Sunday, September 6, 2015

Miss Pesimis - AliaZalea - Bab 10

10. ERVIN VERSUS BARON

SELAMA perjalanan menuju Bundaran HI, aku dan Ervin sempat membicarakan
pertemuanku dengan Sarah, dan telepon Sarah beberapa hari yang lalu untuk
makan siang denganku minggu depan.
So, gue denger lo pergi makan siang sama Reza hari Kamis kemarin,” Ervin
membuka pembicaraan.
Aku mengangguk, meskipun bingung mengapa dia menanyakan hal yang tidak
penting seperti itu.
“Kok lo mau sih?” lanjutnya dengan nada bingung sekaligus menuduh.
Mendengar nadanya yang menurutku terdengar sedikit menghina, aku
tersinggung.
“Memangnya Reza kenapa?” tanyaku balik.
“Dia terlalu tua buat elo.”
“Dia cuma setahun lebih tua dari elo,” balasku.
Really?” tanya Ervin tidak percaya.
Aku mengangguk. “Dia kelihatan jauh lebih tua dari gue,” gumam Ervin. “Tapi
lo jangan pergi lagi sama dia,” lanjut Ervin dengan nada lebih keras.
“Aduhhh, kenapa lagi sih?” tanyaku tidak sabaran.
“Karena Reza keturunan bule, dan dia suka digosipin yang nggak-nggak,”
jawab Ervin.
“Oma lo orang Belanda, Vin, lo juga ada keturunan bule. Dan lo juga sering
digosipin yang nggak-nggak di kantor.” Aku mencoba untuk mencari penjelasan
atas tingkah laku Ervin sore ini.
“Oke, tapi Reza itu playboy,” jawab Ervin tanpa memandangku.
“Nggak bedalah sama elo,” balasku. Aku tidak percaya bahwa kami bertengkar
karena urusan laki-laki. Selama ini Ervin tidak pernah peduli dengan siapa aku
pergi lunch, kenapa dia jadi sewot sekarang? Satu-satunya penjelasan yang bisa
kupikirkan adalah karena Reza sering disebut-sebut sebagai “Manajer Paling
Ganteng” di kantorku dan Ervin merasa tersaingi.
“Maksud lo nggak beda?” Kini Ervin memandangku dengan kening berkerut.
Jelas-jelas aku membuatnya tersinggung. Bagus!!!
“Lo dan Reza sama playboy-nya, tapi mungkin Reza sedikit lebih metroseksual
daripada elo.”
“Kok lo ngomong gitu?” Suara Ervin mulai agak meninggi. Nadanya terdengar
aneh, nada yang tidak bisa kutebak karena tidak pernah kudengar sebelumnya dari
Ervin.
“Oke, penting nggak sih kita berdebat soal ini?” tanyaku dengan nada setenang
mungkin. Aku tidak mau bertengkar dengan Ervin. Tidak sekarang setidaktidaknya.
Mungkin nanti kalau kami sudah sampai di Hard Rock dan perhatian
Ervin tidak terbagi antara mengemudikan mobil dan debatnya denganku.
“Ini bukan debat, tapi diskusi,” balasnya.
“Kalau gitu... bisa nggak kita mendiskusikan ini nanti saja? Gue nggak mau lo
nabrak gara-gara... diskusi ini.”
Mendengar alasanku yang masuk akal, Ervin terdiam.
“Omong-omong, gue dengar lo nolak tawaran buat jadi brand manager-nya
Clean?” tanyaku. Clean adalah produk sabun pencuci baju terbaru Good Life dan
promosinya akan besar-besaran.
“Oh itu... ya... gue tolak karena gue nggak siap,” jawab Ervin enteng.
Jawaban santai Ervin membuatku melotot. Inilah salah satu dari banyak hal
yang membuatku terkadang naik pitam padanya. Dibandingkan dengan kolegakolegaku
di Good Life yang sepantar dengannya, sebetulnya Ervin bisa lebih cepat
naik ke jenjang karier yang lebih tinggi kalau dia menginginkannya. Tapi sepertinya
dia selalu mencoba menahan diri dan membiarkan orang lain untuk menjadi lebih
sukses daripada dirinya. Hingga kini aku tidak pernah mengerti alasannya.
“Kalau gue yang ditawarin, siap nggak siap kerjaan itu pasti gue ambil karena
itu berarti stepping stone untuk karier gue.” Aku mencoba untuk menunjukkan
kepada Ervin bahwa keputusannya untuk menolak itu salah.
“Ya... orang kan beda-beda, Dri.”
Sekali lagi Ervin kupelototi. Tapi bukannya takut, Ervin malah tersenyum.
“Tahun depan lo sudah tiga puluh dua, seharusnya lo bangga bisa dipercaya
untuk menangani kerjaan ini. Lo calon termuda yang pernah ditunjuk Good Life
untuk jadi brand manager tiga produk sekaligus.”
“Kalau gue terima kerjaan itu, gue nggak akan punya waktu untuk hal lain.”
“Lho... memangnya lo ada hal lain apa yang lebih penting?”
“Banyak,” jawab Ervin polos. “Clubbing, dating, jalan-jalan sama temen-temen
gue, pokoknya hal-hal normal yang banyak dikerjakan oleh laki-laki single dan
heteroseksual kayak gue lah,” lanjutnya.
Aku tidak bisa berkata-kata. Aku bukanlah orang yang menyukai kekerasan,
tapi pada saat itu aku ingin sekali menampar Ervin hingga babak-belur agar dia
sadar. Akhirnya aku hanya bisa menarik napas sebelum pelan-pelan mengeluarkannya.
“Apa lo nggak mikir, dengan jadi brand manager Clean berarti gaji lo naik dan
masa depan keluarga lo bisa lebih terjamin?” ucapku pelan. Aku mencoba untuk
mengganti taktik.
