43
ROMANTISME
MATA BIRU
"ADA yang berubah
darimu, Yash!" Kak Laisa memainkan matanya. Menahan tawa.
"Apanya?"
"Kau tidak
sibuk lagi — " Muka Kak Laisa terlihat jahil.
Yashinta
menyeringai, sejak kapan cqba Kak Laisa macam Kak Ikanuri. Ikutan menggodanya.
Mereka sedang duduk di ruang depan rumah panggung. Beramai-ramai. Delima dan
Juwita yang baru enam bulan tertidur lelap di ayunan. Wulan dan Jasmine
sebenarnya membawa box bayi. Tapi Mamak sudah memasang dua ayunan dari kain,
disambung dengan tali. Menjuntai dari atap ruang depan. Di dalamnya diberikan
bantal-bantal lembut. Kata Mamak, bayi lebih senang tidur di ayunan kain,
dibandingkan kotak. Lagipula di lembah, cara-cara pedesaan lebih menyenangkan.
"Sibuk
apanya?" Yash yang sedang memangku Intan bingung. Mengangkat bahu.
Bukannya semua terlihat biasa-biasa saja.
"Sudah
sehari kau pulang, tapi kau tidak sibuk Lagi bilang Goughsky yang menyebalkan.
Goughsky yang sok tahu. Goughsky yang sok pintar." Kak Laisa tertawa.
Menggoda.
Cepat sekali muka Yashinta memerah. Seperti
lembayung senja. Membuat Cie Hui, Wulan, dan Jasmine ikut tertawa.
"Dia tetap
menyebalkan, kok. Tetap sok tahu."
Yashinta
menukas cepat. Berusaha mengalihkan perhatian dan muka merah padam dengan
memainkan tangan Intan.
"Tetap
memanggilmu, 'Miss Headstone'? 'Miss Headstone'!" Kak Laisa menirukan
intonasi Yashinta selama ini saat mengulang kata-kata ini. Bahkan Mamak ikut
tertawa.
"Ada apa ini? Ada sesuatu yang kami tidak
tahu?" Ikanuri yang baru melangkah masuk dari pintu depan bertanya.
Diiringi Wibisana dan Dalimunte. Mereka baru pulang dari acara syukuran kecil
di rumah Bang Jogar. Kebetulan lagi di lembah.
"Tidak
ada apa-apa, kok!" Yashinta menjawab sebelum yang lain membuka mulut.
Melotot kepada Kak Laisa.
"Ya,
tidak ada apa-apa.... Hanya bertanya kabar rekan kerja Yash di Gunung Gede.
Mahkhluk setengah-setengah itu, kan Yash?"
Malam itu menyenangkan
menggoda Yashinta. Melihat Yash salah tingkah. Berkali-kali menghindar.
Mengancam Kak Laisa dan yang lain agar berhenti bertanya. Tapi semakin ia
rnembantah dan menghindar, semakin ia menunjukkan perasaannya. Membuat ruang
depan rumah panggung dipenuhi tawa. Baru terhenti saat Delima yang tidur di
ayunan merengek.
"Tuh, kan, Pada berisik, sih." Yashinta
buru-buru melangkah mendekati ayunan. Tangisan Delima menyelamatkannya.
Esok hari, saat berjalan bersisian dengan Kak Laisa
menemani Intan mengelilingi lereng perkebunan. Berdiri membiarkan Intan yang
sudah empat tahun berjalan sendiri tidak tahu arah. Memetik buah-buah
strawberry. Memenuhi kantong-kantongnya. Kak Laisa memegang lengan Yashinta
lembut.
"Kau
menyukainya?"
"Menyukai
apaan sih, Kak?" Yashinta yang segera tahu kemana arah bicara pura-pura
tidak mengerti.
"Kau
menyukai Goughsky?"
Muka Yashinta langsung
tersipu. Wajah cantik itu kebas, meski matanya terlihat sekali bercahaya,
ditimpa cahaya matahari pagi,
"Kalau
begitu, apalagi yang kau tunggu? Umurmu sudah 33 tahun, Bahkan di bagian dunia
manapun, kau sudah terhitung 'gadis tua' seperti Kakak!"
Kak Laisa
tersenyum.
Yashinta tidak menjawab. Wajahnya yang menjawab.
Semakin tersipu. Berusaha menunduk.
"Akan
menyenangkan sekali jika Kakak, Mamak, dan kami semua bisa berkenalan langsung
dengan mahkluk setengah-setengah itu. Ajaklah dia ke lembah ini. Kakak ingin
melihat mata birunya. Apakah itu seindah yang sering kau ceritakan!"
