19
BIARKAN
KAKAK SENDIRIAN
DUA HARI selepas Yashinta pulang batuk-batuk dari
ladang, balai kampung ramai dipenuhi oleh penduduk. Sejak lepas shalat isya.
Ada pertemuan di balai. Rombongan mahasiswa KKN dari kampung atas datang. Tapi
yang pergi ke balai hanya Laisa, Dalimunte, Ikanuri dan Wibisana. Mamak
menjagai Yashinta yang gering. Batuk-batuk Yashinta dua hari lalu di ladang
ternyata serius. Yashinta malah sudah tidak masuk sekolah dua hari. Tubuhnya
panas. Hari pertama sakit, gadis kecil itu tetap memaksa berangkat, percuma, tiba
di desa atas kakinya yang gemetar tidak bisa diajak melangkah, jatuh pingsan.
Dalimunte terpaksa menggendongnya pulang.
Dua hari berlalu, sakit
Yashinta semakin parah. Bergantian mereka menunggui. Mengompres. Membuat ramuan
dedaunan. Rebusan. Apa saja yang lazim dilakukan penduduk lembah unruk
meredakan panas dan batuk. Malam ini, Mamak yang menunggui Yashinta.
Udara lembah terasa dingin. Sejak sore tadi awan
hitam berarak memenuhi langit. Akhirnya setelah dua bulan kemarau menggantang
lembah, hujan nampaknya akan turun. Angin malam menderu kencang, pertanda bakal
turun hujan lebat
Laisa menjawab pendek. Mengambil tempat duduk
bersama adik-adiknya. Balai kampung itu sudah ramai. Obor-obor membuat ruangan
terang-benderang. Angin yang menerobos membuat cahaya obor bergoyang,
kerlap-kerlip.
Di depan sana berjejer enam orang mahasiswa yang dua
hari ini sibuk disebut-sebut warga kampung. Laisa menatapnya lamat-lamat.
Mengesankan melihat kakak-kakak mahasiswa itu. Mengenakan jaket kuning.
Mahasiswa Universitas kota besar dari seberang pulau. Yang wanita terlihat
cantik dan cerdas. Yang lelaki terlihat gagah dan pintar. Tersenyum lebar,
percaya diri menatap sekitar. Mengangguk. Laisa menelan ludah. Dulu ia pernah
bermimpi menjadi seperti ini. Bermimpi melihat dunia luar yang lebih luas.
Kesempatan yang lebih lapang, yang lebih besar dibanding Lembah Lahambay ini.
Ah, itu mimpinya enam tahun silam. Usianya sudah tujuh belas sekarang, sudah
amat terlambat untuk melanjutkan sekolah kelas empatnya. Ia sudah mengubur
cita-cita itu dalam-dalam. Lagipula jika ia sekolah, siapa yang akan membantu
Mamak mencari uang buat adik-adiknya?
Wak Burhan mengetukkan
palu bonggol bambu, pertemuan dimulai. Enam mahasiswa ini berbicara lantang.
Tegas. Meyakinkan. Salah satu dari tiga mahasiswa lelaki bicara soal konstruksi
kincir air. Memuji-muji penduduk kampung yang telah membuatnya, lantas sama seperti
Dalimunte dulu, dia juga membawa kertas-kertas. Membentangkannya lebar-lebar.
Bicara tentang listrik. Lampu-lampu. Kincir air itu bisa dijadikan generator
listrik. Dalimunte menjadi orang yang paling tertarik atas rancangan itu.
Mengangkat tangannya berkali-kali, bertanya. Penduduk kampung juga terpesona.
Apalagi dijanjikan ada bantuan soal dinamo, kabel-kabel, peralatan instalasi,
dan lainnya dari universitas. Wak Burhan tak butuh waktu semenit untuk
mengetukkan palunya. Proyek KKN listrik kincir air itu disetujui. Minggu depan
mereka mulai bergotong-royong,
Dua mahasiswa lainnya,
cowok-cewek, mungkin berasal dari fakultas pertanian, bicara soal ladang-ladang
mereka. Bibit yang digunakan. Pengolahan tanah. Rotasi tumbuhan. Lantas
ujung-ujungnya: jadwal penyuluhan. Penduduk Lembah mengangguk-angguk. Wak
Burhan mengetuk palu; dengan demikian setiap malam Kamis dan Sabtu ada
penyuluhan pertanian di balai kampung. Meski program KKN yang satu ini tidak
sekongkret listrik, tapi penduduk kampung bisa menerimanya. Setidaknya janji
ada penganan kecil dan sekoteng hangat setiap jadwal penyuluhan sudah lebih
dari cukup untuk membuat mereka hadir.
Dua mahasiswa berikutnya menjelaskan tentang
kemandirian ekonomi. Nah, yang ini benar-benar membuat penduduk kampung pusing.
