10.
ERVIN VERSUS BARON
SELAMA
perjalanan menuju Bundaran HI, aku dan Ervin sempat membicarakan
pertemuanku
dengan Sarah, dan telepon Sarah beberapa hari yang lalu untuk
makan
siang denganku minggu depan.
“So, gue denger lo
pergi makan siang sama Reza hari Kamis kemarin,” Ervin
membuka
pembicaraan.
Aku
mengangguk, meskipun bingung mengapa dia menanyakan hal yang tidak
penting
seperti itu.
“Kok
lo mau sih?” lanjutnya dengan nada bingung sekaligus menuduh.
Mendengar
nadanya yang menurutku terdengar sedikit menghina, aku
tersinggung.
“Memangnya
Reza kenapa?” tanyaku balik.
“Dia
terlalu tua buat elo.”
“Dia
cuma setahun lebih tua dari elo,” balasku.
“Really?” tanya
Ervin tidak percaya.
Aku
mengangguk. “Dia kelihatan jauh lebih tua dari gue,” gumam Ervin. “Tapi
lo
jangan pergi lagi sama dia,” lanjut Ervin dengan nada lebih keras.
“Aduhhh,
kenapa lagi sih?” tanyaku tidak sabaran.
“Karena
Reza keturunan bule, dan dia suka digosipin yang nggak-nggak,”
jawab
Ervin.
“Oma
lo orang Belanda, Vin, lo juga ada keturunan bule. Dan lo juga sering
digosipin
yang nggak-nggak di kantor.” Aku mencoba untuk mencari penjelasan
atas
tingkah laku Ervin sore ini.
“Oke,
tapi Reza itu playboy,” jawab Ervin tanpa memandangku.
“Nggak
bedalah sama elo,” balasku. Aku tidak percaya bahwa kami bertengkar
karena
urusan laki-laki. Selama ini Ervin tidak pernah peduli dengan siapa aku
pergi
lunch, kenapa dia jadi sewot sekarang? Satu-satunya penjelasan yang
bisa
kupikirkan
adalah karena Reza sering disebut-sebut sebagai “Manajer Paling
Ganteng”
di kantorku dan Ervin merasa tersaingi.
“Maksud
lo nggak beda?” Kini Ervin memandangku dengan kening berkerut.
Jelas-jelas
aku membuatnya tersinggung. Bagus!!!
“Lo
dan Reza sama playboy-nya, tapi mungkin Reza sedikit lebih metroseksual
daripada
elo.”
“Kok
lo ngomong gitu?” Suara Ervin mulai agak meninggi. Nadanya terdengar
aneh,
nada yang tidak bisa kutebak karena tidak pernah kudengar sebelumnya dari
Ervin.
“Oke,
penting nggak sih kita berdebat soal ini?” tanyaku dengan nada setenang
mungkin.
Aku tidak mau bertengkar dengan Ervin. Tidak sekarang setidaktidaknya.
Mungkin
nanti kalau kami sudah sampai di Hard Rock dan perhatian
Ervin
tidak terbagi antara mengemudikan mobil dan debatnya denganku.
“Ini
bukan debat, tapi diskusi,” balasnya.
“Kalau
gitu... bisa nggak kita mendiskusikan ini nanti saja? Gue nggak mau lo
nabrak
gara-gara... diskusi ini.”
Mendengar
alasanku yang masuk akal, Ervin terdiam.
“Omong-omong,
gue dengar lo nolak tawaran buat jadi brand
manager-nya
Clean?”
tanyaku. Clean adalah produk sabun pencuci baju terbaru Good Life dan
promosinya
akan besar-besaran.
“Oh
itu... ya... gue tolak karena gue nggak siap,” jawab Ervin enteng.
Jawaban
santai Ervin membuatku melotot. Inilah salah satu dari banyak hal
yang
membuatku terkadang naik pitam padanya. Dibandingkan dengan kolegakolegaku
di
Good Life yang sepantar dengannya, sebetulnya Ervin bisa lebih cepat
naik
ke jenjang karier yang lebih tinggi kalau dia menginginkannya. Tapi sepertinya
dia
selalu mencoba menahan diri dan membiarkan orang lain untuk menjadi lebih
sukses
daripada dirinya. Hingga kini aku tidak pernah mengerti alasannya.
“Kalau
gue yang ditawarin, siap nggak siap kerjaan itu pasti gue ambil karena
itu
berarti stepping stone untuk karier gue.” Aku mencoba untuk menunjukkan
kepada
Ervin bahwa keputusannya untuk menolak itu salah.
“Ya...
orang kan beda-beda, Dri.”
Sekali
lagi Ervin kupelototi. Tapi bukannya takut, Ervin malah tersenyum.
“Tahun
depan lo sudah tiga puluh dua, seharusnya lo bangga bisa dipercaya
untuk
menangani kerjaan ini. Lo calon termuda yang pernah ditunjuk Good Life
untuk
jadi brand manager tiga produk sekaligus.”
“Kalau
gue terima kerjaan itu, gue nggak akan punya waktu untuk hal lain.”
“Lho...
memangnya lo ada hal lain apa yang lebih penting?”
“Banyak,”
jawab Ervin polos. “Clubbing, dating, jalan-jalan sama temen-temen
gue,
pokoknya hal-hal normal yang banyak dikerjakan oleh laki-laki single dan
heteroseksual
kayak gue lah,” lanjutnya.
Aku
tidak bisa berkata-kata. Aku bukanlah orang yang menyukai kekerasan,
tapi
pada saat itu aku ingin sekali menampar Ervin hingga babak-belur agar dia
sadar.
Akhirnya aku hanya bisa menarik napas sebelum pelan-pelan mengeluarkannya.
“Apa
lo nggak mikir, dengan jadi brand
manager Clean berarti gaji lo naik dan
masa
depan keluarga lo bisa lebih terjamin?” ucapku pelan. Aku mencoba untuk
mengganti
taktik.