“Keluarga gue terjamin kok. Bokap kan sudah urus itu semua.”
“Bukan keluarga yang itu maksud gue, ember. Maksud gue keluarga lo nanti.
Istri, anak...” Aku membiarkan kata-kataku menggantung.
“Oh, soal itu... Aduhhhhh, lo jadi mirip nyokap gue deh. Bawel.”
Bukan kata—kata yang tepat untuk diucapkan tentangku pada saat itu.
“Gue nggka bawel,” ucapku berapi-api.
“Oh ya? Apa nggak pernah ada yang bilang ke elo bahwa lo bawel?” balasnya
ketus.
Mulutku terbuka karena kaget. Apa maksudnya dengan kata-kata itu?
“Gue nggak pernah nyangka kalau lo kayak gini,” akhirnya aku berkata pelan.
“Gue kayak apa, Dri?” tanyanya.
You are mean,” jawabku.
Kini giliran mulut Ervin yang ternganga. “I am NOT mean.
Aku tidak menghiraukan kata-katanya dan menatap ke luar jendela. Ada jarumjarum
yang menusuk-nusuk mataku, menandakan bahwa aku akan menangis
sebentar lagi. Itulah kebiasaan yang sangat kubenci, entah bagaimana tapi
sepertinya emosiku sangat berhubungan dengan saluran air mataku. Kalau sudah
sangat marah aku justru akan menangis. Aku mengedipkan mata berkali-kali untuk
mencegah hal itu terjadi. Aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri kalau aku
sampai menangis di depan Ervin. Ervin mungkin tidak bermaksud apa-apa dengan
kata itu, tapi kata “bawel” tidak berkonotasi baik di kepalaku. Aku tidak akan
berkeberatan kalau orang bilang aku “nyentrik”, “aneh”, “hermit”, bahkan “perawan
tua”, tapi tidak “bawel”. Itu penghinaan.
Melihat reaksiku sepertinya Ervin sadar bahwa dia telah mengatakan hal yang
salah. Tiba-tiba tanganku bagaikan disengat listrik. Secara refleks aku menarik
tanganku. Tapi tangan Ervin menggenggam erat tanganku. Kuletakkan tanganku
kembali di pangkuanku, tapi aku tidak membalas genggaman Ervin.
“Lo marah, ya?” tanya Ervin pelan.
Aku berpikir sesaat sebelum kemudian menggeleng.
“Kecewa?” tanya Ervin lagi.
Tentu saja aku kecewa. Aku kecewa karena kata-katanya.
Ketika aku tidak menjawab, Ervin berkata, “Dri, gue nggak ambil kerjaan itu
karena gue tahu ada banyak orang lain yang juga bisa mengerjakan pekerjaan itu.
Gue mau kasih mereka kesempatan.”
Meskipun aku kaget dengan penjelasannya, tapi aku tetap berdiam diri. Lagi
pula, itu bukan kenapa aku kecewa dengannya.
“Makasih buat penjelasannya, tapi itu nggak penting,” ucapku pelan.
“Jadi apa yang penting, Dri?” Kini Ervin mencoba untuk mencuri pandang ke
mataku. Tapi aku menolak menatapnya.
“Gue nggak suka dibilang bawel. Kalau gue bawel, sudah dari lama gue ngomel
tentang aktivitas... seksual lo yang sering melibatkan perempuan yang menurut gue
punya reputasi yang harus dipertanyakan.”
Ervin sepertinya akan memotongku, tapi aku belum selesai meluapkan
perasaanku.
“Gue tahu bahwa gue sering terlalu sok tahu dan banyak orang yang nggak
suka kalau gue ngomong terlalu jujur. Gue minta maaf kalau pendapat gue bikin lo
tersinggung, tapi gue ngomong itu karena gue tahu lo mampu untuk lebih maju.
Selama ini gue pikir elo ngerti maksud gue, tapi sekarang gue tahu gue sudah salah
sangka,” ucapku perlahan-lahan.
Ervin melepaskan genggamannya. Kami terdiam seribu bahasa. Aku melihat
beberapa kali mulut Ervin terbuka seperti dia akan mengatakan sesuatu, tapi
kemudian dia menutupnya kembali.
I’m sorry,” ucap Ervin akhirnya.
Yeah, me too,” balasku.
No, no... I’m really sorry.”
Aku tetap tidak mengangkat pandanganku dari pangkuanku.
“Dri, bisa tolong lihat gue,” pinta Ervin.
Aku ragu sesaat, kemudian aku mengalihkan perhatianku pada jalan raya di
depanku sebelum kemudian memandangnya.
Ketika yakin bahwa aku tidak akan berpaling lagi, Ervin memulai
penjelasannya. “Lo salah satu orang di dunia ini yang pendapatnya sangat gue
hargai karena lo selalu jujur. Kalau lo nggak suka sesuatu tentang orang... tentang
gue terutama, lo selalu bilang ke gue.”
Aku menunggunya untuk melanjutkan. “Sori, tapi mungkin memang hari ini
gue lagi banyak pikiran... soal kerjaan, soal lamarannya Sarah, soal Reza sama elo...”
Mendengar nama Reza disebut-sebut lagi darahku langsung naik ke kepala.
“Gue cuma pergi makan siang. Itu saja,” ucapku. Ketika sadar dengan kata-kataku,
aku menggigit lidah. Aku tidak harus menjelaskan ini kepada Ervin.
“Tapi gue nggak suka,” ucap Ervin dengan nada agak keras.
Aku tidak peduli apa dia suka atau tidak aku berhubungan dengan Reza, dan
kata-katanya yang menggurui membuatku kesal. “Elo tuh orang paling manja dan
egois yang gue kenal, tau?”
