16
SEJUTA
KUNANG-KUNANG
BAGI penduduk di lembah itu, legenda tentang harimau
Gunung Kendeng selalu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Mungkin dulu sengaja dibuat begitu agar penduduk kampung tidak berani merambah
wilayah berbahaya tersebut. Cerita itu juga dikisahkan ke anak-anak agar mereka
tidak sejahil dan segampang Ikanuri dan Wibisana yang bebal justru melintasi
sarang harimau. Atau setidaknya membuat anak-anak yang susah disuruh tidur dan
banyak merengek segera beranjak naik ke atas dipan.
Alkisah, di lembah dan gunung itu,
ratusan tahun silam bangsa harimau dan manusia hidup damai berdampingan.
Penduduk lembah tidak mengganggu mereka, harimau juga sebaliknya. Itu
perjanjian tak tertulis para leluhur. Hingga pada suatu ketika, masa-masa
berdamai itu berakhir oleh sebuah kejadian. Salah seorang penduduk kampung yang
berburu di dalam hutan tidak sengaja masuk ke wilayah terlarang. Entah apa
pasal, pemburu itu malah menombak seekor anak harimau. Maka rusaklah perjanjian
tersebut. Kelompok harimau meminta ganti rugi. Nyawa ditukar nyawa. Tapi
penduduk kampung menolak. Mereka menolak menyerahkan pemuda yang melakukan
kesalahan tersebut.
Kelompok harimau gunung memutuskan balas
dendam. Maka terjadilah pertikaian. Lebih banyak lagi harimau yang mati
terbunuh. Suatu malam, sekelompok harimau yang tersisa mengambil belasan
anak-anak kecil dari kampung secara diam-diam sebagai ganti-rugi.
Bertahun-tahun tidak ada yang tahu ke mana anak-anak itu menghilang. Sebagian
bilang mereka berubah jadi harimau. Sebagian yang lain bilang dijadikan tumbal.
Yang pasti sejak hari itu, manusia dan harimau di lembah dan gunung terus
saling menyerang.
Atas kejadian itu, harimau kemudian
disebut sang siluman, karena mencuri sembunyi-sembunyi anak kecil. Sejak hari
itu juga, kata-kata puyang (atau kakek) disematkan kepada
harimau.
Karena legenda itu mewariskan pemahaman bahwa harimau yang ada di puncak gunung
sekarang tidak lain adalah kakek-kakek (anak-anak) mereka dulu yang dicuri.
Sejak
delapan tahun silam, populasi harimau di Gunung Kendeng sebenamya semakin
terdesak. Perambah hutan membuat mereka mulai tersingkir. Belum lagi harga
kulit dan taring mereka yang mahal. Harimau Gunung Kendeng, diburu oleh
kelompok-kelompok pemburu profesional dari kota provinsi. Dengan bedil.
Perangkap besi. Legenda itu tinggal cerita belaka. Tinggal sebutan, nama-nama.
Tidak ada penduduk yang menganggapnya serius. Masih disampaikan kepada
anak-anak hanya agar mereka mengerti kalau gunung itu berbahaya. Tapi meskipun
begitu, semua penduduk mengerti benar berapa pun jumlahnya sekarang harimau
tetaplah binatang berbahaya.
Setengah jam berlalu dari kejadian hebat
itu....
Setelah
sepotong lereng gunung tempat tiga harimau tadi bersiap menerkam Ikanuri dan
Wibisana kembali ramai oleh derik jangkrik, ramai kembali oleh serangga malam,
Laisa menuntun adik-adiknya, pulang. Obor sudah padam. Tidak sengaja padam saat
kejadian seru tadi. Tombak Dalimunte juga entah tercecer di mana. Terjatuh.
Tidak ada yang sempat memikirkannya. Mereka berjalan pelan. Beriringan. Ikanuri
dan Wibisana yang mulai bisa bernafas normal melangkah tertunduk di depan.
Sementara masih banyak sekali pertanyaan yang menyesaki kepala Dalimunte.
Laisa
tidak banyak bicara. Ujung tangannya masih berkedut sekali dua. Kakinya masih
sering gemetar menopang tubuh. Sisa perasaan gentarnya tadi saat tiga harimau
itu bersiap menerkam. Tapi karena ia ingin buru-buru pulang, agar Mamak tak
terlalu lama menunggu, tak terlalu lama menanggung cemas, Laisa meneguhkan
hati, membujuk kakinya agar berjalan senormal mungkin.