“Keluarga
gue terjamin kok. Bokap kan sudah urus itu semua.”
“Bukan
keluarga yang itu maksud gue, ember. Maksud gue keluarga lo nanti.
Istri,
anak...” Aku membiarkan kata-kataku menggantung.
“Oh,
soal itu... Aduhhhhh, lo jadi mirip nyokap gue deh. Bawel.”
Bukan
kata—kata yang tepat untuk diucapkan tentangku pada saat itu.
“Gue
nggka bawel,” ucapku berapi-api.
“Oh
ya? Apa nggak pernah ada yang bilang ke elo bahwa lo bawel?” balasnya
ketus.
Mulutku
terbuka karena kaget. Apa maksudnya dengan kata-kata itu?
“Gue
nggak pernah nyangka kalau lo kayak gini,” akhirnya aku berkata pelan.
“Gue
kayak apa, Dri?” tanyanya.
“You are mean,”
jawabku.
Kini
giliran mulut Ervin yang ternganga. “I
am NOT mean.”
Aku
tidak menghiraukan kata-katanya dan menatap ke luar jendela. Ada jarumjarum
yang
menusuk-nusuk mataku, menandakan bahwa aku akan menangis
sebentar
lagi. Itulah kebiasaan yang sangat kubenci, entah bagaimana tapi
sepertinya
emosiku sangat berhubungan dengan saluran air mataku. Kalau sudah
sangat
marah aku justru akan menangis. Aku mengedipkan mata berkali-kali untuk
mencegah
hal itu terjadi. Aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri kalau aku
sampai
menangis di depan Ervin. Ervin mungkin tidak bermaksud apa-apa dengan
kata
itu, tapi kata “bawel” tidak berkonotasi baik di kepalaku. Aku tidak akan
berkeberatan
kalau orang bilang aku “nyentrik”, “aneh”, “hermit”, bahkan “perawan
tua”,
tapi tidak “bawel”. Itu penghinaan.
Melihat
reaksiku sepertinya Ervin sadar bahwa dia telah mengatakan hal yang
salah.
Tiba-tiba tanganku bagaikan disengat listrik. Secara refleks aku menarik
tanganku.
Tapi tangan Ervin menggenggam erat tanganku. Kuletakkan tanganku
kembali
di pangkuanku, tapi aku tidak membalas genggaman Ervin.
“Lo
marah, ya?” tanya Ervin pelan.
Aku
berpikir sesaat sebelum kemudian menggeleng.
“Kecewa?”
tanya Ervin lagi.
Tentu
saja aku kecewa. Aku kecewa karena kata-katanya.
Ketika
aku tidak menjawab, Ervin berkata, “Dri, gue nggak ambil kerjaan itu
karena
gue tahu ada banyak orang lain yang juga bisa mengerjakan pekerjaan itu.
Gue
mau kasih mereka kesempatan.”
Meskipun
aku kaget dengan penjelasannya, tapi aku tetap berdiam diri. Lagi
pula,
itu bukan kenapa aku kecewa dengannya.
“Makasih
buat penjelasannya, tapi itu nggak penting,” ucapku pelan.
“Jadi
apa yang penting, Dri?” Kini Ervin mencoba untuk mencuri pandang ke
mataku.
Tapi aku menolak menatapnya.
“Gue
nggak suka dibilang bawel. Kalau gue bawel, sudah dari lama gue ngomel
tentang
aktivitas... seksual lo yang sering melibatkan perempuan yang menurut gue
punya
reputasi yang harus dipertanyakan.”
Ervin
sepertinya akan memotongku, tapi aku belum selesai meluapkan
perasaanku.
“Gue
tahu bahwa gue sering terlalu sok tahu dan banyak orang yang nggak
suka
kalau gue ngomong terlalu jujur. Gue minta maaf kalau pendapat gue bikin lo
tersinggung,
tapi gue ngomong itu karena gue tahu lo mampu untuk lebih maju.
Selama
ini gue pikir elo ngerti maksud gue, tapi sekarang gue tahu gue sudah salah
sangka,”
ucapku perlahan-lahan.
Ervin
melepaskan genggamannya. Kami terdiam seribu bahasa. Aku melihat
beberapa
kali mulut Ervin terbuka seperti dia akan mengatakan sesuatu, tapi
kemudian
dia menutupnya kembali.
“I’m sorry,” ucap
Ervin akhirnya.
“Yeah, me too,”
balasku.
“No, no... I’m really sorry.”
Aku
tetap tidak mengangkat pandanganku dari pangkuanku.
“Dri,
bisa tolong lihat gue,” pinta Ervin.
Aku
ragu sesaat, kemudian aku mengalihkan perhatianku pada jalan raya di
depanku
sebelum kemudian memandangnya.
Ketika
yakin bahwa aku tidak akan berpaling lagi, Ervin memulai
penjelasannya.
“Lo salah satu orang di dunia ini yang pendapatnya sangat gue
hargai
karena lo selalu jujur. Kalau lo nggak suka sesuatu tentang orang... tentang
gue
terutama, lo selalu bilang ke gue.”
Aku
menunggunya untuk melanjutkan. “Sori, tapi mungkin memang hari ini
gue
lagi banyak pikiran... soal kerjaan, soal lamarannya Sarah, soal Reza sama
elo...”
Mendengar
nama Reza disebut-sebut lagi darahku langsung naik ke kepala.
“Gue
cuma pergi makan siang. Itu saja,” ucapku. Ketika sadar dengan kata-kataku,
aku
menggigit lidah. Aku tidak harus menjelaskan ini kepada Ervin.
“Tapi
gue nggak suka,” ucap Ervin dengan nada agak keras.
Aku
tidak peduli apa dia suka atau tidak aku berhubungan dengan Reza, dan
kata-katanya
yang menggurui membuatku kesal. “Elo tuh orang paling manja dan
egois
yang gue kenal, tau?”
