17
YASIN
YANG DIBACAKAN
MOBIL KIJANG itu
pelan masuk ke halaman rumah.
Rumput yang terpotong rapi menghampar
bagai beludru. Pohon duku, jeruk, durian, dan kakao yang dibonsai berbaris
rapi. Minggu-minggu ini buahnya masih terlalu muda untuk dipetik, tapi melihatnya
sudah cukup menyenangkan. Rumah panggung itu terlihat terang. Belasan lampu
neon bersinar lembut. Ramai. Beberapa penduduk terlihat duduk berkerumun di
kursi bambu yang tersusun di depannya. Juga di teras. Mereka serempak berdiri
saat mobil jemputan kebun strawberry itu mulai memasuki halaman rumah.
Tidak.
Tentu saja itu bukan rumah panggung paling kecil, paling reot, paling jelek di
ujung lembah. Itu masih rumah yang lama, masih di lokasi yang sama, tapi
sekarang sudah bertambah tiga kali lipat ukurannya, sudah berdiri kokoh,
beratap genteng. Meski masih sama dinding kayunya, sudah berdiri asri.
Halamannya yang sejak dari dulu sudah luas, sekarang dipenuhi bebungaan dan
pohon-pohon bonsai. Rumah panggung itu juga terlihat modern dengan instalasi listrik
dan rangkaian ornamen kaca warna-warni.
Kampung itu sejak dua puluh tahun silam
pelan tapi pasti memang berubah jadi lebih baik. Lebih maju. Hari ini, seluruh
rumah-rumah di Lembah Lahambay berjejer rapi, dengan sanitasi dan halaman yang
rapi. Jika kalian sempat datang ke sana, kalian seperti melihat deretan
bangunan villa-villa dari kayu di lembah yang amat indah. Itu tentu termasuk
rumah tua Mamak Lainuri.
Tidak
ada lagi hamparan semak belukar. Juga ladang-ladang padi tadah hujan di sekitar
kampung. Apalagi kebun mangga Wak Burhan. Yang ada, sejak memasuki lembah
radius dua kilo meter, hanya perkebunan strawberry yang membentang luas. Hijau
sepanjang mata memandang. Buah merah yang beranjak ranum terlihat mengundang,
bergelantungan, meski senja yang beranjak malam membuat remang sekitar.
Kebun-kebun itu separuhnya milik penduduk kampung, yang bentuk dan susunannya
dibuat sedemikian rupa agar sama seperti separuh lainnya, milik Kak Laisa.
Berbaris. Polybag pohon
strawberry terlihat seperti lajur-lajur tentara yang berbaris rapi. Jalan
setapak yang sudah diaspal melingkari kebun-kebun. Memudahkan untuk
mengangkut buah strawberry saat panen tiba. Juga
menjadi trek mengasyikkan, naik turun lembah mengelilingi perkebunan. Satu
bangunan besar terlihat di tengah hamparan hijau perkebunan. Itu gua
penyimpanan sementara sebelum buah strawbeery dibawa ke kota provinsi.
Lampu-lampu bangunannya bersinar redup. Malam ini, lima truk milik gudang berjejer,
besok pagi-truk itu berangkat ke pusat pengalengan.
Orang-orang
yang tadi duduk di kursi bambu beranjak mendekat. Mengerubungi mobil jemputan
perkebunan. Dalimunte membuka pintu mobil. Melangkah turun.
"Akhirnya
kau tiba, Dali —" Orang-orang berseru, memeluknya.
Dalimunte menelan ludah. Menatap wajah-wajah
bersimpati itu. Balas memeluk. Dia mengenalinya. Amat mengenal. Mereka adalah
tetangga-tetangga kampung. Satu dua terhitung teman sepermainan masa kecil.
Mereka seperti sedang bersiap. Bukan. Bukan bersiap menyambutnya. Bersiap untuk
urusan lain. Dalimunte sekali lagi menelan ludah "Ayo, kalian jangan
menghalangi Dali, biarkan dia masuk—"
Seorang lelaki setengah
baya berkata tegas, menyeringai, menyuruh kerumunan menyingkir. Itu Bang Jogar,
pemuda yang paling banyak bertanya soal urusan lima kincir air dulu di balai
kampung. Umurnya sekarang lima puluh. Kepala kampung (jika lembah indah itu
masih layak disebut kampung). Wak Burhan sudah meninggal sepuluh tahun silam.
Bang Jogar dipilih dengan suara bulat oleh penduduk menjadi penerus. Kerumunan
tetangga menyibak. Memberikan jalan.
"Ayo, Dali. Mamak
Lainuri sudah menunggu kau dari tadi—" Dalimunte mengangguk, "Apa Kak
Laisa baik-baik-baik saja?"
"Aku tidak tahu, Dali. Dokter lebih tahu urusan
itu kan tahu, abang-abangmu ini di kampung mana pernah sekolah hingga kelas
enam kecuali kau dan anak-anak kami sekarang," Bang Jogar tertawa,
bergurau, mencoba menghibur Dalimunte yang cemas.
"Tapi terakhir
kali aku atas, lima menit lalu, Laisa sudah siuman. Kata Mamak Lainuri, Laisa
sempat bicara dengan Ikanuri dan Wibisana lewat telepun, Hei! Kalian bantulah
koper-koper Dalimunte dari mobil. Jangan macam anak uwa, sibuk menonton saja.
