18
MEYIMPANNYA
SENDIRIAN
YASHINTA
mematut-matut di depan cermin.
Menyeringai
sendiri. Tersenyum amat lebar. Lihat. Ayo lihat, Yash pagi ini mengenakan
seragam merah-putih. Mamak membelikan dari kota kecamatan. Sebenarnya baju itu
dibeli di pasar loak, baju bekas, tapi itu tidak penting. Yash juga tahu, kok.
Hatinya sedang senang. Semalam berkali-kali terbangun. Pukul sepuluh, sebelas,
dua belas, satu, dua, tiga, sampai Kak Laisa mendengus jengkel, karena setiap
kali Yashinta terbangun, ia menarik-narik baju gombyor Kak Laisa, berisik
bertanya jam berapa sekarang.
Menunggu
pagi seperti menunggu waktu seribu bulan, tak sabaran. Maka saat akhirnya kokok
ayam hutan akhimya terdengar dari kejauhan, Yashinta semangat langsung mandi di
sungai. Ini hari pertama sekolahnya. Bukan main. Rasanya susah dijelaskan.
Lihatlah muka imut Yashinta bersenandung riang. Memasukkan buku tipis ke dalam
tas, pensil yang sudah diraut, penggaris bambu. Crayon 12 warna dari Kak
Ikanuri dan Kak Wibisana. Lantas sudah duduk rapi di meja makan. Siap untuk
sarapan.
Ikanuri dan Wibisana hanya nyengir melihat
kelakuan Yashinta. Bagi mereka tingkah Yashinta mirip sekali dengan mahkluk
planet lain. Mana ada coba penduduk bumi yang semangat seperti adiknya
berangkat sekolah. Tapi Dalimunte tidak, dia tersenyum lebar, menyeringai
membesarkan hati Yashinta, yang justru saat sudah siap berangkat bersama-sama
malah gugup, mendadak sakit perut.
Panen bersama sebulan lalu sukses besar, Mamak
Lainuri tak kurang dapat empat puluh kaleng padi. Setelah dipotong zakat, juga
padi cadangan untuk lumbung kampung, juga delapan belas kaleng untuk persediaan
beras mereka selama setahun, sisanya masih lumayan, yang seluruhnya dijual ke
kota kecamatan. Ditambah tabungan Mamak dari menjual damar, rotan, gula aren,
dan anyaman rotan selama ini, uangnya cukup sudah untuk membayar biaya sekolah
Yashinta, Ikanuri, Wibisana dan Dalimunte. Tahun ini, Dalimunte duduk di kelas
enam. Sementara Ikanuri dan Wibisana kelas empat. Itu berarti setahun lagi
Mamak harus memikirkan kelanjutan sekolah Dalimunte. Sekolah lanjutan di kota
kecamatan. Yang berarti akan lebih banyak lagi uang yang diperlukan.
Mamak meski terlihat biasa-biasa saja,
tapi soal itu benar-benar penting baginya. Lepas panen, Mamak langsung
menggarap lagi ladang mereka. Tidak ada istilah berleha-leha. Menanaminya
dengan jagung. Lebih keras bekerja. Lebih lama menyadap damar di hutan. Begitu
juga dengan Kak Laisa, tubuh gendut tapi gempalnya terlihat semakin hitam.
Terlalu lama terpanggang terik matahari. Beruntung kehidupan di kampung jauh
lebih baik sejak irigasi lima kincir air dibuat. Beruntung pula perangai
Ikanuri dan Wibisana juga ikutan membaik sejak kasus itu. Meski masih sering
membantah, masih sering melawan, masih sering kabur disuruh mengerjakan
sesuatu, mereka jauh lebih menurut.
Ikanuri dan Wibisana mulai mengerti arti
tanggung jawab. Tidak percuma Kak Laisa saban hari mengejar-ngejar mereka
dengan sapu lidi teracung dan berteriak-teriak
"Kerja keras!" "Kerja keras!"
"Kerja keras!" Dua sigung nakal itu sudah jarang bolos sekolah. Sudah
rajin membantu Mamak di Ladang. Sekali dua malah tanpa disuruh pergi ke hutan
mengumpulkan kayu bakar dan rotan. Kejadian di puncak Gunung Kendeng sedikit
banyak membuat mereka sungkan dengan Kak Laisa. Lah, harimau saja ngeri lihat
Kak Laisa melotot, apalagi mereka, kan? Ihhh.
Siang
itu panas membakar lembah. Musim kemarau tiba di minggu-minggu puncaknya.