Sekitar
pukul 17.30 kami tiba di Plaza EX. Ervin menawarkan untuk
menggandengku
dan aku memutuskan untuk meraih tangannya karena aku tidak
mau
hilang di tengah keramaian Hard Rock malam itu.
“Vin,
Ervin...” Tiba-tiba dari atas terdengar suara seseorang memanggilmanggil,
aku
pun mencoba mencari sumber suara itu. Rupanya Ervin telah
menemukan
siapa yang memanggilnya dan menarikku menuju tangga untuk ke
tingkat
atas. Ervin kemudian memegang pinggangku untuk menembus keramaian
Hard
Rock malam itu.
“Dri,
ayo, jangan ketinggalan,” ucap Ervin sambil memberiku senyuman.
Aku
lalu mencoba menyamai langkah Ervin yang terkesan agak tergesa-gesa.
“Vin,
lo jalan duluan saja, nanti kita ketemu di atas,” teriakku pada Ervin mengatasi
keramaian
Hard Rock. Ervin menatapku dengan ragu, tapi setelah aku
meyakinkannya,
dia pun melepaskan pinggangku dan menggenggam erat tanganku
sebelum
dia melepaskannya untuk mencari orang yang memanggilnya itu.
Ketika
sudah sampai di lantai atas, aku melihat Ervin sedang ngobrol dengan
seorang
laki-laki yang menggunakan hem biru muda dan celana jins. Postur tubuh
teman
Ervin itu benar-benar terlihat familier bagiku, dengan rambut ikalnya yang
agak-agak
kemerahan. Tiba-tiba seorang waiter
yang tergesa-gesa menuju tangga
tidak
melihatku. Aku terdorong cukup kuat sehingga harus mundur beberapa
langkah.
Tiba-tiba Ervin sudah ada di sampingku dan menuntunku menuju
temannya.
Beberapa saat kemudian aku berhadapan dengan punggung teman
Ervin.
“Tom,
ini Adri, date gue malam ini,” ucap Ervin.
Sebelum
aku bisa bereaksi dengan kata date, tiba-tiba HP-ku bergetar di dalam
tas.
Ketika akhirnya aku dapat meraih HP-ku, benda itu sudah berhenti bergetar.
Aku
melemparnya kembali ke dalam tas tanpa memeriksanya sebelum
memfokuskan
perhatian kepada teman Ervin itu.
“Dri,
kenalin, ini Thomas,” Ervin memperkenalkan kami.
Ketika
aku mengangkat wajahku dan bertatapan dengan Thomas, napasku
langsung
sesak. Aku mengedipkan mata beberapa kali karena berpikir bahwa aku
sedang
berhalusinasi. Tapi ketika aku membuka mataku lagi wajah Baron yang
terlihat
kaget dan bingung tetap ada di hadapanku. Baron yang sudah beberapa hari
ini
coba kuhindari. Akhirnya suaraku kembali dan aku berkata, “Baron?”
“Didi?”
Pada saat bersamaan Baron pun mengucapkan namaku dan kulihat
Ervin
yang tadinya hanya bisa mengerutkan kening karena bingung, kini menatap
curiga
bercampur keingintahuan.
“Baron?
Didi?” tanya Ervin. Ketika aku dan Baron tidak bereaksi, Ervin pun
menambahkan,
“Lo berdua memangnya kenal?”
Aku
hanya memandangi Ervin karena tidak tahu harus mengatakan apa. Baron
kemudian
menolongku. “Vin, ini Didi... teman SMP gue...” Tapi sebelum Baron
selesai
menjelaskan siapa aku, Ervin telah memotongnya.
“Didi?
Cinta mati lo waktu SMP itu?” teriak Ervin. Kulihat Baron menutup
matanya
untuk menahan diri agar tidak mencekik Ervin saat itu juga.
Kepalaku
bagaikan sedang lari maraton 10.000 meter, mencoba mencari titiktitik
yang
bisa menghubungkan Ervin dengan Baron, tapi tidak satu pun penjelasan
muncul
di otakku. Kemudian kurasakan HP-ku mulai bergetar lagi. Tanpa berpikir
panjang
aku langsung menggunakan alasan menjawab telepon untuk menghindar.
Aku
melangkah ke arah bar yang terlihat agak kosong.
Ternyata
yang meneleponku adalah Jana.
“Dri...
Eh, elo ada di mana sih, kok ramai banget?” tanya Jana dari ujung
telepon.
“Gue
lagi di Hard Rock. Kenapa?”
“Hard
Rock? Lho memang kondangannya di Hard Rock apa?”
“Nggak,
gue nggak lagi kondangan.”
“Lho,
katanya lo pergi kondangan?”
Aku
langsung tertawa terbahak-bahak karena pasti Mpok Sanah salah memberi
informasi
ke mana aku pergi ke Jana. Dari kejauhan aku dapat melihat bahwa Ervin
dan
Baron sedang mengadakan diskusi panjang-lebar mengenai sesuatu. Kadang
kala
Ervin memandang ke arahku sambil menyipitkan matanya. Kuperhatikan
kedua
laki-laki itu dengan lebih teliti. Mereka sama-sama ganteng abisss. Baron
kelihatan
jauh lebih dewasa daripada Ervin, tapi Ervin kelihatan lebih seksi. Tinggi
mereka
hampir sama, meskipun mungkin kalau diperhatikan dengan lebih teliti,
Ervin
lebih tinggi sekitar dua sentimeter daripada Baron, tapi Baron juga terlihat
lebih
gempal daripada Ervin sehingga kekuatan mereka kelihatan seimbang. Entah
apa
yang mereka bicarakan, tapi sepertinya suatu hal yang sangat serius
berdasarkan
cara beridir Baron yang terlihat tidak nyaman dan Ervin yang berkalikali
mengepalkan
tangan.
