Sunday, September 6, 2015

Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 4

4. JALAN-JALAN

HARI sudah menjelang siang, cuaca mulai menghangat. Masih banyak bongkahan
salju di mana-mana, tapi jalan utama sudah digarami sehingga terlihat bersih dan
tidak licin. Aku sebetulnya lebih menyukai salju daripada hujan. Aku selalu benci
hujan kalau mau keluar rumah, karena semuanya jadi basah. Tapi kalau sedang ada
di rumah aku selalu suka hujan, karena suara hujan bisa menenangkan diriku yang
selalu gelisah apabila tidak melakukan apa-apa.
“Lo mau makan apa?” tanyaku.
“Tadi gue lihat mal dekat sini, katanya kita bisa naik shuttle dari depan hotel
untuk ke sana. Gimana?” tanyanya.
Aku mengangguk setuju. Kami lalu menunggu shuttle di depan hotel yang tiba
10 menit kemudian. Kami sempat mengelilingi pusat kota sebelum menuju
Kentucky. Cincinnati yang terletak persis di perbatasan antara Ohio dan Kentucky
membuatnya menjadi salah satu dari banyak Tri-State yang ada di Amerika. Setelah
kuperhatikan, ternyata Cincinnati cukup mirip dengan D.C., banyak gedung tua
dengan warna putih yang sudah mulai memudar menjadi abu-abu karena asap
kendaraan bermotor.
Setibanya kami di The Levee, itulah cara sopir shuttle menyebut mal tersebut,
satu-satunya restoran yang buka adalah Bar Louie, salah satu chain bar yang cukup
dikenal di bagian Midwest dan Selatan Amerika Serikat. Ervin memesan Black
Angus Burger dan aku memilih Chicken Quesadillas.
“Vin, lo berapa bersaudara?” tanyaku membuka pembicaraan sambil
mengunyah makananku. Meskipun tahu bahwa pertanyaanku mengangkut masalah
pribadi, tapi aku memang ingin tahu.
“Ada tiga. Kakak satu dan adik satu. Gue laki-laki sendiri. Kalau lo?”
“Gue cuma ada satu kakak dan dia sudah married.”
“Oh, kakak gue juga sudah married. Dia tinggal di London sama suaminya. Adik
gue masih kuliah di Toronto.”
Aku memperhatikan bahwa Ervin menyingkirkan pickles dari burgernya.
“Lo nggak suka pickles?”
Ervin memandangku dan menggeleng.
“Kenapa tadi nggak bilang?” tanyaku lagi.
“Lupa.”
Aku salah satu orang yang sangat suka pickles, dan sebetulnya ingin ngembat
pickles-nya Ervin, tapi aku merasa sedikit self-conscious karena belum terlalu
mengenal cowok itu. Akhirnya kubiarkan pickles itu tak termakan.
“Kakak lo ada di Jakarta?” tanya Ervin setelah beberapa saat.
“Iya, sementara ini. Rencananya memang mau menetap di Jakarta, tapi masih
mau lihat keadaan. Situasinya agak susah karena status suaminya.”
“Oh, suami kakak lo orang asing?”
“Iya. Amerika.”
“Bule?” tanya Ervin lagi.
Aku mengangguk.
“Keluarga lo memang suka sama bule, ya?” tanya Ervin polos.
Aku menatapnya dengan bingung sebelum menjawab. “Lha, kalau keluarga lo
gimana?”
Ervin kemudian sadar bahwa kata-katanya kemungkinan terdengar sedikit
menyinggung dan memperbaikinya. “Well, kakak gue married sama bule juga sih.”
Well, there you go.”
Setelah makan kami meluangkah waktu untuk berjalan-jalan sedikit mengelilingi
The Levee, tapi belum lama, Ervin sudah menemukan Barnes & Noble dan
langsung berkata dengan antusias. “Hey, can we make a stop?” tanyanya.
Aku mengangguk, lalu kami pun memasuki toko buku itu. Aku memang
sedang mencari box-set seri novel karya Stephanie Meyer yang belum lama ini telah
diadaptasi menjadi film layar lebar. Aku melihat Ervin menuju ke rak New Release.
