Tuesday, September 1, 2015

Ayat - Ayat Cinta - Bab 7









7. Di Cleopatra Restaurant


“Dia benar-benar anak pelacur sial! Dia benar-benar anak setan! Anak tak tahu
diuntung. Kalau sampai tampak batang hidungnya akan kurajah-rajah mukanya biar
tahu rasa!”
Kami mendengar Si Muka Dingin Bahadur menyumpah serapah dari dalam
flatnya dengan suara seperti guntur. Entah ada apa lagi. Lalu kami mendengar suara
perempuan membentak tak kalah sengitnya. Ia menyalahkan Si Muka Dingin dan
memakinya habis-habisan. Itu mungkin suara Madame Syaima, isteri Si Muka Dingin.
Madame Syaima tidak terima dibilang pelacur. Lalu terdengar tamparan dan jeritan.
Beberapa barang pecah. Kami berlima sudah sampai di halaman. Baru Yousef yang
turun menyusul. Pakaiannya fungky betul. Tuan Boutros, Madame Nahed dan Maria
belum turun.
“Maaf ya agak terlambat. Biasa, perempuan dandan dulu,” kata Yousef.
Kami manggut-manggut saja. Tak lama kemudian Tuan Boutros, Madame
Nahed dan Maria tampak menuruni tangga apartemen satu persatu. Mereka berjalan
mendekati kami. Tuan Boutros tampak lebih muda dari biasanya. Ia memakai kemeja
warna krem dengan lengan dilingkis. Madame Nahed berpenampilan seperti
aristokrat Perancis. Pafumnya menyengat. Ini yang aku tidak suka. Wanita Mesir
kalau memakai parfum seolah harus tercium dari jarak seratus meter. Yang paling
menawan tentu saja Maria. Dengan gaun malam merah tua dan menggelung
rambutnya ia terlihat sangat cantik. Wajah pualamnya seperti bersinar di kegelapan
malam. Mereka benar-benar siap ke pesta. Kami berlima berpakaian biasa saja. Si
Rudi malah memakai celana trening warna biru muda. Trening yang terkadang buat
main sepak bola. Memang benar-benar seadanya.
Tuan Boutros mengatur siapa yang ikut mobilnya dan siapa yang ikut mobil
Yousef. Keluarga itu memang memiliki dua mobil. Jeep Cheroke hijau metalik yang
biasa dibawa Tuan Boutos kerja dan sedan forsa hitam yang seringkali dibawa
Yousef. Empat orang dari kami ikut mobil Yousef. Madame Nahed dan Maria ikut
Tuan Boutros. Aku melangkah ke arah mobil Yousef. Namun Tuan Boutros
memanggil, “Fahri, kau ikut aku!”
“Ya, kau naik sini Fahri!” seru Madame Nahed.
Terpaksa aku belok ke mobil Cheeroke. Madame Nahed naik di depan dan
82
duduk di samping Tuan Boutros. Maria di belakang. Masak aku harus duduk di
samping Maria. Dan parfumnya itu. Nuraniku tidak setuju. Satu mobil tak apa, tapi
selama tempat duduk bisa di atur lebih aman di hati kenapa tidak. Aku mendekati
Madame Nahed dan berbicara dengan halus,
“Maaf Madame, boleh saya duduk di depan. Saya ingin berbincangbincang
dengan Tuan Boutros selama dalam perjalanan.”
Madame Nahed tersenyum, “Oh ya, dengan senang hati.”
Dia lalu turun dan pindah ke belakang duduk di samping puterinya. Aku naik
dan duduk di samping Tuan Boutros. Belum sempat Tuan Boutros menyalakan mesin
terdengar suara Si Muka Dingin memanggil dengan suara mengguntur,
“Hai Boutros tunggu!”
Kami semua menoleh ke asal suara. Si Muka Dingin datang dengan tergopoh.
“Di mana Noura kau sembunyikan, Boutros!”
Kami berpandangan. Si Muka Dingin telah berdiri di dekat Tuan Boutros.
Dengan tenang Tuan Boutros menjawab, “Apa saya tidak memiliki urusan yang lebih
penting dari mengurusi anakmu, heh?”
“Kau pasti tahu di mana Noura berada?”
“Siapa yang peduli dengan anakmu?”
“Malam itu sebelum tidur Mona melihat Maria turun menghibur Noura di jalan.
