16. Cobaan
Teladan orang-orang yang bercinta adalah Baginda Nabi. Cinta
sejati adalah
cintanya sepasang pengantin yang telah diridhai Tuhan dan didoakan
seratus ribu
malaikat penghuni langit. Tak ada perpaduan kasih lebih indah dari
pernikahan,
demikian sabda baginda Nabi.
Setelah melihat Aisha yang tiada lain adalah calon bidadariku,
belahan jiwa
yang akan mendampingi hidupku, tak bisa kupungkiri aku didera rasa
cinta yang
membuncah-buncah. Inilah cintaku yang pertama, dan Aisha adalah
gadis pertama
yang menyentuh hatiku dan menjajahnya.
Waktu di Aliyah dulu, aku pernah naksir pada seorang gadis tapi
tak pernah
sampai menyentuh hati. Tak pernah sampai merindu dendam. Aku
bahkan tak punya
keberanian untuk sekadar menyapanya atau mengingat namanya. Diriku
yang saat itu
hanya berstatus sebagai khadim romo kiai, batur para
santri, tak berani sekadar
mendongakkan kepala kepada seorang santriwati.
Juga selama di Kairo, sampai Aisha membuka cadarnya di rumah
Syaikh
Utsman. Kuakui ada satu nama yang membuatku selalu bergetar bila
mendengarnya,
namun tak lebih dari itu. Aku merasa sebagai seekor punguk dan
seluruh mahasiswi
Indonesia di Kairo adalah bulan. Aku tidak pernah berusaha
merindukannya. Dan tak
akan pernah kuizinkan diriku merindukannya. Karena aku merasa itu
sia-sia. Aku tak
mau melakukan hal yang sia-sia dan membuang tenaga.
Aku lebih memilih mencurah seluruh rindu dendam, haru biru rindu
dan deru
cintaku untuk belajar dan menggandrungi Al-Qur’an. Telah
kusumpahkan dalam
diriku, aku tak akan mengulurkan tangan kepada seorang gadis
kecuali gadis itu yang
menarik tanganku. Aku juga tak akan membukakan hatiku untuk
mencintai seorang
gadis kecuali gadis itu yang membukanya. Bukan suatu keangkuhan
tapi karena rasa
rendah diriku yang selalu menggelayut di kepala. Aku selalu ingat
aku ini siapa? Anak
petani kere. Anak penjual tape. Aku ini siapa?
aku adalah lumpur hitam
yang mendebu menempel di sepatu dan sandal
155
hinggap di atas aspal
terguyur hujan
terpelanting
masuk comberan
siapa sudi memandang
atau mengulurkan tangan?
tanpa uluran tangan Tuhan
aku adalah lumpur hitam
yang malang
Tuhan telah mengucapkan kun! Lumpur hitam pun dijelma
menjadi makhluk
yang dianugerahi kenikmatan cinta yang membuncah-buncah dan rindu
yang
berdebam-debam. Seorang bidadari bermata bening telah disiapkan
untuknya. Fa bi
ayyi alaai Rabbikuma tukadziban! Maka nikmat Tuhan kamu yang
manakah yang
kamu dustakan.
Di dalam surga-surga itu ada bidadari-bidadari
yang baik-baik lagi cantik-cantik.
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan.
Bidadari-bidadari yang jelita, putih bersih dipingit dalam rumah.
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan.92
Belum juga masuk surga, Tuhan telah begitu pemurah memperlihatkan
seorang bidadari yang baik dan cantik, bidadari yang putih bersih
bernama Aisha.
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakan yang kamu dustakan?
Maka tiada henti menangis kepada Tuhan, merasa terlalu agung
anugerah
yang dilimpahkan oleh-Nya kepadaku yang lumpur hitam. Mengiba-iba
kepadaNya
kiranya anugerah ini bukan bentuk istidraj, bukan bentuk
nikmat yang sejatinya azab.
Dalam sujud tangis di keheningan malam kuisakkan seribu doa dari
ratapan jiwa. Doa
Adam, doa Ibrahim, doa Ayyub, doa Ya’qub, doa Daud, doa Sulaiman,
doa Zakariya,
doa Muhammad, doa seribu nabi, doa seribu wali, dan doa seribu
sufi yang telah
mereguk cinta hakiki dan melahirkan sejuta generasi rabbani.
