15
KAKAK
TIDAK AKAN TERLAMBAT
GERBANG
perbatasan Perancis.
Juga Melesat. Eurostar melesat dengan kecepatan
tinggi " Apa yang sedang kau pikirkan, Ikanuri?"
"Tidak. Tidak apa-apa...." Senyap sejenak.
Hanya
deru roda kereta menghujam batangan baja. "Kau barusan menangis?"
"Tidak!"
"Kau
menangis — "
"TIDAK. Aku
tidak menangis—" Jawaban itu serak.
Cahaya lampu rumah-rumah pinggiran Perancis
terlihat. Lebih banyak lagi perkebunan anggur. Di luar Sana masih gelap.
Wibisana menatap datar wajah adiknya.
"Aku
hanya takut. Takut terlambat tiba—"
Ikanuri berkata
pelan. Tertunduk menatap keluar jendela. Berusaha menyeka matanya. Wibisana
menelan ludah. Menepuk lembut bahu Ikanuri.
"Kita
tidak akan terlambat, Ikanuri, tidak akan...." Ikanuri hanya diam.
Berusaha mengendalikan dirinya. "Kau tahu, kenapa?" Wibisana
tersenyum getir.
Ikanuri
menoleh. Susah sekali menyembunyikan perasaan hati. Susah. Sejak tadi, sejak
seluruh kenangan itu buncah kembali memenuhi memori kepalanya, semua terasa
sesak. Matanya berkaca-kaca lagi. Sejak tadi dia menangis, malah tanpa sengaja
membuat Wibisana terbangun dari tidurnya. Dia tidak bisa berpura-pura lagi.
Mengenang semua itu membuatnya benar- benar tersentuh. Biarlah. Biarlah
Wibisana melihatnya menangis. Maka Ikanuri tergugu menyeka pipinya.
Wibisana menelan ludah, terdiam
sejenak... Menatap wajah sendu Ikanuri lamat-lamat, lantas mengulang pertanyaan
itu dengan segenap perasaan,
"Kita tidak
akan terlambat, Ikanuri.... Kau tahu, kenapa?" Ikanuri menggeleng, pelan.
"Ka-re-na.... Karena Kak Laisa
tidak pernah datang terlambat untuk kita. Tidak pernah. Kak Laisa tidak pernah
sedetik pun datang terlambat dalam hidupnya untuk kita... Kak Laisa tidak
pernah mengingkari janji-janjinya, demi kita adik-adiknya... Ya Allah...."
Suara Wibisana
terputus.
Menggantung
di langit-langit kabin. Hilang ditelan suaranya sendiri yang bergetar, Wibisana
ikut tertunduk.
Ikanuri
menyeka matanya. Terisak lebih kencang. Kereta ekspress Eurostar itu terus
melesat menuju Paris! Itu benar sekali. Kak Laisa tidak akan pernah terlambat.
Karena malam itu sempuma sudah Laisa menunaikan
janjinya. Tepat waktu. Tak terlambat sedetik pun. Selepas dari pohon mangga Wak
Burhan, usai bertengkar dengan Kak Laisa, Ikanuri dan Wibisana memang akhirnya
memutuskan untuk kabur dari rumah. Mereka berpikir pendek: Kak Laisa pasti
mengadu ke Mamak tentang mencuri mangga. Kak Laisa pasti juga mengadu kalau
mereka sudah menghinanya soal bukan kakak kami itu. Jadi mereka pasti disuruh
tidur di bale bambu bawah rumah. Bisa jadi dihukum selama seminggu. Tidur di
luar selama seminggu itu sama saje dengan mengusir mereka. Sekalian, kalau
begitu lebih baik mereka kabur saja.
