11.
CIUMAN
AKU
terbangun beberapa jam kemudian di tempat tidurku di rumah. Aku mencoba
mengingat
bagaimana aku bisa sampai di sini. Lalu memori mengenai beberapa jam
yang
lalu perlahan-lahan kembali. Aku ingat Ervin menawarkan untuk
mengantarkan
orangtuaku pulang, tetapi mereka menolak, lebih memilih untuk
menunggu
Pak Yoyok untuk menjemput. Lalu Ervin meminta izin kepada mereka
untuk
membawaku pulang. Sekilas kuingat Ervin memapahku ke mobilnya dan
membawaku
pulang. Lalu perjalanan dari pintu depan ke kamarku di dalam
pelukannya.
Aku hanya sempat menukar bajuku dengan piama sebelum tewas.
Kudengar
ada ketukan pelan di pintu kamarku sebelum kemudian Mpok Sanah
masuk
untuk membangunkanku.
“Udah
mendusin belom?” tanyanya. Mpok Sanah sudah bekerja untuk
keluargaku
semenjak aku bayi, dan terkadang bahasa Betawi-nya yang kental masih
suka
membuatku tertawa.
“Jam
berapa, Mpok?” tanyaku, mencoba untuk mengedipkan mataku beberapa
kali
untuk mengusir kantuk.
“Udah
mau magrib.”
Mpok
Sanah kemudian melangkah masuk untuk menutup jendela kamarku.
“Ibu
sama Bapak sudah pulang?” tanyaku.
“Udah
balik lagi noh ke rumah sakit.”
Rupanya
mereka tidak mau menungguku. Ya sudah, nanti aku ke rumah sakit
sendiri.
Aku melangkah turun dari tempat tidurku.
“Buru dah mandi,
ada nyang nunggu noh di luar.”
Aku
berjalan ke dresser-ku untuk mengambil pakaian dalam. “Siapa?” tanyaku.
“Anak
muda nyang nganter tadi pagi, sapa
namanya yah... Eh iya... Kepin.”
“Siapa?”
Aku tahu bahwa Mpok Sanah selalu salah kalau sudah urusan nama
orang.
Aku hanya ingin memastikan.
“Kepin...
eh... Empin... eh... tau dah. Nyang
nganter tadi pagi. Noh liet
ndiri aja
dah,” ucapnya dengan
nada tidak pasti.
“Ervin?”
teriakku kaget.
“Nah,
bener tuh. Cakep bener dah orangnya, mirip bintang pelem,” ucap Mpok
Sanah
tersipu-sipu.
Meskipun
kaget Ervin ada di rumahku, tetapi aku terpaksa tertawa melihat
tingkah
laku Mpok Sanah. Buru-buru aku masuk ke kamar mandi. Dalam hati aku
bertanya-tanya,
untuk apa Ervin ke sini lagi?
Setengah
jam kemudian kutemukan Ervin sedang duduk dengan santai di sofa
sambil
menonton Anderson Cooper 360. Volume TV cukup rendah sehingga dia
mendengarku
menuruni tangga.
“Hei,
Vin,” sapaku..
“Hey, you.”
Ervin buru-buru menghampiriku.
Aku
melihat ada bayangan hitam di bawah matanya seperti dia belum tidur.
Kulitnya
pun terlihat lebih pucat daripada biasanya.
“Sori
tadi malam... eh, tadi pagi... gue ngantuk banget. Makasih sudah ngantar
gue
pulang.”
“No problem.”
Selama
beberapa detik ada keheningan. Rupanya silir angin pertengkaran kami
sebelumnya
masih tersisa, meskipun kini aku tidak bisa mengingat inti dari
pertengkaran
tersebut. Ketika Ervin tidak mengatakan apa-apa, aku terpaksa
mencari
topik pembicaraan. “Sudah makan?” tanyaku lalu berjalan menuju kulkas.
“Gue
tadi sudah makan di rumah,” jawabnya sambil mengikutiku ke dapur.
“Mau
minum?”
“Nggak,
tadi sudah dibuatkan teh sama Mpok Sanah.”
“Oh.”
Aku sudah kehabisan bahan pembicaraan. Aku mesti ngomong apa lagi?
“Akhirnya
gue bisa liaht rumah lo dari dalam,” ucap Ervin tiba-tiba.
Aku
hanya memandangnya bingung.
“Iya...
lo kan selama ini nggak pernah ngundang gue masuk.” Ada senyum
simpul
di sudut bibir Ervin ketika mengatakannya. “Kamar lo juga bagus...
nyaman,”
lanjutnya.
Aku
menyipitkan mataku curiga. Apa maksudnya dengan kata-kata itu? Aku
menunggu
kalimat selanjutnya, tapi tidak kunjung datang.
“Lo
nggak ke rumah sakit?” tanya Ervin tiba-tiba mengganti topik.