Bagaimana
mungkin aku bisa berhadapan dengan dua laki-laki ini pada saat
yang
bersamaan? Lebih parahnya lagi aku mencoba untuk memutuskan siapakah di
antara
mereka berdua yang lebih cocok untukku. Ervin atau Baron? Dalam hati aku
tertawa
sendiri. Kalau saja kedua laki-laki itu menginginkanku dan aku berhak
menentukan
pilihan. Ervin versus Baron. Aku memutuskan untuk membalikkan
tubuh,
berkonsentrasi pada Jana dan mengalihkan pandangan dan pikiranku dari
segala
sesuatu yang membuat imajinasiku merajalela.
“Aduh,
panjang ceritanya. Kenapa lo telepon?” tanyaku pada Jana.
“Gue
cuma mau ngasih tahu Nadia sudah RSVP-in elo. Omong-omong lo di
Hard
Rock sama siapa?”
“Sama
orang kantor.”
“Eh,
Dri, soal Baron, Dara...”
“Jan,
Baron ada di sini. Nanti gue telepon lo balik deh ya.” Aku lalu menutup
teleponku.
Seperti perkiraanku, beberapa detik kemudian teleponku bergetar lagi,
dan
nomor itu adalah nomor HP Jana. Dengan kesal aku membiarkan HP-ku
bergetar,
dan setelah berhenti, aku kemudian mematikannya.Aku menarik napas
dalam-dalam,
mencoba memutuskan langkah selanjutnya.
Tiba-tiba
ada seseorang yang mencolek bahuku. Sebelum berbalik untuk
menghadap
orang itu aku sudah tahu bahwa itu Baron. Aku dapat mencium aroma
tubuhnya
dari tempatku berdiri. Ketika berbalik, aku menemukan Baron
memandangiku.
Kemudian tiba-tiba tanpa kukira-kira dia melebarkan kedua
tangannya
bagaikan akan memelukku. Aku hanya berdiam diri, masih tertegun atas
semua
kejadian yang terjadi bertubi-tubi. Ketika aku tidak bereaksi, Baron maju
beberapa
langkah dan memelukku. Aku tidak memiliki pilihan lain selain membalas
pelukan
itu.
“Hei,”
ucap Baron pelan. Aku dapat merasakan embusan napasnya.
Setelah
Baron melepaskanku, aku langsung berkata, “Aku nggak tahu kamu
kenal
Ervin.”
Aku
ingin sekali menyiramkan satu ember air dingin ke kepalaku untuk
menenangkan
sarafku.
“Ervin
juga nggak pernah cerita kamu bakalan jadi date-nya malam ini,”
jawabnya.
“Date? Nggak
kok, cuma teman. Omong-omong anaknya ke mana ya?” tanyaku
dengan
suara setenang mungkin.
“Tadid
ia bilang mau ke toilet, aku menawarkan diri untuk nyari kamu.”
Untuk
meringankan suasana aku bertanya, “Omong-omong kamu ke sini diajak
Ervin
juga?”
“Diajak?
Tiket Jazz Night dia dari aku.”
Ketika
mendengar penjelasan Baron, aku tertawa.
Baron
memperhatikanku sebelum bertanya, “Ada yang lucu?”
Aku
menahan tawaku dan menggeleng sebelum menjawab. “Nggak, nggak
ada.”
Lagi-lagi
keheningan menyelimuti kami.
“Eh,
Di..,” tetapi sebelum Baron bisa menyelesaikan kalimatnya, Ervin sudah
muncul
kembali sambil melambaikan tangannya ke arah kami. Tanpa disangkasangka,
Baron
memegang pinggangku, kemudian menuntunku untuk berjalan di
tengah
keramaian menuju Ervin.
“Tom,
kita duduk di mana?” tanya Ervin setelah aku dan Baron sudah cukup
dekat.
Ervin sempat melemparkan pandangannya ke pinggangku yang dilingkari
lengan
Baron. Baru pertama kali aku melihat tatapan Ervin yang kalau kulihat di
mata
orang lain bisa kubilang menyemburatkan jealousy. Tapi ini Ervin. Dia tidak
mungkin
kan cemburu pada Baron karena aku?
“Tuh,”
jawab Baron sambil menunjuk ke arah sebuah booth
kecil di sudut
ruangan.
Baron kemudian menarik tangannya dari pinggangku.
Aku
duduk di bagian dalam dan Ervin duduk di sampingku, sedangkan Baron
duduk
menghadap kami berdua. Setelah kami semua duduk dengan tenang sambil
menikmati
minuman masing-masing, tiba-tiba tangan kiri Ervin memegang pahaku
dan
dia pada dasarnya memaksa agar aku duduk lebih dekat dengannya. Aku
hampir
saja menumpahkan minumanku. Aku mencoba menarik kakiku, tapi
pegangan
Ervin malah semakin erat. Untuk mengontrol detak jantungku yang
melonjak
tidak keruan aku mencoba mencari bahan pembicaraan.
“Ron,
Oli nggak diajak?” tanyaku.
Baron
terlihat sendu ketika mendengar pertanyaan itu, sedangkan Ervin lagilagi
terlihat
kaget. Aku lupa bahwa Ervin tidak tahu bahwa aku juga mengenal
Olivia.
“Oli
ada di rumahnya,” jelas Baron. Dia tidak memberikan penjelasan lebih
lanjut,
sehingga aku harus mencari topik baru.
“Lo
kenal Baron di mana, Vin?” tanyaku.
“Kita
sobatan waktu SMA, kadang-kadang memang agak-agak susah slaing
kontak
sama dia nih,” ucap Ervin sambil menunjuk Baron. “Tapi terus si bule satu
ini
telepon gue buat nonton Jazz Night,” lanjutnya.
“Kamu
masih dipanggil „Bule‟ waktu SMA?” tanyaku kepada Baron.
Tanpa
kusadari, pernyataan itu ternyata membuat kedua laki-laki yang duduk
bersamaku
tertegun. Setelah beberapa lama baru Baron bereaksi.
“Kamu
masih ingat itu?” tanya Baron pelan.
Aku
mengangguk.
“Iya,
gue juga dipanggil Bule waktu SMP,” jelas Baron pada Ervin yang hanya
mengangguk
dan memberikan tatapan tidak suka padaku.
