Sunday, September 6, 2015

Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 11

11. CIUMAN

AKU terbangun beberapa jam kemudian di tempat tidurku di rumah. Aku mencoba
mengingat bagaimana aku bisa sampai di sini. Lalu memori mengenai beberapa jam
yang lalu perlahan-lahan kembali. Aku ingat Ervin menawarkan untuk
mengantarkan orangtuaku pulang, tetapi mereka menolak, lebih memilih untuk
menunggu Pak Yoyok untuk menjemput. Lalu Ervin meminta izin kepada mereka
untuk membawaku pulang. Sekilas kuingat Ervin memapahku ke mobilnya dan
membawaku pulang. Lalu perjalanan dari pintu depan ke kamarku di dalam
pelukannya. Aku hanya sempat menukar bajuku dengan piama sebelum tewas.
Kudengar ada ketukan pelan di pintu kamarku sebelum kemudian Mpok Sanah
masuk untuk membangunkanku.
“Udah mendusin belom?” tanyanya. Mpok Sanah sudah bekerja untuk
keluargaku semenjak aku bayi, dan terkadang bahasa Betawi-nya yang kental masih
suka membuatku tertawa.
“Jam berapa, Mpok?” tanyaku, mencoba untuk mengedipkan mataku beberapa
kali untuk mengusir kantuk.
“Udah mau magrib.”
Mpok Sanah kemudian melangkah masuk untuk menutup jendela kamarku.
“Ibu sama Bapak sudah pulang?” tanyaku.
“Udah balik lagi noh ke rumah sakit.”
Rupanya mereka tidak mau menungguku. Ya sudah, nanti aku ke rumah sakit
sendiri. Aku melangkah turun dari tempat tidurku.
Buru dah mandi, ada nyang nunggu noh di luar.”
Aku berjalan ke dresser-ku untuk mengambil pakaian dalam. “Siapa?” tanyaku.
“Anak muda nyang nganter tadi pagi, sapa namanya yah... Eh iya... Kepin.”
“Siapa?” Aku tahu bahwa Mpok Sanah selalu salah kalau sudah urusan nama
orang. Aku hanya ingin memastikan.
“Kepin... eh... Empin... eh... tau dah. Nyang nganter tadi pagi. Noh liet ndiri aja
dah,” ucapnya dengan nada tidak pasti.
“Ervin?” teriakku kaget.
“Nah, bener tuh. Cakep bener dah orangnya, mirip bintang pelem,” ucap Mpok
Sanah tersipu-sipu.
Meskipun kaget Ervin ada di rumahku, tetapi aku terpaksa tertawa melihat
tingkah laku Mpok Sanah. Buru-buru aku masuk ke kamar mandi. Dalam hati aku
bertanya-tanya, untuk apa Ervin ke sini lagi?
Setengah jam kemudian kutemukan Ervin sedang duduk dengan santai di sofa
sambil menonton Anderson Cooper 360. Volume TV cukup rendah sehingga dia
mendengarku menuruni tangga.
“Hei, Vin,” sapaku..
Hey, you.” Ervin buru-buru menghampiriku.
Aku melihat ada bayangan hitam di bawah matanya seperti dia belum tidur.
Kulitnya pun terlihat lebih pucat daripada biasanya.
“Sori tadi malam... eh, tadi pagi... gue ngantuk banget. Makasih sudah ngantar
gue pulang.”
No problem.”
Selama beberapa detik ada keheningan. Rupanya silir angin pertengkaran kami
sebelumnya masih tersisa, meskipun kini aku tidak bisa mengingat inti dari
pertengkaran tersebut. Ketika Ervin tidak mengatakan apa-apa, aku terpaksa
mencari topik pembicaraan. “Sudah makan?” tanyaku lalu berjalan menuju kulkas.
“Gue tadi sudah makan di rumah,” jawabnya sambil mengikutiku ke dapur.
“Mau minum?”
“Nggak, tadi sudah dibuatkan teh sama Mpok Sanah.”
“Oh.” Aku sudah kehabisan bahan pembicaraan. Aku mesti ngomong apa lagi?
“Akhirnya gue bisa liaht rumah lo dari dalam,” ucap Ervin tiba-tiba.
Aku hanya memandangnya bingung.
“Iya... lo kan selama ini nggak pernah ngundang gue masuk.” Ada senyum
simpul di sudut bibir Ervin ketika mengatakannya. “Kamar lo juga bagus...
nyaman,” lanjutnya.
Aku menyipitkan mataku curiga. Apa maksudnya dengan kata-kata itu? Aku
menunggu kalimat selanjutnya, tapi tidak kunjung datang.
“Lo nggak ke rumah sakit?” tanya Ervin tiba-tiba mengganti topik.
Aku hampir tersedak mendengar pergantiain topik yang tiba-tiba itu. “Oh...
