. Melihat Dalimunte yang berteriak cemas. Abi mereka yang
berlarian mendekat. Mereka bahkan menangis bingung.
Intan ikut bergabung duduk di pojok kamar. Menyeka
pipinya yang basah. Masih merasa amat bersalah. Semua ini gara-gara hamster
belang miliknya. Berjanji dalam hati akan menghukumnya besok lusa.
Eyang Lainuri duduk di sebelah ranjang, membelai
lembut jemari Kak Laisa yang mulai membiru. Menatap wajah sulungnya
lamat-lamat. Wajah yang tetap tak sadarkan diri. Usia Mamak saat itu sudah
tujuh puluh sekian, Mamak mengerti hanya keajaiban yang bisa menyelamatkan
Laisa.
Saat itulah, helikopter itu tiba. Suara baling-balingnya
sampai lebih dulu. Menderu. Lantas mendarat di halaman gudang pengalengan.
Empat ratus meter dari rumah panggung. Membuat Mamak menoleh. Siapa? Itu suara
apa? Juga Cie Hui, Wulan, dan Jasmine yang tidak tahu apa kabar Yashinta selama
48 jam terakhir.
"Itu
Yashinta — "
Dalimunte
berkata pelan. Menelan ludah. Menghela nafas lega. Akhirnya adik bungsu mereka
tiba.
Ikanuri dan Wibisana menuruni anak tangga.
Menghidupkan mobil modifikasi mereka. Meluncur menjemput ke gudang pengalengan.
Sama seperti Dalimunte, mereka sudah tahu Yashinta akan datang dengan
helikopter, diantar Goughsky.
Maka tidak seperti yang
lain, yang datang terburu-buru. Bergegas belarian di atas anak tangga. Menyibak
daun pintu. Menerobos kamar. Yashinta datang dengan digendong Ikanuri dan
Wibisana. Tertatih-tatih. Berkali-kali terhenti. Goughsky melipat kursi
dorongnya. Membawanya menaiki anak tangga. Membukanya lagi di beranda depan.
Yashinta didudukkan kembali di kursi roda. Mata gadis itu sembab, sejak dari
rumah sakit ia menangis. Tidak sabaran dengan kecepatan maksimal helikopter.
Mendesah berkali-kali. Tidak bisakah helikopter ini terbang lebih cepat.
Menatap resah hamparan biru lautan, wajah Kak Laisa yang terukir di gumpalan
awan. Cemas. Takut. Yashinta amat takut.
Kursi dorong itu tiba di daun pintu
kamar.
Mamak bangkit dari duduknya. Tidak sempat bertanya
kenapa Yashinta datang dengan kaki mengenakan gips. Tidak sempat melihat
seksama tubuh putri bungsunya yang lebam. Mamak langsung mendekap Yashinta
erat-erat. Menangis. Apalagi Yashinta. Terisak sudah.
Menyisakan senyap di kamar Kak Laisa
Mamak membimbing kursi roda Yashinta
mendekati ranjang Kak Laisa.
Dan entah dengan kekuatan apa, Kak Laisa yang
pingsan selama satu jam terakhir, pelan membuka matanya saat Yashinta menyenruh
lembut jemari kakaknya,
"Kak
Lais-"
"Yash...
Itu Yash? Kau sudah tiba, Yash? Kau ti-ba?" Percuma, meski membuka mata,
Kak Laisa sudah tidak bisa melihat lagi. Kesadarannya sudah habis. Matanya
hanya melihat gelap.
"Kak
Lais—" Yashinta berseru tertahan. Gemetar menciumi jemari kakaknya yang
pendek-pendek. Tidak normal. Jemari yang dulu setiap hari membersihkan gulma,
membantu Mamak memasak gula aren, merawat satu persatu batang strawberry.
Menciumi tangan yang legam, yang dulu sering terpanggang matahari.
"Mendekat,
Yash.... Mendekat kemari...."
Kak Laisa berbisik. Suaranya antara terdengar dan
tidak. Dokter ingin bilang ke Dalimunte agar Kak Laisa dibiarkan sendiri dulu.
Tapi urung. Dia tahu, tidak akan ada lagi keajaiban itu. Biarlah Laisa sempurna
di kelilingi orang-orang yang amat dicintainya dan mencintainya di penghujung
waktunya.
Yashinta mendekatkan mukanya. Membiarkan Kak Laisa
meraba. Merasakan pipi adiknya yang berlinang air mata. Mengusap kepala adiknya
yang terbungkus perban. Melihnt wajah adiknya dengan ujung-ujung jari.
"Dali....
Di mana Dali—" Kak Laisa lemah memanggil Dalimunte. Ia ingin mereka semua
ada di sampingnya sekarang.
"Saya
di sini, Kak." Suara Dalimunte parau. Menyaksikan Yashinta menangis sudah
membuatnya sesak, apalagi saat Kak Laisa memanggilnya pelan. Dalimunte
mendekat, duduk di sebelah Yashinta.
"Dali di sini,
Kak." Meraih tangan Kak Laisa, menyentuhkannya ke wajah. Kak Laisa
tersenyum. Meraba wajah Dalimunte.
"Ikanuri....
Wibisana.... Di mana dua sigung itu?" Kak Laisa berusaha tertawa kecil,
meski itu sama saja dengan keluarnya bercak darah yang lebih banyak. Mamak
mengelapnya dengan lembut, tangannya bergetar.
"Ikanuri
di sini, Kak." Ikanuri menghambur. Duduk di sebelah Dalimunte. Menciumi
tangan Kak Laisa sambil menangis.
"Ini,
ini Wibisana.... Wibisana di sini—" Wibisana ikut duduk di sebelahnya.