Mereka tidak ingin kabur ke desa atas. Pasti segera
ketahuan. Setelah berdebat sebentar, Ikanuri dan Wibisana memutuskan kabur ke
kota kecamatan. Ada dua puluh kilo jika mereka harus berjalan lewat jalan batu
lebar tiga meter itu. Artinya mungkin baru besok siang tiba di sana. Terlalu
lambat, masih bisa disusul oleh starwgoon yang berangkat pagi-pagi buta, dan
pelarian mereka diketahui. Maka tanpa berpikir panjang, Ikanuri dan Wibisana
mengambil jalan pintas. Gunung Kendeng. Mereka tahu jalan pintas itu dari
percakapan orang-orang, pemburu, di kota kecamatan dua minggu lalu.
Berangkatlah dua kakak-adik nakal itu.
Agak sedikit lambat, memutari desa, karena tidak mungkin melewati pinggiran
sungai tempat orang-orang sedang bekerja membuat kincir. Pukul 20.00, saat
pertama kali Mamak berlari ke rumah Wak Burhan, mereka berdua baru setengah jam
perjalanan dari gerbang masuk ke dalam hutan rimba. Melangkah pasti.
Bintang-gemintang dan bulan malam tiga-belas membuat perjalanan mereka mudah
dilakukan, meski tanpa bantuan obor dan golok.
Pukul 22.00 saat
rombongan pencari mulai masuk ke hutan rimba, masalah mereka mulai serius. Awan
mendung yang menutupi langit membuat rimba gelap seketika. Hanya kerlip
kunang-kunang, tapi itu tidak membantu banyak. Apalagi tidak ada lagi jalan
setapak. Tanpa golok, mereka hanya menyibak dan mematahkan semak-belukar dengan
tangan untuk memudahkan langkah. Sekali dua beristirahat. Bersitatap satu sama
lain. Semakin masuk ke dalam, mereka berdua semakin menyadari ini semua keliru.
Benar-benar keliru. Mereka terlalu menganggap sepele banyak hal. Menggampangkan
masalah. Salah perhitungan.
Pukul 24.00 saat Laisa dan Dalimunte menyusul,
Ikanuri dan Wibisana benar-benar dalam masalah. Mereka masih jauh dari kota
kecamatan, jangankan kota kecamatan, puncak Gunung Kendeng pun belum terlihat.
Mereka tertahan di punggung Gunung Kendeng. Ikanuri dan Wibisana tersesat. Dua
anak kecil yang meski amat ringan menganggap semua perkataan orang, jelas-jelas
masih anak kecil, mulai mengkerut ketakutan saat menyadari setiap lima belas
menit mereka berjalan, mereka sempurna kembali lagi ke titik semula.
Berputar-putar.
Begitu-begitu saja.
Ikanuri mulai mengeluh. Wibisana
mengusap dahinya yang berkeringat. Ini semua menakutkan.... Dan, hei, bukankah
mereka pernah (sebenarnya sering) mendengar kisah tentang harimau Gunung
Kendeng yang dulu setiap tahun mencari tumbal? Hei, bukankah Babak juga salah
satu dari tumbal itu. Cemas. Ikanuri dan Wibisana tersengal. Berjalan semakin
cepat. Percuma. Kembali lagi ke titik semula. Hei, bukankah ini pertanda sang
siluman mengeluarkan jerat pamungkasnya?
Pukul 02.00, sempurna
sudah keduanya mengkerut takut. Setelah hampir dua jam hanya bolak-balik di
tempat yang sama, mereka memutuskan untuk bertahan di Sana. Menunggu besok,
ketika cahaya matahari memudahkan menentukan arah. Wajah mereka pucat oleh
perasaan gentar, cemas. Tubuh mereka mulai gemetar. Sedikit saja suara gerakan
di sekitar, cukup sudah untak membuat jantung mereka berdetak lebih kencang. Ikanuri
dan Wibisana berdiri saling membelakangi punggung. Mematahkan batang semak
belukar yang besar, berusaha mempersenjatai diri.
Saat itu, Laisa dan Dalimunte sudah
dekat sekali.
