Juru Pendamai
Bayi
nomor lima itu berkening luas. Ayahku menamainya
Aqil Barraq Badruddin.
"Aqil, bahasa Arab, artinya akal.
Barraq adalah berkilauan,
bahasa
tinggi orang Yaman," papar Ibu.
Peran
serta Badruddin atau purnama
agama tak lain
adalah
karena nama lelaki Melayu selalu berakhiran Din.
Dalam
terjemahan yang paling bebas, makna namaku itu
kurang
lebih Anak soleh berjidat mengilap
yang tidak akan
melakukan hal-hal yang tidak
masuk akal dalam hidupnya.
Di
belahan dunia lain orang boleh mengatakan apalah
arti
sebuah nama. Namun bagi orang Melayu pedalaman
seperti
kami, nama amat penting, nama berurusan dengan
agama
dan dianggap sumber aura. Din
itu buktinya,
asalnya
Dienul Islam: agama Islam. Jika tabiat anak tak beres,
pasti
namanya yang pertama diselidik. Kebijakan purba
itu
dianut taat oleh ayahku.
Ternyata,
harapan menggelora yang diletakkan di atas
deretan
kata agung namaku itu, hancur berserakan. Aku
belum
sekolah waktu bersekongkol dengan adikku—si no
mor
enam yang juga bujang dan membuat ibuku kapok
bersalin—menyembunyikan
naskah khatib sehingga ia
gelagapan
di atas mimbar. Aku dan adikku, bak Qabil dan
Habil.
Kejadian itu menjadi memorandum premier
kejahatanku
seumpama
catatan debut Qabil dalam sejarah kriminalitas
umat.
Kalau
terompah Wak Haji pindah ke langit-langit dan
beduk
bertalu-talu bukan jam salat, pasti aku yang dicari
karena
memang aku pelakunya. Sering aku menyamar memakai
mukena
sepupuku, menyelinap dalam saf putri,
membuat
onar. Bulan puasa, aku melubangi buku-buku
bambu
dengan linggis, kuisi air dan karbit, lalu kuarahkan
ke
jendela masjid saat seisi kampung tarawih. Gas karbit
yang
mampat dalam lubang bambu yang sempit berdentum
laksana
meriam saat sumbunya kusulut. Jemaah kocarkacir.
"Keriting
berandaaaaaalll!!" teriak Taikong Hamim,
penggawa
yang kondang garangnya.
Aku
ditangkap. Malamnya aku didamprat ibuku.
"Lihatlah
dirimu itu!" bentak Ibu. "Inikah sang juru
pendamai itu!? Bikin malu!"
Wajahnya
kaku karena bersusah payah menahan diri.
Aku
tahu, sebenarnya Ibu ingin menghamburkan omelan
yang
lebih tajam, tapi pasti ia merasa setiap kata yang ia
Andrea
Hirata 18
semprotkan
memantul lagi kepadanya. la sadar aku menuruni
watak
kepala batunya, karena setiap inci diriku berasal
dari
setiap inci dirinya.
"Terserah
Yah Ni...."
Ayah
yang pendiam hanya menatapku putus asa. Dalam
keadaan
ini, biasanya Ayah menaikkanku ke tempat
duduk
belakang sepeda Forever-nya, mengikat kakiku ke
tuas
di bawah sadel dengan saputangannya agar tak terlibas
jari-jari
ban, lalu memboncengkanku ke bendungan PN
Timah.
Sepanjang jalan Ayah menasihatiku tentang kedamaian
hidup
seperti dicontohkan burung-burung prenjak
berdasi,
capung-capung, dan kaum kecebong. Pulangnya
aku
dibelikan tebu yang ditusuk tangkai-tangkai lidi.
19
EDENSOR
Kejadian
meriam bambu itu adalah bukti bahwa nama
Aqil
Barraq Badruddin terlalu berat untukku. Ayah
memutuskan
untuk menggantinya. Demi menemukan nama
baru,
Ayah rajin berunding dengan juru tulis kantor
desa,
perawat puskesmas, polisi pamong praja, pelayan restoran,
penjaga
pintu air, atau siapa saja yang berseragam.
Bagi
Ayah, orang-orang berseragam lebih pintar dari orang
kebanyakan.
Siang ini ia berbincang dengan pria yang gerak-
geriknya
seperti beruk karena ia seorang pemanjat kelapa.
Di
kampung kami ada persatuan pemanjat kelapa dan
mereka
berseragam. Pulang ke rumah, Ayah bersukacita.
"Telah
kutemukan nama baru untuk si Ikal itu, Bu!"
"Kabar
gembira!" jawab Ibu.
"Dengan
nama ini, kau pasti jadi santri teladan, Ikal."
Waktu
itu aku dan adikku tengah dihukum mencuci
piring
karena tanpa alasan jelas mengibarkan bendera merah
putih
setengah tiang.
Endesor - Bab 4
No comments:
Post a Comment