Ketika telah menemukan yang kucari, kulihat Ervin browsing sebentar sambil
melihat-lihat buku lain. Aku menemukan bagian New Age dan mulai membukabuka
satu buku astrologi yang menarik perhatianku. Ketika sedang membaca
tentang bintangku, tiba-tiba aku mencium aroma vanila yang sama ketika aku masih
ada di pesawat, buru-buru aku menoleh. Ternyata Ervin berdiri persis di
belakangku, sehingga hidungku langsung bertabrakan dengan dadanya. Dia
ternyata ikut membaca deskripsi tentang pribadiku. Aku mengambil satu langkah
ke samping untuk memberi sedikit jarak di antara kami berdua. Jarak yang terbukti
kurang jauh karena aku masih dapat melihat dengan jelas bahwa ada bekas luka
persis di bawah dagu Ervin, yang membuatnya semakin seksi.
Trustworthy, Calm, Autoritative, Stubborn—dapat dipercaya, tenang, otoritatif,
keras kepala,” ucapnya mengulangi penggambaran karakter zodiakku yang tertulis
di buku itu. Senyum simpul muncul di sudut bibirnya.
Panik, aku buru-buru mengembalikan buku itu ke rak.
“Eh, kenapa dibalikin, nggak jadi beli?” Ervin sok bingung sambil mengambil
buku yang baru kuletakkan di rak dan membuka halaman yang menjelaskan
tentang zodiak Taurus.
“Bintang lo apa? Kenapa lo nggak baca bintang lo sendiri?” tanyaku agak kesal.
“Ini lebih menghibur. Gue mau tahu apa buku ini memang bisa menggambarkan
orang berdasarkan zodiaknya atau hanya bullshit.” Ervin terus sibuk membaca
buku itu.
“Oke, gue mau pulang dan tidur,” ucapku sambil berlalu meninggalkan Ervin
dengan bacaannya.
“Eh, tunggu...” Ervin buru-buru meletakkan buku itu dan mengikutiku ke kasir.
Aku selesai membayar dan menunggu hingga Ervin selesai dengan
transaksinya. “Would you like to have a Barnes and Noble card?” tanya kasir cowok itu
dengan ramah, menawarkan kami keanggotaan. Aku menggunakan kata “cowok”
karena anak ini tidak mungkin lebih tua dari delapan belas tahun.
Oh, no thanks,” ucap Ervin tidak kalah ramahnya.
“Bagaimana dengan pacar kamu, apa dia mau kartu anggota? Saya lihat dia
membeli seri karya Stephenie Meyer, kami bisa memberinya diskon besar pada
pembelian berikut.”
Aku dan Ervin sama kagetnya dengan asumsi kasir berondong itu dan berkata
dengan cepat pada saat yang bersamaan. “Dia bukan pacarku!” “Aku bukan
pacarnya!”
Kasir itu terlihat kaget dan berkata kepadaku, “Oh, baiklah. Kalau begitu,
karena Anda membeli seri karya Stephenie Meyer—bukannya memaksa atau apa,
tapi di UC ada diskusi dengan Miss Meyer malam ini, saya punya tiket gratisnya.
Anda mau pergi bersama saya?”
Aku mendengar Ervin menggeram. „What?”
Aku langsung tanggap bahwa UC adalah University of Cincinnati, salah satu
universitas kebanggaan Cincinnati selain Xavier University. Melihat wajah Ervin
yang memandangiku dengan tatapan tidak enak, aku buru-buru mencoba mengatasi
keadaan dan berkata sambil agak salting, “Sayangnya saya sudah punya rencana
untuk nanti malam. Mungkin lain kali.”
Buru-buru kutarik tangan Ervin yang sedang mencoba membuat kasir itu takut
dengan tatapannya. Sepertinya Ervin cukup berhasil karena kasir itu langsung
menggumamkan, “Have a nice day,” dan mengalihkan perhatiannya pada hal lain.
Ketika aku dan Ervin sudah berada di luar toko buku dan jauh dari pendengaran
kasir berondong tadi, aku langsung meledak tertawa.
