7. Di Cleopatra Restaurant
“Dia benar-benar anak pelacur sial! Dia benar-benar anak setan!
Anak tak tahu
diuntung. Kalau sampai tampak batang hidungnya akan kurajah-rajah
mukanya biar
tahu rasa!”
Kami mendengar Si Muka Dingin Bahadur menyumpah serapah dari dalam
flatnya dengan suara seperti guntur. Entah ada apa lagi. Lalu kami
mendengar suara
perempuan membentak tak kalah sengitnya. Ia menyalahkan Si Muka
Dingin dan
memakinya habis-habisan. Itu mungkin suara Madame Syaima,
isteri Si Muka Dingin.
Madame Syaima
tidak terima dibilang pelacur. Lalu terdengar tamparan dan jeritan.
Beberapa barang pecah. Kami berlima sudah sampai di halaman. Baru
Yousef yang
turun menyusul. Pakaiannya fungky betul. Tuan Boutros, Madame
Nahed dan Maria
belum turun.
“Maaf ya agak terlambat. Biasa, perempuan dandan dulu,” kata
Yousef.
Kami manggut-manggut saja. Tak lama kemudian Tuan Boutros, Madame
Nahed dan Maria tampak menuruni tangga apartemen satu persatu.
Mereka berjalan
mendekati kami. Tuan Boutros tampak lebih muda dari biasanya. Ia
memakai kemeja
warna krem dengan lengan dilingkis. Madame Nahed
berpenampilan seperti
aristokrat Perancis. Pafumnya menyengat. Ini yang aku tidak suka.
Wanita Mesir
kalau memakai parfum seolah harus tercium dari jarak seratus
meter. Yang paling
menawan tentu saja Maria. Dengan gaun malam merah tua dan
menggelung
rambutnya ia terlihat sangat cantik. Wajah pualamnya seperti
bersinar di kegelapan
malam. Mereka benar-benar siap ke pesta. Kami berlima berpakaian
biasa saja. Si
Rudi malah memakai celana trening warna biru muda. Trening yang
terkadang buat
main sepak bola. Memang benar-benar seadanya.
Tuan Boutros mengatur siapa yang ikut mobilnya dan siapa yang ikut
mobil
Yousef. Keluarga itu memang memiliki dua mobil. Jeep Cheroke hijau
metalik yang
biasa dibawa Tuan Boutos kerja dan sedan forsa hitam yang
seringkali dibawa
Yousef. Empat orang dari kami ikut mobil Yousef. Madame Nahed
dan Maria ikut
Tuan Boutros. Aku melangkah ke arah mobil Yousef. Namun Tuan
Boutros
memanggil, “Fahri, kau ikut aku!”
“Ya, kau naik sini Fahri!” seru Madame Nahed.
Terpaksa aku belok ke mobil Cheeroke. Madame Nahed naik di
depan dan
82
duduk di samping Tuan Boutros. Maria di belakang. Masak aku harus
duduk di
samping Maria. Dan parfumnya itu. Nuraniku tidak setuju. Satu
mobil tak apa, tapi
selama tempat duduk bisa di atur lebih aman di hati kenapa tidak.
Aku mendekati
Madame Nahed
dan berbicara dengan halus,
“Maaf Madame, boleh saya duduk di depan. Saya ingin
berbincangbincang
dengan Tuan Boutros selama dalam perjalanan.”
Madame Nahed
tersenyum, “Oh ya, dengan senang hati.”
Dia lalu turun dan pindah ke belakang duduk di samping puterinya.
Aku naik
dan duduk di samping Tuan Boutros. Belum sempat Tuan Boutros
menyalakan mesin
terdengar suara Si Muka Dingin memanggil dengan suara mengguntur,
“Hai Boutros tunggu!”
Kami semua menoleh ke asal suara. Si Muka Dingin datang dengan
tergopoh.
“Di mana Noura kau sembunyikan, Boutros!”