92 Surat Ar-Rahman: 70-73.
156
* * *
Dua hari menjelang hari H, barulah teman-teman satu rumah aku
beritahu.
Semua urusan di KBRI sudah selesai. Mahar telah aku beli; seuntai
kalung, sebuah
cincin dan mushaf mahar. Aku juga telah membeli satu stel jas yang
pantas. Aku
meminta kepada teman-teman untuk mengundang teman-teman terdekat.
Tak lebih
dari empat puluh orang. Mohon kesediaan datang di acara akad nikah
Jum’at depan,
di masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq, Shubra El-Khaima.
Seperti biasa Rudi nyeletuk, “Nurul dkk. diundang nggak Mas?”
“Untuk akadnya tidak usah. Tapi walimahnya ya,” jawabku dengan
tegas.
Sebagai kabar gembira kuberitahukan pada teman-teman bahwa Bapak
Atase
Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) secara khusus telah kuminta
untuk menjadi
saksi, dan beliau telah menyatakan kesediaannya. Aku juga minta
pada teman-teman
untuk mengundang dua ratus orang. Seratus lima puluh putera dan
lima puluh puteri
untuk datang di acara walimatul ‘ursy. Teman-teman satu
rumah sepertinya masih
tidak percaya pada apa yang aku kabarkan. Namun mereka mau tidak
mau harus
percaya sebab aku tidak pernah main-main untuk urusan serius.
Aku datangi rumah Tuan Boutros. Kosong.
Saiful bilang, saat aku dua hari tidak di rumah, Tuan Boutros
sekeluarga pergi
rekreasi ke Pantai Hurgada. Dua hari yang lalu aku memang sibuk di
Nasr City
membantu teman-teman Turki mempersiapkan segalanya. Aku merasa
tidak lengkap
jika sampai pesta walimatul ursy nanti keluarga Tuan
Boutros tidak menyaksikan.
Mereka adalah orang terdekat selama tiga tahun ini. Aku mencoba
menghubungi
nomor handphone Maria. Jawabannya, nomor yang anda hubungi
sedang berada di
luar area! Sedih! Aku minta pada Rudi agar terus mencoba
menghubungi Maria,
memberitahukan acara paling bersejarah dalam hidupku ini pada
keluarganya. Mohon
mereka bisa datang pada saat pesta walimah.
Yang aku belum bisa mengerti adalah di manakah nanti aku setelah
menikah?
Aku telah berusaha menyewa rumah di Hayyu Tsamin tapi Eqbal tidak
mengizinkannya. Katanya rumahnya telah disiapkan oleh Aisha. Aku
ingin tahu
rumahnya di mana dan sewanya perbulan berapa, tapi dia juga tidak
mau
memberitahukannya, katanya biar surprise sesuai permintaan Aisha.
Yang jelas, kata
dia, rumah itu memang sangat layak untuk tinggal memadu kasih
bersama Aisha. Aku
pasrah saja, aku tidak meragukan ketulusan mereka.
157
Satu hari menjelang akad nikah Eqbal dan dua orang Turki datang
dengan
membawa mobil pick up. Dia bilang akan mengangkut barang-barangku
untuk di tata
di rumah baru. Aisha yang memintanya. Komputer, beberapa stel
pakaian, dan
puluhan jilid buku dan kitab penting diangkut. Aku tidak boleh
ikut.
“Insya Allah, semuanya akan beres dan aman. Saat ini kau
adalah raja yang
tidak boleh susah. Kami berusaha memberikan yang terbaik untuk
kalian berdua. Dan
jangan lupa selesai shalat Jum’at kau langsung ke rumahku di
Maadi. Kita akan
berangkat ke Shubra bersama,” kata Eqbal yang sebentar lagi harus
kupanggil
paman.
Ketika melihat kamarku yang berubah dan kehilangan banyak isinya
aku
menitikkan air mata. Waktu terus berjalan. Manusia tidak bisa
menentang perubahan.
Tak lama lagi aku akan meninggalkan kamar tercinta ini. Aku akan
meninggalkan
teman-teman dan membuka lembaran hidup baru bersama seorang isteri
bernama
Aisha.
berjalan di titian kodrat
(apa yang harus kita katakan)
jika berharap Dia menentukan93
* * *
Ketika fajar Jum’at merekah di ufuk timur, aku berkata dalam hati,
“Inilah
hariku.” Tiada sabar rasanya menunggu ashar tiba. Matahari seperti
diganduli
malaikat. Hari terasa berat. Waktu sepertinya berjalan begitu
lambat.