Baron
kemudian mulai bertanya-tanya. “Jadi kamu sama Ervin kerja bareng?”
“Iya,”
aku menjawab.
“Lo
kenapa manggil Adri kamu sih, kenapa nggak elo?” tanya Ervin tiba-tiba.
Aku
dan Baron sama-sama tertegun dengan pertanyaan itu. Beberapa saat ada
keheningan
yang tidak mengenakkan, lalu Baron menjawab dengan tenang. “Nggak
tahu
juga sih, tapi semenjak kita bertemu lagi waktu gue ke Singapur, gue selalu
manggil
Didi „kamu‟. Memangnya kenapa?”
“Singapur?
Lo ketemu Baron di Singapur?” tanya Ervin padaku. Suaranya
terdengar
tidak stabil.
“Iya,”
jawabku gelisah.
Cengkeraman
tangan Ervin di pahaku mengerat.
“Omong-omong,
aneh ya dengar kamu... dipanggil Adri, aku selalu manggil
kamu
Didi,” ucap Baron.
Aku
pun langsung tersipu-sipu tanpa sebab. Meskipun di dalam Hard Rock
cukup
remang-remang, aku dapat melihat bahwa urat-urat di leher Ervin mulai
keluar,
yang menandakan bahwa dia sedang mencoba menahan emosinya, tapi
Baron
sepertinya tidak memperhatikan hal itu.
“Kamu
sudah berapa lama kenal Ervin?” tanya Baron lagi.
Aku
belum sempat menjawab ketika Ervin langsung menyambar, “Hampir dua
tahun.”
Baron
kemudian memandangku, yang mengangguk untuk mengkonfirmasi
pernyataan
itu.
“Lo
nggak pernah cerita ke gue sih?” tanya Baron pada Ervin dengan nada
menuding.
“Memang
elo emak gue?” balas Ervin. Ketegangan yang dapat kurasakan di
antara
mereka terasa cukup tebal untuk bisa dipotong dengan pisau. Tiba-tiba
mereka
tertawa keras dan semuanya cair kembali.
Kemudian
makanan kami tiba dan akhirnya Ervin menarik tangannya dari
pahaku.
Aku buru-buru menggunakan kesempatan itu untuk bergeser sejauh
mungkin
dari jangkauan tangannya.
Aku
lihat ada sebongkah brokoli di samping steikku. “Vin, brokoli,” ucapku.
Ervin
pun menusukkan garpunya ke sayuran hijau itu dan memindahkannya ke
piringnya.
Ketika
memandang ke arah Baron dengan tidak sengaja, aku mendapati
keningnya
berkerut.
“Anyway, kamu
kuliah di mana sih?” tanyaku mencoba untuk tidak terlihat
gugup.
“Aku
di UI, Ekonomi. Aku ketemu lagi sama Oli di situ juga,” jawab Baron.
Aku
hanya mengangguk-angguk karena mulutku terlalu penuh daging untuk
mengeluarkan
kata-kata.
Setelah
menelan potongan dagingku aku bertanya lagi, “Jadi sudah berapa lama
kamu
sama dia?”
“Enam
tahun total. Sering putus-nyambung,” jawab Baron.
“Enam
tahun? Gila... lama ya,” komentarku kagum. Sejujurnya aku memang
kagum
dengan dua orang yang bisa menjalin hubungan selama itu.
Baron
hanya tersenyum atas komentarku.
“Oli
kenapa nggak lo ajak, Tom?” tanya Ervin tiba-tiba. “Gue pikir lo bakalan
datang
sama dia, makanya gue bawa Adri, biar nggak jadi third wheel,”
tambahnya.
Baru
saat ini aku sadari bahwa Ervin memanggil Baron dengan nama depannya,
Thomas,
dan itu terdengar sangat asing di telingaku.
“Sebetulnya
aku juga cadangan doang, Ervin tadinya mau ngajak Sarah, tapi
gara-gara
dia cancel, aku yang jadi korban,” sambarku.
Ervin
memandangku dengan gemas, tapi aku tidak menghiraukannya.
Baron
hanya menggeleng-geleng sebelum menjawab, “Oli lagi sibuk mikirin
anggaran
buat resepsi,” kemudian melahap sepotong daging besar.
“Dia
maunya besar-besaran?” tanya Ervin.
“Bukan
cuma dia... emaknya, tantenya, budenya, teman-temannya, sampai
tetangga-tetangganya
juga maunya besar-besaran. Dasar cewek,” omel Baron.
Aku
dan Ervin sempat saling pandang sebelum kemudian Ervin membalas.
“Calon
bini jangan diledek gitu,” canda Ervin.
“Calon
bini sih calon bini, tapi sumpah, kalau gue tahu dia ternyata orangnya
segini
bawelnya cuma urusan milih kembang, mendingan gue nggak usah nikah,”
ujar
Baron berapi-api.
Sekali
lagi aku dan Ervin saling pandang. Ervin menangkap maksudku
mengenai
kata “bawel” yang digunakan Baron untuk menggambarkan tingkah laku
Olivia.
Aku
sebetulnya ingin menepuk-nepuk tangan Baron untuk menenangkannya,
tapi
pada saat terakhir aku berhasil menahan diri. “Jadi Hari H-nya kapan?”
tanyaku.
“Kayaknya
sih awal tahun depan, tapi dukun mantennya masih ngitungngitung
dulu.
Omong-omong kamu datang ya sama Ervin, jangan sampai nggak,”
jawab
Baron.
“Jadi
aku diundang?” tanyaku.
“Iya
dong, nanti undangan aku kirim ke kantor kamu ya. Aku soalnya nggak
punya
alamat rumah kamu.”
“Iya,
kirim saja ke kantor, biasanya suka telat kalau dikirim ke rumah, maklum
kalau
tinggal di kampung,” candaku.
“Rumah
kamu di mana sih?”
“Rempoa,”
Ervin menyambar tanpa disangka-sangka.
