13. Ketika Hati Berdesir-desir
Tak terasa sudah memasuki pertengahan September. Suhu musim panas
mulai turun. Paling tinggi 32 derajat celcius. Bulan Oktober nanti
adalah bulan
peralihan dari musim panas ke musim dingin. Si Musthafa Fathullah
Said, teman
Mesir satu kelas di pascasarjana yang juga sedang mengajukan
proposal tesis
memberitahukan, bahwa dua hari lagi aku harus ke kampus untuk
ujian proposal tesis
yang kuajukan. Aku terfokus pada ujian yang sangat menentukan itu.
Jika proposalku
ditolak maka aku harus menunggu setengah tahun lagi untuk
mengajukan proposal
baru.
As you sow, so will you reap! Demikian pepatah Inggris mengatakan. Seperti
apa yang anda tanam, sebegitu itulah yang akan anda petik. Rasanya
tidak sia-sia
apa yang telah kukerjakan selama ini. Membuat jadwal ketat,
bolak-balik ke National
Library, ke perpustakaan IIIT di Zamalek, dan mengumpulkan bahan.
Membaca
literatur-literatur klasik berkaitan Ilmu Quran, berdiskusi dengan
teman-teman
pascasarjana. Kerja yang melelahkan. Mengantuk. Pusing. Mual.
Kurang tidur.
Semuanya terasa bagaikan simponi hidup yang indah setelah tim
penilai yang terdiri
para guru besar menerima proposal tesis yang aku ajukan. Aku jadi
menulis tentang
‘Metodologi Tafsir Syaikh Badiuz Zaman Said An-Nursi’. Aku memang
pengagum
ulama terbesar Turki abad 20 itu. Dia termasuk tokoh dunia Islam
yang menurut
Syaikh Yusuf Al Qaradhawi layak disebut mujaddid umat Islam abad
20 disamping
Hasan Al Banna. Pembimbingku juga telah ditentukan yaitu Syaikh
Prof. Dr. Abdul
Ghafur Ja’far. Aku seperti mendapat durian runtuh sebab beliau
memang profesor
idolaku. Terkenal paling mudah ditemui dan paling senang dengan
mahasiswa dari
Asia Tenggara. Aku belum dikenal oleh beliau, tapi aku akan
berusaha menjadi
muridnya yang baik sehingga beliau akan mengenalku dengan baik
sebagaimana
Syaikh Utsman mengenalku.
Dan sebagai rasa syukur aku harus kembali memeras otak dan bekerja
keras
untuk menyelesaikan tesis ini. Pekerjaan yang tidak ringan, sebab
aku juga harus
menerjemah. Tanpa menerjemah dari mana sumber penghidupan akan aku
dapatkan. Aku kembali menata peta hidup dua tahun ke depan. Aku
teliti dan aku
kalkulasi dengan seksama. Target-target dan cara pencapaiannya.
Ada satu target
yang masih mengganjal. Yaitu menikah. Aku mentargetkan saat
menulis tesis aku
harus menikah. Umurku sudah 26 tahun menginjak 27.
Aku mengkalkulasi kemampuan mencari dana setiap bulan. Sebelum
menulis
136
tesis aku sanggup merampungkan buku setebal 200-300 halaman setiap
bulan. Itu
berarti aku akan mendapat masukan sekitar 250 dollar perbulan. Dan
aku hanya bisa
menyisakan 100 dollar dan terkadang malah cuma 50 dollar. Setiap
kali masuk toko
buku aku tidak bisa menahan diri untuk membeli buku atau kitab.
Ketika konsentrasiku
terpusat pada menulis tesis maka kemampuanku menerjemah akan
berkurang.
Mungkin aku hanya akan mampu menerjemah 150200 halaman saja
perbulan. Uang
yang aku terima dari bayaran menerjemah hanya cukup untuk memenuhi
biaya
sehari-hari. Bagaimana? Apakah akan tetap nekad menikah?
Tunggu dulu! Bang Aziz yang mengais nafkah dengan membuat tempe
dan
mendistribusikannya ke rumah-rumah mahasiswa itu berani menikah.
Bang Aziz
bercerita dengan pemasukan 150 dollar perbulan sudah berani
menikah. Hidup
sederhana dan menyewa rumah sederhana di kawasan Hayyu Thamin,
atau jauh di
Zahra sana. Apalagi jika mencari isteri mahasiswi yang kebetulan
dapat beasiswa.