Sekitar pukul 17.30 kami tiba di Plaza EX. Ervin menawarkan untuk
menggandengku dan aku memutuskan untuk meraih tangannya karena aku tidak
mau hilang di tengah keramaian Hard Rock malam itu.
“Vin, Ervin...” Tiba-tiba dari atas terdengar suara seseorang memanggilmanggil,
aku pun mencoba mencari sumber suara itu. Rupanya Ervin telah
menemukan siapa yang memanggilnya dan menarikku menuju tangga untuk ke
tingkat atas. Ervin kemudian memegang pinggangku untuk menembus keramaian
Hard Rock malam itu.
“Dri, ayo, jangan ketinggalan,” ucap Ervin sambil memberiku senyuman.
Aku lalu mencoba menyamai langkah Ervin yang terkesan agak tergesa-gesa.
“Vin, lo jalan duluan saja, nanti kita ketemu di atas,” teriakku pada Ervin mengatasi
keramaian Hard Rock. Ervin menatapku dengan ragu, tapi setelah aku
meyakinkannya, dia pun melepaskan pinggangku dan menggenggam erat tanganku
sebelum dia melepaskannya untuk mencari orang yang memanggilnya itu.
Ketika sudah sampai di lantai atas, aku melihat Ervin sedang ngobrol dengan
seorang laki-laki yang menggunakan hem biru muda dan celana jins. Postur tubuh
teman Ervin itu benar-benar terlihat familier bagiku, dengan rambut ikalnya yang
agak-agak kemerahan. Tiba-tiba seorang waiter yang tergesa-gesa menuju tangga
tidak melihatku. Aku terdorong cukup kuat sehingga harus mundur beberapa
langkah. Tiba-tiba Ervin sudah ada di sampingku dan menuntunku menuju
temannya. Beberapa saat kemudian aku berhadapan dengan punggung teman
Ervin.
“Tom, ini Adri, date gue malam ini,” ucap Ervin.
Sebelum aku bisa bereaksi dengan kata date, tiba-tiba HP-ku bergetar di dalam
tas. Ketika akhirnya aku dapat meraih HP-ku, benda itu sudah berhenti bergetar.
Aku melemparnya kembali ke dalam tas tanpa memeriksanya sebelum
memfokuskan perhatian kepada teman Ervin itu.
“Dri, kenalin, ini Thomas,” Ervin memperkenalkan kami.
Ketika aku mengangkat wajahku dan bertatapan dengan Thomas, napasku
langsung sesak. Aku mengedipkan mata beberapa kali karena berpikir bahwa aku
sedang berhalusinasi. Tapi ketika aku membuka mataku lagi wajah Baron yang
terlihat kaget dan bingung tetap ada di hadapanku. Baron yang sudah beberapa hari
ini coba kuhindari. Akhirnya suaraku kembali dan aku berkata, “Baron?”
“Didi?” Pada saat bersamaan Baron pun mengucapkan namaku dan kulihat
Ervin yang tadinya hanya bisa mengerutkan kening karena bingung, kini menatap
curiga bercampur keingintahuan.
“Baron? Didi?” tanya Ervin. Ketika aku dan Baron tidak bereaksi, Ervin pun
menambahkan, “Lo berdua memangnya kenal?”
Aku hanya memandangi Ervin karena tidak tahu harus mengatakan apa. Baron
kemudian menolongku. “Vin, ini Didi... teman SMP gue...” Tapi sebelum Baron
selesai menjelaskan siapa aku, Ervin telah memotongnya.
“Didi? Cinta mati lo waktu SMP itu?” teriak Ervin. Kulihat Baron menutup
matanya untuk menahan diri agar tidak mencekik Ervin saat itu juga.
Kepalaku bagaikan sedang lari maraton 10.000 meter, mencoba mencari titiktitik
yang bisa menghubungkan Ervin dengan Baron, tapi tidak satu pun penjelasan
muncul di otakku. Kemudian kurasakan HP-ku mulai bergetar lagi. Tanpa berpikir
panjang aku langsung menggunakan alasan menjawab telepon untuk menghindar.
Aku melangkah ke arah bar yang terlihat agak kosong.
Ternyata yang meneleponku adalah Jana.
“Dri... Eh, elo ada di mana sih, kok ramai banget?” tanya Jana dari ujung
telepon.
“Gue lagi di Hard Rock. Kenapa?”
“Hard Rock? Lho memang kondangannya di Hard Rock apa?”
“Nggak, gue nggak lagi kondangan.”
“Lho, katanya lo pergi kondangan?”
Aku langsung tertawa terbahak-bahak karena pasti Mpok Sanah salah memberi
informasi ke mana aku pergi ke Jana. Dari kejauhan aku dapat melihat bahwa Ervin
dan Baron sedang mengadakan diskusi panjang-lebar mengenai sesuatu. Kadang
kala Ervin memandang ke arahku sambil menyipitkan matanya. Kuperhatikan
kedua laki-laki itu dengan lebih teliti. Mereka sama-sama ganteng abisss. Baron
kelihatan jauh lebih dewasa daripada Ervin, tapi Ervin kelihatan lebih seksi. Tinggi
mereka hampir sama, meskipun mungkin kalau diperhatikan dengan lebih teliti,
Ervin lebih tinggi sekitar dua sentimeter daripada Baron, tapi Baron juga terlihat
lebih gempal daripada Ervin sehingga kekuatan mereka kelihatan seimbang. Entah
apa yang mereka bicarakan, tapi sepertinya suatu hal yang sangat serius
berdasarkan cara beridir Baron yang terlihat tidak nyaman dan Ervin yang berkalikali
mengepalkan tangan.