Menyentuh jemari Kak Laisa.
"Intan....
Juwita.... Delima...."
Intan
menarik tangan adik-adiknya mendekat. Intan menyeka matanya yang basah. Naik ke
atas ranjang.
Tangan Kak Laisa mengusap wajah tiga monster kecil
itu. Juwita dan Delima masih takut-takut. Tapi pemahaman itu datang dengan
cepat. Mereka menatap amat sedih wajah Wawak yang meski matanya terbuka, tapi
tidak bisa melihat apa-apa lagi.
"Mamak...."
Kak Laisa menciumi tangan Mamak.
Tersenyum. Mamak
sudah kehilangan kata-kata. Memperbaiki tudung rambutnya.
"Ya Allah,
terima kasih atas segalanya.... Terima kasih...." Kak Laisa mendesah
pelan....
"Ya Allah,
Lais sungguh ihklas dengan segala keterbatasan ini, dengan segala takdirmu....
Karena, karena kau
menggantinya dengan adik-adik yang baik...." Nafas Kak Laisa tersengal.
Satu dua.
"Yash-"
"Yash di
sini, Kak."
Yashinta memegang
lembut tangan Kak Laisa. "Kau pulang bersama si mata biru mu?"
Yashinta
mengangguk. Menjawab pelan. Tangisnya mengeras.
"Biar,
biar Kak Laisa masih sempat melihat betapa bahagianya kau.... Biar, biar Kak
Laisa masih sempat menyaksikan betapa cantiknya mempelai wanita."
Yashinta tersedu.
Menciumi jemari kakaknya. Bagaimanalah ini? Bagaimanalah?
Yashinta patah-patah
menoleh ke Mamak. Mamak mengangguk pelan. Menoleh ke Dalimunte. Dalimunte
mengangguk, menyeka hidung. Menoleh ke Ikanuri dan Wibisana, dua sigung itu
tidak memperhatikan, lebih sibuk mengendalikan perasaan. Lebih emosional
dibandingkan yang lain. Dua sigung itu tertunduk menatap wajah Kak Laisa.
Terisak.
Menoleh ke arah Goughsky. Pemuda Uzbek itu mengusap
wajahnya. Menggigit bibir menahan rasa sesak menyaksikan semua ini sejak masuk
kamar tadi. Goughsky menyeka matanya. Lantas melangkah mantap, mendekat.
Menyibak adik-kakak yang duduk berjejer. Duduk di sebelah Yashinta.
"Aku akan selalu
mencintaimu, Yash." Berbisik, meyakinkan. Yashinta tertunduk. Menggigit
bibir.
"Menikahlah,
Yash—" Kak Laisa tersenyum. Dan Yashinta gemetar mengangguk. Cahaya
matahari senja menerabas indah bingkai jendela kamar.
Berpendar-pendar jingga. Sungguh senja itu wajah Kak
Laisa terlihat begitu bahagia. Mungkin seperti itulah wajah bidadari surga.
Lima menit kemudian pernikahan itu dilangsungkan.
Dalimunte yang menjadi wali pernikahan. Bang Jogar dan salah satu penduduk
kampung lainnya menjadi saksi.
Pernikahan terakhir di lembah indah
mereka.
Seusai Goughsky
mengucap ijab-kabul. Saat Yashinta menangis tersedu. Ketika Mamak menciumi
kening bungsunya memberikan kecupan selamat. Saat yang lain buncah oleh
perasaan entahlah. Semua perasaan ini.... Saat itulah cahaya indah memesona itu
turun membungkus lembah. Sekali lagi. Seperti sejuta pelangi jika kalian bisa
melihatnya. Di sambut lenguhan penguasa Gunung Kendeng yang terdengar di
kejauhan. Kelepak elang yang melengking sedih.
Bagai parade sejuta kupu-kupu bersayap
kaca.
Menerobos atap rumah,
turun dari langit-langit kamar, lantas mengambang di atas ranjang.
Lembut menjemput.
Kak Laisa tersenyum untuk selamanya.
Kembali.
Senja itu, seorang
bidadari sudah kembali di tempat terbaiknya Bergabung dengan bidadari-bidadari
surga lainnya.
Dan sungguh di surga ada
bidadari-bidadari bermata jeli (Al Waqiah: 22). Pelupuk mata bidadari-bidadari
itu selalu berkedip-kedip bagaikan sayap burung indah. Mereka baik lagi cantik
jelita. (Ar Rahman: 70). Suara Mamak berkata lembut saat kisah itu diceritakan
pertama kali terngiang di langit-langit ruangan: bidadari-bidadari surga,
seolah-olah adalah telur yang tersimpan dengan baik (Ash-Shaffat: 49)....
NOVEL KARYA TERELIYE LAINNYA
Karna Di ERTIGAPOKER Sedang ada HOT PROMO loh!
ReplyDeleteBonus Deposit Member Baru 100.000
Bonus Deposit 5% (klaim 1 kali / hari)
Bonus Referral 15% (berlaku untuk selamanya
Bonus Deposit Go-Pay 10% tanpa batas
Bonus Deposit Pulsa 10.000 minimal deposit 200.000
Rollingan Mingguan 0.5% (setiap hari Kamis
ERTIGA POKER
ERTIGA
POKER ONLINE INDONESIA
POKER ONLINE TERPERCAYA
BANDAR POKER
BANDAR POKER ONLINE
BANDAR POKER TERBESAR
SITUS POKER ONLINE
POKER ONLINE
ceritahiburandewasa
MULUSNYA BODY ATASANKU TANTE SISKA
KENIKMATAN BERCINTA DENGAN ISTRI TETANGGA
CERITA SEX TERBARU JANDA MASIH HOT