nggak. Tadi Nyokap telepon, katanya gue istirahat saja. Besok giliran gue ke sana,”
jawabku setenang mungkin. Ibuku memang menelepon sewaktu aku sedang mandi
dan meninggalkan pesan kepada Mpok Sanah untuk memberitahu soal itu.
“Gue pikir lo mau ke rumah sakit, soalnya kalau lo mau, gue bisa antar,” ucap
Ervin.
Aku tertawa mendengar penawarannya. “Vin... gue bukannya mau ngusir elo
ya, tapi elo kelihatan capek banget. Jadi kayaknya lebih baik lo pulang dan tidur,”
ucapku.
Wajah lelah Ervin terlihat kecewa. “Lo nggak perlu gue lagi?”
Aku agak kaget dengan pertanyaan juga nadanya. Aku memandangi Ervin yang
sepertinya sedang menunggu jawaban dariku dengan penuh harap.
“Nggak... bukan itu. Gue perlu elo, tapi nggak saat ini,” jawabku pelan.
“Tapi lo akan perlu gue nanti?” tanyanya penuh harap.
“Iya nanti,” balasku.
Wah... laki-laki satu ini benar-benar kelelahan sampai berkelakuan aneh seperti
ini, pikirku.
Aku mengantar Ervin ke mobilnya yang diparkir di pinggir jalan. Setelah
sampai di depan mobil aku berkata, “Thanks for everything.”
Ervin terlihat ragu sesaat sebelum kemudian berkata, “Dri... gue minta maaf soal
tadi malam. Soal omongan gue yang kelewatan. Gue juga nggak tahu kenapa gue
marah-marah sama elo.”
Aha... dia merasa bersalah rupanya. Itu sebabnya dia berkelakuan baik malam
ini.
“Nggak apa-apa,” ucapku bersungguh-sungguh.
Kemudian Ervin terdiam beberapa detik. “Akhirnya gue bisa ketemu juga sama
keluarga lo ya. Lo ternyata sayang juga sama Mbak Tita lo itu,” ucap Ervin pelan.
Aku tertawa kecil. “Yeah, well, dia itu segalanya buat gue,” jawabku. “Nanti lo
gue kenalin ke dia deh kalau dia sudah keluar rumah sakit.”
I’d like that,” jawab Ervin sambil tersenyum dan menatapku.
Aku memang sering menjadi korban tatapan mata Ervin, berapa kali bahkan
menyebabkanku hampir mau pingsan. Tapi itu semua tidak sebanding dengan apa
yang kurasakan malam ini. Ada sesuatu yang berbeda di matanya. Mungkin karena
aku terbiasa dengan tatapannya yang penuh kepastian, tapi senja ini, mata itu
terlihat ragu. Lampu jalan mulai menyala dan sinarnya menyinari wajah Ervin dari
sisi yang membuat matanya terlihat berbinar-binar.
Aku maju beberapa langkah ke arah Ervin untuk mencium pipinya, seperti biasa
cara kami say goodbye. Tapi entah gara-gara angin apa, setelah aku berada cukup
dekat dengan pipinya, pandanganku justru jatuh pada bibirnya. Ervin yang melihat
reaksiku hanya terdiam dan menunggu. Sejujurnya beberapa bulan setelah aku
mengenal Ervin, aku sempat bertanya-tanya bagaimana rasanya kalau Ervin
menciumku. Tapi lambat laun, rasa keingintahuanku itu memudar, bahkan hilang
sama sekali, hingga sekarang. Dan suatu alarm yang bunyinya mirip sekali dengan
alarm pesawat ulang-alik yang mengalami masalah dengan mesinnya mulai
berbunyi.
Mayday... Mayday... Houston we have a problem. Adriana Amandira akan jatuh.
Minta bantuan. Diulang... minta bantuan. Dia jatuh cinta setengah mati pada lakilaki
ini.
Karena aku berdiri di atas trotoar, mataku dan Ervin bisa saling tatap. Untuk
pertama kalinya tinggi kami hampir sejajar. Dengan penuh keraguan, kuletakkan
tangan kananku di lengannya. Kudekatkan wajahku sehingga hanya ada sekitar
lima sentimeter yang memisahkan bibirku dengan bibirnya. Ervin menggerakkan
kepalanya sedikit dan dia pun mendekatkan kepalanya kepadaku. Kedua tangan
Ervin telah memegang pinggangku. Terakhir yang kusadari adalah sentuhan singkat
bibir Ervin di bibirku sebelum ada bunyi klakson mobil yang menyadarkanku.
Buru-buru kutarik wajahku dari hadapan Ervin dan mencium pipinya. Ervin yang
agak-agak kaget melihat pergantian emosiku terlihat bingung sebelum kemudian