Bagaimana mungkin aku bisa berhadapan dengan dua laki-laki ini pada saat
yang bersamaan? Lebih parahnya lagi aku mencoba untuk memutuskan siapakah di
antara mereka berdua yang lebih cocok untukku. Ervin atau Baron? Dalam hati aku
tertawa sendiri. Kalau saja kedua laki-laki itu menginginkanku dan aku berhak
menentukan pilihan. Ervin versus Baron. Aku memutuskan untuk membalikkan
tubuh, berkonsentrasi pada Jana dan mengalihkan pandangan dan pikiranku dari
segala sesuatu yang membuat imajinasiku merajalela.
“Aduh, panjang ceritanya. Kenapa lo telepon?” tanyaku pada Jana.
“Gue cuma mau ngasih tahu Nadia sudah RSVP-in elo. Omong-omong lo di
Hard Rock sama siapa?”
“Sama orang kantor.”
“Eh, Dri, soal Baron, Dara...”
“Jan, Baron ada di sini. Nanti gue telepon lo balik deh ya.” Aku lalu menutup
teleponku. Seperti perkiraanku, beberapa detik kemudian teleponku bergetar lagi,
dan nomor itu adalah nomor HP Jana. Dengan kesal aku membiarkan HP-ku
bergetar, dan setelah berhenti, aku kemudian mematikannya.Aku menarik napas
dalam-dalam, mencoba memutuskan langkah selanjutnya.
Tiba-tiba ada seseorang yang mencolek bahuku. Sebelum berbalik untuk
menghadap orang itu aku sudah tahu bahwa itu Baron. Aku dapat mencium aroma
tubuhnya dari tempatku berdiri. Ketika berbalik, aku menemukan Baron
memandangiku. Kemudian tiba-tiba tanpa kukira-kira dia melebarkan kedua
tangannya bagaikan akan memelukku. Aku hanya berdiam diri, masih tertegun atas
semua kejadian yang terjadi bertubi-tubi. Ketika aku tidak bereaksi, Baron maju
beberapa langkah dan memelukku. Aku tidak memiliki pilihan lain selain membalas
pelukan itu.
“Hei,” ucap Baron pelan. Aku dapat merasakan embusan napasnya.
Setelah Baron melepaskanku, aku langsung berkata, “Aku nggak tahu kamu
kenal Ervin.”
Aku ingin sekali menyiramkan satu ember air dingin ke kepalaku untuk
menenangkan sarafku.
“Ervin juga nggak pernah cerita kamu bakalan jadi date-nya malam ini,”
jawabnya.
Date? Nggak kok, cuma teman. Omong-omong anaknya ke mana ya?” tanyaku
dengan suara setenang mungkin.
“Tadid ia bilang mau ke toilet, aku menawarkan diri untuk nyari kamu.”
Untuk meringankan suasana aku bertanya, “Omong-omong kamu ke sini diajak
Ervin juga?”
“Diajak? Tiket Jazz Night dia dari aku.”
Ketika mendengar penjelasan Baron, aku tertawa.
Baron memperhatikanku sebelum bertanya, “Ada yang lucu?”
Aku menahan tawaku dan menggeleng sebelum menjawab. “Nggak, nggak
ada.”
Lagi-lagi keheningan menyelimuti kami.
“Eh, Di..,” tetapi sebelum Baron bisa menyelesaikan kalimatnya, Ervin sudah
muncul kembali sambil melambaikan tangannya ke arah kami. Tanpa disangkasangka,
Baron memegang pinggangku, kemudian menuntunku untuk berjalan di
tengah keramaian menuju Ervin.
“Tom, kita duduk di mana?” tanya Ervin setelah aku dan Baron sudah cukup
dekat. Ervin sempat melemparkan pandangannya ke pinggangku yang dilingkari
lengan Baron. Baru pertama kali aku melihat tatapan Ervin yang kalau kulihat di
mata orang lain bisa kubilang menyemburatkan jealousy. Tapi ini Ervin. Dia tidak
mungkin kan cemburu pada Baron karena aku?
“Tuh,” jawab Baron sambil menunjuk ke arah sebuah booth kecil di sudut
ruangan. Baron kemudian menarik tangannya dari pinggangku.
Aku duduk di bagian dalam dan Ervin duduk di sampingku, sedangkan Baron
duduk menghadap kami berdua. Setelah kami semua duduk dengan tenang sambil
menikmati minuman masing-masing, tiba-tiba tangan kiri Ervin memegang pahaku
dan dia pada dasarnya memaksa agar aku duduk lebih dekat dengannya. Aku
hampir saja menumpahkan minumanku. Aku mencoba menarik kakiku, tapi
pegangan Ervin malah semakin erat. Untuk mengontrol detak jantungku yang
melonjak tidak keruan aku mencoba mencari bahan pembicaraan.
“Ron, Oli nggak diajak?” tanyaku.
Baron terlihat sendu ketika mendengar pertanyaan itu, sedangkan Ervin lagilagi
terlihat kaget. Aku lupa bahwa Ervin tidak tahu bahwa aku juga mengenal
Olivia.
“Oli ada di rumahnya,” jelas Baron. Dia tidak memberikan penjelasan lebih
lanjut, sehingga aku harus mencari topik baru.
“Lo kenal Baron di mana, Vin?” tanyaku.
“Kita sobatan waktu SMA, kadang-kadang memang agak-agak susah slaing
kontak sama dia nih,” ucap Ervin sambil menunjuk Baron. “Tapi terus si bule satu
ini telepon gue buat nonton Jazz Night,” lanjutnya.
“Kamu masih dipanggil „Bule waktu SMA?” tanyaku kepada Baron.
Tanpa kusadari, pernyataan itu ternyata membuat kedua laki-laki yang duduk
bersamaku tertegun. Setelah beberapa lama baru Baron bereaksi.
“Kamu masih ingat itu?” tanya Baron pelan.
Aku mengangguk.