Menjelang
larik jingga muncul di ufuk sana, menjelang matahari pagi akhirnya terbit, saat
Wak Burhan dan penduduk kampung masih sibuk dan mulai putus asa mencari Ikanuri
dan Wibisana, mereka tiba di gerbang hutan seberang dinding
Kerlip kunang-kunang
lebih ramai di sini. Terbang berkelompok. Beranjak pulang ke sarang.
Langkah
Laisa terhenti. Menatap cahaya mereka yang indah. "Ikanuri, Wibisana,
Dalimunte...."
Berkata pelan.
Langkah adik-adiknya di depan ikut terhenti.
"Lihatlah!
Kunang-kunang yang indah—" Ikanuri dan Wibisana mengangkat kepalanya.
"Suatu hari nanti...." Kak Laisa terdiam sebentar, ia tersenyum amat
tulus sambil menatap wajah adik-adiknya di remang semburat merah langit,
wajahnya sungguh kontras dengan mereka, ia berkulit hitam, sementara
adik-adiknya putih, ia berambut gimbal, sementara adik-adiknya lurus,
"Suatu hari nanti,
sungguh kalian akan melihat berjuta kerlip cahaya lampu yang jauh lebih indah
di luar sana, di luar lembah kita...
Satu kunang-kunang
berdesing di depan mereka. Kepala Dalimunte tertunduk.
"Ikanuri,
Wibisana, suatu saat nanti kalian akan melihat betapa hebatnya kehidupan
ini....
Betapa indahnya
kehidupan di luar sana. Kalian akan memiliki kesempatan itu, yakinlah....
Kakak
berjanji akan melakukan apapun demi membuat semua ini terwujud...."
Dalimunte menyeka ingusnya.
"Tapi sebelum hari
itu tiba, sebelum masanya datang, dengarkan Kakak, kalian harus rajin sekolah,
rajin belajar, dan bekerja keras. Bukan karena hanya demi Mamak yang sepanjang
hari terbakar matahari di ladang. Bukan karena itu. Tapi Ikanuri, Wibisana, Dalimunte,
kalian harus selalu bekerja keras, bekerja keras, bekerja keras, karena dengan
itulah janji kehidupan yang lebih baik akan berbaik hati datang
menjemput...."
Dalimunte sudah
menangis pelan.
Dia mengerti. Amat mengerti segalanya—
Juga di sini Ikanuri juga benar-benar
menangis.
Lihatlah! Menara Eiffel terlihat
cemerlang. Penghujung tahun begini.
Menara Eiffel bagai pohon natal raksasa.
Kerlip berjuta lampu kota Paris yang tersaput selimut salju putih tak mau
kalah, terlihat begitu mempesona. Seperti sejuta kunang-kunang. Menyeruak
berpendar-pendar.
Ikanuri mendekap wajahnya. Umurnya
sekarang tiga puluh enam. Wibisana tiga puluh tujuh. Kejadian itu lebih
seperempat abad silam berlalu. Ya Allah, Kak Laisa, Kak Laisa tidak pernah
datang terlambat untuk mereka. Tidak sedikit pun. Seperti kalimat Kak Laisa
pagi itu, Kak Laisa menunaikan seluruh janjinya. Tidak ingkar sekalipun. Tidak
pernah....
Kereta
eskpress Eurostar itu melesat membelah indahnya kota Paris. Semburat merah
muncul di angkasa. Pagi datang menjelang. Membuat gemeriap lampu kota yang
belum dimatikan terlihat begitu menawan. Kabut pagi menambahinya. Syahdu.
"Sudahlah,
Ikanuri—" Wibisana mendekap bahu adiknya.
"Kau tahu.... Kau tahu, waktu itu aku
mengatakan Kak Laisa bukan kakak kita. Kau tahu itu!" Ikanuri tersedak.
Mendekap wajahnya. Dia tidak bisa menahan lagi perasaan itu. Dan melihatnya
tertunduk menangis sungguh menyedihkan. Wahai, kalian akan lebih terharu saat
melihat seseorang yang selama dikenal nakal, tukang jahil, bebal, atau apalah
tiba-tiba menangis.
Sungguh.