Yashinta terbatuk pelan. Entah hendak bilang apa.
Beruntung Intan mendekati mereka, berseru, memutus pembicaraan,
"Tante,
Tante, buahnya besal-besal... Kantong Intan sudah penuh semua.... Tante dan
Wawak pegang sepaluh, deh!"
Enam bulan kemudian, akhirnya Goughsky ikut pulang
ke Lembah Lahambay. Si mata biru itu menyetujui ide Kak Laisa. Jadi saat
Yashinta malu-malu mengajaknya, malu-malu menyampaikan undangan itu, Goughsky
mengangguk mantap.
Kabar
ikut pulangnya Goughsky ke perkebunan membuat basecamp ramai oleh seruan,
"Wah, ada yang mau ketemu dengan calon mertua!" Goughsky ikut tertawa
lebar. Yashinta masih saja tersipu malu. Urusan mereka sama seperti Dalimunte
dan Cie Hui, atau Ikanuri-Wibisana dengan Wulan-Jasmine. Mereka tidak saling
mengungkapkan perasaan secara langsung. Tapi bukankah perasaan itu tidak selalu
harus dikatakan? Cara menatap, cara bertutur sungguh cermin dari isi hati.
Lagipula sama seperti kakak-kakaknya, Yashinta tidak mengenal proses pacaran.
Mereka tahu batas-batasnya.
Jadilah itu kunjungan pertama Goughsky, kunjungan
yang ditunggu-tunggu Kak Laisa. Yang celakanya, ternyata justru sekaligus
menjadi kunjungan terakhir Goughsky.
Pria Uzbek itu seperti
biasa cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Menjawab gurauan Kak
Laisa dengan baik. Membantu Yashinta lebih santai, yang mukanya sepanjang hari
memerah. Mengerti benar menempatkan diri di hadapan Mamak, akrab dengan Ikanuri
dan Wibisana. Dan cepat nyambung bicara dengan Dalimunte,
"Tentu saja aku tahu, Yash.... Aku sudah
mengenal Profesor Dalimunte ketika kuliah di Belanda. Membaca banyak
penelitiannya.... Yang aku tidak tahu dan benar-benar tidak menduga selama ini,
ternyata Profesor punya adik sekeras kepala kau!"
Tertawa. Dan sebelum senja tiba, Goughsky sudah
menjadi 'paman' yang hebat buat Intan. Hanya satu yang keliru. Yang membuat kunjungan
itu menjadi kacau-balau. Saat berjalan
dengan
Kak Laisa, menggendong Intan di bahu, melewati jalur-jalur batangstrawberry.
Saat Kak Laisa bilang tentang: apalagi yang kalian tunggu. Goughsky mengangguk.
Dia sudah mengenal dengan baik keluarga ini dari cerita-cerita Yashinta di
basecamp. Dan keluarga itu juga sudah mengenal baik dirinya juga melalui
cerita-cerita Yashinta di perkebunan setiap pulang. Dia menyukai Yashinta,
bahkan sejak pandangan pertama di London.
Maka malam itu Goughsky melakukan kesalahan fatal.
Karena dia amat yakin Yashinta juga menyukainya. Mereka sudah lebih dari
dewasa. Sudah lebih dari siap untuk berkeluarga. Tanpa bicara terlebih dahulu
dengan Yashinta, ketika mereka berkumpul di ruang depan rumah panggung, sambil
menyentuh takjim lengan Mamak, Goughsky meminang Yashinta.
Saat Goughsky mengatakan kalimat,
"Umurku
enam tahun saat Ayah-Ibu pergi ditelan badai salju.... Bertahun-tahun hidup
tanpa keluarga.... Sesak atas kerinduan memiliki ayah, ibu, kakak, adik, sebuah
keluarga... Baru sehari di sini, tidak pernah kubayangkan, seperti menemukan
kembali makna keluarga yang utuh.... Mamak, aku sejak kecil tidak pemah belajar
dengan baik arti kasih sayang keluarga....
Malam ini,
ijinkan aku belajar kata-kata itu, ijinkan aku menjadi bagian dari keluarga
ini....
Ijinkan...
ijinkan aku memperistri Yashinta. Aku sungguh mencintainya...."