“Iya, gue juga dipanggil Bule waktu SMP,” jelas Baron pada Ervin yang hanya
mengangguk dan memberikan tatapan tidak suka padaku.
Baron kemudian mulai bertanya-tanya. “Jadi kamu sama Ervin kerja bareng?”
“Iya,” aku menjawab.
“Lo kenapa manggil Adri kamu sih, kenapa nggak elo?” tanya Ervin tiba-tiba.
Aku dan Baron sama-sama tertegun dengan pertanyaan itu. Beberapa saat ada
keheningan yang tidak mengenakkan, lalu Baron menjawab dengan tenang. “Nggak
tahu juga sih, tapi semenjak kita bertemu lagi waktu gue ke Singapur, gue selalu
manggil Didi „kamu. Memangnya kenapa?”
“Singapur? Lo ketemu Baron di Singapur?” tanya Ervin padaku. Suaranya
terdengar tidak stabil.
“Iya,” jawabku gelisah.
Cengkeraman tangan Ervin di pahaku mengerat.
“Omong-omong, aneh ya dengar kamu... dipanggil Adri, aku selalu manggil
kamu Didi,” ucap Baron.
Aku pun langsung tersipu-sipu tanpa sebab. Meskipun di dalam Hard Rock
cukup remang-remang, aku dapat melihat bahwa urat-urat di leher Ervin mulai
keluar, yang menandakan bahwa dia sedang mencoba menahan emosinya, tapi
Baron sepertinya tidak memperhatikan hal itu.
“Kamu sudah berapa lama kenal Ervin?” tanya Baron lagi.
Aku belum sempat menjawab ketika Ervin langsung menyambar, “Hampir dua
tahun.”
Baron kemudian memandangku, yang mengangguk untuk mengkonfirmasi
pernyataan itu.
“Lo nggak pernah cerita ke gue sih?” tanya Baron pada Ervin dengan nada
menuding.
“Memang elo emak gue?” balas Ervin. Ketegangan yang dapat kurasakan di
antara mereka terasa cukup tebal untuk bisa dipotong dengan pisau. Tiba-tiba
mereka tertawa keras dan semuanya cair kembali.
Kemudian makanan kami tiba dan akhirnya Ervin menarik tangannya dari
pahaku. Aku buru-buru menggunakan kesempatan itu untuk bergeser sejauh
mungkin dari jangkauan tangannya.
Aku lihat ada sebongkah brokoli di samping steikku. “Vin, brokoli,” ucapku.
Ervin pun menusukkan garpunya ke sayuran hijau itu dan memindahkannya ke
piringnya.
Ketika memandang ke arah Baron dengan tidak sengaja, aku mendapati
keningnya berkerut.
Anyway, kamu kuliah di mana sih?” tanyaku mencoba untuk tidak terlihat
gugup.
“Aku di UI, Ekonomi. Aku ketemu lagi sama Oli di situ juga,” jawab Baron.
Aku hanya mengangguk-angguk karena mulutku terlalu penuh daging untuk
mengeluarkan kata-kata.
Setelah menelan potongan dagingku aku bertanya lagi, “Jadi sudah berapa lama
kamu sama dia?”
“Enam tahun total. Sering putus-nyambung,” jawab Baron.
“Enam tahun? Gila... lama ya,” komentarku kagum. Sejujurnya aku memang
kagum dengan dua orang yang bisa menjalin hubungan selama itu.
Baron hanya tersenyum atas komentarku.
“Oli kenapa nggak lo ajak, Tom?” tanya Ervin tiba-tiba. “Gue pikir lo bakalan
datang sama dia, makanya gue bawa Adri, biar nggak jadi third wheel,” tambahnya.
Baru saat ini aku sadari bahwa Ervin memanggil Baron dengan nama depannya,
Thomas, dan itu terdengar sangat asing di telingaku.
“Sebetulnya aku juga cadangan doang, Ervin tadinya mau ngajak Sarah, tapi
gara-gara dia cancel, aku yang jadi korban,” sambarku.
Ervin memandangku dengan gemas, tapi aku tidak menghiraukannya.
Baron hanya menggeleng-geleng sebelum menjawab, “Oli lagi sibuk mikirin
anggaran buat resepsi,” kemudian melahap sepotong daging besar.
“Dia maunya besar-besaran?” tanya Ervin.
“Bukan cuma dia... emaknya, tantenya, budenya, teman-temannya, sampai
tetangga-tetangganya juga maunya besar-besaran. Dasar cewek,” omel Baron.
Aku dan Ervin sempat saling pandang sebelum kemudian Ervin membalas.
“Calon bini jangan diledek gitu,” canda Ervin.
“Calon bini sih calon bini, tapi sumpah, kalau gue tahu dia ternyata orangnya
segini bawelnya cuma urusan milih kembang, mendingan gue nggak usah nikah,”
ujar Baron berapi-api.
Sekali lagi aku dan Ervin saling pandang. Ervin menangkap maksudku
mengenai kata “bawel” yang digunakan Baron untuk menggambarkan tingkah laku
Olivia.
Aku sebetulnya ingin menepuk-nepuk tangan Baron untuk menenangkannya,
tapi pada saat terakhir aku berhasil menahan diri. “Jadi Hari H-nya kapan?”
tanyaku.
“Kayaknya sih awal tahun depan, tapi dukun mantennya masih ngitungngitung
dulu. Omong-omong kamu datang ya sama Ervin, jangan sampai nggak,”
jawab Baron.
“Jadi aku diundang?” tanyaku.
“Iya dong, nanti undangan aku kirim ke kantor kamu ya. Aku soalnya nggak
punya alamat rumah kamu.”
“Iya, kirim saja ke kantor, biasanya suka telat kalau dikirim ke rumah, maklum
kalau tinggal di kampung,” candaku.
“Rumah kamu di mana sih?”