"Kak Laisa tidak
pernah marah dengan itu, Ikanuri." Wibisana mengusap bahu adiknya.
Ikanuri justru tersedan lebih keras. Itu
benar sekali. Kak Laisa tidak pernah marah soal itu sedikitpun. Tidak pernah.
Bahkan Kak Laisa tidak pernah mengungkit-ungkitnya lagi. Ya Allah, karena
itulah dia merasa bersalah sekali. Menyesalinya sepanjang hidup. Dua puluh lima
tahun berlalu, ketika takdir kehidupan yang lebih baik menjemput keluarga
sederhana mereka di Lembah Lahambay, bahkan dia tidak pernah meminta maaf soal
itu. Meski Kak Laisa sebenarnya sudah memaafkan detik itu juga di bawah pohon
mangga tersebut. Tapi dia selama ini tidak pernah merasa harus meminta maaf.
Bagainiana jika mereka terlambat dan tidak ada waktu lagi?
"Tolong.... Tolong
sambungkan sekali Iagi ke Mamak—" Ikanuri menyeka matanya. Berusaha
mengendalikan diri.
Wibisana mengerti. Mengambil HP di saku.
Pelan menekan nomor HP Mamak Lainuri. Tadi berkali-kali mereka menelepon ke
perkebunan strawberry, kata Mamak, Kak Laisa masih tertidur (atau begitulah
yang dokter bilang). Mereka tidak ingin membangunkan Kak Laisa. Biarlah mereka
akan menelepon lagi.
Suara tunggu itu
bernyanyi satu kali. Dua kali. "Assalammualaikum...." Suara renta
Mamak terdengar. "Waalaikumussalam..."
Wibisana
menelan ludah suaranya bergetar, berusaha tersenyum. Tangannya yang satu lagi
masih mendekap bahu Ikanuri, menenangkan.
"Kak Lais sudah
bangun, Mak?—" "Sudah. Sebentar, anakku — "
Senyap.
Suara Mamak yang bertanya pada dokter terdengar samar-samar. Handsfree. Dokter
mengaktifkan handsfree, agar Kak Laisa bisa bicara meski sambil terbaring,
"Silahkan, Pak Wibisana, Pak Ikanuri, kalian bisa bicara sekarang, tapi
jangan lama-lama, Ibu Laisa masih dalam kondisi kritis. Silahkan,—" Dokter
berkata dari seberang.
"I-ka-nu-ri?"
Terbatuk.
"Itu
kau di sana, Ikanuri?—" Samar suara Kak Lais terdengar dari speaker
telepon genggam. Ikanuri seketika kehabisan kata-katanya, kecuali tangis.
Benar-benar kecuali tangis.
Satu
minggu berlalu. Hari ini seluruh kampung bersuka-cita. Sejak shubuh mereka
sudah berkumpul di pinggir cadas. Beramai-ramai, bergotong-royong memasang
kincir-kincir di atas pondasinya. Benar, Perhitungan Dalimunte sejauh ini
tepat. Saat ikatannya dilepas, kincir pertama yang terbenam di air sungai
berderak mulai berputar mengikuti arus, sambil membawa air di ujung-ujung
bumbungnya. Naik. Terus naik. Lantas tumpah persis di puncak kincir. Mengisi
bumbung bambu kincir kedua. Kincir kedua pelan, mulai ikut berputar.
"NAIK! NAIK!
NAIK!" Penduduk kampung berseru-seru. Wajah mereka tegang. Meski seringai
yakin mulai terpancar di sana-sini. Kincir mereka kokoh, pondasinya kuat. Tidak
akan ada yang salah. Susunannya tepat, konstruksinya baik. Percuma mereka punya
jagoan pintar macam Dalimunte.
Kincir air kedua sedikit bergetar
membawa air terus berputar. Naik ke atas. Tumpah. Mengisi bumbung kincir
ketiga.
"NAIK! NAIK!
NAIK!" Seruan penduduk kampung semakin meriah. Satu-dua anak kecil malah
bertepuk-tangan. Macam nonton kumedi putar di kota kecamatan. Wak Burhan yang berdiri
di depan kerumunan melepas topi anyaman rotan. Menyeka keringat di dahi,
pertanyaan terbesarnya adalah apa cukup kekuatan air-air yang terus mengalir ke
atas itu untuk memutar lima kincir air? Dulu saat mereka membuat kincir
raksasa, masalah terbesamya air deras sungai tidak cukup kuat memutarnya.