Ruang depan itu senyap. Bahkan Intan yang tadi sibuk
merengek minta dibuatkan ukiran beruang salju juga diam. Mamak menatap
wajahGoughsky lamat-lamat. Lantas menoleh ke arah Yashinta. Kak Laisa menyeka
pelupuk matanya, terharu. Cie Hui menggenggam jemari Dalimunte.Tersenyum.
Ikanuri dan Wibisana sih nyengir lebar, lumayan, tapi masih saktian kalimat
mereka dulu waktu melamar Wulan dan Jasmine.
Mamak menunggu anggukan dari Yashinta. Menatap
Yashinta yang entah mengapa justru diam seribu bahasa. Sejak dulu, bagi Mamak,
urusan perjodohan tergantung anak-anaknya. Ia tidak melarang, tapi juga tidak
menyuruh. Sepanjang calon pasangan mereka berakhlak baik, bertanggung-jawab,
pandai membawa diri, dan saling menyukai, itu sudah cukup. Sisanya bisa dicari
saat menjalani pernikahan.
Lima belas detik senyap. Sekarang semua menoleh ke
arah Yashinta. Dan celakanya, gadis itu mendadak berdiri. Melangkah keluar,
melewati pintu depan. Menuruni anak tangga. Berlarian menuju lereng perkebunan.
"YASH!"
Goughsky terkesiap, bangkit berdiri, hendak mengejar. Bingung. Tidak mengerti.
Bagaimanalah jalan cerita berubah jadi seperti ini? Ada apa dengan Miss
Headstone-nya? "Biar.... Biar aku yang menyusulnya!" Kak Laisa
menahan lengan Goughsky. Tentu saja Kak Laisa tahu permasalahannya. Biar ia
yang mengajak bicara Yashinta. Goughsky yang tidak terlalu paham masalahnya
justru akan membuat semuanya menjadi puing tidak terselamatkan. Membuat rasa
suka itu menjadi kebencian.
Yashinta keras kepala.
Gadis itu sejak kecil amat keras kepala. Sekali ia mengambil keputusan, maka
butuh waktu lama melunakkannya. Kak Laisa tahu betul itu. Urusan ini
benar-benar tidak akan mudah seperti Dalimunte, seperti dua sigung nakal itu.
"Kau
menyukainya?" Kak Laisa bertanya tegas. Memegang lengan Yashinta yang
duduk menjeplak di lembabnya tanah.
Bulan sabit seperti
digelantungkan menghias langit. Bintang-gemintang. Wangi semerbak perkebunan
menyergap hidung.Yashinta hanya diam. Menyeka matanya yang basah.
"Kau menyukainya
atau tidak?" Kak Laisa mendesak.Yashinta tetap diam seribu bahasa.
"Kakak tahu sekali apa yang kau pikirkan, Yash.... Tahu sekali.... Apa
yang dulu Kakak sering bilang? Kau tidak usah menunggu Kakak.... Menunggu
sesuatu yang mungkin tidak akan—"
"Tapi harusnya
Goughsky bilang ke aku.... Bilang sebelum menyampaikannya ke Mamak!"
Yashinta memotong.
"Apa bedanya,
Yash? Kau jelas menyukai Goughsky. Bukan itu masalahnya, kan? Bukan soal bilang
dulu masalahnya hingga kau lari begitu saja dari ruang depan?"
Yashinta diam
kembali. Menyeka pipinya.
"Kalau kau marah
Goughsky tidak bilang dulu, kau sepatutnya marah pada Kakak... Karena Kakak lah
yang memintanya melakukannya segera."
Kak Laisa mendekap lembut bahu adiknya.Menatap
hamparan perkebunan. Senyap. Menyisakan kerlip lampu gudang pengalengan. Ada
tiga truk di sana. Berjejer.
"Kau sudah
33 tahun, Yash.... Sudah saatnya menikah—"
"Aku
tidak akan menikah sebelum Kak Lais menikah!" Yashinta memotong. Suaranya
serak. "Kau tidak perlu menunggu Kakak? Ya Allah, berapa kali lagi Kakak
harus bilang hingga kau akhirnya mengerti?"
"Yash tidak
akan menikah...." Gadis itu memotong keras kepala.
"Tidak
ada yang tahu kapan Kakak akan menikah, Yash. Tidak ada yang tahu.... Bahkan
mungkin Kakak ditakdirkan tidak akan pernah menikah.... Kau harusnya tahu
persis itu." Suara Kak Laisa serak. Menatap wajah adiknya lamat-lamat.
Adiknya yang sekarang mulai terisak.