Usai shalat shubuh teman-teman telah bersiap. Mereka kubagi tugas.
Rudi
shalat Jum’at di Masjid Indonesia menjadi petunjuk jalan bagi Pak
Atdikbud. Mishbah
ke Wisma Nusantara menjadi petunjuk jalan bagi bus yang disediakan
untuk
teman-teman undangan. Jarak Nasr City-Shubra tidak dekat.
Sedangkan Hamdi dan
Saiful nanti begitu selesai shalat Jum’at langsung ke Shubra. Aku
sendiri usai shalat
Jum’at langsung ke rumah Eqbal Hakan Erbakan.
Pukul delapan tepat telpon berdering, kukira dari Eqbal. Ternyata
tidak. Dari
Ustadz Jalal. Katanya beliau dan isterinya telah sampai di mahattah
metro Hadayek
Helwan. Beliau datang untuk membicarakan masalah yang dulu pernah
beliau
pesankan melalui Nurul. Kuminta Saiful untuk menjemput Ustadz
Jalal. Aku jadi
93 Dipetik dari sajak berjudul ‘Tuhan dan Titahnya’ karya Fatin
Hamama.
158
merasa tidak enak tidak mengundang beliau secara langsung untuk
menghadiri akad
nikah. Kutanyakan pada teman-teman apakah undangan walimah untuk
beliau sudah
sampai. Tidak tahu, mungkin belum, sebab undangan itu dititipkan
pada Mas Khalid.
Dan rencananya Mas Khalid akan menyampaikannya usai shalat Jum’at
nanti.
Meskipun terkesan sangat mepet dan mendadak terpaksa nanti Ustadz
Jalal akan
kumohon untuk datang ke acara akad nikah.
Ustadz Jalal dan ustadzah Maemuna, isterinya, sampai dengan wajah
cerah.
Mereka datang cuma berdua, tidak membawa ketiga anak mereka.
“Mana keponakan-keponakanku Ustadz? Kenapa tidak dibawa serta?”
tanyaku basa-basi.
Hamdi datang dengan nampan berisi tiga gelas teh Arousa panas dan
satu
piring roti bolu. Entah dapat bolu dari mana anak itu.
“Sekali-kali kami ingin bepergian berdua tanpa diganggu anak-anak.
Biar bisa
sedikit mesra. Pagi ini kami benar-benar menikmati perjalanan
dengan metro. Dari
Ramsis sampai Hadayek Helwan sepi, hawanya juga sejuk,” jawab
Ustadz Jalal.
“Mereka ditinggal sendirian di rumah?” heranku.
“Tidak. Kebetulan Nurul dan teman-temannya usai shalat shubuh tadi
datang
ke rumah. Jadi mereka yang menjaga,” sahut Ustadzah Maemuna.
“O begitu, syukurlah. Ngomong-ngomong Ustadz dan Ustadzah
menyempatkan untuk berkunjung kemari ada yang bisa saya bantu?”
ucapku.
Ustadz Jalal memberi tahu ada masalah sangat penting dan rahasia
yang ingin
beliau bicarakan denganku. Beliau minta tempat yang aman. Kubawa
beliau dan
Ustadzah Maemuna ke dalam kamarku yang berantakan. Pintu kututup
rapat.
“Kok berantakan begini. Komputermu dan kitab-kitabmu tidak ada.
Mau
pindahan nih, atau malah sedang pindahan?” komentar Ustadz Jalal.
“Nanti setelah masalah Ustadz selesai akan aku ceritakan, insya
Allah. Silakan
Ustadz bicara,” jawabku.
“Kami berdua datang kemari memohon bantuanmu menyelesaikan suatu
masalah serius. Tidak masalah kami sebenarnya, tapi masalah
seseorang yang dekat
dengan kami. Dan yang paling tepat untuk kami minta pertolongan
adalah engkau,
Fahri. Kami sangat berharap engkau bisa membantu,” kata Ustadz
Jalal.
159
“Kau saya diberi kemampuan untuk itu. Insya Allah. Masalah
apa itu Ustadz?”
