2.
MASA LALU
NAMAKU
Adriana Amandira dan aku adalah perempuan paling merana di dunia
ini.
Umurku tiga puluh tahun, masih single
tanpa ada prospek suami. Perempuan
single berumur tiga puluh tahun saja mungkin masih bisa diterima, tapi
perempuan
single, tiga puluh tahun, masih perawan, dan cinta mati pada seorang
laki-laki
semenjak
dia SMP, nah... itu agak jarang. Sayangnya perempuan itu adalah aku.
Selama
tiga puluh tahun, jumlah laki-laki yang berhubungan serius denganku bisa
dihitung
dengan jari, jumlah tawaran untuk menikah... hanya satu kali, yaitu ketika
aku
berumur 27 tahun, yang kemudian aku tolak. Vincent Blake, satu-satunya lakilaki yang
cukup nekat untuk mengajakku menikah setelah menjalin hubungan
denganku
selama dua tahun itu terpaksa mundur teratur setelah aku
memberitahunya
bahwa aku akan pulang ke Indonesia dan tidak akan kembali lagi
ke
D.C.
Aku
ingat betul kata-katanya ketika ia mengantarku ke airport.
“Did you ever loved me?” tanyanya dengan nada yang membuat hatiku hancur
berkeping-keping.
Sejujurnya aku memang tidak pernah mencintainya, setidaktidaknya
bukan
cinta yan gdia inginkan dariku.
“Of course I did... I mean I do,” jawabku mencoba meyakinkannya tapi suaraku
terdengar
kosong bahkan untuk telingaku sendiri.
“Is there another guy?” Apakah ada yang lain?
Aku
menarik napas cukup panjang, menimbang-nimbang apakah aku akan
mengatakan
yang sebenarnya. Tapi kemudian aku memutuskan bahwa aku sudah
menghancurkan
hati laki-laki tidak bersalah ini, setidak-tidaknya yang bisa
kulakukan
untuknya adalah mengatakan yang sebenarnya.
“Yes,” ucapku dengan nada bersalah. Aku mempersiapkan diri untuk
pertanyaan
selanjutnya yang memang sudah aku tunggu-tunggu.
“Kalau
begitu kenapa kau menghabiskan dua tahun ini bersamaku kalau kau
mencintai
laki-laki lain?” Vincent bertanya dengan nada tinggi. Itulah saat pertama
aku
betul-betul melihat Vincent, yang berperangai penyabar, penyayang, dan tidak
pernah
berdebat denganku, marah besar.
Kakakku,
Mbak Tita, dan suaminya, Reilley, yang berdiri beberapa meter dariku
untuk
memberi kami privasi, melangkah mendekat. Tapi aku mengangkat
tanganku,
menandakan bahwa aku tidak apa-apa. Memang aku berhak kena omel
bahkan
dimaki-maki. Kakakku ragu beberapa detik, tapi kemudian Reilley
menariknya
menjauh dariku.
“Sejujurnya,
aku tidak tahu. Aku cuma berpikir akhirnya aku akan
melupakannya.
Tapi ternyata tidak bisa,” jelasku pada Vincent setelah aku yakin
kakakku
tidak akan menghampiriku.
Berakhirnya
hubunganku dengan Vincent membuatku sadar bahwa setelah
lebih
dari sepuluh tahun, aku masih mengharapkan seorang laki-laki yang terakhir
kali
kujumpai hampir lima belas tahun yang lalu. Seorang laki-laki yang bahkan aku
tidak
tahu keberadaannya atau statusnya sekarang ini. Aku hanya berpegang teguh
pada
pendapat bahwa apabila dia sudah menikah, aku pasti sudah mendengar
kabar
itu.
Vincent
hanya memandangku dengan tatapan bingung. Kupikir dia tidak akan
bertanya
apa-apa lagi. “Dia ada di Indonesia?” akhirnya dia bertanya.
Aku
mengangguk, lalu menggeleng. Setelah beberapa detik aku mengangkat
bahu.
“Sebenarnya, aku tidak tahu dia ada di mana,” jelasku akhirnya.
Vincent
mengerutkan kening dan menatapku tajam di balik kacamata minusnya.
“Siapa
namanya?”
