4.
JALAN-JALAN
HARI
sudah menjelang siang, cuaca mulai menghangat. Masih banyak bongkahan
salju
di mana-mana, tapi jalan utama sudah digarami sehingga terlihat bersih dan
tidak
licin. Aku sebetulnya lebih menyukai salju daripada hujan. Aku selalu benci
hujan
kalau mau keluar rumah, karena semuanya jadi basah. Tapi kalau sedang ada
di
rumah aku selalu suka hujan, karena suara hujan bisa menenangkan diriku yang
selalu
gelisah apabila tidak melakukan apa-apa.
“Lo mau
makan apa?” tanyaku.
“Tadi
gue lihat mal dekat sini, katanya kita bisa naik shuttle dari depan hotel
untuk
ke sana. Gimana?” tanyanya.
Aku
mengangguk setuju. Kami lalu menunggu shuttle
di depan hotel yang tiba
10
menit kemudian. Kami sempat mengelilingi pusat kota sebelum menuju
Kentucky.
Cincinnati yang terletak persis di perbatasan antara Ohio dan Kentucky
membuatnya
menjadi salah satu dari banyak Tri-State yang ada di Amerika. Setelah
kuperhatikan,
ternyata Cincinnati cukup mirip dengan D.C., banyak gedung tua
dengan
warna putih yang sudah mulai memudar menjadi abu-abu karena asap
kendaraan
bermotor.
Setibanya
kami di The Levee, itulah cara sopir shuttle
menyebut mal tersebut,
satu-satunya
restoran yang buka adalah Bar Louie, salah satu chain bar yang cukup
dikenal
di bagian Midwest dan Selatan Amerika Serikat. Ervin memesan Black
Angus
Burger dan aku memilih Chicken Quesadillas.
“Vin,
lo berapa bersaudara?” tanyaku membuka pembicaraan sambil
mengunyah
makananku. Meskipun tahu bahwa pertanyaanku mengangkut masalah
pribadi,
tapi aku memang ingin tahu.
“Ada
tiga. Kakak satu dan adik satu. Gue laki-laki sendiri. Kalau lo?”
“Gue
cuma ada satu kakak dan dia sudah married.”
“Oh,
kakak gue juga sudah married. Dia tinggal di London sama suaminya.
Adik
gue
masih kuliah di Toronto.”
Aku
memperhatikan bahwa Ervin menyingkirkan pickles
dari burgernya.
“Lo
nggak suka pickles?”
Ervin
memandangku dan menggeleng.
“Kenapa
tadi nggak bilang?” tanyaku lagi.
“Lupa.”
Aku
salah satu orang yang sangat suka pickles, dan sebetulnya ingin ngembat
pickles-nya Ervin, tapi aku merasa sedikit self-conscious karena belum terlalu
mengenal
cowok itu. Akhirnya kubiarkan pickles
itu tak termakan.
“Kakak
lo ada di Jakarta?” tanya Ervin setelah beberapa saat.
“Iya,
sementara ini. Rencananya memang mau menetap di Jakarta, tapi masih
mau
lihat keadaan. Situasinya agak susah karena status suaminya.”
“Oh,
suami kakak lo orang asing?”
“Iya.
Amerika.”
“Bule?”
tanya Ervin lagi.
Aku
mengangguk.
“Keluarga
lo memang suka sama bule, ya?” tanya Ervin polos.
Aku
menatapnya dengan bingung sebelum menjawab. “Lha, kalau keluarga lo
gimana?”
Ervin
kemudian sadar bahwa kata-katanya kemungkinan terdengar sedikit
menyinggung
dan memperbaikinya. “Well, kakak gue married sama bule juga sih.”
“Well, there you go.”
Setelah
makan kami meluangkah waktu untuk berjalan-jalan sedikit mengelilingi
The
Levee, tapi belum lama, Ervin sudah menemukan Barnes & Noble dan
langsung
berkata dengan antusias. “Hey,
can we make a stop?”
tanyanya.
Aku
mengangguk, lalu kami pun memasuki toko buku itu. Aku memang
sedang
mencari box-set seri novel karya Stephanie Meyer yang
belum lama ini telah
diadaptasi
menjadi film layar lebar. Aku melihat Ervin menuju ke rak New Release.