“Ini masalah serius yang mengancam jiwa Nurul?”
Mendengar hal itu pikiranku langsung tertuju pada buntut peristiwa
Noura
bersembunyi di rumah Nurul. Jangan-jangan Si Muka Dingin Bahadur
tahu itu dan
memperkarakannya, tapi kalau itu masalahnya kenapa diriku tidak
ikut diperkarakan?.
“Bagaimana jiwa Nurul bisa terancam Ustadz? Apa yang terjadi
padanya, dan
apa yang bisa saya lakukan untuk membantunya?”
“Kau tahu Nurul adalah puteri tunggal Bapak KH. Ja’far Abdur
Razaq,
pengasuh pesantren besar di Jawa Timur. Selain cantik dia juga
cerdas dan halus
budi. Sejak masih kelas satu aliyah sudah banyak kiai besar yang
melamar Nurul
untuk puteranya. Nurul tidak mau. Ketika akhirnya Nurul belajar di
Al Azhar pinangan
itu justru semakin banyak. Kiai Ja’far ayah Nurul berkali-kali
menelpon Nurul agar
segera menentukan pilihan pendamping hidupnya. Beliau merasa
sangat tidak enak
menolak pinangan terus menerus. Apalagi jika pinangan itu
datangnya jadi kiai yang
lebih senior dari beliau atau dari guru beliau. Jika Nurul sudah
tunangan atau menikah
dengan seseorang yang dipilihnya tentu kedua orang tua Nurul akan
lebih tenang.
Dan jika berjumpa dengan para kiai-kiai di Jawa Timur tidak akan
terbebani oleh
sindiran-sindiran halus dari para kiai yang meminang puterinya.
Dua bulan yang lalu
ayahnya menelpon ada pinangan dari Kiai Rahmad untuk puteranya Gus
Anwar. Kiai
Rahmad ini adalah gurunya ayah Nurul waktu mondok di Bandar Kidul
Kediri. Ayah
Nurul tidak bisa menolaknya kecuali Nurul sudah memiliki seorang
calon di Mesir. Jika
tidak, maka Nurul terpaksa harus menerima pinangan itu. Inilah
masalahnya.”
“Nurul sendiri bagaimana? Saya mendengar ada beberapa mahasiswa
yang
suka dengannya.”
“Memang ada beberapa mahasiswa yang mendekati dia secara
baik-baik. Ada
yang secara langsung. Ada juga yang lewat kami atau teman satu
rumahnya. Tapi tak
ada yang cocok di hatinya. Ternyata sejak dua tahun yang lalu
diam-diam Nurul telah
kagum dan jatuh hati pada seseorang. Tapi sayangnya Nurul tidak
berani
mengungkapkannya karena rasa malunya yang tinggi. Ia berharap
orang yang
dicintainya terbuka hatinya dengan dan meminangnya tapi sepertinya
orang yang
dicintainya tidak tahu kalau Nurul mencintainya. Rasa cinta Nurul
padanya
membuncah dan tak bisa dia sembunyikan sejak dua bulan yang lalu.
Sejak ayahnya
menelponnya untuk menerima Gus Anwar atau mencari calon sendiri di
Mesir yang
160
shalih. Saat itu dia menangis pada isteriku. Ia mengungkapkan
seluruh isi hatinya. Ia
minta kepada isteriku untuk membantunya. Isteriku memberi saran
untuk berterus
terang saja pada orang yang dicintainya itu. Tapi Nurul tidak mau,
ia sangat malu.
Nurul minta pada isteriku agar aku yang bicara dengan orang itu.
Aku sangat sibuk
sekali dan aku merasa tidak tepat untuk bicara pada orang yang
dicintai Nurul itu.
Akhirnya aku merasa aku perlu minta bantuanmu. Kau sangat dekat
dengan orang itu.
Sudah berkali-kali Nurul bertanya padaku bagaimana hasilnya. Aku
tidak bisa
menjawabnya. Sebab aku belum bertemu denganmu. Kau sibuk aku pun
sibuk. Baru
kali ini aku bisa bertemu denganmu. Aku sangat berharap kau bisa
membantu.”