Koperasi. Simpan-pinjam. Kesempatan kredit. Akses modal. Bahkan Dalimunte saja
yang sejak tadi antusias mendengarnya, menguap lebar-lebar. Juga ada jadwal
penyuluhan. Wak Burhan bilang cukup seminggu sekali, malam Selasa. Jadwal
mereka sudah penuh. Sebenarnya sih, Wak Burhan kalau bisa malas memberikan
jadwal untuk penyuluhan yang satu ini.
Dua mahasiswa itu berunding. Lantas
mengangguk.
Malam beranjak matang. Pukul 22.00, sudah larut
untuk ukuran penduduk lembah. Mereka biasanya beranjak tidur pukul sembilan.
Jadi mahasiswa terakhir, demi melihat penduduk kampung sudah tidak terlalu
memperhatikan, hanya sempat bicara lima belas menit. Bicara soal sanitasi.
Kebersihan. Posyandu. Pemeriksaan kesehatan. Bilang ada posko kesehatan di
kampung atas. Yang bisa dimanfaatkan warga setempat untuk berobat. Lima belas
menit tepat, penjelasannya selesai. Kabar baik, ternyata tidak ada jadwal
penyuluhan untuk yang satu ini. Wak Burhan mengetuk palu.
Pertemuan usai.
Lepas pertemuan, Laisa
berusaha mendekati mahasiswa wanita yang bicara terakhir, ingin minta tolong
periksa Yashinta yang sedang sakit. Tapi karena di luar guntur berkali-kali
menyalak, petir berkali-kali menyambar, enam
mahasiswa KKN itu sudah terlanjur bergegas kembali ke kampung atas, mengenakan
jas hujan besar dan payung. Lagipula Ikanuri dan Wibisana memaksa pulang
buruan. Sudah mengantuk. Maka di tengah deru angin yang semakin menggila,
mereka juga bergegas kembali ke rumah panggung.
"Ternyata
mereka tidak hanya melakukan penyuluhan-penyuluhan seperti yang KKN dulu,
Mak." Laisa melapor setiba di rumah. Mengibas-ngibaskan rambut. Hujan
deras turun persis mereka tiba di halaman.
Mamak hanya mengangguk selintas.Terkantuk menunggui
Yashinta yang tidur sambil mengerang. Panas. Kompres kain yang membungkus dahi
Yashinta seperti sia-sia. Suhu badannya tidak turun-turun. Di luar hujan deras
terdengar membuncah atap seng. Gemuruh. Satu dua tampias. Menetes di dalam
rumah. Laisa buru-buru mengambil baskom dan kain. Menampung tetesan air.
Ikanuri dan Wibisana sudah beradu punggung di ruang
depan. Bergelung. Tidur. Hanya Dalimunte yang berdiri di depan pintu kamar.
Memperhatikan Yashinta dengan wajah sedikit cemas.
"Masih
panas, Mak?"
Mamak
mengangguk. Terlihat amat lelah.
"Mamak
sebaiknya tidur, biar Lais yang jaga sekarang."
Kak Laisa mengambil
posisi di sebelah Yashinta. Mengganti air kompres. Mencelupkan kain.
Memerasnya. Meletakkannya di dahi Yashinta lagi. "Kau juga tidur,
Dali!" Laisa menyuruh Dalimunte.
Dalimunte
menelan ludah, beringsut ke ruangan depan. Dia tidak tega melihat Yashinta yang
terus mengerang, lantas sekali dua batuk, terdengar kesakitan. Mamak bersandar
di dindig, berusaha memejamkan mata. Hujan turun semakin deras.
Pukul 24.00, persis tengah malam, saat Dalimunte
sudah lelap tertidur. Mamak juga sudah tertidur. Kak Laisa mendadak
berseru-seru. Panik. Terbangun. Mamak langsung terbangun juga Dalimunte, yang
setengah terkantuk, setengah terjaga mendekat. Lihatlah, tubuh Yashinta
menggelinjang. Kejang. Matanya mendelik, menyisakan putih.
Kak Laisa berteriak
tambah panik. "Yashinta, Mak! YASHINTA!"
Mamak Lainuri
berusaha memegangi tubuh Yashinta. Ikut tegang. Panik.
Meski
lebih banyak bingungnya. Apa yang harus ia lakukan? Tidak ada dokter di sini.
Tidak ada. Mamak berusaha menyeka keringat yang mengalir deras dari leher
Yashinta. Berusaha memberikan ramuan. Mengompres. Apa saja yang terpikirkan
olehnya. Percuma, mata Yashinta semakin mendelik.
Dalimunte mencicit melihatnya. Jantungnya berdetak
kencang, takut. Ya Allah, apa yang sedang terjadi. Ada apa dengan Yashinta.
Berusaha mendekat, tapi setelah mendekat malah menjauh lagi, tidak mengerti
harus melakukan apa.
