Sunday, September 6, 2015

Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 2

2. MASA LALU

NAMAKU Adriana Amandira dan aku adalah perempuan paling merana di dunia
ini. Umurku tiga puluh tahun, masih single tanpa ada prospek suami. Perempuan
single berumur tiga puluh tahun saja mungkin masih bisa diterima, tapi perempuan
single, tiga puluh tahun, masih perawan, dan cinta mati pada seorang laki-laki
semenjak dia SMP, nah... itu agak jarang. Sayangnya perempuan itu adalah aku.
Selama tiga puluh tahun, jumlah laki-laki yang berhubungan serius denganku bisa
dihitung dengan jari, jumlah tawaran untuk menikah... hanya satu kali, yaitu ketika
aku berumur 27 tahun, yang kemudian aku tolak. Vincent Blake, satu-satunya lakilaki yang cukup nekat untuk mengajakku menikah setelah menjalin hubungan
denganku selama dua tahun itu terpaksa mundur teratur setelah aku
memberitahunya bahwa aku akan pulang ke Indonesia dan tidak akan kembali lagi
ke D.C.
Aku ingat betul kata-katanya ketika ia mengantarku ke airport.
Did you ever loved me?” tanyanya dengan nada yang membuat hatiku hancur
berkeping-keping. Sejujurnya aku memang tidak pernah mencintainya, setidaktidaknya
bukan cinta yan gdia inginkan dariku.
Of course I did... I mean I do,” jawabku mencoba meyakinkannya tapi suaraku
terdengar kosong bahkan untuk telingaku sendiri.
Is there another guy?” Apakah ada yang lain?
Aku menarik napas cukup panjang, menimbang-nimbang apakah aku akan
mengatakan yang sebenarnya. Tapi kemudian aku memutuskan bahwa aku sudah
menghancurkan hati laki-laki tidak bersalah ini, setidak-tidaknya yang bisa
kulakukan untuknya adalah mengatakan yang sebenarnya.
Yes,” ucapku dengan nada bersalah. Aku mempersiapkan diri untuk
pertanyaan selanjutnya yang memang sudah aku tunggu-tunggu.
“Kalau begitu kenapa kau menghabiskan dua tahun ini bersamaku kalau kau
mencintai laki-laki lain?” Vincent bertanya dengan nada tinggi. Itulah saat pertama
aku betul-betul melihat Vincent, yang berperangai penyabar, penyayang, dan tidak
pernah berdebat denganku, marah besar.
Kakakku, Mbak Tita, dan suaminya, Reilley, yang berdiri beberapa meter dariku
untuk memberi kami privasi, melangkah mendekat. Tapi aku mengangkat
tanganku, menandakan bahwa aku tidak apa-apa. Memang aku berhak kena omel
bahkan dimaki-maki. Kakakku ragu beberapa detik, tapi kemudian Reilley
menariknya menjauh dariku.
“Sejujurnya, aku tidak tahu. Aku cuma berpikir akhirnya aku akan
melupakannya. Tapi ternyata tidak bisa,” jelasku pada Vincent setelah aku yakin
kakakku tidak akan menghampiriku.
Berakhirnya hubunganku dengan Vincent membuatku sadar bahwa setelah
lebih dari sepuluh tahun, aku masih mengharapkan seorang laki-laki yang terakhir
kali kujumpai hampir lima belas tahun yang lalu. Seorang laki-laki yang bahkan aku
tidak tahu keberadaannya atau statusnya sekarang ini. Aku hanya berpegang teguh
pada pendapat bahwa apabila dia sudah menikah, aku pasti sudah mendengar
kabar itu.
Vincent hanya memandangku dengan tatapan bingung. Kupikir dia tidak akan
bertanya apa-apa lagi. “Dia ada di Indonesia?” akhirnya dia bertanya.
Aku mengangguk, lalu menggeleng. Setelah beberapa detik aku mengangkat
bahu. “Sebenarnya, aku tidak tahu dia ada di mana,” jelasku akhirnya.
Vincent mengerutkan kening dan menatapku tajam di balik kacamata minusnya.
“Siapa namanya?”
Aku tersenyum sedih sebelum menjawab. Sudah lebih dari sepuluh tahun aku
tidak pernah mengucapkan namanya di depan orang lain. Seorang laki-laki yang
pada dasarnya telah menghancurkan semua hubungan yang pernah kucoba jalin
