EPILOG
AKU
tidak tahu beskap bisa kelihatan sebegini seksinya. Tapi aku seharusnya tidak
kaget
karena pada dasarnya segala sesuatu yang dikenakan Ervin selalu bisa
membuatnya
kelihatan seksi. Bulan ini adalah bulan Juli tanggal empat, dua bulan
setelah
tanggal ulang tahunku. Ervin baru saja kembali dari Cincinnati sekitar tiga
minggu
yang lalu. Dia terpaksa harus tinggal sedikit lebih lama di sana karena
ketinggalan
training sewaktu dia pulang ke Jakarta. Rencana pernikahanku diatur
oleh
Kirana, Mbak Tita, dan Sarah, atas biaya dariku dan Ervin. Dan sesuai dengan
keinginanku
dan Ervin, pernikahan itu hanya mengundang keluarga dan teman
dekat.
Tentunya ketiga sobatku, Ina, dan Baron dan Olivia turut hadir.
Ketiga
sobatku sempat bingung sewaktu aku memberi mereka undangan
pernikahanku.
Mereka bahkan semakin tidak bisa berkata-kata ketika melihat
keadaanku
yang sedang hamil besar. Mereka sempat mengamuk, tapi karena tidak
bisa
menganiaya orang hamil, mereka terpaksa menunda rencana penganiayaan
hingga
bayiku lahir. Kehamilanku yang sudah menginjak bulan ketujuh mulai
tampak
dengan jelas. Kebanyakan para tetua di keluargaku, juga para tetua di
keluarga
Ervin, meminta agar acara pernikahannya ditunda hingga bayinya lahir,
jadi
perutku tidak terlihat buncit di foto perkawinan. Tapi Ervin menolak ide itu,
karena
menurutnya aku terlihat semakin seksi selama hamil dan dia tidak peduli
apa
kata orang.
Pat
dan beberapa orang kantor turut diundang ke pernikahan kami. Pat yang
mendengar
kalau aku hamil pada akhir April lalu justru gembira mendengarnya.
Dia
hanya sedikit kecewa karena aku baru memberitahunya. Good Life akhirnya
setuju
untuk mengalihkan pekerjaanku sebagai Human Resources Manager ke Sony
selama
cuti hamil. Untungnya Good Life tidak mempermasalahkan hubunganku
dengan
Ervin.
Hubungan
Baron dan aku dan Ervin berangsur membaik setelah pernikahanku.
Baron
sempat kaget waktu tahu soal itu, tapi dia tidak berkata apa-apa lagi. Olivia
juga
sudah hamil.
Untuk
urusan rumah, setelah berdiskusi cuku ppanjang denganku, Ervin
akhirnya
memperbolehkanku untuk membeli semua peralatan rumah tangga untuk
rumah
itu dengan uangku, asalkan aku membiarkannya membeli rumah itu sebagai
hadiah
perkawinan untukku. Sedikit demi sedikit rumah kami mulai terlihat lebih
nyaman
dan penuh kehangatan atas sentuhan-sentuhan kami berdua yang ternyata
memiliki
selera yang cukup sama. Kami hanya berbeda pendapat untuk urusan
warna
cat kamar Scarlett. Ervin maunya dicat warna pink, karena menurutnya
kamar
perempuan harus terlihat girly. Aku yang tahu Scarlett akan mengira kami
gila
saat dia menginjak masa SMA dan teman-temannya melihat warna kamarnya,
akhirnya
bersikeras dengan warna mint green, warna yang natural dan uniseks. Saat
itu
juga kami setuju bahwa Scarlett akan dinamakan Scarlett Hazel Daniswara.
Scarlett
lahir dengan sempurna di bulan Oktober, sangat berdekatan dengan
ulang
tahun Ervin. Seumur hidupku, aku tidak pernah merasa sebegini happy-nya.
Kini,
beberapa bulan setelah kelahiran Scarlett, kupandangi laki-laki yang aku
cintai
dan yang mencintaiku, yang sedang menggendong seseorang yang kucintai
lebih
daripada rasa cintaku pada dunia ini, sambil membuat tampang-tampang
aneh.
Rupanya inilah imbalan yang dapat kuberikan kepada diriku sendiri kalau
saja
aku berani untuk membuka hati. Andai saja aku sudah melakukannya dari
dulu-dulu,
mungkin aku tidak akan menyiksa diriku selama bertahun-tahun dengan
mencintai
orang yang salah. Mmmhhh... tapi mungkin itulah yang dimaksud
dengan
berakit-rakit ke hulu berenang-renang kemudian.
Hari
ini adalah hari Minggu jam setengah tujuh pagi. Aku dan Ervin
memutuskan
untuk membawa Scarlett jalan-jalan keliling kompleks perumahan
kami.
Dengan jam kerjanya yang enam puluh jam seminggu aku bingung
bagaimana
dia masih bisa menyempatkan diri untuk menghabiskan waktunya
dengan
Scarlett. Aku tersenyum pada diriku sendiri.
Yes,
life’s good,
ucapku dalam hati sambil mencoba menyamai langkah Ervin.__
No comments:
Post a Comment