26
MELINTAS
WAKTU BERLALU. Dan urusan Dalimunte-Cie Hui berubah
serius sekali. Jika Dalimunte bisa keukeuh bertahan menunggu Kak Laisa menikah
bertahun-tahun lagi, tapi ada yang tidak bisa. Cie Hui.
Enam
bulan selepas syukuran syukuran Ikanuri dan Wibisana, Cie Hui datang ke
perkebunan strawberry sambil menangis. Bersimpuh di pangkuan Mamak dan Kak
Laisa. Perjodohan. Keluarga Cie Hui di kota kecamatan memutuskan untuk
menjodohkan Cie Hui dengan kerabat mereka di China.
Benar-benar
rusuh perkebunan itu.
"Aku sudah bilang, Kak Lais.... Aku sudah
bilang ke Dalimunte. Tapi, tapi ia tetap tidak bisa mengambil
keputusan...."
Gadis manis
berkerudung lembut itu menangis di pangkuan Kak Laisa.
"Ayah memaksaku menikah segera. Kak Lais tahu,
di keluarga kami tidak ada anak gadis yang belum menikah hingga usiaku. Ayah
memaksaku memilih.... Jika Dalimunte tidak ingin menikah denganku.... Jika
Dalimunte tidak—" Cie Hui terisak mengadu.
Siang itu juga Kak
Laisa menyuruh Dalimunte pulang ke Lembah Lahambay. Meneleponnya langsungke
laboratorium,
"Kau naik pesawat
pertama dari sana, DALI! Malam ini juga kau sudah harus tiba di perkebunan
strawberry! KAU DENGAR?"
Sudah lama Kak Laisa tidak berkata
setegas itu di hadapan adik-adiknya. Apalagi kepada Dalimunte yang sejak kecil
menurut. Perintah itu juga menyebar ke yang lain. Karena Cie Hui sudah dianggap
seperti anggota keluarga di rumah panggung itu, Yashinta juga ikut pulang dari
kota provinsi. Juga Ikanuri dan Wibisana. Semua berkumpul.
Ruang
depan yang dulunya dipakai Dalimunte, Ikanuri dan Wibisana tidur beralaskan
tikar pandan itu senyap. Malam itu, hujan gerimis membasuh lembah. Dalimunte
yang terakhir tiba di rumah, dan langsung diajak bicara. Yang lain sudah
menunggu sejak sore tadi. Cie Hui masih menenangkan diri di kamar. Tadi sore,
utusan keluarganya dari kota kecamatan memaksa pulang. Hanya karena Kak Laisa
bilang,
"Semua akan baik-baik saja! Bilang ke Kokoh,
tunggu hingga malam ini berakhir." Kerabat Cie Hui mengalah.
Mereka tertunduk. Pelan menghela nafas.
Kak Laisa menatap wajah adik-adiknya satu persatu. Lamat-lamat.
"Kakak
tidak pernah meminta kalian menunggu. Tidak pernah,"
Kak Laisa memecah senyap. Ini kali pertama mereka
membicarakan masalah yang super-sensitif tersebut bersama-sama.
"Dalimunte, kau sudah dua puluh delapan.
Wibisana hampir duapuluh enam, Ikanuri dua puluh lima, dan Yashinta dua puluh
dua. Kalian sudah tumbuh begitu dewasa. Tampan dan cantik. Seperti yang Kakak
impi-impikan, kalian tumbuh dan memiliki kesempatan lebih besar dibandingkan
lembah ini. Tidak menghabiskan hidup hanya menjadi pencari kumbang dan damar di
rimba"
Suara Kak Laisa
bergetar, membuat yang lain semakin tertunduk.
Di luar gerimis mulai menderas. Suara
bilur air hujan membasuh rumput, genteng, bebatuan terdengar sakral
menyenangkan.
" Kalian sudah
cukup umur untuk mengambil kesempatan berikutnya. Sudah lebih dari cukup umur
untuk menikah. Apa lagi yang kalian tunggu? Dali, bahkan Kakak sudah bilang
enam tahun lalu agar kau tidak membuat Cie Hui menunggu terlalu lama—"
Dalimunte
menelan ludah.