Tiba-tiba
dari lantai bawah terdengar ada sedikit ribut-ribut.
“Mas,
Mas, ada apaan sih?” tanyaku kepada pelayan yang datang untuk
memberiku
segelas Pepsi baru.
“Band-nya
baru datang, Mbak,” jawab pelayan itu lalu berlalu.
“Sekarang
jam berapa sih?” tanyaku.
Baron
melirik jam tangannya dan mengacungkan jari-jari tangannya yang
panjang,
menunjukkan jam delapan. Setelah piring-piring makan diangkat dari
meja,
Baron pun mengajak aku dan Ervin untuk berdiri di tepi balkon, supaya bisa
nonton
konser Jazz Night lebih jelas.
Acara
berakhir pukul 23.30. Aku menyalakan HP-ku kembali. Kulihat Ervin
sedang
berbicara perlahan-lahan dengan Baron sebelum kemudian menumpukan
perhatianku
kepada gambar amplop yang berkedip-kedip di layar HP-ku. Ternyata
ada
sepuluh voicemail dan beberapa SMS semenjak pukul 18.00, cukup aneh. Tapi
aku
yakin semuanya pasti dari sobat-sobatku yang sudah tahu dari Jana mengenai
kabarku
dan Baron yang sedikit membingungkan beberapa jam yang lalu itu. Empat
pesan
pertama memang dari mereka, dan aku segera menghapusnya. Tapi pesan
kelimat
datang dari Reilley, kakak iparku yang dengan suara agak panik mengabari
bahwa
kakakku akan melahirkan. Panik, aku langsung berseru, “Vin, Ervin, rumah
sakit,
rumah sakit, kakak gue melahirkan.”
Ervin
dan Baron langsung berlari ke arahku untuk menenangkan sekalian
mencari
tahu masalah yang sebenarnya.
“Dri,
kenapa, Dri?” tanya Ervin. “Tenang dulu dong, Dri, jangan panik kayak
gitu.”
“Kakak
gue, Vin, melahirkan, melahirkan. Aduh, ini pesan sudah dari jam
delapan,
ya ampun. Sekarang sudah jam dua belas. Aduhhhhhhh...!”
“Oke,
oke... rumah sakit mana, Dri?” tanya Ervin.
“Rumah
sakit, rumah sakit, rumah...” Dengan gugup aku mencoba menjawab
pertanyaan
Ervin, tapi aku tidak bisa mengatakan nama rumah sakit itu. Lidahku
kelu.
Baron
yang masih berdiri tertegun akhirnya mengambil HP-ku yang hampir saja
meluncur
dari genggamanku ketika aku panik. Perlahan-lahan Baron kemudian
memberitahu
isi mailbox-ku.
“Di,
pesan dari Reilley (Baron menyebut nama Reilley dengan tatapan penuh
tanda
tanya, karena dia tidak mengenal nama ini), bilang Mbak Tita akan
melahirkan
(Sekarang giliran Ervin yang memberikan pandangan aneh kepadaku
dan
menyebutkan nama Mbak Tita dengan nada penuh tanda tanya kepada Baron
yang
tidak menghiraukannya). Reilley bilang bahwa kamu harus telepon Bonyok
kamu.
Nyokap kamu telepon... dia sama Bokap kamu sudah dalam perjalanan ke
rumah
sakit diantar sama Pak Yoyok. Nyokap telepon lagi... mereka sudah sampai
di
rumah sakit, tapi masih belum tahu nomor kamarnya. Dara nanya ke mana, kok
kamu
nggak angkat telepon. Terus Nyokap lagi... kamar Mbak Tita di 215 di Rumah
Sakit
Internasional Bintaro.”
Setelah
memberitahuku semua informasi tersebut, Baron kemudian
mengulurkan
kembali HP-ku. Ervin mengambilnya dari tangan Baron ketika
melihatku
tidak bereaksi dan memasukkannya ke tas tanganku. Aku yang sudah
lebih
tenang menurut saja digandeng Ervin. Kami berdua, diikuti Baron, segera
menuju
lapangan parkir. Aku duduk di kursi penumpang mobil Ervin dan
berpamitan
pada Baron.
Tiba-tiba
HP-ku berbunyi. Telepon dari ibuku yang menanyakan keberadaanku
dan
kenapa aku masih belum sampai juga di rumah sakit. Aku menenangkannya
sebelum
memberikan kepastian bahwa aku akan tiba dalam waktu setengah jam.
“Ayo,
Dri, mesti jalan sekarang kalau lo mau ada di sana sebelum bayinya
lahir.”
Ervin menutup pintu mobil di sisi penumpang dan berjalan ke sisi sopir.
“Ron,
thanks buat undangannya!” teriakku melalui jendela.
Kemudian
kami pun berlalu. Dari kaca spion aku bisa melihat Baron
melambaikan
tangan ke arah kami.
Ervin
membawa mobil seperti orang kesetanan. Semua mobil yang berkecepatan
kurang
dari 140 kilometer per jam diklakson dan diusirnya dari hadapannya. Aku
harus
berpegang erat pada kursiku dalam kepanikan. Rasa mual mulai muncul di
perutku
karena Ervin melewati beberapa mobil sambil membanting setir ke kiri lalu
ke
kanan. Aku lihat Ervin mengeratkan genggamannya pada setir dan mengganti
persneling
ke gigi enam.
“Vin,
gue tahu mobil lo mahal dan ada banyak airbag-nya jadi kalau kecelakaan
mungkin
nggak akan sefatal kalau misalnya kita naik Kijang. Tapi kecuali lo mau
interior
mobil lo ini rusak dan baunya jadi aneh gara-gara muntah gue, gue saranin
lo
slow down,” ucapku pelan.
Seperti
tidak sadar bahwa dia overspeed, pandangan Ervin jatuh ke speedometer
sebelum
kemudian mengurangi kecepatan. Aku mengembuskan napas lega.
“Thanks,”
ucapku.