Kami berpandangan. Si Muka Dingin telah berdiri di dekat Tuan
Boutros.
Dengan tenang Tuan Boutros menjawab, “Apa saya tidak memiliki
urusan yang lebih
penting dari mengurusi anakmu, heh?”
“Kau pasti tahu di mana Noura berada?”
“Siapa yang peduli dengan anakmu?”
“Malam itu sebelum tidur Mona melihat Maria turun menghibur Noura
di jalan.
Kalian pasti tahu sekarang di mana Noura berada!”
“Malam itu malam itu apa? Aku tidak tahu! Kalau begitu tanya saja
sama Maria.
Jangan tanya aku!”
“Hai Maria bicara kau! Kalau tidak kusumpal mulutmu dengan
sandal!” si Muka
Dingin menyalak keras seperti anjing.
Dadaku panas sekali mendengar kalimat Si Muka Dingin yang tidak
tahu sopan
santun ini. Tuan Boutros kulihat menggerutukkan giginya, ia tentu
marah puterinya
dibentak kasar begitu, tapi mukanya tetap tenang memandang ke
depan. Ia tidak
menjawab sepatah kata pun.
“Tuan Bahadur, memang benar, malam itu aku turun menghibur Noura.
Tapi
Noura tidak bisa dihibur. Ia menangis terus dan tidak berbicara
sepatah kata pun
padaku. Aku jengkel, lalu ya kutinggal dia. Setelah itu aku tidak
tahu kemana dia.
83
Kukira dia kembali ke rumah Anda.”
“Hmm...jadi begitu. Anak itu memang keras kepala dan menjengkelkan
bukan?
Kau saja dibuat jengkel. Aku ayahnya dibuat jengkel setiap hari.
Kalau ketemu akan
kubunuh anak itu biar tidak membuat jengkel lagi!”
“Sudah cukup bicaramu Bahadur? Kami ada urusan!” Kata Tuan
Boutros.
Si Muka Dingin tidak menjawab. Ia hanya pergi begitu saja sambil
mengepalkan tinjunya, ia mendesis “Kalau kembali anak itu akan
kukuliti biar tahu
rasa!”
“Puji pada Tuhan, Si Brengsek itu tidak macam-macam.” Madame Nahed
mendesah lega. Tuan Boutros cepat-cepat menyalakan mesin. Lalu
perlahan
menjalankan mobil meninggalkan halaman apartemen dibuntuti oleh
Yousef. Selama
dalam perjalanan Tuan Boutros banyak bercerita tentang hal
menjengkelkan Si Muka
Dingin. Aku meminta beliau tidak usah meneruskan. Aku minta topik
pembicaraan
yang menarik, yang mengasyikkan, yang menyenangkan seirama dengan
malam
kebahagiaan Madame Nahed. Maria memuji usulku. Madame Nahed
lalu bercerita
tentang Maria kecil. Hal-hal kecil yang Maria lakukan. Maria
sesekali menjerit manja
minta mamanya tidak meneruskan. Ia malu katanya. Tapi Madame Nahed
malah
seperti tertantang untuk menceritakan semakin banyak. Tuan Boutros
sekali
menimpal kisah yang diceritakan isterinya. Maria jadi lakon. Aku
diam saja. Hanya
sesekali bertanya, benarkah? Maria akan langsung menyahut, tidak
benar, mama
bohong! Madame Nahed dan Tuan Boutros akan menyahutnya
dengan tawa
terpingkal-pingkal.
“Maria ini waktu kecil sampai umur empat tahun masih menetek. Umur
lima
tahun masih ngompol apa nggak menyebalkan!” kata Madame Nahed
memperolok
puterinya.
“Benarkah itu?” sahutku santai sambil memandang sinar purnama yang
keperakan di atas riak sungai Nil yang memanjang di samping kiri
jalan.
“Ah itu bohong. Tak mungkin itu terjadi!” tukas Maria cepat
setengah teriak.