Tetapi pukul 02.30
mendadak hutan di sekitar mereka lengang. SEMPURNA LENGANG. Seperti ada yang
jahil menekan mati tombol volume derik jangkrik dan serangga lainnya.
Ikanuri
dan Wibisana saling menoleh. Bersitatap dengan cahaya mata redup. Ganjil
sekali. Suasana hutan yang mendadak lengang terasa amat ganjil. Bahkan angin pun
seolah takut berdesau. Langit gelap, pekat. Awan hitam menutupi berjuta bintang
dan bulan. Hanya nafas cepat mereka yang menderu.
Apa yang sedang terjadi? Ada apa?
Wahai, kalian
seharusnya lima kali lebih takut saat di sekitar kalian mendadak senyap, hening.
Bukan takut saat mendadak ada suara teriakan atau cekikikan. Wahai, senyap yang
datang tiba-tiba, itu berarti pertanda ada maut besar yang mengintai. Pertanda
kehadiran kekuasaan besar yang mengendalikan sebuah tempat. Dan itu benar.
Saat itulah, lima belas detik kemudian, suara gerung
pelan itu terdengar menggantung di langit-langit hutan rimba. Awalnya pelan,
semakin lama semakin mengeras. Gerungan maut sang siluman.
"RRRRR-"
Ikanuri dan
Wibisana seperti sudah mati rasa. Berdiri kaku. Terkencing-kencing.
"RRRRR-"
Mata-mata
itu terlihat menakutkan dari balik semak. Cemerlang.
Mengerikan. Semakin mendekat. Semak belukar itu
pelan bergoyang, lantas tersibak. Tiga harimau dewasa sebesar anak sapi
mendekat. Berkilauan kuning legam dengan loreng hitam.
Ikanuri dan Wibisana membeku sudah. Tidak bisa menggerakkan tubuh lagi.
Menggigil.
Satu
detik. Satu meter lebih dekat. "RRRRR-"
Lima detik. Tinggal lima meter.
Sepuluh detik. Tiga
ekor harimau itu berhitung dengan situasi, mengukur bagaimana cara terbaik
menerkam Ikanuri dan Wibisana. Waktu benar-benar berjalan lambat, untuk tidak
bilang seperti terhenti. Aroma kematian menggantung pekat di langit-langit
hutan.
Hanya
soal kapan— Hanya soal detik—
Saat Ikanuri dan
Wibisana hampir jatuh pingsan, ketakutan. Saat harimau terbesar yang berada
paling dekat bersiap meloncat. Saat itulah Kak Laisa menunaikan janjinya.
"TIDAK!
TIDAK BOLEH!" Terhenti. Gerakan tubuh harimau terbesar itu terhenti.
"TIDAK! PUYANG TIDAK BOLEH MEMAKAN MEREKA!"
Kak Laisa, entah apa yang ada di
kepalanya, yang sedetik baru tiba di sana, sedetik terpana menyaksikan
pemandangan di depannya, tanpa berpikir panjang, seperseribu detik langsung
loncat dari balik semak, menerobos ke tengah kerumunan. Mukanya terlihat begitu
tegang. Ia sungguh gentar. Ia sungguh ketakutan. Siapa pula yang tidak akan
jerih melihat tiga ekor harimau dari jarak dua meter tanpa penghalang? Tapi
perasaan itu, perasaan melindungi adik-adiknya membuat Laisa menyeruak, nekad
masuk ke kematian.
Mengacung-acungkan obornya ke depan.
Tiga
harimau itu mundur satu langkah. Menahan terkaman. Sedikit jerih melihat obor
Laisa. Ekor mereka bergerak. Berhitung dengan situasi baru.
"RRRRR-"
Harimau -harimau itu menggerung lagi.
Amat menakutkan. Tubuh mereka yang hampir sebesar anak sapi itu terlihat lebih
jelas, tertimpa cahaya obor Kak Laisa. Kerlap-kelip. Kulit yang tebal,
mengkilat. Wajah, taring, cambang, sungguh menakutkan.