dengan laki-laki lain. Seorang laki-laki dari masa laluku yang mengganggu masa
kiniku dan aku yakin akan ada di masa depanku. “Thomas... Baron... Iskandarsyah,”
ucapku perlahan-lahan.
“Apakah kakakmu tahu soal dia?”
“Ya... maksudku, kakakku tahu dia. Kami dulu satu sekolah. Tapi, tidak,
kakakku tidak tahu soal aku... kau tahulah...,” ucapku lemah.
Aku tidak berani memandang Vincent. Aku menunduk malu. Kemudian tangan
Vincent menyentuh pipi kananku. Tangannya yang selalu terasa hangat tapi tidak
pernah bisa membuat jantungku berdetak lebih cepat, membuat wajahku memerah
karena malu hanya dengan tatapannya, atau membuat lututku jadi lemas di
pelukannya. Pada dasarnya hubunganku dengan Vincent lebih seperti teman baik.
Dia selalu menjagaku, memastikan bahwa aku sudah makan, mendapat tidur yang
cukup, dan minum vitamin. Vincent bahkan tidak pernah bertanya tentang status
keperawananku, dia menghormati keinginanku untuk tetap menjadi perawan
hingga hari pernikahanku.
Ketika aku berani mengangkat wajahku dan memandang Vincent, aku hanya
bisa mengatakan, “I’m sorry.”
Vincent tersenyum lemah dan memelukku. Aku tersenyum di pelukannya. Aku
tersenyum karena aku tahu Vincent telah memaafkanku. Selain keluargaku,
mungkin Vincent-lah satu-satunya orang yang mau mencoba mengerti tindakan tindakanku yang tidak selalu masuk akal.
“Maukah kauceritakan padaku apa yang nanti terjadi padanya?” tanyanya
tanpa melepaskan pelukannya.
Aku melepaskan pelukannya, mengangkat tanganku untuk mengusap beberapa
helai rambut pirang yang jatuh di keningnya dan mengangguk.
I love you, Di,” ucap Vincent lembut.
Aku tertawa mendengar nama itu. Selain Vincent, hanya ada beberapa orang
yang memanggilku Didi, Baron adalah salah satunya. “I love you too, Vi,” balasku.
Dan dengan kata-kata itu kami berpisah.
* * *
Hampir dua tahun telah berlalu semenjak aku meninggalkan Amerika. Vincent telah
menikah setahun yang lalu dengan perempuan asal Malaysia bernama Farah.
Kakakku sedang mengandung lima bulan dan dua bulan yang lalu dia dan Reilley
pindah ke Jakarta secara permanen. Meskipun Reilley, seorang ahli komputer yang
bekerja untuk perusahaan komputer bertaraf internasional, menghabiskan enam
bulan dalam satu tahun di luar Indonesia, tapi orang buta pun dapat melihat betapa
Reilley mencintai kakakku. Sedangkan aku... Aku masih tetap sendiri. Niatku untuk
bertemu dengan Baron kuurungkan dengan alasan sibuk dengan pekerjaan. Tapi
sejujurnya aku takut bertemu dengannya lagi. Bahkan untuk bertanya-tanya tentang
dirinya pun aku tidak berani, sehingga pengetahuanku tentang keberadaan Baron
menjadi sangat terbatas. Teman-teman SMP-ku tidak bisa memberikan informasi
apa-apa karena aku dan Baron memang tidak bergaul di lingkaran yang sama.
Baron adalah bagian dari lingkaran anak-anak gaul, sedangkan aku bergerak di
lingkaran lainnya. Lebih tepatnya aku masuk di lingkaran anak-anak kurang gaul.
Hahaha...
Berbeda dengan ketiga sobatku yaitu Jana, salah satu cewek paling cantik dan
paling pintar satu sekolah; Nadia yang selalu aktif di OSIS; dan Dara yang selalu
dikenal orang karena pacar-pacarnya yang selalu saja cowok paling ngetop satu
sekolah, aku terkenal sebagai cewek paling jutek satu sekolah. Aku yakin kalau saja
sobat-sobatku tahu bahwa aku masih menyimpan perasaan untuk Baron, mungkin
mereka akan bisa lebih membantu. Tapi aku malu membagi informasi ini dengan
mereka.
Kalau ada yang bisa membaca pikiranku dan bertanya mengapa aku sangat
terobsesi dengan Baron, sejujurnya satu-satunya alasan yang bisa keluar dari