“Rempoa,” Ervin menyambar tanpa disangka-sangka.
Tiba-tiba dari lantai bawah terdengar ada sedikit ribut-ribut.
“Mas, Mas, ada apaan sih?” tanyaku kepada pelayan yang datang untuk
memberiku segelas Pepsi baru.
Band-nya baru datang, Mbak,” jawab pelayan itu lalu berlalu.
“Sekarang jam berapa sih?” tanyaku.
Baron melirik jam tangannya dan mengacungkan jari-jari tangannya yang
panjang, menunjukkan jam delapan. Setelah piring-piring makan diangkat dari
meja, Baron pun mengajak aku dan Ervin untuk berdiri di tepi balkon, supaya bisa
nonton konser Jazz Night lebih jelas.
Acara berakhir pukul 23.30. Aku menyalakan HP-ku kembali. Kulihat Ervin
sedang berbicara perlahan-lahan dengan Baron sebelum kemudian menumpukan
perhatianku kepada gambar amplop yang berkedip-kedip di layar HP-ku. Ternyata
ada sepuluh voicemail dan beberapa SMS semenjak pukul 18.00, cukup aneh. Tapi
aku yakin semuanya pasti dari sobat-sobatku yang sudah tahu dari Jana mengenai
kabarku dan Baron yang sedikit membingungkan beberapa jam yang lalu itu. Empat
pesan pertama memang dari mereka, dan aku segera menghapusnya. Tapi pesan
kelimat datang dari Reilley, kakak iparku yang dengan suara agak panik mengabari
bahwa kakakku akan melahirkan. Panik, aku langsung berseru, “Vin, Ervin, rumah
sakit, rumah sakit, kakak gue melahirkan.”
Ervin dan Baron langsung berlari ke arahku untuk menenangkan sekalian
mencari tahu masalah yang sebenarnya.
“Dri, kenapa, Dri?” tanya Ervin. “Tenang dulu dong, Dri, jangan panik kayak
gitu.”
“Kakak gue, Vin, melahirkan, melahirkan. Aduh, ini pesan sudah dari jam
delapan, ya ampun. Sekarang sudah jam dua belas. Aduhhhhhhh...!”
“Oke, oke... rumah sakit mana, Dri?” tanya Ervin.
“Rumah sakit, rumah sakit, rumah...” Dengan gugup aku mencoba menjawab
pertanyaan Ervin, tapi aku tidak bisa mengatakan nama rumah sakit itu. Lidahku
kelu.
Baron yang masih berdiri tertegun akhirnya mengambil HP-ku yang hampir saja
meluncur dari genggamanku ketika aku panik. Perlahan-lahan Baron kemudian
memberitahu isi mailbox-ku.
“Di, pesan dari Reilley (Baron menyebut nama Reilley dengan tatapan penuh
tanda tanya, karena dia tidak mengenal nama ini), bilang Mbak Tita akan
melahirkan (Sekarang giliran Ervin yang memberikan pandangan aneh kepadaku
dan menyebutkan nama Mbak Tita dengan nada penuh tanda tanya kepada Baron
yang tidak menghiraukannya). Reilley bilang bahwa kamu harus telepon Bonyok
kamu. Nyokap kamu telepon... dia sama Bokap kamu sudah dalam perjalanan ke
rumah sakit diantar sama Pak Yoyok. Nyokap telepon lagi... mereka sudah sampai
di rumah sakit, tapi masih belum tahu nomor kamarnya. Dara nanya ke mana, kok
kamu nggak angkat telepon. Terus Nyokap lagi... kamar Mbak Tita di 215 di Rumah
Sakit Internasional Bintaro.”
Setelah memberitahuku semua informasi tersebut, Baron kemudian
mengulurkan kembali HP-ku. Ervin mengambilnya dari tangan Baron ketika
melihatku tidak bereaksi dan memasukkannya ke tas tanganku. Aku yang sudah
lebih tenang menurut saja digandeng Ervin. Kami berdua, diikuti Baron, segera
menuju lapangan parkir. Aku duduk di kursi penumpang mobil Ervin dan
berpamitan pada Baron.
Tiba-tiba HP-ku berbunyi. Telepon dari ibuku yang menanyakan keberadaanku
dan kenapa aku masih belum sampai juga di rumah sakit. Aku menenangkannya
sebelum memberikan kepastian bahwa aku akan tiba dalam waktu setengah jam.
“Ayo, Dri, mesti jalan sekarang kalau lo mau ada di sana sebelum bayinya
lahir.” Ervin menutup pintu mobil di sisi penumpang dan berjalan ke sisi sopir.
“Ron, thanks buat undangannya!” teriakku melalui jendela.
Kemudian kami pun berlalu. Dari kaca spion aku bisa melihat Baron
melambaikan tangan ke arah kami.
Ervin membawa mobil seperti orang kesetanan. Semua mobil yang berkecepatan
kurang dari 140 kilometer per jam diklakson dan diusirnya dari hadapannya. Aku
harus berpegang erat pada kursiku dalam kepanikan. Rasa mual mulai muncul di
perutku karena Ervin melewati beberapa mobil sambil membanting setir ke kiri lalu
ke kanan. Aku lihat Ervin mengeratkan genggamannya pada setir dan mengganti
persneling ke gigi enam.
“Vin, gue tahu mobil lo mahal dan ada banyak airbag-nya jadi kalau kecelakaan
mungkin nggak akan sefatal kalau misalnya kita naik Kijang. Tapi kecuali lo mau
interior mobil lo ini rusak dan baunya jadi aneh gara-gara muntah gue, gue saranin
lo slow down,” ucapku pelan.
Seperti tidak sadar bahwa dia overspeed, pandangan Ervin jatuh ke speedometer
sebelum kemudian mengurangi kecepatan. Aku mengembuskan napas lega.