"Puyang
tidak boleh memakan mereka... Laisa mohon. tidak boleh—" Kak Laisa
mencicit, berkali-kali mengibas-ngibaskan obornya. "RRRR-"
"Pergilah
Ikanuri, Wibisana. Pergi dari sini! PERGI!"
Kak Laisa mendorong Ikanuri dan Wibisana
yang pucat pasi di belakangnya. Sementara wajah Kak Laisa terus bersitatap
dengan harimau-harimau itu. Menjaga segala kemungkinan.
Gerungan terdengar semakin keras. Tiga
harimau itu mengambil posisi baru. Tidak masalah. Empat mangsa lebih baik dari
dua.
"Dali,
bawa adik-adikmu lari.... LARI!!"
Kak
Laisa berseru panik. Situasinya semakin mencekam. Harimau-harimau kembali
bersiap. Dalimunte yang menatap ketakutan dari balik semak mendecit.
"Dali,
CEPAT! Bawa adik-adikmu lari!"
Kak Laisa
membentak. Suaranya parau. Panik. Mereka tidak punya waktu lagi.
Gemetar Dalimunte masuk ke dalam
lingkaran, patah-patah menarik tubuh membeku Ikanuri dan Wibisana ke luar.
Laisa terus menatap tiga ekor harimau itu. Menelan ludah. Mencoba menahan
mereka dengan obor yang teracung.
"RRRRR-"
"Dali,
bilang Mamak, bilang Mamak, Lais pergi— "RRRRR-"
"Dali,
bilang Mamak, maafkan Lais—"
Kak
Laisa berkata dengan suara semakin serak. Ia tahu, malam ini harimau-harimau
ini membutuhkan mangsa. Tumbal. Maka biarlah ia yang menggantikan adik-adiknya....
Ia tahu,
waktunya sudah selesai.
Biarlah begitu. Biar ia yang menahan mereka sementara adik-adiknya berlari....
Suara gerungan itu tiba di puncaknya.
Kepala-kepala menakutkan itu terangkat
siap menerkam.
Laisa dengan mata bercahaya, buncah oleh
air mata menatap ke depan. Menunggu. Bersiap. Sementara Dalimunte yang sedikit
pun tidak mengerti apa yang sedang dilakukan Kak Laisa, tunggang langgang
menarik tubuh Ikanuri yang sempat terjatuh, mereka harus kabur sesegera mungkin
dari situ.
Seperseribu detik
berlalu. Ekor harimau yang paling besar, yang paling menakutkan, yang
bersitatap dengan mata Laisa, tiba-tiba bergoyang. Harimau itu menggerung
keras. Laisa menggigit bibir. Seluruh tubuhnya gemetar. Ia sudah pasrah. Ia
sudah siap.
Tapi hei, kenapa?
Kenapa belum ada satu pun harimau yang menerkamnya? Dua detik. Tetap begitu.
Tiga detik? Tidak ada yang bergerak. Wahai, apa yang telah terjadi?
Keajaiban itu! Hanya kuasa Allah yang tahu apa yang
sesungguhnya sedang terjadi malam itu, sang siluman entah oleh kekuatan apa
mendadak mengurungkan niatnya menerkam tubuh pasrah Laisa. Lima detik berlalu,
harimau terbesar setelah sekali lagi menggerung lebih keras, perlahan melangkah
mundur. Memberikan perintah, memutar tuhuhnya.
Pergi. Dua harimau lainnya mengikuti.
Dalimunte yang
terjerambab di semak belukar setelah berlari sepuluh langkah bersama
adik-adiknya menatap kosong tiga harimau yang melewati mereka, melangkah di
atas tubuh-tubuh mereka yang terjerambab.
Begitu saja—
Lima detik. Lima
belas detik. Senyap. Hening.
No comments:
Post a Comment