Yashinta menyeka keringat di dahi tidak hanya sekali. Berjalan pelan-pelan
mengiringi Ikanuri dan Wibisana. Daun pisang yang tadi diambilkan Dalimunte
percuma, perjalanan pulang dari kampung atas tetap menyiksa wajah. Ini bulan
ketiga sekolahnya. Sejauh ini ponten pelajarannya bagus-bagus. Yashinta jelas
mewarisi ketekunan dan kecerdasan Dalimunte, bukan tabiat iseng bin kenakalan
Ikanuri dan Wibisana.
Tiba
di rumah panggung mereka menghabiskan makan siang yang telah disiapkan Kak
Laisa sebelum berangkat ke ladang tadi pagi. Shalat dzhuhur (Dalimunte yang
jadi imam), kemudian Dalimunte meneriaki Ikanuri dan Wibisana agar buruan
menyusul Mamak. Yashinta sudah boleh ikut ke ladang sekarang. Meski kerjaannya
di sana hanya belajar di bawah pondok, belajar membuat anyaman bambu, mengerjakan
PR, apa saja.
"HUUUU!
HUUUU!!"
"HUUUU!" Mamak membalas teriakan
Dalimunte. Kempat adik-kakak itu menuruni lereng landai kebun. Di Lembah
Lahambay, teriakan seperti itu lazim. Untuk saling memberitahu posisi. Dengan
suara seperti pekikan burung.
Mamak melambaikan tangan dari kejauhan.
Kak Laisa dan Mamak sedang membersihkan gulma di pojokan ladang. Batang jagung
sudah setinggi kepala. Subur, dengan air yang terus mengalir. Mereka berempat
berbelok, Mendekat
"Mak, tadi
ada guru baru di sekolah, Yash—"
Yashinta yang
pertama kali melapor. Menurunkan daun pisang di atas kepalanya.
"Siapa?"
Mamak bertanya pendek, tanpa menoleh, tangannya tetap gesit menyiangi rumput di
sela-sela batang jagung.
"Eh, siapa,
Kak?" Yashinta nyengir, justru bertanya padii Ikanuri.
"Tahu, siapa—" Ikanuri melangkah tidak
peduli, maksudnya dia memang tidak peduli dengan siapa guru baru tadi, bukan
tidak peduli dengan pertanyaan Yashinta. Mengambil arit yang tergeletak di
dekat Kak Laisa, ikut membantu.
"Eh, iya, KKN,
Mak. Gurunya dari KKN." Yashinta, memotong kalimat Dalimunte, "KKN
itu dari mana ya, Kak?"
Yashinta
duduk menjeplak di sekitaran mereka. Teduh di bawah batang jagung, jadi ia
tidak perlu sendirian di pondok yang terletak di tengah-tengah ladang. Menyeka
keringat yang mengucur tambah deras. Gerah. Tubuhnya terlihat lekat. Mamak
mengangguk, ia mengerti. Seminggu lalu Wak Burhan juga bilang soal itu. Katanya
ada rombongan mahasiswa dari kota provinsi. Posko mahasiswa itu ada di kampung
atas, tapi beberapa dari mereka juga akan melakukan beberapa proyek KKN di
kampung bawah. Jarang-jarang ada pendatang dari kota di lembah itu. Dulu pernah
ada Mahasiswa yang juga KKN, tapi program mereka kebanyakan hanya penyuluhan
dan ceramah.
Dulu-dulunya juga pernah ada pejabat entah dari mana
yang datang ke Lembah. Lebih tak jelas lagi apa gunanya mereka, hanya nanya-nanya,
membawa kertas, entahlah. Tanpa sesuatu yang benar-benar bermanfaat bagi
penduduk kampung.
"Ikanuri,
Wibisana, menebas rumputnya yang benar!" Kak Laisa mendelik, menatap tajam
Ikanuri dan Wibisana. "Sudah benar, kan?"
Ikanuri nyengir. Sejak tadi dia dan Wibisana tidak
medengarkan percakapan. Asyik bermain-main dengan arit.
Kak Laisa melotot, benar apanya, kedua sigung nakal
itu seperti membuat lajur-lajur di atas gulma. Sengaja membuat huruf nama-nama
mereka, seperti bonsai berbentuk huruf di taman-taman. Membuat tulisan:
Ika-Wibi Keren.
"Lagian
biar nyeni, Kak! Artistik—" Wibisana tertawa.
Kak
Laisa melotot, mengancam. Ikanuri dan Wibisana menelan ludah. Yaah, kan hanya
bergurau, nanti-nanti bakal dipangkas juga semuanya. Nanti-nanti maksudnya
minggu depan, atau setelah panen jagung. Dengan enggan dua sigung nakal itu
membersihkan huruf-huruf nama mereka.
Yashinta
asyik meneruskan anyaman rotannya. Ia sudah lancar.Sekali dua terdengar batuk.