Saat Mamak semakin
bingung, saat Ikanuri dan Wibisana yang terjaga ikut mendekat dan bergumam
jerih, saat tubuh Yashinta semakin tidak terkendali, Kak Laisa mendadak berlari
ke ruangan depan, Kak Laisa menendang pintu depan. Berdebam. Lantas diikuti
oleh tatapan bingung Mamak, entah apa yang akan dilakukannya, Kak Laisa sudah
berlari menghambur ke tengah derasnya hujan. Angin menderu kencang, masuk ke
dalam rumah, mengirimkan bilur-bilur air, membuat perabotan berderak.
Kak Laisa berlari
sekuat kakinya ke kampung atas. Tidak peduli tetes air hujan bagai kerikil batu
yang ditembakkan dari atas. Tidak peduli tubuhnya basah-kuyup. Tidak peduli
malam yang gelap gulita. Dingin membungkus hingga ujung kaki. Musim kemarau
begini, di malam hari, suhu Lembah Lahambay bisa mencapai delapan derajat
celcius. Kak Laisa berlarian menaiki lembah. Terpeselet. Sekali. Dua kali.
Tidak peduli. Petir menyalak. Guntur
menggelegar. Ia ingat. Ia ingat kakak-kakak
mahasiswa tadi menyebut-nyebut soal obat dan dokter. Mereka pasti bisa
membantu.
Ia harus segera. Waktunya terbatas.
Dalimunte sudah bisa duduk lebih tenang.
Duduk tertunduk.
"Kemari,
sayang...." Laisa memanggil pelan Intan. Intan melangkah mendekat
"Wawak sakit, ya?"
Laisa
menggeleng, tersenyum. Wawak baik-baik saja. Intan menelan ludah. Memasang
wajah tidak percaya. Wawak pasti bohong.
Laisa pelan mengangkat lengannya. Memperlihatkan dua
gelang karet, "Safe The Planet". Intan menyeringai, akhirnya ikut
tersenyum. Tuh, kan, hanya Wak Laisa yang mau (dan benar-benar niat) pakai dua
gelang. Abi saja ogah, hanya beli doang. Intan menyentuh lembut lengan Wak
Laisa. Tidak panas. Menyentuh dahi Wak Laisa, juga tidak panas. Kalau tidak
panas, kenapa tubuh Wak Laisa dipenuhi infus?
"Yang sakit
apanya?" Intan bertanya macam dokter saja. Wak Laisa tersenyum lagi,
batuk.
Intan meraih kotak tissue, meniru Eyang. Ikut
membersihkan darah dari pipi Wak Laisa. Dalimunte menatap wajah lelah itu.
Mendongak. Cahaya lampu neon bersinar lembut.
Dia
tahu banyak urusan ini, meski dia baru menyadarinya belasan tahun kemudian. Kak
Laisa yang tidak pernah menangis di depan adik-adiknya. Tidak pernah. Sesakit
apapun, sesesak apapun rasanya. Kak Laisa yang selalu berusaha terlihat semua
baik-baik saja. Dia ingat sekali kejadian malam itu. Ingat. Bagai bisa
melihatnya kebali dari pendaran cahaya Lampu neon. Melihat kembali tetes air
dari tubuh Kak Laisa yang membuat ruangan depan tergenang. Wajahnya yang
kesakitan....
"Si belang
mana, sayang?"
Intan menoleh ke
Ummi, tuh kan, Wak Laisa pasti nanya,
"Eh, tadi langsung
loncat dari mobil. Pasti nyari pacarnya yang dibilang Oom Ikanuri —"
Tertawa kecil. Laisa berusaha tertawa mendengar celetukan Intan.
Mahal sekali harganya, tubuh tambun tapi gempal itu
bergerak-gerak tertahan. Membuat garis hijau di layar peralatan medis
terputus-putus. Berdengking. Yang membuat Intan ikutan pias. Takut. Kenapa Wak
Laisa jadi semaput? Kan, hanya tertawa?
Dokter
melangkah, mendekat, memeriksa peralatan, Cemas, lantas berkata ragu-ragu,
"Eh, maaf Pak Dalimunte, sepertinya Ibu Laisa harus ditinggal istirahat,
jangan banyak bicara dulu—"
Laisa yang perlahan kembali terkendali menggeleng,
memberikan kode gerakan tangan ke dokter. Biar. Biarlah mereka berada di kamar
ini. Ia ingin terus terjaga menunggu adik-adiknya pulang satu per satu. Ia
ingin menatap wajati mereka satu persatu. Ia ingin bicara, ingin mendengar
Intan bercerita. Ia ingin Intan tahu kalau Wawak-nya baik-baik saja. Dokter
menelan ludah, berhitung sejenak. Berdiskusi sebentar dengan Mamak dan
Dalimunte. Baiklah. Tidak banyak yang bisa dilakukannya lagi.