Meskipun beasiswa tak seberapa tapi sangat membantu karena
datangnya tetap.
Akhirnya kupikir dengan matang, bahwa umur tidak bisa dihargai
dengan
materi. Jika menemukan perempuan shalihah dan mau menerima diriku
seutuhnya
dan siap hidup berjuang bersama, dalam suka dan duka, maka aku
tidak akan
menyia-nyiakan kesempatan untuk menyempurnakan separo agama.
Kutetapkan
tahun ini bisa menikah, tapi tidak mencari. Lho bagaimana? Siapa
tahu ada yang
menawari. Kalau sampai selesai magister tidak ada yang menawari ya
berarti
memang nasibku tidak menikah di Cairo dengan mahasiswi Al Azhar.
Mungkin
nasibku adalah menikah di Indonesia, dengan seorang akhwat
berjilbab yang ghirah
keislamannya bagus, yang ada di UI, atau di UGM, atau di UNDIP,
atau di UNS. Atau
malah gadis dari pesantren yang masih sangat virgin. Atau, tak
tahunya anak
tetangga sendiri, teman gebyuran di sungai waktu kecil. Jadi tidak
asing lagi, sejak
kecil sudah sama-sama tahu.
Aku jadi teringat puisiku sendiri, yang kutulis jelek sekali di
buku harian suatu
malam di musim semi setahun yang lalu:
Bidadariku, Namamu tak terukir Dalam catatan harianku Asal usulmu
tak hadir
Dalam diskusi kehidupanku Wajah wujudmu tak terlukis Dalam sketsa
mimpi-mimpiku Indah suaramu tak terekam Dalam pita batinku Namun
kau
hidup mengaliri Pori-pori cinta dan semangatku Sebab Kau adalah
hadiah
agung Dari Tuhan Untukku Bidadariku
137
Seorang perempuan shalihah yang akan jadi bidadariku, yang akan
aku cintai
sepenuh hati dalam hidup dan mati, yang akan aku harapkan jadi
teman perjuangan
merenda masa depan, dan menapaki jalan Ilahi, itu siapa? Aku tak
tahu. Ia masih
berada dalam alam ghaib yang belum dibukakan oleh Tuhan untukku.
Jika waktunya
tiba semuanya akan terang. Hadiah agung dari Tuhan itu akan datang.
* * *
Di layar TV Channel 2 ada pengumuman nama-nama orang hilang,
lengkap
dengan data singkat, ciri-ciri dan fotonya. Nama yang terakhir di
tampilkan adalah
Noura binti Bahadur Gonzouri, lengkap dengan fotonya. Saat itu
pukul setengah
sepuluh malam. Kami satu rumah kaget.
Si Muka Dingin Bahadur rupanya masih mencari Noura untuk ia jual
kepada
serigala-serigala berwajah manusia. Kami satu rumah cemas jika
urusannya akan
sampai kepada polisi dan menyeret Syaikh Ahmad. Jika Si Muka
Dingin Bahadur
punya hubungan dengan seorang pembesar di bagian intelijen
keamanan negara
urusannya benar-benar bisa merepotkan. Saat itu juga aku menelpon
Syaikh Ahmad.
Beliau minta aku tenang saja dan tidak usah kuatir. Noura sedang
berada di pintu
gerbang kemerdekaan dan kebahagiaannya. Besok pagi setelah shalat
shubuh beliau
akan menjelaskan semuanya.