Ketika
telah menemukan yang kucari, kulihat Ervin browsing sebentar
sambil
melihat-lihat
buku lain. Aku menemukan bagian New
Age dan mulai membukabuka
satu
buku astrologi yang menarik perhatianku. Ketika sedang membaca
tentang
bintangku, tiba-tiba aku mencium aroma vanila yang sama ketika aku masih
ada di
pesawat, buru-buru aku menoleh. Ternyata Ervin berdiri persis di
belakangku,
sehingga hidungku langsung bertabrakan dengan dadanya. Dia
ternyata
ikut membaca deskripsi tentang pribadiku. Aku mengambil satu langkah
ke
samping untuk memberi sedikit jarak di antara kami berdua. Jarak yang terbukti
kurang
jauh karena aku masih dapat melihat dengan jelas bahwa ada bekas luka
persis
di bawah dagu Ervin, yang membuatnya semakin seksi.
“Trustworthy, Calm, Autoritative,
Stubborn—dapat dipercaya,
tenang, otoritatif,
keras
kepala,” ucapnya mengulangi penggambaran karakter zodiakku yang tertulis
di buku
itu. Senyum simpul muncul di sudut bibirnya.
Panik,
aku buru-buru mengembalikan buku itu ke rak.
“Eh,
kenapa dibalikin, nggak jadi beli?” Ervin sok bingung sambil mengambil
buku
yang baru kuletakkan di rak dan membuka halaman yang menjelaskan
tentang
zodiak Taurus.
“Bintang
lo apa? Kenapa lo nggak baca bintang lo sendiri?” tanyaku agak kesal.
“Ini
lebih menghibur. Gue mau tahu apa buku ini memang bisa menggambarkan
orang
berdasarkan zodiaknya atau hanya bullshit.” Ervin terus sibuk membaca
buku
itu.
“Oke,
gue mau pulang dan tidur,” ucapku sambil berlalu meninggalkan Ervin
dengan
bacaannya.
“Eh, tunggu...”
Ervin buru-buru meletakkan buku itu dan mengikutiku ke kasir.
Aku
selesai membayar dan menunggu hingga Ervin selesai dengan
transaksinya.
“Would you like to have a Barnes
and Noble card?” tanya
kasir cowok itu
dengan
ramah, menawarkan kami keanggotaan. Aku menggunakan kata “cowok”
karena
anak ini tidak mungkin lebih tua dari delapan belas tahun.
“Oh, no thanks,” ucap Ervin tidak kalah ramahnya.
“Bagaimana
dengan pacar kamu, apa dia mau kartu anggota? Saya lihat dia
membeli
seri karya Stephenie Meyer, kami bisa memberinya diskon besar pada
pembelian
berikut.”
Aku dan
Ervin sama kagetnya dengan asumsi kasir berondong itu dan berkata
dengan
cepat pada saat yang bersamaan. “Dia bukan pacarku!” “Aku bukan
pacarnya!”
Kasir
itu terlihat kaget dan berkata kepadaku, “Oh, baiklah. Kalau begitu,
karena
Anda membeli seri karya Stephenie Meyer—bukannya memaksa atau apa,
tapi di
UC ada diskusi dengan Miss Meyer malam ini, saya punya tiket gratisnya.
Anda
mau pergi bersama saya?”
Aku
mendengar Ervin menggeram. „What?”
Aku
langsung tanggap bahwa UC adalah University of Cincinnati, salah satu
universitas
kebanggaan Cincinnati selain Xavier University. Melihat wajah Ervin
yang
memandangiku dengan tatapan tidak enak, aku buru-buru mencoba mengatasi
keadaan
dan berkata sambil agak salting, “Sayangnya saya sudah punya rencana
untuk
nanti malam. Mungkin lain kali.”
Buru-buru
kutarik tangan Ervin yang sedang mencoba membuat kasir itu takut
dengan
tatapannya. Sepertinya Ervin cukup berhasil karena kasir itu langsung
menggumamkan,
“Have a nice day,” dan mengalihkan perhatiannya pada hal
lain.
Ketika
aku dan Ervin sudah berada di luar toko buku dan jauh dari pendengaran
kasir
berondong tadi, aku langsung meledak tertawa.