membalas dengan memberikan ciuman di pipiku juga.
Ketika M3-nya meluncur pergi aku dapat melihat tatapan mata Ervin yang
terlihat sedikit sendu. Aku tidak pernah melihatnya seperti itu.
HOLY CRAP!!! If I wasn’t in a deep shit before, I am now.
* * *
Ketika aku sedang bersiap-siap untuk makan malam, kepalaku seperti sedang
berlari di atas treadmill. Aku mencoba mencari penjelasan mengenai kejadian
beberapa saat yang lalu. Beberapa kali Ervin meneleponku tapi tidak kuangkat. Aku
mencoba memblokir segala sesuatunya tentang Ervin.
Aku TIDAK jatuh cinta pada Ervin. Itu tidak hanya aneh, tapi juga BODOH!!!
Berkali-kali aku mengomeli diriku sendiri yang menaruh benih ide gila itu di
kepalaku. Ini Ervin, temanku yang playboy abissss, yang meskipun sudah
mengenalku selama hampir dua tahun tidak pernah sekali pun mencoba untuk
menjalin hubungan romantis denganku. Lebih parahnya, bagaimana aku bisa
menghadapinya besok? Oke, mungkin aku bisa menghindar selama beberapa hari,
tapi aku tidak bisa menghindar selamanya. Mau tidak mau pasti akan bertemu juga.
Sengaja atau tidak sengaja. Kepanikan mulai menyelimutiku. Bagaimana kalau
Ervin menceritakan kejadian barusan kepada orang-orang kantor? Aku bisa jadi
bahan tertawaan selama berbulan-bulan.
Jam sembilan malam pikiranku sudah semakin gila. Aku berkontemplasi untuk
pindah kerja. Kira-kira perusahaan mana yang mau mempekerjakanku secepatnya?
Kalau bisa mulai minggu depan. Tapi tentu saja itu gila. Tidak ada perusahaan yang
akan mempekerjakanku secepat itu dan Good Life tidak akan melayani surat
pengunduran diriku kecuali itu diserahkan sebulan sebelumnya. Aku tahu betul
peraturan itu karena aku yang membuat peraturan itu. DAMN IT!!!!!
Tiba-tiba HP-ku berbunyi. Dari Baron. Untuk pertama kali aku menyesal telah
memberikan nomor HP-ku padanya sewaktu di Hard Rock. Aku tidak perlu ada
satu orang lagi yang membuatku pusing gara-gara hatiku.
“Halo, Ron,” ujarku.
“Gimana Mbak Tita, katanya sudah melahirkan, ya?” Suara Baron terdengar
antusias.
Aku mendengar bunyi “tuuuuut” yang menandakan bahwa baterai HP-ku
sudah sangat lemah. Aku yang selalu lupa nge-charge HP, hari itu bahkan lebih lupa
lagi.
“Hah?” ucapku mencoba untuk menangkap kata-kata Baron yang terakhir.
“Aku telepon beberapa kali tadi siang, tapi nggak diangkat, jadi aku coba jam
segini, siapa tahu kamu sudah bangun.”
Good timing,” gumamku.
“Jadi, laki-laki apa perempuan?”
“Laki-laki. Namanya Lukas.”
Congrats ya, bilangin ke Mbak Tita, aku titip salam.”
“Iya, makasih.” Aku mendengar bunyi “tuuuut” itu lagi.
“Kamu lagi di mana sih, kok ramai amat?”
Aku memang sedang nonton MTV, dan lagu terbaru Paramore sedang terlantun
dengan cukup keras. Aku langsung mengecilkan volume TV.
“Oh sori, aku lagi nonton TV.” Aku mencoba mencari charger HP yang seingatku
kutinggalkan di ruang TV, tapi aku tidak bisa menemukannya.
“Ohhhhh, ya sudah kalau begitu, kapan-kapan aku telepon lagi ya. Kita perlu
ngobrol nih, kemarin waktu ketemuan nggak sempat ngobrol panjang-lebar.”
“Oh iya,” balasku pendek.
“Ya anyway, gini...,” sebelum Baron selesai berbicara tiba-tiba sambungannya
terputus. Sinyalnya hilang beberapa saat. Belum lagi ternyata baterai HP-ku sudah
superlow.
“Ron, aku nggak bisa dengar kamu... Ron,” teriakku.
Aku mencoba berjalan ke tempat lain agar mendapat sinyal, tapi tetap tidak
mendapatkannya. Aduuhhhh... padahal aku mau tahu apa yang akan dikatakannya.
Aku tahu dia mau menanyakan sesuatu padaku.
Stupid cell phone,” omelku ketika hubungan itu benar-benar terputus karena

teleponku mati total.



Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 11

No comments:

Post a Comment