Usai shalat shubuh, Syaikh Ahmad menjelaskan kepadaku bahwa
masalah
Noura sedang ditangani diam-diam oleh Ridha Shahata, saudara
sepupunya yang
bertugas di bagian intelijen keamanan negara. Ridha Shahata
menemukan informasi
berharga bahwa Noura dilahirkan di sebuah rumah sakit elite di
kawasan elite
Heliopolis. Pada minggu yang sama Noura dilahirkan hanya ada lima
bayi. Dan pada
hari yang sama Noura lahir cuma ada dua bayi di sana. Yaitu dia
dan bayi satunya
bernama Nadia. Setelah dilacak. Nadia kini tinggal di Heliopolis,
ayah dan ibunya
dosen di Universitas Ains Syams. Yang sedikit aneh Nadia berkulit
hitam sementara
ayah dan ibunya berkulit putih. Kolonel Ridha Shahata sedang menyiapkan
surat
pemanggilan untuk tes DNA pada Si Muka Dingin Bahadur dan
isterinya. Juga pada
Nadia dan kedua orang tuanya. Sebab memang sangat mencurigakan dua
bayi itu
tertukar. Jika benar tertukar nanti akan dicari siapa saja perawat
yang bertugas waktu
itu. Tertukarnya sengaja atau tidak. Tes DNA itulah yang akan jadi
bukti kuat
kejelasan kasus Noura. Namun seandainya tidak terbukti ada
pertukaran bayi, Noura
akan tetap dilindungi. Kolonel Ridha Shahata juga telah menyiapkan
bukti untuk
menyeret Si Muka Dingin Bahadur ke penjara. Kolonel Ridha Shahata
adalah intelijen
138
yang sangat profesional, dia pernah menangkap seorang turis
Spanyol yang ternyata
adalah mata-mata Mossad.
Syaikh Ahmad meminta saya tenang. Wa man yattaqillaha yaj’al
lahu
makhraja. Siapa
yang bertakwa kepada Allah maka Dia akan menjadikan untuknya
jalan keluar. Aku lega.
Begitu sampai dirumah, aku mendapat telpon dari Nurul. Ia rupanya
juga
melihat tayangan nama orang hilang tadi malam. Ia cemas kalau
Noura tertangkap
dan urusannya melebar. Aku lalu menjelaskan apa yang dijelaskan
Syaikh Ahmad
kepadaku. Nurul merasa lega. Sebelum mengakhiri pembicaraannya dia
bertanya
apakah aku sudah ke tempatnya Ustadz Jalal. Kubilang sejak sakit
aku belum ke
mana-mana. Aku minta pada Nurul agar menyampaikan pada Ustadz
Jalal
permohonan maafku belum bisa ke sana. Dan aku titip pesan
seandainya beliau ada
waktu supaya menghubungi aku langsung. Biar aku tahu sebenarnya
beliau mau
minta tolong apa. Aku juga menjelaskan pada Nurul saat ini sudah
konsentrasi
menulis tesis. Alhamdulillah judul tesisnya sudah diterima.
Nurul menyatakan rasa
gembira dan senangnya.
* * *
Aku teringat ini hari Ahad. Sudah lama aku tidak tidak mengaji
pada Syaikh
Utsman. Aku benar-benar rindu pada beliau. Ramalan cuaca siang ini
Cairo tidak
terlalu panas. Hanya 30 derajat celcius. Aku berangkat setengah
sebelas. Aku ingin
shalat zhuhur di Shubra. Baru keluar sampai di halaman apartemen,
aku dicegah oleh
Maria dari atas, dari jendelanya. Dia minta agar aku tidak pergi
dulu, di rumah dulu.
Aku heran apa haknya melarang aku. Aku jelaskan padanya aku harus
belajar qiraah
sab’ah.
Akhirnya dia menyuruh adiknya, Si Yousef untuk mengantar aku ke tempat
aku ngaji. Aku merasa heran dengan diri sendiri, keluarga Tuan
Boutros begitu baik
dan besar perhatiannya kepada kami. Hari itu Yousef mengantar aku
sampai di depan
masjid Abu Bakar Shiddiq, Shubra. Ia juga berjanji akan
menjemputku pukul setengah
lima sore. Aku mengucapkan terima kasih padanya.
Syaikh Utsman dan teman-teman menyambutku dengan penuh kehangatan.
Kami mempraktekkan qiraah Imam Warasy dengan membaca surat
Al Mujaadilah, Al
Hasyr, Al Mumtahanah, Ash Shaf dan Al Jumu’ah. Selesai mengaji
Syaikh Utsman
mengajakku masuk ke kamar beliau yang khusus disedikan oleh takmir
masjid. Beliau
ingin berbicara masalah khusus.
139
“Anakku, kau sudah sehat betul?” tanya beliau lembut.
“Alhamdulillah, Syaikh,” jawabku dengan menundukkan kepala,
aku tidak
berani memandang beliau. Segan.