“What the hell was that?” tanya Ervin sambil memandangku dengan
tatapan
menuduh.
“Lo flirting ya sama tuh anak?”
Aku
berhenti tertawa sejenak dan berkata, “Kalau menurut lo satu senyuman itu
disebut
flirting, then yes, gue memang flirting sama dia.”
Ervin
mengerutkan kening, kemudian menggeleng mendengar komentarku.
Kami
lalu berjalan menuju halte untuk menunggu shuttle yang
akan mengantar kami
kembali
ke hotel.
Ketika
tiba di hotel, mataku terasa berat sekali, tapi aku tidak bisa menemukan
kartu
kunci kamar. Parahnya lagi, aku curiga kemungkinan besar aku lupa membawa
kartu
kunci itu ketika keluar dari kamar hotel beberapa jam yang lalu.
“Kenapa,
Dri?” tanya Ervin. Dia telah berhasil membuka pintu kamarnya. Dia
kemudian
menutupnya kembali dan melangkah ke arahku.
“Kayaknya
gue lupa bawa kartu kunci deh,” ucapku. Aku bisa merasakan
mukaku
yang mulai memerah karena malu.
Aku
buru-buru mengetuk pintu kamar beberapa kali, tapi tidak ada jawaban.
Akhirnya
aku berkata, “Vin, boleh pinjam telepon?” tanyaku.
“Boleh,”
ucapnya, lalu menggiringku masuk ke kamarnya. “Teman sekamar gue
tidur
di kamar satu lagi, kali ya?” komentarnya ketika menemukan kamar itu
kosong.
Aku
langsung menyibukkan diriku dengan telepon. Tetapi tetap tidak ada
jawaban
dari kamarku. Kantuk mulai menyerangku karena di Jakarta saat itu sudah
pukul
dua pagi.
“Dri,
kalau lo ngantuk, lo bisa istirahat di sini kok, daripada lo nggak istirahat.
Nanti
kita coba telepon lagi,” usul Ervin yang langsung aku terima dengan sukacita.
Aku
sudah tidak mampu berpikir jernih lagi.
Setelah
mencuci muka dan berkumur, aku siap menewaskan diri di salah satu
tempat
tidur yang tersedia. Aku mendapati Ervin sudah tertidur di tempat tidur
yang
satunya. Anehnya dia tidak menggunakan selimut. Aku tadinya mau menarik
selimut
untuk menyelimutinya, tapi mengurungkan niatku. Aku takut kalau dia
bangun
dan mendapati aku sedang menyelimutinya, entah apa yang akan
dipikirkannya
tentangku. Ketika kepalaku menyentuh bantal aku langsung tertidur
dengan
pulas.
Aku
terbangun ketika merasakan guncangan hebat, yang ternyata berasal dari
tangan
Ervin yang superbesar itu lagi.
“Dri,
bangun, Dri, sudah jam enam lewat,” ucapnya lembut. Kontras sekali
dengan
cara dia mengguncangkan bahuku.
Aku
yang masih belum fokus hanya membalikkan tubuh ke arah suara tersebut
dan
langsung berhadapan dengan wajah Ervin yang rupanya sedang berlutut di
samping
tempat tidur.
“Agggghhhhhhh,”
teriakku sambil mencoba bangun dari tempat tidur itu.
Ervin
hanya terbahak-bahak. “Kaget, ya?”
Aku
mencoba menenangkan diriku yang memang sedikit shock. “Lo ngapain sih
di
situ? Ngagetin gue deh,” ucapku kesal sambil melangkah turun dari tempat tidur
dan
memperbaiki letak kamisolku yang agak merosot ke bawah. Alhasil hampirs aja
salah
satu payudaraku terlihat.
Kemudian
aku baru sadar bahwa aku pergi tidur dengan menggunakan
sweatshirt, tapi sekarang mana sweatshirt-ku? Aku mulai panik, apalagi ketika aku
sadar
bahwa Ervin sedang memperhatikan aku, dan tatapannya jatuh ke arah
dadaku.
“Sweatshirt lo ada di sana,” ucap Ervin yang lalu
menunjuk salah satu kursi yang
ada di
kamar itu. Pandanganku beralih ke arah jari telunjuknya.
“Lho
kok bisa sampai di sana?” tanyaku curiga.