Atau seperti kubilang tadi, ikut mengaji yasin di surau sana!—"
Bang Jogar
meneriaki pemuda-pemuda tanggung di kursi bambu,
Cie Hui, istri Daiimunte membantu Intan,
yang baru bangun tidur, turun dari mobil. Intan menggendong ransel sekolahnya,
menyeka anak rambut dari kening. Tadi sempat tertidur di mobil. Dibangunkan Abi
persis masuk areal perkebunan strawberry. Si belang sudah loncat saat pintu
mobil dibuka. Hamster itu amat familiar dengan areal perkebunan. Setiap dua
bulan mereka pulang, si belang selalu ikut. Malah menurut Oom Ikanuri, si
belang punya pacar hamster liar lembah. Ah, pasti Oom Ikanuri ngibul, kan Oom
Ikanuri memang suka bohong. Dalimunte beranjak menaiki anak tangga, diikuti Cie
Hui dan Intan (yang masih menguap).
Menghela nafas tertahan, masuk ke ruang
depan. Ruangan yang dulu menjadi tempat dia, Ikanuri dan Wibisana tidur
bertiga. Dengan sarung beralaskan tikar pandan, bersama angin malam yang
menembus dinding berlubang. Dalimunte menatap sekitar, beberapa ibu-ibu dan
anak gadis tetangga berkerudung rapi, duduk di tepi-tepi ruangan, melingkar
membaca yasin bersama-sama. Kebiasaan setempat jika ada urusan seperti ini. Di
surau kampung yang sekarang berubah menjadi masjid kecil tapi megah, lelaki
dewasa juga bersama-sama membaca yasin. Suara mereka terdengar hingga sini.
Dalimunte menelan ludah untuk kesekian
kalinya. Jika sudah sampai membaca yasin agar yang sakit dimudahkan urusannya,
berarti sakit Kak Laisa serius sekali. Menghela nafas pelan. Terus melangkah
menuju kamar Kak Laisa. Wajah-wajah terangkat, melihat rombongan. Tersenyum
kepada Intan yang menoleh ke sana ke mari. Intan hanya nyengir membalas tatapan
itu, berpikir pendek, ramai betul lagi ada kendurian, ya?
Apa yang sebenamya
terjadi? Dalimunte mengusap wajah. Bagaimana mungkin semua tiba-tiba jadi
terlihat sendu seperti ini?
Bukankah satu bulan lalu saat mereka
pulang bersama, jadwal berkumpul rutin mereka, Kak Laisa terlihat sehat-sehat?
Tertawa-tawa menggendong Intan, Juwita dan Delima bergiliran menuruni dinding
cadas sungai. Berkeliling kebun strawberry dengan sepeda BMX. Mengawasi gudang
penyimpanan. Bahkan Kak Laisa masih sempat-sempatnya mencari sendiri umbut
(ujung rotan) di hutan untuk membuat masakan surprise bagi mereka. Menu favorit
Yashinta, Ikanuri dan Wibisana, dan juga ponakannya.
Kak Laisa tak
sedikitpun terlihat sakit. Riang meladeni Intan, Juwita dan Delima yang
bertengkar memperebutkan foto Tante Yashinta. Galak meneriaki Ikanuri dan
Wibisana yang selalu saja jahil entah melakukan apa kepada anak-anak. Meladeni
Ikanuri dan Wibisana yang masih saja suka mengganggu Kak Laisa dengan
celetukan-celetukan. Tertawa. Bermain kembang api bersama anak-anak kampung.
Membuat langit lembah bercahaya oleh gemerlap nyala kembang api. Membakar
jagung di halaman rumah bersama tetangga-tetangga.
Kak Laisa tidak berubah sedikit pun,
persis seperti melihat foto masa lalunya, hanya saja sekarang piguranya
terlihat kecokelatan. Umurnya sekarang empat puluh tiga. Tapi ia masih sama
disiplinnya, terus bekerja keras mengurus kebun, mengurus Mamak, mengurus
pabrik pengalengan, mengurus sekolah di lembah, mengurus apa-saja. Melakukan
banyak hal. Masih sama atletisnya, masih dengan tubuh gemuk tapi gempalnya.
Padahal kalau Kak Laisa ingin duduk-duduk santai, tidak masalah. Pabrik itu
punya belasan pekerja. Warga dari kampung atas dan seberang. Juga turut bekerja
di perkebunan beberapa insinyur pertanian lulusan institut pertanian kota
provinsi.
Sekarang? Ya Allah, bagaimana mungkin
seluruh rumah terlihat seperti sedang bersiap melepas kepergian seseorang.
Yasin yang dibacakan? Warga yang berkumpul? Dalimunte menggigit bibir, sakit
apa sebenarnya Kak Laisa?
Dalimunte tidak tahan
lagi, bergegas masuk ke kamar Kak Laisa. Terhenti. Langkahnya terhenti seketika
persis di bawah bingkai pintu. Lihatlah! Ya Allah, apa maksud semua ini?
Kamar
Kak Laisa penuh dengan peralatan medis. Selang infus, belalai-belalai plastik.
Layar bertuliskan garis-garis hijau. Alai-alat bantu lainnya. Tabung oksigen.
Masker. Kaki Dalimunte bergetar. Matanya mencari di sela-sela peralatan medis
yang pasti didatangkan dari rumah-sakit kota provinsi. Mata Dalimunte akhirnya
menemukan sosok itu. Menatap nanar tubuh besar (tapi pendek) itu. Yang
terbaring lemah di atas ranjang. Mamak Lainuri duduk di sebelahnya, menoleh
karena mendengar seruan-seruan dari luar.
Mamak bertanya lirih. Siapa yang telah
tiba? Dalimunte—
Dalimunte justru sudah terpaku
bersitatap dengan mata redup Kak Laisa.
NOVEL BIDADARI - BIDADARI SURGA - BAB I8
No comments:
Post a Comment