Kalian pasti tahu sekarang di mana Noura berada!”
“Malam itu malam itu apa? Aku tidak tahu! Kalau begitu tanya saja sama Maria.
Jangan tanya aku!”
“Hai Maria bicara kau! Kalau tidak kusumpal mulutmu dengan sandal!” si Muka
Dingin menyalak keras seperti anjing.
Dadaku panas sekali mendengar kalimat Si Muka Dingin yang tidak tahu sopan
santun ini. Tuan Boutros kulihat menggerutukkan giginya, ia tentu marah puterinya
dibentak kasar begitu, tapi mukanya tetap tenang memandang ke depan. Ia tidak
menjawab sepatah kata pun.
“Tuan Bahadur, memang benar, malam itu aku turun menghibur Noura. Tapi
Noura tidak bisa dihibur. Ia menangis terus dan tidak berbicara sepatah kata pun
padaku. Aku jengkel, lalu ya kutinggal dia. Setelah itu aku tidak tahu kemana dia.
83
Kukira dia kembali ke rumah Anda.”
“Hmm...jadi begitu. Anak itu memang keras kepala dan menjengkelkan bukan?
Kau saja dibuat jengkel. Aku ayahnya dibuat jengkel setiap hari. Kalau ketemu akan
kubunuh anak itu biar tidak membuat jengkel lagi!”
“Sudah cukup bicaramu Bahadur? Kami ada urusan!” Kata Tuan Boutros.
Si Muka Dingin tidak menjawab. Ia hanya pergi begitu saja sambil
mengepalkan tinjunya, ia mendesis “Kalau kembali anak itu akan kukuliti biar tahu
rasa!”
“Puji pada Tuhan, Si Brengsek itu tidak macam-macam.” Madame Nahed
mendesah lega. Tuan Boutros cepat-cepat menyalakan mesin. Lalu perlahan
menjalankan mobil meninggalkan halaman apartemen dibuntuti oleh Yousef. Selama
dalam perjalanan Tuan Boutros banyak bercerita tentang hal menjengkelkan Si Muka
Dingin. Aku meminta beliau tidak usah meneruskan. Aku minta topik pembicaraan
yang menarik, yang mengasyikkan, yang menyenangkan seirama dengan malam
kebahagiaan Madame Nahed. Maria memuji usulku. Madame Nahed lalu bercerita
tentang Maria kecil. Hal-hal kecil yang Maria lakukan. Maria sesekali menjerit manja
minta mamanya tidak meneruskan. Ia malu katanya. Tapi Madame Nahed malah
seperti tertantang untuk menceritakan semakin banyak. Tuan Boutros sekali
menimpal kisah yang diceritakan isterinya. Maria jadi lakon. Aku diam saja. Hanya
sesekali bertanya, benarkah? Maria akan langsung menyahut, tidak benar, mama
bohong! Madame Nahed dan Tuan Boutros akan menyahutnya dengan tawa
terpingkal-pingkal.
“Maria ini waktu kecil sampai umur empat tahun masih menetek. Umur lima
tahun masih ngompol apa nggak menyebalkan!” kata Madame Nahed memperolok
puterinya.
“Benarkah itu?” sahutku santai sambil memandang sinar purnama yang
keperakan di atas riak sungai Nil yang memanjang di samping kiri jalan.
“Ah itu bohong. Tak mungkin itu terjadi!” tukas Maria cepat setengah teriak.
“Itu benar. Kalau tidak percaya nanti kalau bibinya yang bernama Latefa
datang tanyakan padanya,” kata Tuan Boutros membela isterinya.
“Itu bukan sesuatu yang tidak baik. Tidak apa-apa. Menetek pada ibu dalam
waktu yang lama malah membuat cerdas. Begitu yang kubaca pada sebuah majalah,”
84
sahutku.
Maria berterima kasih padaku karena aku membelanya.
Akhirnya Tuan Boutros memarkir mobilnya di halaman sebuah restaurant
mewah. Cleopatra Restaurant. Terletak di pinngir sungai Nile. Bersebelahan dengan
Good Shot dan Maadi Yacht Club. Pantas saja mereka berpakaian dan
berpenampilan serius. Kami berlima berpandang-pandangan.
“Santai saja. Kita ini turis. Turis ‘kan biasa berpakaian santai?” bisik Hamdi
dalam bahasa Indonesia.