mulutku adalah bahwa Baron-lah cowok yang paling sempurna di mataku. Dia
hampir selalu jadi juara kelas, dia dari keluarga yang cukup berada, setahuku
agamanya sama denganku, tapi yang lebih penting dari itu semua, Baron adalah
salah satu cowok paling ganteng yang pernah kulihat sepanjang hidupku. Kulitnya
putih bersih, rambutnya ikal agak kemerah-merahan, tubuhnya tinggi tegap, dan
kalau dia tersenyum, sepertinya seluruh dunia ini akan ikut tersenyum dengannya.
Senyumnyalah yang pertama kali membuatku mulai memperhatikannya.
Aku mengenal Baron semenjak kelas satu SD dan selama delapan tahun, aku
tahu bahwa segala sesuatunya tentang Baron selalu luar biasa. Mulai dari wajahnya,
ranking di kelasnya, hingga gosip pacarnya. Meskipun begitu, aku sama sekali tidak
pernah menganggapnya lebih daripada seorang cowok yang satu sekolah dan
terkadang satu kelas denganku. Tetapi setahun terakhir sebelum kami lulus SMP,
aku baru menyadari betapa luar biasanya Baron dan aku tidak pernah bisa
melupakannya semenjak itu.
Baron adalah satu-satunya cowok yang berani mendekatiku saat itu, meskipun
dia tahu reputasiku sebagai cewek paling mengerikan satu sekolah. Dia selalu
mencari alasan untuk mencoba berbicara denganku tanpa ada topik pembicaraan
yang jelas dan beberapa kali aku mendapatinya memandangiku dengan tatapan
ingin tahu. Pertama-tama aku tidak menghiraukan perhatiannya dan menganggap
bahwa perasaanku mengenai tingkah laku Baron hanyalah itu... “perasaanku”,
karena aku bukan tipe perempuan yang disukai Baron sama sekali. Tapi
“perasaanku” itu dikonfirmasikan oleh dua sobatku, Dara dan Nadia, yang
menyatakan bahwa mereka pun melihat gelagat Baron memberikan perhatian lebih
padaku.
Mereka bilang, “Kenapa lo mesti bingung kalau Baron suka sama elo? Lo kan
orangnya not bad looking lho, Dri.” Aku sempat tertawa terbahak-bahak mendengar
dukungan mereka. Aku juga sangat berterima kasih karena mereka menganggapku
nggak jelek-jelek amat karena sejujurnya, aku memang tidak bisa dianggap cantik.
Lagakku yang sok tahu, pipiku yang tembam, tubuhku yang tidak terlalu tinggi,
dan kulitku yang agak gelap, jelas-jelas tidak menggambarkan attractiveness sama
sekali. Setelah itu, aku mulai menyadari bahwa Baron betul-betul mencoba
mendekatiku. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merasa takut. Aku takut
aku bisa suka sama Baron dan ternyata dia tidak menyukaiku. Aku bahkan sempat
berpikir mungkin Baron taruhan dengna teman-temannya untuk menggangguku,
bukan hal yang aneh di kalangan anakk-anak gaul. Dengan kepala penuh rasa
ketakutan yang kubuat sendiri, aku mengambil langkah seribu lari ke Amerika.
Tetapi kini aku kembali, dan aku tahu bahwa aku harus bertemu dengan Baron
cepat atau lambat. Aku harus menyelesaikan masalahku dengannya agar aku bisa
melanjutkan hidupku. Aku harus tahu apakah ada sesuatu di antara kami pada saat
SMP dulu, dan apakah rasa itu masih berbekas di dirinya seperti pada diriku. Aku
meragukan hal itu, karena kalau memang menginginkanku, Baron pasti sudah
mencoba menghubungiku ketika aku di Amerika. Aku sempat menunggu kabarnya
selama beberapa bulan, tetapi tidak pernah mendengar apa-apa darinya. Tapi aku
tidak bisa menyalahkan Baron sepenuhnya, karena sejujurnya cowok itu mungkin
juga bingung dengan tingkah lakuku terhadapnya, dan kepergianku ke Amerika

mungkin dianggapnya sebagai konfirmasi bahwa aku tidak menginginkannya.


Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 3

No comments:

Post a Comment