39
BAYI
YANG DITINGGAL PERGI
TERUS-TERANG,
mengungkit masa lalu Laisa bukanlah bagian yang menyenangkan. Tetapi tidak adil
jika kalian tidak tahu ceritanya. Apalagi untuk mengerti utuh semua kisah ini.
Mengerti betapa Kak Laisa tulus melakukan semuanya. Maka, dengan melanggar
janjiku kepada keluarga mereka, ijinkanlah aku menceritakannya.
Ikanuri benar. Kak Laisa bukan kakak mereka.
Sedikitpun tidak memiliki hubungan darah dengan keluarga mereka.
Mamak Lainuri sebenamya menikah dua kali. Pernikahan
pertama, dengan lelaki pendatang di kampung atas. Saat umurnya baru enam belas
tahun. Lelaki itu 24, duda dengan seorang bayi berusia enam bulan. Si kecil
Laisa.
Wak Burhan,
satu-satunya kerabat Mamak (karena Mamak Lainuri yatim piatu sejak usia sebelas
tahun), amat berkeberatan dengan pernikahan itu. Pernikahan yang keliru, Mereka
tidak mengenal baik pemuda tersebut. Tidak mengenal keluarganya. Hanya wajahnya
saja yang terlihat tampan menyenangkan. Tapi itu 180 derajat kontras dengan
kelakuannya. Kecemasan Wak Burhan benar, duda dengan bayi mungil itu
memperlakukan Mamak sama seperti memperlakukan istri pertamanya. Kasar. Suka
memukul Berteriak. Dan kerjanya hanya mabuk di kota kecamatan Berjudi di
lapak-lapak pasar. Menurut bisik-bisik tetanga konon istri pertamanya dulu
meninggal juga karena ulahnya. Tapi tidak ada yang bisa mencegah pernikahan
tersebut. Dan tidak ada juga yang kuasa memperbaiki keputusan yang terlanjur
dibuat. Entahlah mengapa Mamak amat menyukai pemuda itu (duda dengan bayi enam
bulan pula).
Mamak sebenarnya mewarisi tanah cukup luas dan
banyak perabotan dari orang-tuanya yang meninggal saat banjir bandang di sungai
cadas lima meter. Tapi semuanya tergadai satu persatu oleh tabiat judi
suaminya. Dan yang paling menderita atas tabiat buruk tersebut adalah Laisa. Bayi
berumur enam bulan tersebut pernah jatuh ke dalam baskom air saat berumur
sembilan bulan. Terendam. Mamak yang pulang dari kebun amat terkejut melihat
Laisa sudah membiru. Sedangkan yang bertugas menjaga justru tertidur dengan
mulut bau minuman keras di samping ranjang.
Maka rusuhlah kampung
mereka. Amat cemas Mamak melakukan apa saja untuk menyelamatkan bayi mungil
itu. Seolah bayi itu darah dagingnya sendiri. Melakukan apa saja. Dan ajaib,
Laisa terselamatkan. Meski bayi montok dan lucu itu harus membayar mahal
sekali. Karena sejak saat itu pertumbuhan Laisa mulai tidak normal. Saraf
bicara, mendengar, kemampuan berpikir, dan sebagainya memang tumbuh normal.
Tapi badan Laisa tumbuh lebih pendek dibanding teman seusianya. Wajahnya juga
terlihat sedikil tidak proporsional. Soal rambut gimbal dan kulit hitam, itu
mewarisi ayahnya. Ayah yang saat Laisa berumur dua tahun justru tega pergi
begitu saja dari lembah tersebut. Tidak ada yang tahu kemana. Dia menghilang
begitu saja setelah Mamak jatuh miskin, kehilangan tanah dan perabotan.
Menyedihkan sekali melihat bayi kecil itu ditinggal
pergi. Membuat nestapa Mamak jadi sempurna. Sudah kehilangan suami. Mesti
merawat bayi yang bukan darah dagingnya pula. Tapi Mamak menyayangi bayi kecil
itu seperti anaknya sendiri. Lagi pula keputusan menikah
dulu juga keputusannya sendiri. Maka dengan
kehidupan yang semakin susah di lembah, Mamak memutuskan bertahan hidup.
Tiga tahun hidup sesak, kabar baik itu tiba.Mamak
menikah untuk kedua kalinya dengan pemuda kampung atas. Babak mereka sekarang.
Pemuda yang dulu amat patah hati melihat Mamak menikah dengan orang lain.
Sekarang mendapatkan kembali cinta terpendamnya. Babak bisa menerima Mamak apa
adanya. Janda miskin. Juga bisa menerima si kecil Laisa dengan baik.
Meski hidup mereka
tidak berubah, tetap susah, tapi kehidupan berkeluarga mereka berjalan normal,
bahkan dalam banyak waktu terlihat cukup bahagia. Saat Laisa berumur enam
tahun, lahirlah Dalimunte. Dua tahun kemudian Wibisana, menyusul Ikanuri dengan
jarak hanya sebelas bulan, dan terakhir ditutup dengan lahirnya si bungsu yang
manis; Yashinta. Anak-anak yang lucu. Menggemaskan. Sayang, masa-masa bahagia
itu terputus saat Yashinta masih dalam kandungan. Ikanuri dan Wibisana juga
masih terlalu kecil untuk mengerti. Babak mereka diterkam sang penguasa Gunung
Kendeng. Maka yatimlah anak-anak tersebut.
Semua penduduk Lembah
Lahambay tahu persis kisah ini. ini kalau Laisa bukanlah siapa-siapa di rumah
panggung tersebut. Hanya bayi yang ditinggal pergi. Dalimunte yang beranjak
besar tahu fakta tersebut dari bisik-bisik tetangga. Ikanuri dan Wibisana.