“Tapi masak pakai trening yang sudar pudar warnanya begitu?” lirih Saiful
sambil meringis memandang Rudi. Aku tersenyum. Baru kali ini kulihat Rudi tidak
percaya diri. Muka anak Medan ini seperti kepiting rebus. Di antara kami berlima yang
berpakaian paling mengenaskan memang dia. Hamdi lumayan necis, tapi sandal kulit
bututnya membuat hati yang melihatnya tidak tahan. Sudah berkali-kali aku
mengingatkan agar keduanya membuang jauh-jauh adat klowor yang mereka bawa
dari pesantren tradisional. Tapi mereka masih saja suka klowor, padahal baginda
Nabi mencontohkan kerapian, kebersihan dan penampilan yang meyakinkan.
Memang tidak mudah merubah watak dan gaya hidup. Namun Rudi dan Hamdi jauh
lebih baik dari saat pertama kali aku mengenal dan serumah dengannya. Sekarang
sudah mulai bisa membagi waktu dan disiplin. Kalau mau diskusi mau menyeterika
baju biar sedikit rapi. Tapi aku sangat menyayangkan mereka tadi tidak mau
mendengar nasihatku agar berpenampilan sedikit necis. Mereka hanya menyahut,
“Alah cuma mau makan saja kok repot-repot!”
Untung Saiful dan Mishbah mengerti nasihatku. Aku sendiri berpakaian tidak
bagus sekali namun juga tidak akan memalukan. Kaos katun hijau muda dan rompi
santai hijau tua, warna kesayangan. Tak kalah fungkynya dengan Yousef .
Tuan Boutros membawa kami masuk restoran dan memilihkan tempat duduk
yang paling menjorok ke sungai Nil seperti dek kapal. Terbuka tanpa atap,
bintang-bintang kelihatan. Restauran ini ada dua bagian. Bagian tertutup dan bagian
terbuka. Mejanya juga beraneka. Namun warnanya sama. Ada yang untuk dua orang.
Empat orang. Dan ada yang bundar untuk enam orang. Kami memilih dua meja
bundar yang berdekatan. Tuan Boutros, Madan Nahed, dan Maria telah duduk satu
meja terlebih dahulu. Aku mengajak Yousef duduk di meja yang satunya.
Teman-teman mengikuti aku. Pas enam orang. Tuan Boutros meminta satu di antara
85
kami duduk satu meja dengan mereka. Kusuruh Rudi. Dia tidak mau. Kupaksa Saiful.
Dengan agak ragu-ragu akhirnya dia beranjak juga. Kulihat para pengunjung yang
ada. Mereka berpakaian bagus-bagus. Ada sepasang orang bule. Yang lelaki pakai
jas yang perempuan pakai gaun malam resmi. Di pojok kanan orang Mesir gemuk
botak dengan isterinya. Keduanya rapi. Yousef berbisik kepadaku, “Ini restauran
orang besar. Para diplomat dan bisnisman sering kemari. Lihat siapa yang ada di
meja dekat lampu hias itu, kau pasti mengenalnya!”
Aku melihat ke arah yang ditunjukkan Yousef. Aku nyaris tidak percaya dengan
apa yang kulihat. Di sana ada Adel Imam dan Yusra sedang menyantap makanan dan
berbincang. Dua artis Mesir itu makan malam di restauran ini. Teman-teman
melongok ke arah keduanya. Yousef mengingatkan, “Jangan terlalu kelihatan heboh!
Restauran ini menjaga ketenangan dan kenyamanan pelanggannya.”
Seorang pelayan menanyakan menu. Madame Nahed berkata kepada kami,
“Silakan pilih sendiri menunya. Jangan malu-malu. Hai Hamdi, kau pilih apa?”
Hamdi bingung. Ini baru pertama kalinya dia makan di restauran elite. Menunya
juga asing semua.
“Semua masakan khas Timur Tengah ada,” bisik Yousef.
Tiba-tiba Saiful beranjak mendekati aku dan berbisik, “Mas, tolong kau saja
yang satu meja dengan Tuan Boutros, aku tidak enak. Aku tidak bisa bicara banyak.”