Thanks,” ucapku.
“Lo mual?” tanya Ervin.
“Hampir,” balasku.
“Sori.”
Aku hanya mengangguk.
Lalu, “Lo kok baru tahu kakak lo bakal melahirkan sih, Dri? Memang HP lo
apain?” tanyanya.
“HP gue matiin. Habis...” Aku tidak meneruskan penjelasanku karena Ervin
sudah memotongku.
“Kan kasihan nyokap lo nggak bisa telepon elo.”
Aku berdiam diri, merasa bersalah.
“Memangnya lo nggak tahu kapan kakak lo akan melahirkan?”
“Dokternya bilang kemungkinan hari Selasa. Gue nggak tahu dokter bisa
meleset juga.”
“Ini keponakan pertama lo ya?” tanya Ervin.
Aku mengangguk.
“Gue nggak tahu kakak lo lagi hamil. Kok lo nggak pernah cerita?” tanya Ervin
lagi.
“Memangnya penting, ya?”
Ervin mengangguk. “Gue baru sadar ternyata ada banyak hal yang gue nggak
tahu tentang elo.”
Aku tertawa terkekeh-kekeh. “Tenang saja, ada banyak hal yang gue juga nggak
tahu tentang elo,” balasku.
Ervin kemudian menatapku. “Hal apa yang elo nggak tahu tentang gue?”
Keingintahuan terlihat di matanya.
“Gue nggak tahu ternyata lo teman baik sama Baron...” Sebelum aku bisa
menyelesaikan kalimatku Ervin sudah memotongku.
“Gue juga nggak tahu ternyata lo jago flirting sama cowok lain.”
Mulutku ternganga, bukan karena kata-katanya, tapi lebih karena nadanya yang
terdengar sangat sarkastis.
“Apa maksud lo flirting?” tanyaku bingung.
“Ya flirting, ngobrol sama cowok lain mana pakai pegang-pegang segala lagi.”
Apa??? Kok bisa-bisanya topik pembicaraannya jadi ke sini? pikirku dalam hati.
Jelas-jelas Ervin sedang membicarkaan Baron.
Daripada bertengkar aku lebih memilih humor. “Lo jealous, ya?” ledekku.
NO!!! Bukan jealous, gue cuma mau bilangin ke elo etiket orang nge-date.”
“Nge-date? Sejak kapan kita nge-date?”
“Sejak malam ini. Lo gue kenalin ke Thomas... Baron lo itu... sebagai date gue.”
Nada Ervin terdengar seperti nada orang siap perang ketika mengatakan nama
Baron. Entah kemasukan setan apa dia malam ini.
Well, lo mestinya tanya ke gue dulu apa gue mau jadi date lo malam ini. Dan
bisa-bisanya lo ngomongin soal etiket ke gue, lo tahu sendiri kalau biasanya kita lagi
jalan banyak perempuan yang dekat-dekat sama elo dan gue nggak pernah
komentar apa-apa, kan?”
“Iya... tapi seperti yang elo bilang, itu kan cuma jalan, bukannya nge-date.”
“Aduh, nggak ada bedanya deh.”
“Ada dong, Dri.”
Aku pelototin Ervin yang lagi nyetir. Kuperhatikan bahwa jarum speedometer
sudah naik lagi melewati angka 120. Tapi aku terlalu marah untuk peduli.
“Oooohhhh, ini masalahnya bukan karena jalan atau date, kan? Ini masalah elo boleh
flirt tapi gue nggak boleh, gitu?”
“Maksud gue bukan itu.”
“Terserah deh lo mau manggil nih malam jalan kek, date kek, mau bilang gue
flirt kek, nggak kek. Lagian juga bukannya sesuatu yang spesial gitu lho kalau gue
on a date sama seorang Ervin Daniswara. Hampir semua perempuan di Jakarta
sudah pernah pergi on a date sama elo,” balasku berapi-api.
Ervin mengerling dan aku tahu dia tersinggung. Tapi setelah agak lama dia
membalas.
“Kenapa juga sih lo harus baik sama semua orang? Sama Baron, Reza, tuh bule
di Hard Rock?”
Aku tadinya mau tidak menghiraukan komentar ini, tapi tidak bisa. “Ya gue
lebih suka kalau orang menganggap gue sopan daripada rude. Tuh bule cuma tanya
apa elo atau Baron yang cowoknya gue, gue bilang lo berdua sobatan dan gue cuma
aksesoris saja. Benar, kan?”
“Salah, lo nih malam sama gue, punya gue.”
Aku langsung kaget atas kata-kata itu dan hanya bisa terdiam. Ervin betul-betul
cemburu rupanya. Kemudian dengan hati-hati aku berkata, “Punya elo? Elo baru
bilang gue punya elo?”
“Maksud gue...”
“Memangnya gue barang? Memangnya gue tipe perempuan yang bisa lo beli
kayak Tiffanys atau Bulgari?” teriakku memotong kalimatnya.
“Bukan gitu, Dri, maksud gue...”
“Stop, stop, gue turun di sini saja,” ucapku pelan tapi tegas. Kami sedang berada
di arteri Pondok Indah.
Tapi seperti tidak mendengarku dia tetap meluncurkan mobilnya di jalur kanan.
“Vin, gue turun di sini saja, tuh ada taksi,” ucapku memerintah.
Tapi Ervin tetap tidak menghiraukanku.
“Vin,” teriakku akhirnya. “Lo dengar gue nggak sih?”
“Gue antar lo ke rumah sakit,” jawabnya singkat.