“Alhamdulillah. Terus bagaimana dengan kuliahmu?”
“Alhamdulillah. Judul tesis magister sudah diterima Syaikh.
Sekarang sedang
mengumpulkan bahan lebih lengkap untuk menulis.”
“Alhamdulillah. Kau menulis tentang apa?”
“Metodologi Tafsir Syaikh Badiuz Zaman Said An-Nursi.”
“Bagus sekali. Said An-Nursi memang ulama luar biasa yang harus
dikaji
kelebihan yang diberikan Allah kepadanya. Lantas siapa
pembimbingmu?”
“Prof. Dr. Abdul Ghafur Ja’far.”
“Yang tinggal di dekat masjid Rab’ah El-Adawea, Nasr City itu?”
“Benar Syaikh.”
“Alhamdulillah. Kau insya Allah akan mendapat bimbingan
dan kemudahan
dari beliau. Beliau adalah salah seorang muridku angkatan pertama.
Beliau
mengambil sanad dan ijazah qiraah sab’ah dariku. Nanti akan
aku telpon beliau agar
memberikan bimbingan terbaik kepadamu. Dan agar kamu benarbenar
menjadi
pembela dan penyebar agama Allah di tanah airmu kelak.” Suara
Syaikh Utsman
bernada optimis dan bahagia. Diam-diam aku sangat kagum pada
beliau yang sangat
memperhatikan semua muridnya. Beliau memang tidak mau mengambil
murid terlalu
banyak. Tapi yang sedikit itu benar-benar beliau curahi perhatian
yang luar biasa.
“Anakku. Aku mau bertanya masalah penting padamu. Apakah kau mau
menikah?”
Pertanyaan Syaikh Utsman itu bagaikan guntur yang menyambar
gendang
telingaku. Aku kaget. Hatiku bergetar hebat. Jika yang bertanya
orang semacam Rudi,
Hamdi, dan Saiful aku akan menjawabnya dengan santai, bahkan aku
bisa
menjawabnya dengan guyon. Tapi ini yang bertanya adalah ulama
terkemuka,
gurunya para guru besar di Mesir.
“Maksud Syaikh bagaimana?”
“Apakah kau mau menikah dalam waktu dekat ini. Kalau mau,
kebetulan ada
orang shalih datang kepadaku. Ia memiliki keponakan yang shalihah
yang baik
140
agamanya dan minta dicarikan pasangan yang tepat untuk
keponakannnya itu. Aku
melihat kau adalah pasangan yang tepat untuknya.”
Keringat dinginku keluar.
“Tapi aku mahasiswa miskin Syaikh, tidak punya biaya.”
“Baginda nabi dulu menikah dalam keadaan miskin. Sayyidina Ali bin
Abi
Thalib juga menikah dalam keadaan miskin. Aku sendiri menikah
dalam keadaan
miskin. Begini Anakku, kau pikirkanlah dengan matang. Lakukanlah
shalat istikharah.
Gadis shalihah ini benar-benar shalihah, dia mencari pemuda yang
shalih bukan
pemuda yang kaya. Sekarang pulanglah, pikirlah dengan matang. Jika
kau mantap
dengan jawabanmu siap menikah atau tidak secepatnya datanglah kau
menemuiku.
Jika kau mantap, maka akan aku pertemukan kau dengan walinya
dahulu, jika tidak,
maka aku akan mencarikan yang lain.” Kata-kata Syaikh Utsman yang
berwibawa itu
merasuk dan mendesir hebat dalam jiwaku.
Sampai di rumah hatiku masih terasa bergetar atas pertanyaan
sakral yang
diajukan Syaikh Utsman. Jiwaku masih terasa berdesir. Apa yang
beliau tawarkan
bukan sembarang tawaran. Yang beliau tawarkan adalah sebaik-baik
rizki bagi
seorang pemuda. Adakah rizki lebih agung dari seorang gadis
shalihah yang jika
dipandang menyejukkan jiwa bagi seorang pemuda? Aku belum bisa
mempercayai
apa yang aku alami hari ini. Baru saja target dan peta hidup
dibuat, tawaran untuk
menikah datang sedemikian cepat. Siap. Atau tidak. Aku harus minta
penerang dari
Allah Swt.
Ayat - Ayat Cinta - Bab 14

No comments:
Post a Comment