Aku
hampir tersedak mendengar pergantiain topik yang tiba-tiba itu. “Oh...
nggak.
Tadi Nyokap telepon, katanya gue istirahat saja. Besok giliran gue ke sana,”
jawabku
setenang mungkin. Ibuku memang menelepon sewaktu aku sedang mandi
dan
meninggalkan pesan kepada Mpok Sanah untuk memberitahu soal itu.
“Gue
pikir lo mau ke rumah sakit, soalnya kalau lo mau, gue bisa antar,” ucap
Ervin.
Aku
tertawa mendengar penawarannya. “Vin... gue bukannya mau ngusir elo
ya,
tapi elo kelihatan capek banget. Jadi kayaknya lebih baik lo pulang dan tidur,”
ucapku.
Wajah
lelah Ervin terlihat kecewa. “Lo nggak perlu gue lagi?”
Aku
agak kaget dengan pertanyaan juga nadanya. Aku memandangi Ervin yang
sepertinya
sedang menunggu jawaban dariku dengan penuh harap.
“Nggak...
bukan itu. Gue perlu elo, tapi nggak saat ini,” jawabku pelan.
“Tapi
lo akan perlu gue nanti?” tanyanya penuh harap.
“Iya
nanti,” balasku.
Wah...
laki-laki satu ini benar-benar kelelahan sampai berkelakuan aneh seperti
ini,
pikirku.
Aku
mengantar Ervin ke mobilnya yang diparkir di pinggir jalan. Setelah
sampai
di depan mobil aku berkata, “Thanks
for everything.”
Ervin
terlihat ragu sesaat sebelum kemudian berkata, “Dri... gue minta maaf soal
tadi
malam. Soal omongan gue yang kelewatan. Gue juga nggak tahu kenapa gue
marah-marah
sama elo.”
Aha...
dia merasa bersalah rupanya. Itu sebabnya dia berkelakuan baik malam
ini.
“Nggak
apa-apa,” ucapku bersungguh-sungguh.
Kemudian
Ervin terdiam beberapa detik. “Akhirnya gue bisa ketemu juga sama
keluarga
lo ya. Lo ternyata sayang juga sama Mbak Tita lo itu,” ucap Ervin pelan.
Aku
tertawa kecil. “Yeah, well, dia itu segalanya buat gue,” jawabku. “Nanti lo
gue
kenalin ke dia deh kalau dia sudah keluar rumah sakit.”
“I’d like that,”
jawab Ervin sambil tersenyum dan menatapku.
Aku
memang sering menjadi korban tatapan mata Ervin, berapa kali bahkan
menyebabkanku
hampir mau pingsan. Tapi itu semua tidak sebanding dengan apa
yang
kurasakan malam ini. Ada sesuatu yang berbeda di matanya. Mungkin karena
aku
terbiasa dengan tatapannya yang penuh kepastian, tapi senja ini, mata itu
terlihat
ragu. Lampu jalan mulai menyala dan sinarnya menyinari wajah Ervin dari
sisi
yang membuat matanya terlihat berbinar-binar.
Aku
maju beberapa langkah ke arah Ervin untuk mencium pipinya, seperti biasa
cara
kami say goodbye. Tapi entah gara-gara angin apa, setelah aku berada cukup
dekat
dengan pipinya, pandanganku justru jatuh pada bibirnya. Ervin yang melihat
reaksiku
hanya terdiam dan menunggu. Sejujurnya beberapa bulan setelah aku
mengenal
Ervin, aku sempat bertanya-tanya bagaimana rasanya kalau Ervin
menciumku.
Tapi lambat laun, rasa keingintahuanku itu memudar, bahkan hilang
sama
sekali, hingga sekarang. Dan suatu alarm yang bunyinya mirip sekali dengan
alarm
pesawat ulang-alik yang mengalami masalah dengan mesinnya mulai
berbunyi.
Mayday... Mayday... Houston we have a problem. Adriana
Amandira akan jatuh.
Minta
bantuan. Diulang... minta bantuan. Dia jatuh cinta setengah mati pada lakilaki
ini.
Karena
aku berdiri di atas trotoar, mataku dan Ervin bisa saling tatap. Untuk
pertama
kalinya tinggi kami hampir sejajar. Dengan penuh keraguan, kuletakkan
tangan
kananku di lengannya. Kudekatkan wajahku sehingga hanya ada sekitar
lima
sentimeter yang memisahkan bibirku dengan bibirnya. Ervin menggerakkan
kepalanya
sedikit dan dia pun mendekatkan kepalanya kepadaku. Kedua tangan
Ervin
telah memegang pinggangku. Terakhir yang kusadari adalah sentuhan singkat
bibir
Ervin di bibirku sebelum ada bunyi klakson mobil yang menyadarkanku.
Buru-buru
kutarik wajahku dari hadapan Ervin dan mencium pipinya. Ervin yang
agak-agak
kaget melihat pergantian emosiku terlihat bingung sebelum kemudian
membalas
dengan memberikan ciuman di pipiku juga.