Bedanya, Dalimunte tidak ambil pusing. Sedangkan dua sigung nakal tersebut
menjadikan itu alasan untuk membantah, tidak menurut. Yashinta saja yang
terlalu takut bertanya yang tidak pernah tahu detailnya. Meski saat ia mulai
sekolah di kota provinsi, Yashinta jelas bisa mengambil kesimpulan sendiri
kalau Kak Laisa memang bukan kakak mereka. Mereka terlalu berbeda.
Mamak tidak pernah mengungkit-ungkit kisah suram
tersebut. Memutuskan untuk tidak menceritakan kejadian jatuhnya Laisa ke dalam
baskom air. Yang membuatnya tumbuh cacat. Mamak tidak pernah menganggap Laisa
orang lain, baginya sulung di keluarga itu adalah Laisa. Juga Babak mereka
semasa hidup. Malam sebelum kejadian Babak diterkam harimau. Babak sempat
mengusap rambut Laisa yang saat itu baru berumur sepuluh tahun. Tersenyum,
"Lais, kau bantu Mamakmu menjaga adik-adik
hingga Babak pulang dari mencari kumbang—"
Laisa kecil
mengangguk mantap sekali.
Anggukan yang menjadi janji sejati. Karena Babak
ternyata tidak pernah pulang-pulang. Janji seorang kakak.
"Maafkan
Ikanuri.... Sungguh maafkan Ikanuri, Kak Lais... Maafkan Ikanuri yang dulu
selalu bilang Kak Lais bukan kakak kami — "
Ikanuri masih
tersungkur.
Kak Laisa membuka
matanya. Mengerjap-ngerjap. Tadi ia baru saja bermimpi saling berkejaran dengan
adik-adiknya di hamparan kebun strawberry. Ia yang berusia enam belas tahun,
Dalimunte dua belas, Wibisana hampir sembilan, Ikanuri delapan, dan Yashinta
enam tahun. Berlarian di sela-sela buah merah-ranum menggoda. Mamak yang
berdiri meneriaki di lereng atas. Langit membiru. Seekor elang melenguh di
garis cakrawala Gunung Kendeng. Amat menyenangkan.
Kak Laisa membuka matanya. Kepalanya sedikit
terangkat. Perlahan mengerti apa yang sedang terjadi. Ikanuri dan Wibisana
sudah tiba. Lihatlah, adiknya yang paling nakal, adiknya yang paling keras
kepala, sedang tersungkur menciumi tangannya. Menangis penuh rasa sesal.
Kak Laisa terbatuk. Bercak darah itu mengalir. Cie
Hui buru-buru mendekat, meraih tissue, membersihkan. Mamak sudah menangis di
pelukan Dalimunte. Mamak yang jarang sekali menangis, tersedu. Tudung kepalanya
lepas. Rambut putihnya terlihat. Bahunya naik
turun menahan rasa sesak. Dan Wibisana menambah
senyap suasana. Wibisana ikut bersimpuh di samping Ikanuri. Ikut menangis.
"Sungguh,
maafkan Wibisana...."
Dan kamar Kak Laisa sempurna sudah menyisakan desau
sepotong kisah suram masa lalu itu. Bagi Mamak, melihat semua ini seperti
mengembalikan seluruh kenangan hidupnya. Masa-masa keliru. Masa-masa yang
seharusnya ia isi dengan penjelasan. Tidak seharusnya ia menutupi kenyataan
itu.
Bagi Dalimunte, melihat
adik-adiknya bersimpuh penuh penyesalan, mengembalikan seluruh kejadian di
sungai cadas lima meter. Dia yang melihat Kak Laisa bekerja keras terpanggang
matahari di kebun jagung demi mereka. Kak Laisa yang berjanji akan membuatnya
terus sekolah. Yang boleh malu dan sakit itu Kak Laisa, bukan adik-adiknya....
Bagaimana mungkin Kak Laisa bukan kakak mereka
dengan: semua itu? Dalimunte tahu persis kalau adik-adiknya suka bilang kalimat
menyakitkan itu, tapi dia tidak pernah kuasa untuk menegur. Lagipula, Ikanuri
dan Wibisana belum mengerti. Lihatlah, bertahun-tahun saat sudah sekolah di
kota provinsi, saat adik-adiknya mengerti, mereka amat menghargai Kak Laisa.
Lebih dari siapapun.
Bagi Ikanuri dan
Wibisana, jelas-jelas semua ini mengembalikan kenangan masa kecil mereka.
Perlakuan buruk mereka kepada Kak Laisa. Dan perlakuan sebaliknya Kak Laisa
kepada mereka. Janji sejuta kunang-kunang. Janji kesempatan yang lebih besar di
luar lembah. Kak Laisa yang tidak pernah datang terlambat. Malam di lereng
Gunung Kendeng....
Kamar itu menyisakan isak tertahan.
Tangan Kak Laisa gemetar mengangkat kepala adiknya.
Mata itu menatap begitu tulus. Tersenyum,
"Kakak
selalu memaafkan kalian.... Kakak selalu memaafkan kalian.... Ya Allah, meski
dunia bersaksi untuk menyangkalnya, meski seluruh dunia bersumpah membantahnya,
tapi mereka, mereka selalu menjadi adik-adik yang baik bagi Laisa.... Adik-adik
yang membanggakan...." Kak Laisa ikut menangis. Terbatuk. Bercak darah itu
mengalir.
Dan
kamar itu menyisakan tangis dua sigung nakal yang mengeras. Semua masa lalu
itu, tidak akan pernah bisa dipisahkan dari kehidupan mereka, tidak peduli
seberapa baik kehidupan mereka sekarang.
NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 40
No comments:
Post a Comment