36
SAKIT
PERTAMA
KALAU
saja ada yang memperhatikan. Itulah gejala pertama sakitnya Kak Laisa yang
paling terlihat. Tapi kebahagiaan yang melingkupi rumah panggung atas
pernikahan 'kembar' Ikanuri dan Wibisana membuatnya seperti kejadian
biasa-hiasa saja.
Bang Jogar, yang
setahun terakhir sudah menjadi kepala kampung, sibuk meneriaki anak muda yang
sedang mendirikan tenda-tenda. Sibuk membuat gerbang janur kuning. Batang
pisang disusun rapi. Bertingkat. Menyusun pot-pot bonsai, Malah Bang Jogar yang
meski tampangnya serius, sempat- sempatnya menyuruh mereka membuat tiga patung
harimau dari janur di depan gerbang halaman rumput. Membuat yang lain tertawa.
Bang Jogar sengaja hendak mengenang masa lalu itu.
Pagi-pagi di tengah
semua kesibukan, Dalimunte sempat berpapasan dengan Kak Laisa di beranda rumah.
Menyelak ibu-ibu dan anak gadis tetangga yang sedang duduk berbaris, menyiapkan
makanan buat acara besok. Mengiris buncis. Memarut kelapa. Muka Kak Laisa
terlihat pucat sekali, Dalimunte sebenarnya sudah hendak menegur, bertanya,
tapi urung, ada rombongan pembawa panci di belakangnya, ingin lewat. Gulai opor
mengepul. Membuat terlupakan.
Ikanuri dan Wibisana
siangnya juga mencari Kak Laisa, bertanya tentang siapa saksi pernikahan mereka
besok Tidak ada, Kak Laisa tidak ada di rumah. Di cari di bawah panggung tidak
ada. Di tenda-tenda juga tidak ada. Mamak yang akhirnya menjawab, dengan suara
berbeda, suara yang bergetar,
"Kakak
kalian sedang ke kota kabupaten, membeli kekurangan bumbu dapur, ayam, dan
perlengkapan lainnya — "
Ikanuri
dan Wibisana hanya mengangguk, itu biasa terjadi. Selalu Kak Laisa yang
belanja, menyiapkan keperluan pernak-pernik acara. Dalimunte akhirnya menunjuk
Bang Jogar menjadi saksi.
Sore harinya, saat matahari tumbang di barat sana,
senja membungkus lembah, Kak Laisa baru pulang dari kota kabupaten. Tidak ada
bungkusan belanjaan, tidak ada barang-barang bawaan, mukanya pucat,
"Biar,
biar aku berjalan sendiri—" Berbisik lemah pada sopir pengalengan
strawberry. Melangkah masuk ke halaman, tetap tersenyum menyapa (dan disapa
yang lain). Bahkan Dalimunte yang sedang bicara soal detail acara besok lalai
untuk mengenali ada yang ganjil. Kebahagiaan dan kesibukan sepanjang hari
membuat semuanya terbungkus kabut.
Tidak ada yang tahu
kalau Kak Laisa tadi pagi terbatuk berkali-kali di kamar mandi. Bercak darah
keluar bersama dahak. Tubuhnya melemah. Gemetar memanggil Mamak itulah gejala
pertama sakitnya Kak Laisa yang paling terlihat. Mamak hendak memanggil
Dalimunte.
"Tidak, Mak.... Jangan beritahu mereka. Jangan.
Ini akan mengganggu kebahagiaan Ikanuri dan Wibisana.... Bagaimana mungkin
mereka harus melihat aku sakit di hari sepenting ini—" Kak Laisa
tersenggal menarik nafas.
Mamak menatap sulungnya lamat-lamat. Menggenggam
tangan Laisa erat-erat. Mata Mamak yang keriput berdenting air mata. Ia tahu
persis. Sejak sulungnya masih belasan
tahun. Sejak sulungnya bersumpah untuk selalu terlihat
baik-baik saja di hadapan adik-adiknya, maka Laisa bersungguh-sungguh dengan
sumpahnya. Mamak tertunduk, menyeka bercak darah di baju Laisa. Urung memanggil
Dalimunte.
"Tapi kau
harus segera ke dokter, Lais—"
"Tidak usah, Mak. Tidak sekarang.... Mereka
akan bertanya-tanya kalau aku tidak ada di rumah...."