What the hell was that?” tanya Ervin sambil memandangku dengan tatapan
menuduh. “Lo flirting ya sama tuh anak?”
Aku berhenti tertawa sejenak dan berkata, “Kalau menurut lo satu senyuman itu
disebut flirting, then yes, gue memang flirting sama dia.”
Ervin mengerutkan kening, kemudian menggeleng mendengar komentarku.
Kami lalu berjalan menuju halte untuk menunggu shuttle yang akan mengantar kami
kembali ke hotel.
Ketika tiba di hotel, mataku terasa berat sekali, tapi aku tidak bisa menemukan
kartu kunci kamar. Parahnya lagi, aku curiga kemungkinan besar aku lupa membawa
kartu kunci itu ketika keluar dari kamar hotel beberapa jam yang lalu.
“Kenapa, Dri?” tanya Ervin. Dia telah berhasil membuka pintu kamarnya. Dia
kemudian menutupnya kembali dan melangkah ke arahku.
“Kayaknya gue lupa bawa kartu kunci deh,” ucapku. Aku bisa merasakan
mukaku yang mulai memerah karena malu.
Aku buru-buru mengetuk pintu kamar beberapa kali, tapi tidak ada jawaban.
Akhirnya aku berkata, “Vin, boleh pinjam telepon?” tanyaku.
“Boleh,” ucapnya, lalu menggiringku masuk ke kamarnya. “Teman sekamar gue
tidur di kamar satu lagi, kali ya?” komentarnya ketika menemukan kamar itu
kosong.
Aku langsung menyibukkan diriku dengan telepon. Tetapi tetap tidak ada
jawaban dari kamarku. Kantuk mulai menyerangku karena di Jakarta saat itu sudah
pukul dua pagi.
“Dri, kalau lo ngantuk, lo bisa istirahat di sini kok, daripada lo nggak istirahat.
Nanti kita coba telepon lagi,” usul Ervin yang langsung aku terima dengan sukacita.
Aku sudah tidak mampu berpikir jernih lagi.
Setelah mencuci muka dan berkumur, aku siap menewaskan diri di salah satu
tempat tidur yang tersedia. Aku mendapati Ervin sudah tertidur di tempat tidur
yang satunya. Anehnya dia tidak menggunakan selimut. Aku tadinya mau menarik
selimut untuk menyelimutinya, tapi mengurungkan niatku. Aku takut kalau dia
bangun dan mendapati aku sedang menyelimutinya, entah apa yang akan
dipikirkannya tentangku. Ketika kepalaku menyentuh bantal aku langsung tertidur
dengan pulas.
Aku terbangun ketika merasakan guncangan hebat, yang ternyata berasal dari
tangan Ervin yang superbesar itu lagi.
“Dri, bangun, Dri, sudah jam enam lewat,” ucapnya lembut. Kontras sekali
dengan cara dia mengguncangkan bahuku.
Aku yang masih belum fokus hanya membalikkan tubuh ke arah suara tersebut
dan langsung berhadapan dengan wajah Ervin yang rupanya sedang berlutut di
samping tempat tidur.
“Agggghhhhhhh,” teriakku sambil mencoba bangun dari tempat tidur itu.
Ervin hanya terbahak-bahak. “Kaget, ya?”
Aku mencoba menenangkan diriku yang memang sedikit shock. “Lo ngapain sih
di situ? Ngagetin gue deh,” ucapku kesal sambil melangkah turun dari tempat tidur
dan memperbaiki letak kamisolku yang agak merosot ke bawah. Alhasil hampirs aja
salah satu payudaraku terlihat.
Kemudian aku baru sadar bahwa aku pergi tidur dengan menggunakan
sweatshirt, tapi sekarang mana sweatshirt-ku? Aku mulai panik, apalagi ketika aku
sadar bahwa Ervin sedang memperhatikan aku, dan tatapannya jatuh ke arah
dadaku.
Sweatshirt lo ada di sana,” ucap Ervin yang lalu menunjuk salah satu kursi yang
ada di kamar itu. Pandanganku beralih ke arah jari telunjuknya.
“Lho kok bisa sampai di sana?” tanyaku curiga.