Keringat mengucur semakin deras dari dahinya. Musim kemarau ini entah sampai
kapan. Biasanya tidak selama ini. Seminggu dua minggu, lazimnya diseling hujan
deras yang sedikit mendinginkan lembah. Dua hari terakhir kenapa pula badannya
terasa tidak enak. Tetapi Yashinta terlanjur asyik meneruskan anyamannya.
Sambil sesekali memperhatikan Kak Laisa yang tangkas membersihkan gulma. Lihat,
satu jam berlalu, luas gulma yang berhasil dibersihkan Kak Laisa, masih lebih
banyak dibandingkan luas Kak Ikanuri dan Kak Wibisana dijumlahkan, dikalikan
dua pula.
Matahari mulai tenggelam di balik Gunung
Kendeng, Mamak menyuruh Dalimunte memberesi perlengkapan. Menyimpannya di
pondok. Saatnya pulang. Kak Laisa membantu berbenah-benah. Menggendong
keranjang berisikan sayur-mayur. Mereka berjalan beriringan. Lembah itu hening.
Langit terlihat merah. Angin bertiup pelan, menyenangkan. Rombongan burung
layang-layang terbang pulang ke sarang. Kelelawar mengepak-ngepakkan sayap
bersiap memulai ritual malamnya.
Yashinta
berkali-kali batuk lagi.
"Kau
baik-baik saja, Yash?" Kak Laisa bertanya.
Yashinta
mengangguk, sambil berusaha mensejajari langkah Kak Laisa.
"Kenapa Kak Lais
tidak bilang?" Dalimunte menangis, tersendat, jemari tangannya gemetar
mengusap bibir perempuan umur empat puluh tiga tahun yang terbaring lemah di
atas ranjang. Ada bercak darah di sana. Keluar bersama dahak,
"Tidak. Tidak boleh ada yang menangis,
Dali...." Kak Laisa berkata pelan, nafasnya sedikit tersengal,
"Tapi kenapa Kak Lais menyimpannya
sendirian.... Kenapa Kak Laisa tidak bilang kalau selama ini sakit? Ya Allah,
selama itu. Bahkan Kak Lais menyimpan semuanya sendirian selama ini.... Sejak
kami kecil, sejak kami masih nakal suka membantah—"
Dalimunte tergugu.
Mamak ikut menyeka sudut matanya. Cie hui, mendekap
Intan yang entah mengapa juga ikut tertunduk. Intan menggigit bibir. Bingung.
Cemas. Ia keliru, ternyata Wak Laisa sakitnya tidak sekadar mencret-mencret.
Aduh, kalau kelihatannya sudah begini itu artinya serius sekali. Lihat, Wak
Laisa batuk lagi, terus ada darah pula keluar dari bibirnya.
"Ingat kata Kakak dulu saat kau berangkat
sekolah di kota provinsi, tidak ada yang boleh menangis, kau akan menemukan
tempat-tempat baru, teman-teman baru, kau akan belajar banyak.... Hei, tidak
ada yang boleh menangis dengan semua kabar baik itu. Juga hari ini....
Lihatlah, kau
amat membanggakan Kakak—"
Kak Laisa
terbatuk pelan. Dahak sekali lagi keluar bersama darah.
Dalimunte
menyeka darah itu dengan jemarinnya. Semakin tergugu. Bagaimana mungkin dia
tidak akan menangis? Lihatlah, seseorang yang amat dihargai sepanjang hidupnya
berbaring lemah di hadapannya, tetap sama seperti dulu. Memberikan
perlindungan. Memberikan janji-janji yang selalu ditunaikan. Mengubur
cita-citanya sendiri demi adik-adiknya. Bahkan hingga saat ini, ketika tubuhnya
terlihat amat lemah, Kak Laisa tetap berusaha tersenyum menyuruhnya tidakk
menangis.
"Kak Lais selalu
menyimpannya sendirian, demi kami.... Kak Lais selalu mengalah, demi
kami—" Kalimat Dalimunte terhenti, dia tak kuasa melanjutkan hanya bisa
mencium jemari tangan yang terkulai lemah itu. Berbagai kenangan masa lalu
berdesing memenuhi kepalanya. "Kak Lais bekerja sepanjang hari membantu
Mamak demi kami, Kak Lais mempermalukan diri demi kami, Kak Lais bahkan
menerobos hujan deras, tidak peduli dingin, jemari tangan menggigil demi
kami..."
Dalimunte tidak bisa
menahan lagi perasaannya. Dulu saja, waktu kecil ia sudah mengerti.
"Dali…, tidak ada yang boleh menangis—"
"Ta-pi, tapi Dali
tidak tahan lagi. Dali tidak tahan—" "Kemarilah, anakku...."
Mamak berbisik lirih
dari belakang. Dalimunte memeluk pinggang Mamak.
Senyap.