Membuat
Kak Laisa tertunduk dalam. Menggigit bibir, pelan mendesah ke langit-langit,
" Ya Allah, setelah Dalimunte, Ikanuri dan Wibisana, apa aku harus selalu
menanggung penjelasan ini kepada mereka.... Ya Allah, apa aku harus selalu menjadi
penghalang pernikahan adik-adikku.... Lais sungguh ihklas dengan semua
keterbatasan ini, Ya Allah. Sungguh,... Biarlah seluruh bukit dan seisinya
menjadi saksi, Lais sungguh ihklas dengan tegala takdirMu.... Tapi setiap kali
harus mengalami ini, menjadi penghalang kebahagiaan mereka...." Suara Kak
Laisa menghilang di ujungnya. Getir.
Dan Yashinta seketika
menangis tertahan. Memeluk Kak Laisa erat-erat. Untuk pertama kalinya, kalimat
seperti itu meluncur dari mulut Kak Laisa. Kalimat penjelasan. Sepenuh hatinya.
Semua ini memang benar-benar sederhana baginya. Kesendirian. Rasa sepi.
Kerinduan. Semua itu benar-benar sederhana baginya. Ia merasa cukup dengan
segalanya....
Lihatlah,
malam itu ia justru hanya mengeluh telah menjadi penghalang jalan kebaikan
adik-adiknya....
Tetapi pembicaraan di
lereng perkebunan itu tidak berguna. Meski tahu secara utuh apa yang ada di
kepala Kak Laisa, tidak membuat Yashinta berubah pikiran sedikitpun. Keras
kepala. Apa yang dulu dibilang Ikanuri benar. Yashinta belum mengalami sendiri
betapa susahnya memutuskan untuk menikah, melintas Kak Laisa. Apalagi dengan
fakta menikahnya Yashinta, maka sempurna sudah Kak Laisa dilintas oleh seluruh
adik-adiknya. Itu sungguh bukan keputusan mudah. Dengan semua yang telah
dilakukan Kak Laisa demi mereka. Kak Laisa yang selalu menganggap Yashinta
sebagai adik tersayangnya.
Besok pagi, Goughsky yang mendapatkan penjelasan
dari Kak Laisa dan Dalimunte pulang lebih dulu. Rekan-rekan peneliti di
basecamp urung menggodanya saat tiba. Wajah lelah dan kusut Goughsky
menjelaskan banyak hal, Yashinta tiba tiga hari kemudian. Langsung mengemasi
barang-barang. Memutuskan keluar dari proyek konservasi. Lebih banyak diam.
Matanya sembab. Mereka berdua sempat bicara sebentar di malam sebelum kepulangan
Yashinta ke Bogor.
"Maafkan
aku yang tidak mengajakmu bicara lebih dulu." Goughsky menatap bulan yang
mulai penuh.
Yashinta hanya diam. Merapatkan syal di leher.
Mengusir rasa dingin di kulit. Juga dingin di hati. Ia dari tadi ingin sekali
menatap wajah si mata birunya. Tapi mati-matian menahan diri.
"Maafkan
aku yang tidak mengerti situasinya.... Meski mungkin aku tidak akan pernah
mengerti, tapi penjelasan Profesor Dalimunte membantu banyak.... Kau mungkin
benar, tidak pantas mendahului Kak Laisa menikah.... Tidak pantas...."
Yashinta tetap
diam.
"Yash,
aku akan tetap menunggu.... Aku sungguh mencintaimu, entah bagaimana aku harus
melukiskan perasaan tersebut karena teramat besarnya cinta ini.... "
Yashinta menggigit bibir. Bagaimanalah? Kalau saja ia
tidak menahan diri, dari tadi ia sudah menghambur di pelukan mahkluk
setengah-setengahnya. Bilang betapa ia juga amat
mencintainya. Tapi ia tidak akan pernah bisa
melintas Kak Laisa. Hubungan ini tidak akan berhasil. Jika mereka tidak bisa
bergerak ke fase komitmen, pernikahan, maka lebih baik ia mundur. Lebih baik
mereka saling menjauh. Menunggu. Menunggu hingga kapanpun, Yashinta tertunduk.
Bagaimanalah ia akan melintas? Setelah begitu banyak kebaikan Kak Laisa?
Kenangan-kenangan itu melintas di kepalanya. Kak
Laisa yang menggendongnya pulang dari jembatan kayu. Tersuruk-suruk sambil
menangis, cemas. Kak Laisa yang berteriak-teriak memanggil Mamak. Gemetar
meletakkannya di bale bambu. Berbisik.