“Apa nggak pernah ada yang bilang lo tidurnya mirip orang Belanda lagi
perang?” ledeknya.
“Hah?” tanyaku bingung.
“Membabi buta,” jelasnya.
Mataku sudah bisa lebih fokus dan pandanganku jatuh ke tempat tidur yang
baru saja ditiduri Ervin. Tempat tidur itu terlihat rapi, hanya selimutnya yang agak
terlipat dengan bentuk trapesium yang memberikan indikasi bahwa tempat tidur itu
sudah ditiduri.
“Gue tadi telepon kamar lo, teman sekamar lo sudah bangun dan lagi bingung
elo ada di mana,” Ervin memberitahuku.
Kemudian hening. Tidak satu pun dari kami yang mengeluarkan suara. Aku
dapat melihat bahwa dia memandangiku dengan tatapan yang super-aneh.
Mungkin dia berpikir bahwa ternyata tampangku cukup jelek lima menit setelah
bangun tidur.
I guess, I better go then,” ucapku dengan gugup sambil langsung bergegas
menuju pintu.
Ervin mendahuluiku dan membukakan pintu.
Aku melangkah menyeberangi lorong ke kamarku. Aku mengetuk pintu dengan
pelan. Setelah beberapa saat menunggu dan pintu masih bergeming, aku
mengetuknya lagi. Aku lalu mengalihkan perhatianku pada Ervin yang masih
berdiri di depan pintu kamarnya dengan celana piama kotak-kotak dan kaus putih.
Untuk orang yang baru bangun tidur, dia kelihatan cukup seksi. Kausnya yang agak
tipis membuatku bisa melihat otot-otot di tubuhnya, termasuk six-packs di perutnya.
Ervin kemudian melemparkan senyuman mematikannya padaku.
Panik, aku mulai mengetuk pintu kamarku dengan lebih keras. Beberapa saat
kemudian pintu itu pun terbuka. Aku mengucapkan terima kasih kepada Ervin
yang membalasnya dengan lambaian tangan sebelum aku menutup pintu kamarku
dan bisa bernapas lega.
* * *
Keesokan harinya kami sudah dijemput menuju markas Good Life jam tujuh pagi
untuk melalui training. Training kami dilakukan secara terpisah berdasarkan divisi,
dengan begitu aku harus melalui training Human Development-ku sendiri. Ervin
dan dua orang lainnya bergabung dengan Business Development. Sedangkan
sisanya menuju ke divisi Product Placement. Aku tidak tahu apa yang diajarkan
kepada tujuh orang lainnya, tetapi untukku, bagian HR Good Life di Cincinnati
memperkenalkanku dengan segala peraturan personalia yang harus aku terapkan
juga di dalam Good Life di Jakarta. Dan begitulah aku menghabiskan waktuku
selama satu minggu ke depan. Berangkat jam tujuh pagi, pulang jam enam sore, dan
aku harus mempelajari lagi apa yang sudah diajarkan padaku pada hari itu
sekembalinya aku ke hotel supaya aku bisa mengikuti apa yang akan diajarkan
keesokan harinya.
Dan sepertinya rekan-rekan satu timku juga melalui hal yang sama karena
mereka selalu kelihatan sibuk sendiri, kecuali Ervin. Dia selalu menyempatkan diri
untuk mencariku di kantin Good Life dan makan siang satu meja denganku dan
menjemputku dari kamar untuk mengajakku makan malam. Terkadang saat
semuanya sudah tidur, aku dan dia akan turun ke bawah dan belajar di lobi. Saat
waktunya kami semua kembali ke Jakarta, kami sudah seperti anak kembar siam
yang menempel di pinggul dan tidak bisa dipisahkan. Dia duduk di sampingku
sepanjang perjalanan dari Cincinnati hingga Jakarta dan tidak hanya memastikan
bahwa aku sudah minum Antimo dan cukup selimut supaya tidak kedinginan, tapi
dia juga menghiburku tanpa henti dengan humornya sehingga aku menikmati
setiap menit dari perjalanan panjang itu.


Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 5

No comments:

Post a Comment