Hanya tangis tertahan di ruangan itu. Dokter perkebunan yang sejak sebulan lalu
merawat Kak Laisa menatap dengan mata berkaca-kaca. Intan ikutan menyeka
pipinya. Ia tidak tahu kenapa ikut menangis. Ia sedih, sedih sekali melihat Wak
Laisa yang kuat menggendongnya naik turun cadas sungai, sekarang pucat pasi,
bergerak saja susah di atas ranjang. Mamak mengusap rambut Dalimunte, berbisik
menenangkan. Wajah keriput berumur enam puluh tahun itu terlihat amat sendu.
Ia-lah yang paling tahu urusan ini. Sejak tiga puluh tahun silam. Sejak Laisa
mulai mengerti arti tanggung-jawab.
Umur Laisa saat itu sebelas tahun. Kelas
empat Umur Dalimunte tujuh tahun. Sudah setahun Dalimunte tertunda sekolah
karena Mamak tidak punya uang. Mamak ingat sekali. Hari itu. Pagi itu. Laisa
mendekatinya dari belakang. Pukul empat shubuh. Saat Mamak sibuk memasak gula
enau. Saat yang lain masih tertidur lelap.
"Biar. Biar
Lais yang berhenti sekolah, Mak..."
Putri sulungnya
tersenyum tulus, menatap dengan mata bercahaya. "Kau harus terus sekolah,
Lais!"
Mamak menatap
tajam Laisa.
Menggeleng, "Lais
tahu Mamak tidak punya cukup uang untuk membeli seragam baru Dali. Biar Lais
yang berhenti sekolah. Lagipula Lais anak perempuan. Buat apa Lais sekolah
tinggi-tinggi. Biarlah
Dalimunte yang sekolah. Lais membantu Mamak mencari uang saja. Dengan begitu
nanti Ikanuri dan Wibisana juga bisa sekolah.... Juga Yashinta...."
Putri sulungnya menyentuh lengannya. Menatap dengan
yakin dan mengerti benar apa yang telah dikatakannya.
Mulai
shubuh itu, Mamak tahu persis satu hal. Laisa yang bersumpah membuat
adik-adiknya sekolah menjadikan sumpah itu seperti prasasti di hatinya. Tidak.
Laisa tidak pernah menyesali keputusannya. Tidak mengeluh. Ia melakukannya
dengan tulus. Sepanjang hari terpanggang terik matahari di ladang. Bangun jam
empat membantu memasak gula aren. Menganyam rotan hingga larut malam. Tidak
henti, sepanjang tahun. Mengajari adik-adiknya tentang disiplin. Mandiri. Kerja
keras. Sejak kematian Babak diterkam harimau, Mamak sungguh tidak akan kuasa
membesarkan anak-anaknya tanpa bantuan putri sulungnya, Laisa. Semua kesulitan
hidup masa kecil itu. Laisa membantunya melaluinya dengan wajah bergeming.
Wajah yang tidak banyak mengeluh.
Wajah yang sekarang terlihat amat
lelah....
Terbaring lemah karena kanker paru-paru
stadium IV. Penyakit yang disimpannya sendiri sejak sepuluh tahun silam. Karena
ia tidak ingin merepotkan adik-adiknya. Bagi Laisa, yang berhak merepotkan itu
adik-adiknya, bukan dia. Setiap kali kunjungan dua bulanan, Laisa tetap riang
menyambut anak-anak. Tertawa mengajak mereka melakukan banyak hal. Itu pula
yang membuatnya bisa bertahan selama ini. Sepuluh tahun kanker itu seolah tak
kuasa menggerogoti fisiknya.
Sayangnya, satu bulan yang lalu, seluruh
energi dari penerimaan jiwa atas pilihan hidup yang hebat itu berakhir sudah.
Kalah. Fisiknya tidak kuasa lagi, kanker itu sudah menjalar ke mana-mana. Meski
semangat hidupnya masih tinggi, meski dengan semua spirit itu, tubuhnya tidak
kuasa lagi bertahan. Maka didatangkanlah dokter dari kota provinsi (yang juga
sepuluh tahun terakhir diam-diam merawatnya, hanya Mamak yang tahu). Juga
peralatan medis, juga perawat-perawat Kak Laisa satu bulan terakhir bertahan
tidak memberitahu adik-adiknya hingga tadi pagi. Satu bulan terbaring tidak
berdaya. Setelah Mamak membujuknya. Akhirnya pesan 203 karakter itu
terkirimkan. Ketika ia merasa waktunya sudah tiba.
Tugasnya hampir usai.
Wajah yang sekarang terlihat amat lelah.
Meski tetap berusaha tersenyum didepan
adiknya. Wajah yang menatap Dalimunte yang sedang memeluk pinggang Mamak,
Dalimunte yang menangis—
NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB I9
No comments:
Post a Comment