Wajahnya kulihat pucat. Aku merasa kasihan juga melihatnya. Kalau dia
sampai malu, dan pulang masih lapar padahal baru saja dari restauran besar, apa
tidak kasihan. Aku jadi teringat dengan cerita teman satu pondok dulu. Namanya
Bayu. Pakdenya dari ibu dapat isteri kalangan keraton Kasunanan dan tinggal di
kawasan elite Jakarta. Suatu kali ia liburan ke tempat Pakdenya itu. Di sana semua
serba teratur. Waktu tidur, waktu belajar, waktu istirahat, baju tidur, baju santai, dan
makannya juga teratur waktu dan tata caranya. Saat itu dia kelas tiga SMP. Dia yang
biasa di desa serba tidak teratur jadi grogi. Biasa makan tanpa sendok tanpa meja
makan, tanpa garpu dan lain sebagainya jadi serba grogi. Dia sebenarnya ingin
tambah karena masih lapar, tapi tidak berani. Padahal menunya sangat nikmat. Menu
yang jarang sekali ia makan di desanya. Ia takut untuk tambah. Ketika hendak tidur ia
merasa masih lapar. Ia tidak bisa tidur dengan perut lapar. Akhirnya ia minta izin pada
Pakdenya untuk keluar rumah sebentar. Ia pergi ke warteg dan makan sampai
kenyang. Ternyata anak pakdenya yang paling besar melihatnya saat baru pulang
86
dari rumah temannya. Ia pun ditanya sama budenya kenapa jajan padahal telah
tersedia banyak makanan, apa makanan di rumah budenya tidak enak? Ia tidak bisa
menjelaskan, malah menangis. Aku tidak mau teman-teman mengalami nasib tragis
seperti Bayu kecil itu.
Sebelum beranjak ke meja Tuan Boutros, aku berpesan pada teman-teman
dengan bahasa Indonesia, “Nanti makan yang banyak santai saja. Jika masih ingin
tambah ya tambah saja seperti di rumah sendiri.”
Tuan Boutros heran Saiful pindah tempat duduk. Kubilang ia ingin berbincang
dengan Yousef. Tuan Boutros menganggukkan kepala.
Pelayan restauran beralih mendekati aku dan bilang,
“Anda pesan apa? Teman-teman Anda ikut Anda?”
Madame Nahed tersenyum. Maria kelihatannya ingin tahu aku suka menu apa.
Untung aku pernah diajak makan malam ke sebuah restauran tak kalah elitenya di
Mohandesen oleh Bapak Atdikbud yang jadi ketua takmir masjid Indonesia di Cairo.
Jadi, aku tidak merasa asing sekali dengan menu yang tertulis.
“Minumnya Seasonal Fresh Fruits. Makannya Chicken Mugharabieh with
Valanciane Rice dan menu penutupnya minta Pineapple Gateau,” kataku mantap. Itu
adalah menu yang dipilih Ibu Atdikbud yang waktu itu tidak aku rasakan. Sebab waktu
itu aku memilih menu utama Onion and Cheese Omelette yang tak jauh beda dengan
telur dadar, cuma lebih besar dan tebal. Waktu itu aku sedikit menyesal memilih menu
yang keliru. Ih jadi geli mengingatnya. Sekarang aku yakin sekali, aku tidak keliru pilih
menu.
“Fathi, kau memilih menu kesukaanku,” komentar Maria, ia lalu bilang pada
pelayan, “aku sama dengan dia.” Tuan Boutros pilih Lamb Stew sedangkan Madame
Nahed pesan Chicken Kofta with Tomato Sauce dan Yousef suka Kabab Lahmul
Ghanam 73 . Begitu hidangan tersedia kami menyantap dengan tenang sambil
menikmati semilir angin sungai Nil dan sesekali melihat riang gelombangnya yang
keperakan diterpa sinar rembulan. Ketika kami sedang asyik makan seorang lelaki
berdasi menghampiri Tuan Boutros. Tuan Boutros berdiri dan berjabat tangan.
Fahri, this is Mr. Rudolf from German, and Mr. Rudolf, this is Fahri from
Indonesia!” Tuan Boutros memperkenalkan kenalannya dengan pengucapan yang
73 Sate kambing.
87
sangat berlogat Arab.
Mr. Rudolf menjabat tanganku erat.
Pleased to meet you Mr. Rudolf.” Sapaku pada bule di hadapanku dengan
tersenyum. Lalu aku berbasa-basi padanya dengan bahasa Jerman, “Sin Sie
Tourist?”74
Mr. Rudolf agaknya terkejut mendengar pertanyaanku.
Nein. Sprechen Sie Deutsch?”75 Mr. Rudolf balik bertanya dengan nada
heran apa aku bisa berbahasa Jerman.