“Asal saya mampu, insya Allah Ustadz. Dia mahasiswi yang
baik. Saya salut
dan kagum padanya. Meskipun telah menjabat sebagai Ketua Wihdah
tapi dia masih
mau meluangkan waktu mengajar anak-anak baca Al-Qur’an di Masjid
Indonsia. Dia
juga orang yang mudah diminta tolong. Sangat kasihan memang kalau
orang sebaik
dia tidak mendapatkan apa yang dicintainya. Namanya orang kalau
sudah cinta itu
susah untuk tidak dipertemukan. Abu Bakar saja ketika ada seorang
budak
perempuan merana karena mencintai Muhammad bin Qasim bin Ja’far
bin Abi Thalib
hati beliau luluh. Beliau langsung menemui tuan pemilik budak itu
dan membelinya,
lalu mengirimnya ke Muhammad bin Qasim bin Ja’far bin Abi Thalib.
Hal serupa juga
dilakukan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Cinta memang
tidak mudah. Orang
Inggris bilang, Love is a sweet torment. Cinta adalah
siksaan yang mengasyikkan.
Tapi jika orang terus tersiksa karena cinta, ia bisa binasa
seperti Laila dan Majnun.
Kebinasaan paling tragis adalah yang disebabkan oleh cinta,”
jawabku.
Ustadzah Maemuna menyahut,
“Dan kami tak ingin melihat Nurul binasa karena cintanya pada
pujaan hatinya.”
“Memangnya rasa cinta Nurul sampai seperti itu?” heranku.
“Sejak dua bulan yang lalu. Sejak ia menangis di pangkuanku, Nurul
sering
menangis sendiri. Berkali-kali dia cerita padaku akan hal itu. Ia
ingin sekali orang itu
tahu bahwa dia sangat mencintainya, lalu orang itu membalas
cintanya dan langsung
melaksanakan sunnah Rasulillah. Nurul anti pacaran. Tapi rasa
cinta di dalam hati
siapa bisa mencegahnya. Aku tahu benar Nurul siap berkorban apa
saja untuk
kebaikan orang yang dicintainya itu. Bantulah kami membuka hati
orang itu?” kata
Ustadzah Maemuna.
“Insya Allah. Saya paling tak tahan melihat seseorang
tersiksa batinnya. Jadi
161
siapakah orang yang sangat beruntung itu, orang yang dipuja dan
dicintai gadis
shalihah seperti Nurul?” tukasku tenang. Dalam hati aku merasa
bersyukur bahwa
aku mendapatkan seorang biadadari yang kucintai tanpa harus
melalaui siksaan batin
serumit Nurul. Tenyata menjadi seorang gadis tidak semudah menjadi
seorang
pemuda.
“Kau sangat mengenalnya kuharap kau tidak kaget mendengar namanya
kusebut,” kata Ustadz Jalal.
“Santai saja Ustadz, insya Allah saya akan biasa saja,”
jawabku santai.
“Orang yang dicintai Nurul, yang namanya selalu dia sebut dalam
doadoanya,
yang membuat dirinya satu minggu ini tidak bisa tidur entah
kenapa, adalah FAHRI
BIN ABDULLAH SHIDDIQ!”
Mendengar namaku yang disebut aku bagaikan mendengar gelegar petir
menyambar telingaku. Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja
aku dengar dari
lisan ustadz Jalal.
“Siapa Ustadz, mungkin ustadz salah ucap?” tanyaku meyakinkan apa
yang
aku dengar.
“Aku tidak salah ucap Fahri. Kaulah orangnya. Nurul sangat
mencintaimu.
Berkali-kali dia bicara denganmu langsung atau lewat telpon tapi
dia tidak berani
mengatakan itu. Dan sudah berkali-kali dia minta kami menemuimu
mengungkapkan
isi hatinya padamu, tapi baru kali ini aku sempat. Bagaimana Fahri
kau bisa
membantu Nurul bukan?”
Aku meneteskan air mata. Tetesan itu makin lama makin deras.
Akupun
tergugu. Kenapa jalan takdirnya seperti ini? Kenapa berita yang
sebenarnya sangat
membahagiakan hatiku ini datang terlambat. Satu-satu nama seorang
gadis yang bila
kudengar hatiku bergetar adalah Nurul. Nurul Azkiya. Berita yang
seharusnya
membuat hatiku berbunga-bunga itu kini justru membuat hatiku
terasa pilu. Dalam hati
aku menyumpahi kebiasaan buruk orang Jawa. Alon-alon waton
kelakon! Jadinya
selalu terlambat. Jika dua bulan yang lalu Nurul mengucapkan tiga
kata saja: maukah
kamu menikahi aku? Tak akan ada kepedihan ini. Sejak bertemu muka
dengan Aisha
hatiku sepenuhnya dipenuhi rasa cinta kepadanya. Dan beberapa jam
lagi ikatan suci
yang menyatukan cinta kami akan terjadi, insya Allah.