Tidak ada salahnya.
Malam itu, Laisa untuk kesekian kalinya
tiba tepat waktu.
Menggedor pintu rumah
kepala kampung atas. Terbata-bata bilang tentang sakit Yashinta. Mahasiswa itu
mengangguk, ia mengenali Laisa. Salah satu dari penduduk kampung bawah yang
tadi dua tiga kali bertanya. Tanpa pikir panjang langsung menyambar jas hujan,
sepatu bot, dan peralatan medis. Kepala kampung atas yang ikut terbangun
berbaik hati meminjamkan starwagoon tuanya. Mobil itu segera meluncur.
Hujan turun semakin
deras. Mobil hanya bisa dipakai hingga batas ladang-ladang. Terpaksa berjalan
lima ratus meter. Kakak-kakak mahasiswa itu berbaik hati menerobos
hujan. Laisa mengikuti
dari belakang. Tubuhnya yang tanpa pelindung apapun menggigil. Tadi hampir satu
jam ia mendaki lembah untuk tiba di kampung atas. Normalnya hanya setengah jam,
tapi di tengah jalan tadi, kakinya menghantam tunggul Batang kayu yang sudah
mati. Sakit sekali. Memar malah (esok lusa baru tahu kalau tulang mata kakinya
bergeser). Seperti ditusuk seratus sembilu saat berusaha dijejakkan ke tanah.
Tapi Laisa menggigit bibirnya kencang-kencang, terus mendaki lembah. Memaksa
kakinya melupakan rasa sakit. Rasa sakit yang sebenarnya membuat Laisa
menitikkan air mata. Ia mencengkeram pahanya. Mengusir rasa sakit di kaki.
Yashinta menunggu pertolongan di rumah. Ia harus maju terus. Maka sama sulitnya
saat ia berlari- lari kecil mengikuti langkah kakak-kakak mahasiswa didepannya
menuruni lembah.
Mereka datang tepat
waktu, kakak-kakak mahasiswa tahun terakhir di fakultas kedokteran itu segera
mengurus Yashinta. Membuka peralatan medisnya. Memeriksa Yashinta dengan cepat.
Lantas menyuntikkan sesuatu. Lepas lima menit, Yashinta mulai lebih terkendali.
Sementara hujan deras
terus membuncah atap seng. Guntur menggelegar di luar sana.
Dalimunte menatap lamat-lamat Kak Laisa.
Kak Laisa yang duduk di dapur, dekat pintu belakang
sejak tiba. Kak Laisa yang meringkuk memegangi kakinya. Bengkak. Mata kaki itu
terlihat merah. Wajah Kak Laisa meringis, menahan rasa sakit yang teramat
sangat. Bahkan jika tidak tersamarkan oleh air yang masih menetes dari rambutnya,
dia sungguh bisa melihat Kak Laisa mengeluarkan air mata. Jika tidak
tersamarkan oleh gigilan kedinginan, dia bisa melihat Kak Laisa yang gemetar
menahan rasa nyilu di kakinya yang dipaksa terus berjalan menuruni lembah.
Dalimunte menelan ludah. Air hujan dari tubuh Kak
Laisa tergenang di sekitarnya. Membasahi lantai papan. Badan itu kuyup. Basah.
Kedinginan. Kesakitan. Tapi Kak Laisa tidak pernah mengeluh. Tidak pernah.
Laisa menyadari Dalimunte yang memperhatikannya. Ia
menyeringai galak, menyuruh Dalimunte kembali ke ruang depan. Tinggalkan aku.
Aku baik-baik saja.
Dalimunte mengigit bibir, perlahan membalik
badannya. Malam itu Dalimunte akhirnya mengerti satu hal: Kak Laisa tidak akan
pernah menangis di depan adik-adiknya. Tidak akan pernah.
NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB 20
Karna Di ERTIGAPOKER Sedang ada HOT PROMO loh!
ReplyDeleteBonus Deposit Member Baru 100.000
Bonus Deposit 5% (klaim 1 kali / hari)
Bonus Referral 15% (berlaku untuk selamanya
Bonus Deposit Go-Pay 10% tanpa batas
Bonus Deposit Pulsa 10.000 minimal deposit 200.000
Rollingan Mingguan 0.5% (setiap hari Kamis
ERTIGA POKER
ERTIGA
POKER ONLINE INDONESIA
POKER ONLINE TERPERCAYA
BANDAR POKER
BANDAR POKER ONLINE
BANDAR POKER TERBESAR
SITUS POKER ONLINE
POKER ONLINE
ceritahiburandewasa
MULUSNYA BODY ATASANKU TANTE SISKA
KENIKMATAN BERCINTA DENGAN ISTRI TETANGGA
CERITA SEX TERBARU JANDA MASIH HOT