“Lo
mual?” tanya Ervin.
“Hampir,”
balasku.
“Sori.”
Aku
hanya mengangguk.
Lalu,
“Lo kok baru tahu kakak lo bakal melahirkan sih, Dri? Memang HP lo
apain?”
tanyanya.
“HP
gue matiin. Habis...” Aku tidak meneruskan penjelasanku karena Ervin
sudah
memotongku.
“Kan
kasihan nyokap lo nggak bisa telepon elo.”
Aku
berdiam diri, merasa bersalah.
“Memangnya
lo nggak tahu kapan kakak lo akan melahirkan?”
“Dokternya
bilang kemungkinan hari Selasa. Gue nggak tahu dokter bisa
meleset
juga.”
“Ini
keponakan pertama lo ya?” tanya Ervin.
Aku
mengangguk.
“Gue
nggak tahu kakak lo lagi hamil. Kok lo nggak pernah cerita?” tanya Ervin
lagi.
“Memangnya
penting, ya?”
Ervin
mengangguk. “Gue baru sadar ternyata ada banyak hal yang gue nggak
tahu
tentang elo.”
Aku
tertawa terkekeh-kekeh. “Tenang saja, ada banyak hal yang gue juga nggak
tahu
tentang elo,” balasku.
Ervin
kemudian menatapku. “Hal apa yang elo nggak tahu tentang gue?”
Keingintahuan
terlihat di matanya.
“Gue
nggak tahu ternyata lo teman baik sama Baron...” Sebelum aku bisa
menyelesaikan
kalimatku Ervin sudah memotongku.
“Gue
juga nggak tahu ternyata lo jago flirting
sama cowok lain.”
Mulutku
ternganga, bukan karena kata-katanya, tapi lebih karena nadanya yang
terdengar
sangat sarkastis.
“Apa
maksud lo flirting?” tanyaku bingung.
“Ya
flirting, ngobrol sama cowok lain mana pakai pegang-pegang segala
lagi.”
Apa???
Kok bisa-bisanya topik pembicaraannya jadi ke sini? pikirku dalam hati.
Jelas-jelas
Ervin sedang membicarkaan Baron.
Daripada
bertengkar aku lebih memilih humor. “Lo jealous, ya?” ledekku.
“NO!!! Bukan jealous, gue
cuma mau bilangin ke elo etiket orang nge-date.”
“Nge-date? Sejak
kapan kita nge-date?”
“Sejak
malam ini. Lo gue kenalin ke Thomas... Baron lo itu... sebagai date gue.”
Nada
Ervin terdengar seperti nada orang siap perang ketika mengatakan nama
Baron.
Entah kemasukan setan apa dia malam ini.
“Well, lo
mestinya tanya ke gue dulu apa gue mau jadi date
lo malam ini. Dan
bisa-bisanya
lo ngomongin soal etiket ke gue, lo tahu sendiri kalau biasanya kita lagi
jalan
banyak perempuan yang dekat-dekat sama elo dan gue nggak pernah
komentar
apa-apa, kan?”
“Iya...
tapi seperti yang elo bilang, itu kan cuma jalan, bukannya nge-date.”
“Aduh,
nggak ada bedanya deh.”
“Ada
dong, Dri.”
Aku
pelototin Ervin yang lagi nyetir. Kuperhatikan bahwa jarum speedometer
sudah
naik lagi melewati angka 120. Tapi aku terlalu marah untuk peduli.
“Oooohhhh,
ini masalahnya bukan karena jalan atau date, kan? Ini masalah elo boleh
flirt tapi
gue nggak boleh, gitu?”
“Maksud
gue bukan itu.”
“Terserah
deh lo mau manggil nih malam jalan kek, date
kek, mau bilang gue
flirt kek,
nggak kek. Lagian juga bukannya sesuatu yang spesial gitu lho kalau gue
on a date sama
seorang Ervin Daniswara. Hampir semua perempuan di Jakarta
sudah
pernah pergi on a date sama elo,” balasku berapi-api.
Ervin
mengerling dan aku tahu dia tersinggung. Tapi setelah agak lama dia
membalas.
“Kenapa
juga sih lo harus baik sama semua orang? Sama Baron, Reza, tuh bule
di
Hard Rock?”
Aku
tadinya mau tidak menghiraukan komentar ini, tapi tidak bisa. “Ya gue
lebih
suka kalau orang menganggap gue sopan daripada rude. Tuh
bule cuma tanya
apa
elo atau Baron yang cowoknya gue, gue bilang lo berdua sobatan dan gue cuma
aksesoris
saja. Benar, kan?”
“Salah,
lo nih malam sama gue, punya gue.”
Aku
langsung kaget atas kata-kata itu dan hanya bisa terdiam. Ervin betul-betul
cemburu
rupanya. Kemudian dengan hati-hati aku berkata, “Punya elo? Elo baru
bilang
gue punya elo?”
“Maksud
gue...”
“Memangnya
gue barang? Memangnya gue tipe perempuan yang bisa lo beli
kayak
Tiffany‟s atau Bulgari?” teriakku memotong kalimatnya.
“Bukan
gitu, Dri, maksud gue...”
“Stop,
stop, gue turun di sini saja,” ucapku pelan tapi tegas. Kami sedang berada
di
arteri Pondok Indah.
Tapi
seperti tidak mendengarku dia tetap meluncurkan mobilnya di jalur kanan.
“Vin,
gue turun di sini saja, tuh ada taksi,” ucapku memerintah.
Tapi
Ervin tetap tidak menghiraukanku.
“Vin,”
teriakku akhirnya. “Lo dengar gue nggak sih?”
“Gue
antar lo ke rumah sakit,” jawabnya singkat.