Kami berdua sama-sama tidak mengatakan sepatah kata pun selama sisa
perjalanan yang memakan wakut setengah jam itu. Ketika Ervin menghentikan
mobilnya di lobi rumah sakit, aku langsung membuka pintu dan berlari menuju
meja informasi, tidak menghiraukan Ervin yang berteriak-teriak memanggilku. Aku
tidak peduli padanya sekarang, pertama-tama karena ada masalah yang lebih
penting daripada memikirkan tingkah laku anehnya malam ini. Kedua, aku terlalu
kesal padanya untuk melihat wajah Dewa Yunani-nya lagi.
Setelah menanyakan letak ruang bersalin aku langsung berlari sambil menekan
nomor HP Reilley. Ternyata kakakku baru masuk ruang bersalih beberapa menit
yang lalu. Suara Reilley yang biasanya tenang terdengar agak-agak panik. Aku
segera memberitahu bahwa aku sudah sampai dan sedang berlari menujunya.
Ketika tiba di ruang tunggu keluarga, aku bertemu dengan ibu dan bapakku
yang terlihat cukup tenang, menghirup minuman hangat dari gelas plastik.
“Bu, Mbak Tita gimana?” tanyaku sambil memeluk dan mencium ibu dan
bapakku.
“Mbak Tita baik-baik saja kok. Tadi Reilley bilang, kalau kamu mau ikutan
masuk juga boleh,” jawab ibuku. “Kamu ke sini diantar sama teman kamu?”
lanjutnya.
Aku mengangguk.
“Orangnya mana?” tanya bapakku.
“Nggak tahu, tadi sih ada,” aku menjawab cuek. “Bu, aku masuk ya. Oh iya, ini
tolong pegangin tasku.”
Aku langsung berlari ke arah pos jaga suster untuk minta dibiarkan masuk
menemani kakakku.
Ruang bersalin yang kumasuki terlihat agak kosong, hanya ada satu dokter, dua
suster, dan Reilley yang terlihat agak aneh dengan pakaian yang dikenakannya.
Reilley mengangguk menandakan bahwa dia melihatku. Kakakku yang terlihat
sangat kesakitan pun sempat melihatku sebelum dia mengalami kontraksi. Selama
beberapa jam kemudian aku menemani Mbak Tita di ruang bersalin. Setelah tiga jam
dan si bayi masih belum lahir juga, meskipun ibunya sudah mau pingsan, Reilley
akhirnya memutuskan untuk meninggalkan ruangan itu karena rupanya dia tidak
tega melihat istrinya kesakitan.
Pukul tujuh pagi hari akhirnya Lukas OReilley dilahirkan dengan selamat dan
komplet. Reilley yang sedang pergi ke kantin untuk membeli kopi harus dipanggil
melalui speaker. Reilley tiba beberapa menit kemudian, keningnya berkeringat dan
napasnya memburu. Aku hampir saja tertawa ketika melihatnya, tubuh Reilley yang
tinggi besar itu rupanya harus berolahraga ekstra pagi itu.
Menahan kantuk dan lelah, aku berjalan keluar dari ruang bersalin seperti
zombie. Tanganku agak merah dan bengkak karena digenggam kakakku selama dia
mengalami kontraksi. Ketika melangkah ke ruang tunggu, aku melihat bapak dan
ibuku, dan...
Oh my God, I am so tired I’m hallucinating.
Aku mengedipkan mataku beberapa kali. Ketika aku membuka mataku kembali
ternyata dia masih tetap ada di sana. Ervin yang melihatku berjalan mendekat
memberi tanda kepada orangtuaku. Ibu dan bapakku kemudian bergegas berjalan
ke arahku, dan ketika aku memberitahu bahwa Lukas dan Mbak Tita sehat-sehat
saja, mereka langsung berpelukan. Seorang suster menghampiri kami untuk
mempersilakan mereka bertemu Lukas dan Mbak Tita. Tanpa basa-basi mereka
langsung pergi meninggalkanku.
Setelah kedua orangtuaku berlalu, aku mengalihkan perhatianku pada Ervin.
Kemeja putihnya terlihata agak kusut, kedua lengan kemeja itu dilipat dengan asal.
Meskipun begitu, dia masih terlihat ganteng. Semua rasa kesal yang kurasakan
beberapa jam yang lalu, kini hilang tidak berbekas. Ervin yang sadar bahwa aku
sedang memperhatikannya dengan pandangan agak aneh berjalan ke arahku dan
memelukku. Tanpa sadar aku hanya membiarkan tubuhku dipelukanya. Aku bisa
merasakan sesuatu di hatiku bergeser. Tubuhku yang tadinya terasa dingin
sekarang menjadi hangat. Ervin mencoba merapikan rambutku yang kemungkinan
besar sudah terlihat seperti Medua dan menuntunku untuk duduk di kursi.
“Orangtua lo sayang banget ya sama anaknya sampai mau nungguin
semalaman. Tadinya sudah mau gue antar pulang, karena Pak Yoyok sudah pulang
duluan sekitar jam dua, tapinya bonyok lo nolak. Katanya mau nunggu sampai cucu
mereka lahir,” Ervin menjelaskan padaku.
Aku hanya duduk terpaku dan menatap Ervin. Senyum simpul hanyalah satusatunya
tanda bahwa aku masih sadar.
“Tadi malam kok nggak nungguin gue sih? Pas gue telepon HP lo untuk nyokap
lo ngangkat, jadi gue tahu lo ada di mana, kalau nggak kan gue bingung juga mau
ke mana. Gue tanya resepsionis, mereka nggak punya pasien yang namanya Tita,”
Ervin mulai ngomel lagi.
Aku terlalu lelah untuk membalas. Aku menutup mataku beberapa detik. Tibatiba
aku merasakan guncangan.
“Dri... Dri... bangun, Dri,” ucap Ervin.
Pelan-pelan kubuka mataku. “Pergi sana, gue mau tidur,” gumamku.

Samar-samar kudengar Ervin terkekeh-kekeh.

No comments:

Post a Comment