"Kau tidak perlu menunggu Kakak.... Sungguh.
Sama sekali tidak perlu. Kelahiran, kematian, jodoh semua sudah ditentukan.
Masing-masing memiliki jadwal. Giliran—"
"Aku tidak akan menikah sebelum Kakak
menikah." Dalimunte memotong, dengan suara pelan tertahan. "Kau tidak
perlu menunggu Kakak Dali!"
Kak Laisa Berkata tegas. Menatap tajam Dalimunte.
"Aku tidak akan menikah—"
"Dengarkan
Kakak bicara, Dali!" Kak Laisa menatap tajam.
Dalimunte tertunduk dalam-dalam. Ikanuri
dan Wibisana mengusap wajahnya. Yashinta memeluk Mamak, matanya mulai berair.
"Buat apa kau memikirkan apa yang dipikirkan
orang atas pernikahan kau. Buat apa kau memikirkan apa yang dipikirkan orang
atas Kakak-mu. Buat apa kau memikirkan kekhawatiran, rasa cemas, yang sejatinya
mungkin tidak pernah ada. Hanya perasan-perasaan. Lihatlah, Kakak baik-baik
saja."
Dalimunte menyeka ujung-ujung mata.
Itulah masalahnya, semua terlihat baik-baik saja. Bahkan sejak kecil dulu Kak
Laisa selalu berusaha terlihat baik-baik saja di hadapan adik-adiknya.
Memutuskan berhenti sekolah demi mereka sekolah. Bekerja keras. Dan semuanya
tetap baik-baik saja.
"Tidak ada yang memaksamu! TIDAK ADA! Tapi jika
kau tetap keras kepala, kau akan kehilangan Cie Hui selamanya. Kau
mencintainya, Cie Hui juga amat mencintai kau dan keluarga kita! Kau akan
membuat semuanya binasa dengan segala kekeras-kepalaan dan omong-kosong
melintas itu..." Kak Laisa berkata serak.
"Dali tidak akan
menikah sebelum —" "Kau jangan membantah kakak, ALI!"
Suara Laisa yang meninggi tersedak diujungnya.
Bergetar. Tubuhnya menggigil menahan sesak perasaan. Ya Allah, ia sungguh tidak
pernah sampai hati membentak adik-adiknya,...
Yashinta sudah menangis
sambil memeluk Mamak. Malam itu pembicaraan tersebut berakhir sia-sia.
Dalimunte tetap tak kuasa mengambil
keputusan. Dia terlalu menghargai Kak Laisa. Mengalahkan akal sehat atas
pendidikan hebat yang diterimanya selama ini Kak Laisa sudah melakukan banyak
hal untuk mereka, jadi amat tidak adil jika dia mempermalukan Kak Laisa dengan
melintas. Malam itu, saat hujan menderas, Cie Hui menangis menuruni anak
tangga. Keluar dari kamamya. Berlari menerabas hujan. Amat mengharukan
melihatnya. Sementara Dalimunte hanya tertunduk diam seribu bahasa. Ikanuri dan
Wibisana mengantar Cie Hui pulang ke kota kecamatan. Tidak ada. Harapan itu
benar-benar sirna. Perjodohan itu akan terjadi. Malam itu, di antara suara
guntur menggelegar, Cie Hui kembali ke kota kecamatan membawa pusara hatinya.
Menyisakan senyap di ruang depan rumah panggung.
Mamak akhirnya tak kuasa menahan tangis.
Itu tangisan pertama sejak Babak dulu meninggal. Memeluk Kak Laisa dan Yashinta
erat-erat. Mamak tahu. Tahu betapa Kak Laisa menanggung separuh beban keluarga
ini sejak kecil. Menciumi wajah Kak Laisa (yang matanya juga berkaca-kaca).
NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 27
No comments:
Post a Comment