Ja.” Jawabku sambil tersenyum. Lalu kami berbincang sesaat lamanya
dengan bahasa Jerman. Ia menerangkan dirinya adalah staf ahli atase perdagangan
Jerman di Kairo. Dia bertanya apa aku seorang diplomat. Kujelaskan statusku di
Mesir. Tuan Boutros menawarkan pada Mr. Rudolf untuk duduk bersama kami. Mr.
Rudolf mengucapkan terima kasih, ia ditunggu isterinya di meja yang lain, lalu
beranjak pergi. Madame Nahed menanyakan di mana aku belajar bahasa Jerman.
Dan menyayangkan Tuan Boutros yang tidak bisa berbahasa Jerman padahal banyak
koleganya yang berasal dari Jerman. Maria mengusulkan agar ayahnya belajar
bahasa Jerman padaku saja. Tuan Boutros hanya tersenyum mendengar celoteh
isteri dan puterinya.
Usai makan kami tidak langsung pulang. Madame Nahed memesan koktail
dan mengajak kami semua ke bagian dalam, di sana ada hiburan musik klasik. Aku
sebenarnya ingin langsung pulang. Tapi Madame Nahed dan Tuan Boutros
memaksa, “Kita lihat sebentar saja.”
Di bagian dalam, di tengah ruangan ada panggung kecil setinggi setengah
meter. Bentuknya bundar. Di atas panggung bundar itu ada seorang perempuan
muda berambut pirang menggesekkan biola dengan penuh penghayatan.
“Yang ia mainkan sekarang ini karya Bedhoven. Perempuan itu pemain biola
terkenal dari Rumania.” Seorang pelayan restoran berkata pada seorang wanita
setengah baya yang berada tak begitu jauh dariku.
Satu lagu selesai. Pengunjung bertepuk tangan. Pemain biola perempuan itu
kembali menggesek biolanya. Kali ini bernada riang. Beberapa orang pengunjung
74 Apakah Anda turis?
75 Tidak, kau bisa bicara bahasa Jerman?
88
berdiri dari kursinya menuju ke dekat panggung. Mereka berdansa. Orang Mesir botak
yang tadi kulihat juga berdansa dengan isterinya.
Tuan Boutros meraih tangan Madame Nahed. Madame Nahed tersenyum dan
menengok pada Maria, “Maria, ayo cobalah kau berdansa. Sekali ini saja. Coba ajak
Fahri atau siapa terserah!”
Aku terkejut mendengarnya. Tuan Boutros menimpal, “Ya Fahri, Maria itu tidak
pernah mau berdansa. Coba kau ajak dia! Mungkin kalau kau yang mengajak dia
mau.”
Aku diam. Kulirik teman-teman. Mereka senyam-senyum. Tuan Boutros dan
Madame Nahed sudah larut dalam irama musik dan berdansa mesra. Maria
mendekatiku.
“Fahri, mau coba berdansa denganku? Ini kali pertama aku mencoba
berdansa,” lirihnya malu. Aku harus berbuat apa. Apakah aku harus ikut budaya
Eropa. Aku teringat kisah awal-awal Syaikh Abdul Halim Mahmud muda saat belajar
di Perancis. Beliau juga mendapat godaan yang tidak jauh berbeda dengan aku saat
ini. Dan Syaikh Abdul Halim Mahmud muda mampu melewati ujian itu dengan baik.
Beliau yang dikenal sebagai ulama sufi modern yang arif billah itu akhirnya dipilih
sebagai Grand Syaikh Al Azhar. Jika ada ahli ibadah dan wali di puncak gunung tanpa
godaan itu bukan sesuatu yang mengagumkan. Tapi jika ada ahli ibadah bisa
berinteraksi dengan baik di tengah kota metropolitan dengan segala hiruk pikuk
budaya hedonisnya itu mengagumkan. Begitu Syaikh Ahmad berkata padaku.
Tawaran Maria bagi seorang pemuda adalah tawaran menarik.
Siapa tidak suka bergandeng tangan dan berdansa dengan gadis secantik dia.
Di sinilah letak ujiannya.
“Maaf aku tidak bisa,” jawabku sambil tersenyum dan menangkupkan dua
tangan di depan dada.
“Sama, aku juga tidak bisa. Kita belajar bersama pelan-pelan. Mari kita coba!”
sahut Maria yang belum memahami sepenuhnya penolakanku.