Laisa
menggeleng. Dan bukankah ia selalu ada ketika adik-adiknya perlu selama ini?
"Kau
harus ke dokter, Lais.... Lihatlah darah ini...." Mamak menelan ludah,
menatap getir bercak darah di baju Laisa.
Pagi itu Laisa mengalah, akhirnya diam-diam
berangkat ke kota kabupaten. Diantar sopir pengalengan strawberry. Ke rumah
sakit. Sempat pingsan di ruang ICU, karena ia terlalu lemah. Membuat sopir
pabrik pengalengan yang mengantar bingung tujuh keliling, gugup, gemetar hendak
menelepon Dalimunte, tapi pesan Laisa di mobil sebelum mereka turun membuat dia
takut melakukannya. Dua jam dirawat di ruang Gawat darurat, dengan semangat
sembuh yang sungguh mengagumkan, memaksa seluruh bagian tubuhnya menurut, Laisa
mulai membaik,
"Aku
harus pulang, Dok. Tidak ada pilihan lain. Besok Ikanuri dan Wibisana menikah,
bagaimana mungkin aku tidak di sana?" Laisa menggeleng tegas saat Dokter
memaksanya untuk dirawat inap. Laisa benar-benar memaksa tubuhnya menurut. Ia
pulang sore itu juga. Dengan muka masih pucat. Dengan tubuh masih lemah.
Menggunakan sisa-sisa tenaganya. Berseru lirih di senyapnya mobil membelah
jalanan menuju perkebunan,
"Ya
Allah, aku mohon, meski hamba begitu jauh dari wanita-wanita mulia pilihanmu,
hamba mohon kokohkanlah kaki Laisa seperti kaki Bunda Hajra saat berlarian dari
Safa- Marwa....
Kuatkanlah
kaki Laisa seperti kaki Bunda Hajra demi anaknya Ismail.... Mereka tidak boleh
melihat aku sakit..."
Satu titik air
mata mengalir di pipinya.
Itu
juga doa Laisa ketika menerobos hujan badai saat Yashinta sakil, ke kampung
atas, ketika kakinya bengkak menghantam tungul kayu. Ketika sendi mata kakinya
bergeser. Itu juga doanyna di Gunung Kendeng. Itulah doa yang paling disukai
Laisa. Doa-doa itu mengukir langit.
Energi pengorbanan itu sungguh luar biasa (untuk
tidak mengharukan), jika kalian bisa melihatnya seperti nyala api, maka mungkin
energi itu bisa membuat terang benderang seluruh Lembah Lahambay. Malam itu Kak
Laisa sudah kembali riang bersama yang lain. Duduk di beranda depan, membuat
kue kecil-kecil bersama tetangga. Intan duduk manis di pangkuannya. Satu kue
untuk Intan, Satu kue masuk toples. Kak Laisa tertawa lebar.
Mengusir fakta kanker paru-paru stadium
satu.
Ikanuri dan Wibisana menghabiskan masa bulan madu
mereka di perkebunan strawberry. Baru selepas itu kembali ke kota seberang
pulau. Mengurus bengkel. Kak Laisa memberikan modal tambahan untuk mulai
membangun pabrik suku cadang mereka. Berpesan agar mereka tidak terlalu sibuk
dengan bengkelnya, hingga mengurangi perhatian ke istri masing-masing.
Dalimunte kembali ke ibukota lepas satu minggu dari
acara pernikahan. Intan menyeringai riang, melambaikan tangan ke Wawak dan
Eyangnya,
"Da-da-" Dan kemudian menangis
kencang-kencang di mobil. Ia sih tidak mengerti kalau da-da itu maksudnya
lambaian perpisahan. Dikiranya hanya da-da doang. Memaksa balik kembali ke
perkebunan strawberry. Tapi Dalimunte dan Cie Hui hanya tertawa. Sejak kecil
Intan selalu paling semangat pulang ke lembah. Di sana ia benar-benar menikmati
memiliki Wawak dan Eyang yang baik hati. Yang selalu membelanya, meski ia nakal
minta ampun.
Yashinta pulang dua
hari kemudian. Ia sudah bekerja di lembaga konservasi, Bogor. Mulai melibatkan
diri di berbagai riset, program perlindungan, dan sebagainya tentang alam
sekitar. Ia juga sudah menjadi koresponden foto majalah National Geographic.