Kami
berdua sama-sama tidak mengatakan sepatah kata pun selama sisa
perjalanan
yang memakan wakut setengah jam itu. Ketika Ervin menghentikan
mobilnya
di lobi rumah sakit, aku langsung membuka pintu dan berlari menuju
meja
informasi, tidak menghiraukan Ervin yang berteriak-teriak memanggilku. Aku
tidak
peduli padanya sekarang, pertama-tama karena ada masalah yang lebih
penting
daripada memikirkan tingkah laku anehnya malam ini. Kedua, aku terlalu
kesal
padanya untuk melihat wajah Dewa Yunani-nya lagi.
Setelah
menanyakan letak ruang bersalin aku langsung berlari sambil menekan
nomor
HP Reilley. Ternyata kakakku baru masuk ruang bersalih beberapa menit
yang
lalu. Suara Reilley yang biasanya tenang terdengar agak-agak panik. Aku
segera
memberitahu bahwa aku sudah sampai dan sedang berlari menujunya.
Ketika
tiba di ruang tunggu keluarga, aku bertemu dengan ibu dan bapakku
yang
terlihat cukup tenang, menghirup minuman hangat dari gelas plastik.
“Bu,
Mbak Tita gimana?” tanyaku sambil memeluk dan mencium ibu dan
bapakku.
“Mbak
Tita baik-baik saja kok. Tadi Reilley bilang, kalau kamu mau ikutan
masuk
juga boleh,” jawab ibuku. “Kamu ke sini diantar sama teman kamu?”
lanjutnya.
Aku
mengangguk.
“Orangnya
mana?” tanya bapakku.
“Nggak
tahu, tadi sih ada,” aku menjawab cuek. “Bu, aku masuk ya. Oh iya, ini
tolong
pegangin tasku.”
Aku
langsung berlari ke arah pos jaga suster untuk minta dibiarkan masuk
menemani
kakakku.
Ruang
bersalin yang kumasuki terlihat agak kosong, hanya ada satu dokter, dua
suster,
dan Reilley yang terlihat agak aneh dengan pakaian yang dikenakannya.
Reilley
mengangguk menandakan bahwa dia melihatku. Kakakku yang terlihat
sangat
kesakitan pun sempat melihatku sebelum dia mengalami kontraksi. Selama
beberapa
jam kemudian aku menemani Mbak Tita di ruang bersalin. Setelah tiga jam
dan
si bayi masih belum lahir juga, meskipun ibunya sudah mau pingsan, Reilley
akhirnya
memutuskan untuk meninggalkan ruangan itu karena rupanya dia tidak
tega
melihat istrinya kesakitan.
Pukul
tujuh pagi hari akhirnya Lukas O‟Reilley
dilahirkan dengan selamat dan
komplet.
Reilley yang sedang pergi ke kantin untuk membeli kopi harus dipanggil
melalui
speaker. Reilley tiba beberapa menit kemudian, keningnya berkeringat
dan
napasnya
memburu. Aku hampir saja tertawa ketika melihatnya, tubuh Reilley yang
tinggi
besar itu rupanya harus berolahraga ekstra pagi itu.
Menahan
kantuk dan lelah, aku berjalan keluar dari ruang bersalin seperti
zombie.
Tanganku agak merah dan bengkak karena digenggam kakakku selama dia
mengalami
kontraksi. Ketika melangkah ke ruang tunggu, aku melihat bapak dan
ibuku,
dan...
Oh my God, I am so tired I’m hallucinating.
Aku
mengedipkan mataku beberapa kali. Ketika aku membuka mataku kembali
ternyata
dia masih tetap ada di sana. Ervin yang melihatku berjalan mendekat
memberi
tanda kepada orangtuaku. Ibu dan bapakku kemudian bergegas berjalan
ke
arahku, dan ketika aku memberitahu bahwa Lukas dan Mbak Tita sehat-sehat
saja,
mereka langsung berpelukan. Seorang suster menghampiri kami untuk
mempersilakan
mereka bertemu Lukas dan Mbak Tita. Tanpa basa-basi mereka
langsung
pergi meninggalkanku.
Setelah
kedua orangtuaku berlalu, aku mengalihkan perhatianku pada Ervin.
Kemeja
putihnya terlihata agak kusut, kedua lengan kemeja itu dilipat dengan asal.
Meskipun
begitu, dia masih terlihat ganteng. Semua rasa kesal yang kurasakan
beberapa
jam yang lalu, kini hilang tidak berbekas. Ervin yang sadar bahwa aku
sedang
memperhatikannya dengan pandangan agak aneh berjalan ke arahku dan
memelukku.
Tanpa sadar aku hanya membiarkan tubuhku dipelukanya. Aku bisa
merasakan
sesuatu di hatiku bergeser. Tubuhku yang tadinya terasa dingin
sekarang
menjadi hangat. Ervin mencoba merapikan rambutku yang kemungkinan
besar
sudah terlihat seperti Medua dan menuntunku untuk duduk di kursi.
“Orangtua
lo sayang banget ya sama anaknya sampai mau nungguin
semalaman.
Tadinya sudah mau gue antar pulang, karena Pak Yoyok sudah pulang
duluan
sekitar jam dua, tapinya bonyok lo nolak. Katanya mau nunggu sampai cucu
mereka
lahir,” Ervin menjelaskan padaku.
Aku
hanya duduk terpaku dan menatap Ervin. Senyum simpul hanyalah satusatunya
tanda
bahwa aku masih sadar.
“Tadi
malam kok nggak nungguin gue sih? Pas gue telepon HP lo untuk nyokap
lo
ngangkat, jadi gue tahu lo ada di mana, kalau nggak kan gue bingung juga mau
ke
mana. Gue tanya resepsionis, mereka nggak punya pasien yang namanya Tita,”
Ervin
mulai ngomel lagi.
Aku
terlalu lelah untuk membalas. Aku menutup mataku beberapa detik. Tibatiba
aku
merasakan guncangan.
“Dri...
Dri... bangun, Dri,” ucap Ervin.
Pelan-pelan
kubuka mataku. “Pergi sana, gue mau tidur,” gumamku.
Samar-samar
kudengar Ervin terkekeh-kekeh.
No comments:
Post a Comment