“Maafkan aku Maria. Maksudku aku tidak mungkin bisa melakukannya. Ajaran
Al-Qur’an dan Sunnah melarang aku bersentuhan dengan perempuan kecuali dia
isteri atau mahramku. Kuharap kau mengerti dan tidak kecewa!” terangku tegas.
Dalam masalah seperti ini aku tidak boleh membuka ruang keraguan yang membuat
89
setan masuk ke dalam aliran darah.
“Oh begitu. Maaf, aku tidak tahu. Kalau tahu, aku tak mungkin menawarkan hal
ini kepadamu. Aku salut atas ketegasanmu menjaga apa yang kau yakini,” kata Maria.
Tak ada gurat kecewa di wajahnya.
“Maria aku keluar dulu. Aku mau menikmati keindahan sungai Nil. Jika ayahmu
sudah selesai panggil saja aku di luar,” pesanku pada Maria sebelum aku melangkah
keluar. Yousef dan teman-teman membuntutiku. Lima belas menit kemudian Maria
memanggil kami untuk pulang. Pukul 22.45 kami sampai di halaman apartemen.
Teman-teman memuji menu yang kupilihkan. Aku yakin mereka kenyang.
* * *
Sampai di flat teman-teman tidak langsung tidur, mereka berbincang di ruang
tamu. Sementara aku masuk kamar dan membaca surat Nurul yang mengisahkan
apa yang dialami oleh Noura yang malang.
Nurul menulis, bahwa Noura mengaku sampai berumur delapan tahun sangat
bahagia dan disayang ayah ibunya yaitu Si Muka Dingin Bahadur dan Madame
Syaima. Keduanya bahkan sangat menyayanginya melebihi dua kakaknya. Dia
memang berbeda dengan kedua kakaknya. Sejak kecil dikenal cerdas, berkulit putih
bersih, berambut pirang, lincah dan cantik. Tidak seperti dua kakaknya yang hitam
seperti orang Sudan. Petaka itu datang ketika kakak sulungnya Mona pulang dari
sekolah dan menangis sejadi-jadinya. Setelah dibujuk ayah dan ibunya Mona
mengaku dihina oleh teman satu bangkunya di sekolah. Mona dihina sebagai anak
syarmuthah. Hinaan itu disebar ke seluruh kelas. Temannya itu mengatakan, ‘Tidak
mungkin ibumu itu tidak melacur. Buktinya adik bungsumu berkulit putih bersih dan
berambut pirang. Dari mana bisa begitu kalau tidak melacur dengan orang lain.
Ayahmu ‘kan kulitnya hitam dan negro seperti kamu dan ibumu!” tak ayal itu adalah
penghinaan yang sangat menyakitkan. Pada hari yang sama ayahnya sedang dipecat
dari kerjanya di pabrik baja. Dan pecahlah prahara itu. Malam harinya ayahnya
memaki-maki ibunya dan mencelanya sebagai pelacur. Ayahnya sejak itu tidak lagi
menyayanginya. Apalagi sebelumnya memang seringkali orang heran dengan
ketidaksamaan Noura dengan kedua orang tua dan kakaknya. Sejak itu Noura jadi
bulan-bulanan kedua kakaknya dan ayahnya. Ibunya seringkali melindungi dirinya.
Namun ketika ayahnya membawa perempuan lain yang cantik dan tidak hitam ke
rumah, ibunya menjadi terganggu pikirannya. Ia jadi seperti orang tidak waras.