Dengan terisak-isak kukatakan pada Ustadz Jalal dan Ustadzah
Maemunah,
162
“Oh, andaikan waktu bisa diputar kembali. It is no use crying
over spilt milk . Tak ada
gunanya menangisi susu yang telah tumpah!”
Lalu kucoba menenangkan diri dan kujelaskan semuanya yang telah
terjadi
atas diriku. Aku tak bisa menyembunyikan tangisku saat
menceritakan semuanya.
Pertemuan dengan Aisha di Metro, diskusi dengan Alicia,
tawaran Syaikh Utsman,
pertemuan dengan Aisha dan keluarganya, sampai rencana akad nikah
dan walimah
yang tinggal menunggu jam D nya.
“Apa yang bisa aku lakukan untuk Nurul Ustadz, apa. Seandainya
Ustadz jadi
diriku apa yang bisa Ustadz lakukan?” kataku sambil tergugu,
hatiku merasa pilu.
Seandainya Nurul dan Aisha datang bersamaan, aku tak perlu
istikharah untuk
memilih Nurul. Aku lebih mengenal Nurul daripada Aisha. Tapi siapa
bisa menarik
mundur waktu yang telah berjalan.
Ustadz Jalal dan Ustadzah Maemuna menangis terisak-isak. Ustadz
Jalal
merasa sangat menyesal dan sangat bersalah pada Nurul. Sudah
berkali-kali Nurul
mendesaknya untuk menemui aku dan menjelaskan masalah itu tapi
Ustadz Jalal
selalu mengulur waktu karena konsentrasi memperbaiki disertasi
doktoralnya. Yang ia
sesalkan adalah kenapa beliau tidak menyempatkan sepuluh menit
saja untuk
menilpunku memberikan sekadar isyarat ada seorang yang
mencintaiku. Ustadzah
Maemuna menangis tersedu-sedu, ia tak bisa membayangkan pilunya
hati Nurul.
Hanya karena sebuah keterlambatan sesuatu yang paling berharga
bagi jiwanya tidak
ia dapatkan.
Dalam tangisku aku merasa masalah Nurul ini adalah cobaan besar
bagi
komitmenku atas semua kata-kataku di rumah Syaikh Utsman. Cobaan
atas cinta dan
kesetiaanku pada Aisha. Bisa saja aku nekad membatalkan
kesepakatan dan semua
rencana yang telah ditetapkan seperti dalam film India. Akad Nikah
toh belum terjadi.
Mahar belum aku bayarkan. Aku juga sama sekali belum pernah
menyentuh Aisha.
Melihat wajahnya juga baru satu kali. Tapi jika aku melakukan hal
itu, namaku akan
ditulis dengan lumpur hitam berbau busuk oleh sejarah. Aku akan
menjadi orang
munafik paling menyakitkan hati orang-orang yang kucintai dan
kuhormati seperti
Syaikh Utsman, Ummu Fathi, Eqbal Hakan Erbakan dan isterinya, dan
tentunya
paling sakit dan terzalimi adalah Aisha. Kemudian seluruh
mahasiswa Turki di Mesir
akan melaknat perbuatanku. Dan kelak ketika aku berjumpa dengan
Baginda Nabi
beliau akan murka padaku karena aku telah menyakiti perasaan
sekian banyak
umatnya. Aku tak mau itu terjadi. Lebih dari itu aku tidak tahu
seberapa panjang
163
umurku ini. Jika aku membatalkan pernikahan yang telah dirancang
matang, aku tidak
tahu apakah Allah masih akan memberikan kesempatan padaku untuk
mengikuti
sunnah Rasul. Ataukah aku justru tidak akan punya kesempatan
menyempurnakan
separo agama sama sekali. Tidak selamanya perasaan harus dituruti.
Akal sehat
adalah juga wahyu Ilahi.
Ayat - Ayat Cinta - Bab 17
No comments:
Post a Comment