Sudah punya
Hari-hari itu, usia Kak Laisa sudah 43, Dalimunte
37, Ikanuri menjelang 35, Wibisana 34, dan Yashinta 31 tahun. Sebenarnya
kekhawatiran Ikanuri dan Wibisana soal melintas berlebihan. Tidak ada lagi
tetangga yang sibuk bertanya kapan Kak Laisa akan menikah saat pernikahan
kembar itu berlangsung. Mereka sudah terbiasa. Juga tidak ada lagi yang menilai
Kak Laisa dilintas untuk kedua dan ketiga kalinya sekaligus merupakan aib
besar. Tetangga kampung sudah menerima kenyataan itu. Tidak sibuk bisik-bisik.
Jadi meski tak ada Wak Burhan yang mengingatkan, pernikahan kembar itu berjalan
normal.
Setelah yang lain kembali sibuk dengan aktivitas
masing-masing, rumah panggung itu kembali sepi (dalam artian yang berbeda).
Menyisakan Kak Laisa dan Mamak. Entahlah apa yang sesungguhnya berkecamuk di
kepala Kak Laisa di tengali sepinya malam. Di tengah senyapnya lereng
perkebunan strawberry. Tidak ada yang tahu. Dengan berita kanker paru-paru
stadium satu yang ia tutup rapat-rapat kecuali dengan Mamak, maka benar-benar
tidak ada yang tahu apa yang selalu Laisa pikirkan saat menatap tangit
penghujung malam. Menatap bulan dan gemintang di Lembah Lahambay. Apakah memang
sesederhana yang selalu ia sampaikan kepada Dalimunte: Ia sudah terbiasa dengan
kesendiriannya.
Dalimunte tetap
berusaha mencarikan jodoh buat Kak Laisa. Tapi tiga tahun terakhir
intensitasnya tidak setinggi sebelumnya. Kak Laisa belakangan sepertinya tidak
lagi terlalu bersemangat menanggapi pembicaraan tersebut. Hanya tersenyum.
Tidak berkomentar. Dan celakanya, meski dengan konteks berbeda, lagi-lagi
kejadian menyakitkan itu terulang.
Perjodohan yang gagal lagi.
Setahun selepas pernikahan Ikanuri dan Wibisana, Kak
Laisa didekati seseorang. Seseorang yang terlihat begitu baik, warga baru
lembah, mengaku pensiunan dini tentara, pindah untuk mencari ketenangan di
lembah. Tinggal di kampung mereka, lantas setelah enam bulan berinteraksi
dengan penduduk lembah, bilang merasa tertarik dengan Kak Laisa. Usianya sudah
55 tahun, berbeda sebelas tahun dengan Kak Laisa, penuh perhatian, seolah-olah
bisa menerima keterbatasan Kak Laisa apa adanya.
Dalimunte awalnya sudah
tidak suka dengan orang itu. Apalagi Mamak (yang mengingatkannya pada masa
lalu). Juga yang lain. Yashinta malah terus terang kasar menyatakan
keberatannya di depan orang tersebut. Semua terlihat terlalu sempurna. Terlalu
banyak kebetulan. Dan terlalu lainnya. Tapi mereka tidak bisa mencegah proses
itu. Apalagi meski Kak Laisa tidak terlalu bersemangat menanggapinya, proses
itu terus mengalir seperti air. Semakin hari semakin dekat. Mulai mengajak
bicara Mamak. Dan pelan tapi pasti rencana pernikahan itu mulai serius.
Beruntung. Kedok orang
tersebut terbuka sebelum semuanya terlanjur kadung. Polisi dari kota provinsi
menangkapnya. Dia penipu. Buronan. Sudah dua kali menipu di tempat lain. Menikah
hanya untuk menguras harta istrinya. Pura-pura tertarik dengan Kak Laisa hanya
untuk menguasai perkebunan strawberry.
Entahlah apa ending
seperti ini kabar baik atau kabar buruk bagi Kak Laisa. Yang pasti sejak
kejadian tersebut, Kak Laisa mulai enggan menanggapi pembicaraan perjodohan
dengan Dalimunte. Ia seperti sudah mengubur dalam-dalam keinginan untuk
menikah. Melupakannya. Kak Laisa seolah sudah bersiap menerima kalau ia memang
ditakdirkan hidup sendirian selamanya.
Mungkin saja Kak
Laisa sudah benar-benar terbiasa.
NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 37
No comments:
Post a Comment