“Apa
nggak pernah ada yang bilang lo tidurnya mirip orang Belanda lagi
perang?”
ledeknya.
“Hah?”
tanyaku bingung.
“Membabi
buta,” jelasnya.
Mataku
sudah bisa lebih fokus dan pandanganku jatuh ke tempat tidur yang
baru
saja ditiduri Ervin. Tempat tidur itu terlihat rapi, hanya selimutnya yang agak
terlipat
dengan bentuk trapesium yang memberikan indikasi bahwa tempat tidur itu
sudah
ditiduri.
“Gue
tadi telepon kamar lo, teman sekamar lo sudah bangun dan lagi bingung
elo ada
di mana,” Ervin memberitahuku.
Kemudian
hening. Tidak satu pun dari kami yang mengeluarkan suara. Aku
dapat
melihat bahwa dia memandangiku dengan tatapan yang super-aneh.
Mungkin
dia berpikir bahwa ternyata tampangku cukup jelek lima menit setelah
bangun
tidur.
“I guess, I better go then,” ucapku dengan gugup sambil langsung
bergegas
menuju
pintu.
Ervin
mendahuluiku dan membukakan pintu.
Aku
melangkah menyeberangi lorong ke kamarku. Aku mengetuk pintu dengan
pelan.
Setelah beberapa saat menunggu dan pintu masih bergeming, aku
mengetuknya
lagi. Aku lalu mengalihkan perhatianku pada Ervin yang masih
berdiri
di depan pintu kamarnya dengan celana piama kotak-kotak dan kaus putih.
Untuk
orang yang baru bangun tidur, dia kelihatan cukup seksi. Kausnya yang agak
tipis
membuatku bisa melihat otot-otot di tubuhnya, termasuk six-packs di perutnya.
Ervin
kemudian melemparkan senyuman mematikannya padaku.
Panik,
aku mulai mengetuk pintu kamarku dengan lebih keras. Beberapa saat
kemudian
pintu itu pun terbuka. Aku mengucapkan terima kasih kepada Ervin
yang
membalasnya dengan lambaian tangan sebelum aku menutup pintu kamarku
dan
bisa bernapas lega.
* * *
Keesokan
harinya kami sudah dijemput menuju markas Good Life jam tujuh pagi
untuk
melalui training. Training kami dilakukan secara terpisah berdasarkan divisi,
dengan
begitu aku harus melalui training Human Development-ku sendiri. Ervin
dan dua
orang lainnya bergabung dengan Business Development. Sedangkan
sisanya
menuju ke divisi Product Placement. Aku tidak tahu apa yang diajarkan
kepada
tujuh orang lainnya, tetapi untukku, bagian HR Good Life di Cincinnati
memperkenalkanku
dengan segala peraturan personalia yang harus aku terapkan
juga di
dalam Good Life di Jakarta. Dan begitulah aku menghabiskan waktuku
selama
satu minggu ke depan. Berangkat jam tujuh pagi, pulang jam enam sore, dan
aku
harus mempelajari lagi apa yang sudah diajarkan padaku pada hari itu
sekembalinya
aku ke hotel supaya aku bisa mengikuti apa yang akan diajarkan
keesokan
harinya.
Dan
sepertinya rekan-rekan satu timku juga melalui hal yang sama karena
mereka
selalu kelihatan sibuk sendiri, kecuali Ervin. Dia selalu menyempatkan diri
untuk
mencariku di kantin Good Life dan makan siang satu meja denganku dan
menjemputku
dari kamar untuk mengajakku makan malam. Terkadang saat
semuanya
sudah tidur, aku dan dia akan turun ke bawah dan belajar di lobi. Saat
waktunya
kami semua kembali ke Jakarta, kami sudah seperti anak kembar siam
yang
menempel di pinggul dan tidak bisa dipisahkan. Dia duduk di sampingku
sepanjang
perjalanan dari Cincinnati hingga Jakarta dan tidak hanya memastikan
bahwa
aku sudah minum Antimo dan cukup selimut supaya tidak kedinginan, tapi
dia
juga menghiburku tanpa henti dengan humornya sehingga aku menikmati
setiap
menit dari perjalanan panjang itu.
Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 5
No comments:
Post a Comment