"Kakak mohon, bangunlah Yash" Kak Laisa
yang bahkan tulus menukar nyawanya demi kesalamatan adik-adiknya.
Kak Laisa yang
mengajarinya tentang alam,
"Itu
kukang, Yash!" Tertawa melihatnya ketakutan saat seekor kukang melompat.
"Kau tahu? Saat ada ular pemangsa yang
mengancam sarangnya, saat ada hewan buas lain yang mengincar anak-anaknya,
induk kukang akan habis-habisan mempertahankan sarang. Sampai mati. Dan ketika
ia mati, sekarat, induk kukang akan mengambil cairan di ketiak kiri dan
kanannya, menjadikannya satu, mengusapkannya ke seluruh tubuh. Jika dua cairan
ketiak kukang digabungkan, itu menjadi racun mematikan. Yang akan membunuh ular
atau pemangsa lain saat memakan tubuhnya.... Kau tahu apa gunanya pengorbanan
itu? Agar anak-anaknya tetap selamat. Induk kukang mati bersama dengan
pemangsanya!"
Saat itu Yashinta kecil hanya tertawa. Apalagi saat
Kak Laisa bilang soal cairan di ketiak. Tapi saat kuliah di Belanda, bahkan
prof esor biologi di sana tidak tahu fakta tentang kukang tersebut. Juga
beberapa reporter senior National Geographic. Hanya orang seperti Kak Laisa,
yang mewarisi kebijakan alam Lembah Lahambay yang tahu. Belajar langsung dari
alam liar. Dan mungkin kebijakan seperti itulah yang dimiliki Kak Laisa,
mengorbankan seluruh hidupnya demi adik-adiknya. Yashinta menelan ludah.
"Kaubawa ini, Yash!" Goughsky yang berdiri
di sebelahnya mengulurkan sesuatu. Seuntai kalung, berhiaskan delima.
"Itu
milik Ibu-ku. Satu-satunya yang tersisa di rumah kami saat badai salju itu
pergi.... Aku akan selalu menunggumu... Hingga kapanpun..."
Dan Yashinta sudah menangis terisak. Itu
pembicaraan mereka enam bulan lalu.
Enam bulan sebelum SMS
Mamak terkirimkan. Yashinta memutuskan untuk memulai proyek sendiri. Konservasi
alap-alap kawah. Peregrin. Pergi ke Gunung Semeru. Goughsky juga berhenti dari
proyek konservasi elang mereka. Tidak kuasa melihat jejak Yashinta di
mana-mana. Membuat Mr dan Mrs Yoko berteriak-teriak tidak mengerti. Kabar
baiknya proyek mereka sudah selesai di bulan kedua belas. Hanya tinggal masa
transisi sebelum diserahkan kepada petugas Taman Nasional Gunung Gede.
Kak Laisa sejak
pembicaraan di lereng itu tidak banyak lagi membujuk Yashinta. Dia sudah amat
lelah. Kalimat terakhir yang diucapkarmya di lereng waktu itu menjelaskan
betapa lelahnya Kak Laisa. Kanker paru-paru nya sudah stadium III. Semakin
ganas. Susah payah Kak Laisa menyembunyikan penyakit itu di hadapan
adik-adiknya. Meminum obat berkali-lipat dosis normal menjelang jadwal pulang
dua bulanan mereka. Ia selalu tngin terlihat baik-baik saja. Tidak ada yang
tahu kalau Kak Laisa bolak-balik ke rumah sakit kota provinsi.
Tetapi energi yang
hebat itu, kecintaan atas adik-adiknya, rasa cukup dan syukur atas hidup dan
kehidupan, akhirnya tidak kuasa mengalahkan fisik yang semakin lemah. Sebulan
yang lalu, ia terjatuh di lereng perkebunan. Di tandu pulang. Kak Laisa menolak
dirawat di rumah sakit, jadi peralatan, dokter, dan suster yang didatangkan
dari sana.
Dua hari lalu, setelah bertahan selama seminggu
dengan infus dan belalai plastik, SMS itu terkirimkan.
"Pulanglah. Sakit
kakak kalian semakin parah. Dokter bilang mungkin minggu depan, mungkin besok
pagi, boleh jadi pula nanti malam. Benar-benar tidak ada waktu lagi.
Anak-anakku sebelum semuanya terlambat, pulanglah...."
NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 44
No comments:
Post a Comment