90
Kadang menangis, marah, ngomel sendiri dan lain sebagainya. Kadang menyayangi
Noura dan terkadang tidak jarang ikut menyakitinya. Ayahnya akhirnya dapat
pekerjaan sebagai tukang pukul di sebuah Nigh Club yang mengapung di atas sungai
Nil. Mona, kakak sulungnya ikut kerja di sana. Sedangkan Suzan katanya kerja di
sebuah losmen di Sayyeda Zaenab. Berangkat menjelang maghrib dan pulang sekitar
jam dua dini hari. Menurut bisik-bisik para gadis tetangga kedua kakak Noura itu
kerjanya tak lain adalah menjual diri. Beberapa kali Noura melihat Mona membawa
teman lelaki ke rumah dan diajak tidur di kamarnya. Ayahnya malah senang,
sedangkan ibunya sudah semakin buruk ingatannya meskipun sesekali datang
kesadarannya dan menatapi nasib dirinya dan nasib Noura. Di rumah itu Noura
diperlakukan layaknya pembantu rumah tangga. Memasak, mencuci, mengepel
semua tanggung jawab Noura. Untungnya Noura masih dibolehkan ayahnya sekolah
di Ma’had Al Azhar, itu pun karena sekolah di sana gratis dan kalau pulang agak
terlambat akan mendapatkan hukuman dari ayah dan kedua kakaknya. Beragam
bentuk siksaan ia terima dari orang yang ia anggap keluarganya. Puncak derita Noura
adalah enam bulan terakhir ini, ketika ayahnya memaksanya dia agar ikut bekerja di
Night Club seperti kakaknya. Bahkan ayahnya dapat tawaran dari manajernya agar
Noura mau jadi penari perut tetap di Night Clubnya. Bos ayahnya memang pernah ke
rumahnya sekali dan melihat Noura. Ayahnya pada waktu itu cerita pada bosnya
kalau Noura saat TK dulu pernah menang lomba menari. Jelas Noura tidak bisa
memenuhi keinginan ayahnya itu. Sejak itu ia sangat menderita. Puncaknya adalah
malam itu. Sore sebelum berangkat kerja, ayahnya memaksanya untuk ikut Mona
berangkat setelah maghrib, ada turis asing yang memesan perawan Mesir. Noura
dihargai sepuluh ribu pound. Harga yang menurut ayah dan kedua kakaknya sangat
tinggi. Ia menolak. Ayahnya lalu mencambuk punggungnya berkali-kali. Ia tidak tahan,
akhirnya ia pura-pura mau. Ayahnya berangkat. Tapi begitu shalat maghrib ia
mengurung diri di kamar. Tidak mau keluar. Tidak mau membukakan pintu.
Bagaimana mungkin dia yang muslimah dan sekolah di Al Azhar akan melakukan
perbuatan dosa besar itu. Mona tidak bisa berbuat apa-apa. Tengah malam ayahnya
pulang dan terjadilah penyiksaan dan pengusiran itu. Ayah menyumpahinya sebagai
anak setan, anak haram, anak tidak tahu diuntung. Mona menampar mukanya
dengan sandal berkali-kali sambil berkata, “Kau ini siapa? Kau anak siapa hah? Kau
bukan adik kami dan bukan keluarga kami? Aku akan buktikan nanti lewat test DNA
kau bagian dari keluarga kami!”
91
Aku menitikkan air mata membaca kisah penderitaan yang dialami Noura. Aku
tidak melihat bekas-bekas cambukan di punggungnya, tapi aku bisa merasakan
sakitnya. Aku tidak melihat wajahnya saat itu tapi hatiku bisa menangkap rintihan
batinnya yang remuk redam. Aku seolah ikut merasakan kecemasan, ketakukan dan
kesendiriannya selama ini dalam neraka yang dicipta Si Muka Dingin Bahadur. Aku
tiba-tiba merasa Noura itu seperti adik kandungku sendiri. Entah bagaimana aku bisa
merasakan begitu, padahal aku tidak memiliki adik. Aku anak tunggal. Tapi aku
seperti merasakan apa yang dirasakan Noura. Seandainya dia adikku tentu tidak akan
aku biarkan ada orang jahat menyentuh kulitnya. Akan aku korbankan nyawaku untuk
melindunginya.
Aku kembali menitikkan air mata. Oh Noura, semoga Allah menjagamu di dunia
dan di akhirat. Gadis berwajah putih dan innocence itu selalu berjalan menunduk. Jika
berpapasan kami hanya bersapa dengan tatapan mata sekilas. Tanpa kata-kata. Tapi
kami merasa dekat dan saling kenal. Aku tidak mungkin membiarkan Noura terus jadi
bulan-bulanan para serigala berkepala manusia. Aku harus melakukan sesuatu. Tapi
apa? Dan sampai sejauh mana langkahku? Aku adalah orang asing di sini. Aku
menarik nafas panjang. Diam memejamkan mata dengan pikiran terus mengembara
mencari jalan keluar. Aku tidak bisa, dan tidak akan mampu bertindak sendiri. Akan
aku serahkan masalah ini pada Syaikh Ahmad, dia adalah intelektual muda yang
sangat peduli pada siapa saja. Beliau pasti mau membantu Noura.

Ayat - Ayat Cinta - Bab 7

No comments:

Post a Comment