Tapi
kincir air yang ketiga justru berputar lebih cepat. Dalimunte sudah menghitung
kemungkinan itu. Membuat kincir-kincir tersebut proporsional mengecil hingga ke
atas. Menyusunnya dengan posisi lebih condong, lebih mudah digerakkan. Dia juga
membuat klahar bantalan pemutarnya jauh lebih licin dengan gemuk yang dibeli
Wak Burhan dari kota kecamatan.
"NAIK!
NAIK! NAIK!"
Kincir keempat bergerak
meyakinkan. "NAIK! NAIK! NAIK!"
Seruan semakin ramai.
Yang membuat penduduk semakin yakin, sejauh ini air itu sudah naik empat meter,
tinggal satu meter lagi. Tinggal satu kincir lagi.
Kincir
kelima berderak sebentar. Pondasinya di dinding cadas bergetar. Membuat nafas
tertahan. Bumbung bambu pertamanya menerima tumpahan air dari kincir keempat.
Penuh.
Lantas pelan, mulai ikut berputar.
Dan akhirnya, air dari bumbungnya tumpah persis di
atas cadas setinggi lima meter. Pinggir sungai itu buncah sudah oleh
tawa-gembira. Seruan-seruan senang. Tepuk-tangan "Bah! Apa kubilang! Kita
pasti berhasil!" Beberapa pemuda saling memukul lengan, tertawa.
"Benar! Kita pasti berhasil!"
"Bukan
main, kau hebat Dali!"
Yang lain mengangkat tubuh kecil Dalimunte.
Mengaraknya ke tengah sungai. Tertawa lebih keras.
"CBYUR!"Terjatuh.Terpeleset
bebatuan.Pemuda-pemuda itu basah kuyup. Juga Dalimunte. Tertawa lebih lebar.
Wak Burhan menghembuskan nafas lega.
Engkau sungguh baik ya, Rabb. Menatap wajah Dalimunte yang tertawa-tawa,
bangkit dari air sungai sedalam pinggang. Menatap wajah Lainuri yang berdiri
bersama ibu-ibu kampung lainnya. Wajah Lainuri yang tersenyum lebar.
Menatap wajah Laisa
yang tersenyum lebih lebar. Wajah Yashinta yang berdiri dengan teman-teman
sepantarannya. Ikut berteriak-teriak riang meski mereka tidak mengerti benar.
Menatap
wajah Ikanuri dan Wibisana. Dua sigung bebal itu bersama anak-anak tanggung
lainnya ikut melompat ke inang sungai, ikut menyirami Dalimunte dengan air.
Tertawa-tawa. Benar-benar melupakan kejadian heboh seminggu lalu. Pagi ini,
kabar baik memenuhi langit-langit lembah. Engkau sungguh pemurah, Rabb. Wak
Burhan memasang topinya. Berteriak menyuruh mereka mulai bekerja. Hari ini
mereka harus menyelesaikan sambungan pipa-pipa bambu sepanjang satu kilo.
Dengan begitu, ladang-ladang mereka mulai bisa diairi. Dengan begitu, lepas
panen bulan depan, mereka langsung bisa mengolah tanah lagi. Tidak perlu
menunggu musim penghujan, Sekarang, nasib mereka berada di tangan mereka
sendiri.
Tujuh puluh tahun tinggal di kampung
itu, tidak pernah Wak Burhan merasakan antusiasme hidup yang begitu hebat.
Meski baru seminggu lalu dia seperti kembali melihat hantu masa lalunya. Tapi
itu tidak terjadi. Kecemasan kembali terulangnya kejadian delapan tahun silam
tidak terbukti. Saat mereka benar-benar putus-asa, mulai berangsur pulang
setelah lelah menelusuri hutan rimba, saat bersiap melaporkan kejadian itu ke
polisi di kota kecamatan, saat tiba di balai kampung, Ikanuri dan Wibisana
justru ditemukan sudah berbaring kelelahan, dikelilingi ibu-ibu yang berusaha memberikan
minum.