Aku
tersenyum sedih sebelum menjawab. Sudah lebih dari sepuluh tahun aku
tidak
pernah mengucapkan namanya di depan orang lain. Seorang laki-laki yang
pada
dasarnya telah menghancurkan semua hubungan yang pernah kucoba jalin
dengan
laki-laki lain. Seorang laki-laki dari masa laluku yang mengganggu masa
kiniku
dan aku yakin akan ada di masa depanku. “Thomas... Baron... Iskandarsyah,”
ucapku
perlahan-lahan.
“Apakah
kakakmu tahu soal dia?”
“Ya...
maksudku, kakakku tahu dia. Kami dulu satu sekolah. Tapi, tidak,
kakakku
tidak tahu soal aku... kau tahulah...,” ucapku lemah.
Aku
tidak berani memandang Vincent. Aku menunduk malu. Kemudian tangan
Vincent
menyentuh pipi kananku. Tangannya yang selalu terasa hangat tapi tidak
pernah
bisa membuat jantungku berdetak lebih cepat, membuat wajahku memerah
karena
malu hanya dengan tatapannya, atau membuat lututku jadi lemas di
pelukannya.
Pada dasarnya hubunganku dengan Vincent lebih seperti teman baik.
Dia
selalu menjagaku, memastikan bahwa aku sudah makan, mendapat tidur yang
cukup,
dan minum vitamin. Vincent bahkan tidak pernah bertanya tentang status
keperawananku,
dia menghormati keinginanku untuk tetap menjadi perawan
hingga
hari pernikahanku.
Ketika
aku berani mengangkat wajahku dan memandang Vincent, aku hanya
bisa
mengatakan, “I’m sorry.”
Vincent
tersenyum lemah dan memelukku. Aku tersenyum di pelukannya. Aku
tersenyum
karena aku tahu Vincent telah memaafkanku. Selain keluargaku,
mungkin
Vincent-lah satu-satunya orang yang mau mencoba mengerti tindakan tindakanku yang
tidak selalu masuk akal.
“Maukah
kauceritakan padaku apa yang nanti terjadi padanya?” tanyanya
tanpa
melepaskan pelukannya.
Aku
melepaskan pelukannya, mengangkat tanganku untuk mengusap beberapa
helai
rambut pirang yang jatuh di keningnya dan mengangguk.
“I love you, Di,” ucap Vincent lembut.
Aku
tertawa mendengar nama itu. Selain Vincent, hanya ada beberapa orang
yang
memanggilku Didi, Baron adalah salah satunya. “I love you too, Vi,” balasku.
Dan
dengan kata-kata itu kami berpisah.
*
* *
Hampir
dua tahun telah berlalu semenjak aku meninggalkan Amerika. Vincent telah
menikah
setahun yang lalu dengan perempuan asal Malaysia bernama Farah.
Kakakku
sedang mengandung lima bulan dan dua bulan yang lalu dia dan Reilley
pindah
ke Jakarta secara permanen. Meskipun Reilley, seorang ahli komputer yang
bekerja
untuk perusahaan komputer bertaraf internasional, menghabiskan enam
bulan
dalam satu tahun di luar Indonesia, tapi orang buta pun dapat melihat betapa
Reilley
mencintai kakakku. Sedangkan aku... Aku masih tetap sendiri. Niatku untuk
bertemu
dengan Baron kuurungkan dengan alasan sibuk dengan pekerjaan. Tapi
sejujurnya
aku takut bertemu dengannya lagi. Bahkan untuk bertanya-tanya tentang
dirinya
pun aku tidak berani, sehingga pengetahuanku tentang keberadaan Baron
menjadi
sangat terbatas. Teman-teman SMP-ku tidak bisa memberikan informasi
apa-apa
karena aku dan Baron memang tidak bergaul di lingkaran yang sama.
Baron
adalah bagian dari lingkaran anak-anak gaul, sedangkan aku bergerak di
lingkaran
lainnya. Lebih tepatnya aku masuk di lingkaran anak-anak kurang gaul.
Hahaha...
Berbeda
dengan ketiga sobatku yaitu Jana, salah satu cewek paling cantik dan
paling
pintar satu sekolah; Nadia yang selalu aktif di OSIS; dan Dara yang selalu
dikenal
orang karena pacar-pacarnya yang selalu saja cowok paling ngetop satu
sekolah,
aku terkenal sebagai cewek paling jutek satu sekolah. Aku yakin kalau saja
sobat-sobatku
tahu bahwa aku masih menyimpan perasaan untuk Baron, mungkin
mereka
akan bisa lebih membantu. Tapi aku malu membagi informasi ini dengan
mereka.