Ketika
M3-nya meluncur pergi aku dapat melihat tatapan mata Ervin yang
terlihat
sedikit sendu. Aku tidak pernah melihatnya seperti itu.
HOLY CRAP!!! If I wasn’t in a deep shit before, I am
now.
*
* *
Ketika
aku sedang bersiap-siap untuk makan malam, kepalaku seperti sedang
berlari
di atas treadmill. Aku mencoba mencari penjelasan mengenai kejadian
beberapa
saat yang lalu. Beberapa kali Ervin meneleponku tapi tidak kuangkat. Aku
mencoba
memblokir segala sesuatunya tentang Ervin.
Aku
TIDAK jatuh cinta pada Ervin. Itu tidak hanya aneh, tapi juga BODOH!!!
Berkali-kali
aku mengomeli diriku sendiri yang menaruh benih ide gila itu di
kepalaku.
Ini Ervin, temanku yang playboy abissss, yang meskipun sudah
mengenalku
selama hampir dua tahun tidak pernah sekali pun mencoba untuk
menjalin
hubungan romantis denganku. Lebih parahnya, bagaimana aku bisa
menghadapinya
besok? Oke, mungkin aku bisa menghindar selama beberapa hari,
tapi
aku tidak bisa menghindar selamanya. Mau tidak mau pasti akan bertemu juga.
Sengaja
atau tidak sengaja. Kepanikan mulai menyelimutiku. Bagaimana kalau
Ervin
menceritakan kejadian barusan kepada orang-orang kantor? Aku bisa jadi
bahan
tertawaan selama berbulan-bulan.
Jam
sembilan malam pikiranku sudah semakin gila. Aku berkontemplasi untuk
pindah
kerja. Kira-kira perusahaan mana yang mau mempekerjakanku secepatnya?
Kalau
bisa mulai minggu depan. Tapi tentu saja itu gila. Tidak ada perusahaan yang
akan
mempekerjakanku secepat itu dan Good Life tidak akan melayani surat
pengunduran
diriku kecuali itu diserahkan sebulan sebelumnya. Aku tahu betul
peraturan
itu karena aku yang membuat peraturan itu. DAMN
IT!!!!!
Tiba-tiba
HP-ku berbunyi. Dari Baron. Untuk pertama kali aku menyesal telah
memberikan
nomor HP-ku padanya sewaktu di Hard Rock. Aku tidak perlu ada
satu
orang lagi yang membuatku pusing gara-gara hatiku.
“Halo,
Ron,” ujarku.
“Gimana
Mbak Tita, katanya sudah melahirkan, ya?” Suara Baron terdengar
antusias.
Aku
mendengar bunyi “tuuuuut” yang menandakan bahwa baterai HP-ku
sudah
sangat lemah. Aku yang selalu lupa nge-charge
HP, hari itu bahkan lebih lupa
lagi.
“Hah?”
ucapku mencoba untuk menangkap kata-kata Baron yang terakhir.
“Aku
telepon beberapa kali tadi siang, tapi nggak diangkat, jadi aku coba jam
segini,
siapa tahu kamu sudah bangun.”
“Good timing,”
gumamku.
“Jadi,
laki-laki apa perempuan?”
“Laki-laki.
Namanya Lukas.”
“Congrats ya,
bilangin ke Mbak Tita, aku titip salam.”
“Iya,
makasih.” Aku mendengar bunyi “tuuuut” itu lagi.
“Kamu
lagi di mana sih, kok ramai amat?”
Aku
memang sedang nonton MTV, dan lagu terbaru Paramore sedang terlantun
dengan
cukup keras. Aku langsung mengecilkan volume TV.
“Oh
sori, aku lagi nonton TV.” Aku mencoba mencari charger HP yang
seingatku
kutinggalkan
di ruang TV, tapi aku tidak bisa menemukannya.
“Ohhhhh,
ya sudah kalau begitu, kapan-kapan aku telepon lagi ya. Kita perlu
ngobrol
nih, kemarin waktu ketemuan nggak sempat ngobrol panjang-lebar.”
“Oh
iya,” balasku pendek.
“Ya
anyway, gini...,” sebelum Baron selesai berbicara tiba-tiba
sambungannya
terputus.
Sinyalnya hilang beberapa saat. Belum lagi ternyata baterai HP-ku sudah
superlow.
“Ron,
aku nggak bisa dengar kamu... Ron,” teriakku.
Aku
mencoba berjalan ke tempat lain agar mendapat sinyal, tapi tetap tidak
mendapatkannya.
Aduuhhhh... padahal aku mau tahu apa yang akan dikatakannya.
Aku
tahu dia mau menanyakan sesuatu padaku.
“Stupid cell phone,”
omelku ketika hubungan itu benar-benar terputus karena
teleponku
mati total.
Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 11
No comments:
Post a Comment