Laisa
dan Dalimunte terbata menceritakan apa yang terjadi. Satu patah, dua kali
helaan nafas. Mereka juga lelah. Naik turun Gunung Kendeng bukan urusan mudah,
apalagi dalam situasi buruk seperti itu. Maka cerita mereka hingga kapanpun,
mungkin tak akan pernah terlupakan. Mungkin berpuluh-puluh tahun ke depan tetap
dikenang penduduk kampung. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi, kenapa tiga
harimau itu urung menerkam Laisa. Satu dua bilang mungkin harimau itu sudah
kenyang, habis memangsa babi liar. Satu dua bilang harimau itu mungkin takut
dengan obor api. Satu dua berseru, mungkin harimau itu lagi sakit gigi. Semakin
dibicarakan, semakin ngaco seruan-seruan penduduk.
Malah
ada yang menduga mungkin karena Laisa mewarisi Jurus Pesirah, ilmu silat
mengendalikan harimau yang konon dulu pernah dikuasai leluhur mereka. Atau
mungkin pula harimau itu takut melihat mata melotot Laisa, bukankah minggu lalu
saat Laisa galak berseru-seru soal ide lima kincir di balai, pemuda kampung
saja jerih melihatnya, nah, apalagi harimau itu. Entahlah. Laisa tidak banyak
berkomentar, ia hanya bilang ia juga takut malam itu, tapi apalagi yang harus
dilakukannya? Ia tidak punya pilihan selain melindungi adik adiknya. Tidak
sempat berpikir panjang.
Hanya
Dalimunte yang bisa memberikan penjelasan lebih masuk akal. Itu pun setelah
Dalimunte sudah sekolah di kota provinsi, mulai tenggelam dengan kecintaannya
atas buku-buku. Kata Dalimunte pada suatu kesempatan saat mereka berkumpul,
berdasarkan buku-buku yang dibacanya, binatang meski tidak memiliki
akal-pikiran tapi mereka memiliki insting, naluri. Perasaan. Mereka bisa
menyayangi anak-anaknya, melindungi sarangnya, tahu kerabatnya sedang dalam
bahaya, sakit, dan sebagainya. Sehingga mereka, meski tidak seintens manusia
dalam menerjemahkan perasaannya, dalam kondisi tertentu, bisa mengerti binatang
lain, bisa mengerti komunikasi perasaan dengan mahkluk yang tidak sejenis
dengannya.
Itulah
yang terjadi malam itu. Harimau yang paling besar, yang paling menakutkan,
meski selintas, meski sekejap, dari tatapan matanya ke Kak Laisa, ia akhirnya
tahu betapa Kak Laisa mencintai adik-adiknya. Betapa Kak Laisa siap
mengorbankan hidupnya demi adik-adiknya. Harimau itu mengerti. Lantas
memutuskan pergi. Itu penjelasan Dalimunte kepada Intan yang beranjak sekolah
dan sibuk bertanya saat mereka berkumpul bersama mengenang kejadian itu di
perkebunan strawberry. Dan itu lebih dari cukup untuk membuat Intan, Juwita,
dan Delima terdiam, lantas menatap terpesona pada Wak Laisa.
Menjelang
senja, saat matahari bersiap menghujam di balik puncak Gunung Kendeng,
pipa-pipa bambu sudah tersambung rapi. Diperlukan 76 batang bambu untuk
mencapai
ladang. Seperti tarian
ular, air bening yang mengalir melewati pipa bambu membasahi ladang-ladang
mereka. Bukan main, ini semua benar-benar kabar baik.
Wak
Burhan setelah puas menatap air tumpah membanjiri ladang-ladang mereka,
beranjak mengajak penduduk kampung pulang. Lembah mulai remang. Saatnya
beristirahat. Esok masih panjang, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan.
Dan malam ini, perjalanan panjang itu telah dimulai dengan perasaan lega.
Menyenangkan. Hanya Ikanuri dan Wibisana yang merasa ganjil selepas pulang dari
ladang. Karena tadi siang Wak Burhan menyuruh mereka memetik habis buah mangga
di ladangnya. Membagi-bagikannya ke penduduk kampung yang sedang gotong-royong.
"Sayang, yang besar-besar minggu lalu rontok
dimakan kelelawar harusnya itu jatah Yashinta—" Wak Burhan tersenyum
memberikan sekantong buah mangga ke Yashinta.
Ikanuri dan Wibisana hanya saling lirik,
merasa bersalah—
NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 17
No comments:
Post a Comment