Kalau
ada yang bisa membaca pikiranku dan bertanya mengapa aku sangat
terobsesi
dengan Baron, sejujurnya satu-satunya alasan yang bisa keluar dari
mulutku
adalah bahwa Baron-lah cowok yang paling sempurna di mataku. Dia
hampir
selalu jadi juara kelas, dia dari keluarga yang cukup berada, setahuku
agamanya
sama denganku, tapi yang lebih penting dari itu semua, Baron adalah
salah
satu cowok paling ganteng yang pernah kulihat sepanjang hidupku. Kulitnya
putih
bersih, rambutnya ikal agak kemerah-merahan, tubuhnya tinggi tegap, dan
kalau
dia tersenyum, sepertinya seluruh dunia ini akan ikut tersenyum dengannya.
Senyumnyalah
yang pertama kali membuatku mulai memperhatikannya.
Aku
mengenal Baron semenjak kelas satu SD dan selama delapan tahun, aku
tahu
bahwa segala sesuatunya tentang Baron selalu luar biasa. Mulai dari wajahnya,
ranking
di kelasnya, hingga gosip pacarnya. Meskipun begitu, aku sama sekali tidak
pernah
menganggapnya lebih daripada seorang cowok yang satu sekolah dan
terkadang
satu kelas denganku. Tetapi setahun terakhir sebelum kami lulus SMP,
aku
baru menyadari betapa luar biasanya Baron dan aku tidak pernah bisa
melupakannya
semenjak itu.
Baron
adalah satu-satunya cowok yang berani mendekatiku saat itu, meskipun
dia
tahu reputasiku sebagai cewek paling mengerikan satu sekolah. Dia selalu
mencari
alasan untuk mencoba berbicara denganku tanpa ada topik pembicaraan
yang
jelas dan beberapa kali aku mendapatinya memandangiku dengan tatapan
ingin
tahu. Pertama-tama aku tidak menghiraukan perhatiannya dan menganggap
bahwa
perasaanku mengenai tingkah laku Baron hanyalah itu... “perasaanku”,
karena
aku bukan tipe perempuan yang disukai Baron sama sekali. Tapi
“perasaanku”
itu dikonfirmasikan oleh dua sobatku, Dara dan Nadia, yang
menyatakan
bahwa mereka pun melihat gelagat Baron memberikan perhatian lebih
padaku.
Mereka
bilang, “Kenapa lo mesti bingung kalau Baron suka sama elo? Lo kan
orangnya
not bad looking lho, Dri.” Aku sempat tertawa terbahak-bahak mendengar
dukungan
mereka. Aku juga sangat berterima kasih karena mereka menganggapku
nggak
jelek-jelek amat karena sejujurnya, aku memang tidak bisa dianggap cantik.
Lagakku
yang sok tahu, pipiku yang tembam, tubuhku yang tidak terlalu tinggi,
dan
kulitku yang agak gelap, jelas-jelas tidak menggambarkan attractiveness sama
sekali.
Setelah itu, aku mulai menyadari bahwa Baron betul-betul mencoba
mendekatiku.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merasa takut. Aku takut
aku
bisa suka sama Baron dan ternyata dia tidak menyukaiku. Aku bahkan sempat
berpikir
mungkin Baron taruhan dengna teman-temannya untuk menggangguku,
bukan
hal yang aneh di kalangan anakk-anak gaul. Dengan kepala penuh rasa
ketakutan
yang kubuat sendiri, aku mengambil langkah seribu lari ke Amerika.
Tetapi
kini aku kembali, dan aku tahu bahwa aku harus bertemu dengan Baron
cepat
atau lambat. Aku harus menyelesaikan masalahku dengannya agar aku bisa
melanjutkan
hidupku. Aku harus tahu apakah ada sesuatu di antara kami pada saat
SMP
dulu, dan apakah rasa itu masih berbekas di dirinya seperti pada diriku. Aku
meragukan
hal itu, karena kalau memang menginginkanku, Baron pasti sudah
mencoba
menghubungiku ketika aku di Amerika. Aku sempat menunggu kabarnya
selama
beberapa bulan, tetapi tidak pernah mendengar apa-apa darinya. Tapi aku
tidak
bisa menyalahkan Baron sepenuhnya, karena sejujurnya cowok itu mungkin
juga
bingung dengan tingkah lakuku terhadapnya, dan kepergianku ke Amerika
mungkin
dianggapnya sebagai konfirmasi bahwa aku tidak menginginkannya.
Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 3
No comments:
Post a Comment