“Itu benar. Kalau tidak percaya nanti kalau bibinya yang bernama
Latefa
datang tanyakan padanya,” kata Tuan Boutros membela isterinya.
“Itu bukan sesuatu yang tidak baik. Tidak apa-apa. Menetek pada
ibu dalam
waktu yang lama malah membuat cerdas. Begitu yang kubaca pada
sebuah majalah,”
84
sahutku.
Maria berterima kasih padaku karena aku membelanya.
Akhirnya Tuan Boutros memarkir mobilnya di halaman sebuah
restaurant
mewah. Cleopatra Restaurant. Terletak di pinngir sungai
Nile. Bersebelahan dengan
Good Shot dan
Maadi Yacht Club. Pantas saja mereka berpakaian dan
berpenampilan serius. Kami berlima berpandang-pandangan.
“Santai saja. Kita ini turis. Turis ‘kan biasa berpakaian santai?”
bisik Hamdi
dalam bahasa Indonesia.
“Tapi masak pakai trening yang sudar pudar warnanya begitu?” lirih
Saiful
sambil meringis memandang Rudi. Aku tersenyum. Baru kali ini
kulihat Rudi tidak
percaya diri. Muka anak Medan ini seperti kepiting rebus. Di
antara kami berlima yang
berpakaian paling mengenaskan memang dia. Hamdi lumayan necis,
tapi sandal kulit
bututnya membuat hati yang melihatnya tidak tahan. Sudah
berkali-kali aku
mengingatkan agar keduanya membuang jauh-jauh adat klowor yang
mereka bawa
dari pesantren tradisional. Tapi mereka masih saja suka klowor,
padahal baginda
Nabi mencontohkan kerapian, kebersihan dan penampilan yang
meyakinkan.
Memang tidak mudah merubah watak dan gaya hidup. Namun Rudi dan
Hamdi jauh
lebih baik dari saat pertama kali aku mengenal dan serumah
dengannya. Sekarang
sudah mulai bisa membagi waktu dan disiplin. Kalau mau diskusi mau
menyeterika
baju biar sedikit rapi. Tapi aku sangat menyayangkan mereka tadi
tidak mau
mendengar nasihatku agar berpenampilan sedikit necis. Mereka hanya
menyahut,
“Alah cuma mau makan saja kok repot-repot!”
Untung Saiful dan Mishbah mengerti nasihatku. Aku sendiri
berpakaian tidak
bagus sekali namun juga tidak akan memalukan. Kaos katun hijau
muda dan rompi
santai hijau tua, warna kesayangan. Tak kalah fungkynya
dengan Yousef .
Tuan Boutros membawa kami masuk restoran dan memilihkan tempat
duduk
yang paling menjorok ke sungai Nil seperti dek kapal. Terbuka
tanpa atap,
bintang-bintang kelihatan. Restauran ini ada dua bagian. Bagian
tertutup dan bagian
terbuka. Mejanya juga beraneka. Namun warnanya sama. Ada yang
untuk dua orang.
Empat orang. Dan ada yang bundar untuk enam orang. Kami memilih
dua meja
bundar yang berdekatan. Tuan Boutros, Madan Nahed, dan Maria telah
duduk satu
meja terlebih dahulu. Aku mengajak Yousef duduk di meja yang
satunya.
Teman-teman mengikuti aku. Pas enam orang. Tuan Boutros meminta
satu di antara
85
kami duduk satu meja dengan mereka. Kusuruh Rudi. Dia tidak mau. Kupaksa
Saiful.
Dengan agak ragu-ragu akhirnya dia beranjak juga. Kulihat para
pengunjung yang
ada. Mereka berpakaian bagus-bagus. Ada sepasang orang bule. Yang
lelaki pakai
jas yang perempuan pakai gaun malam resmi. Di pojok kanan orang
Mesir gemuk
botak dengan isterinya. Keduanya rapi. Yousef berbisik kepadaku,
“Ini restauran
orang besar. Para diplomat dan bisnisman sering kemari. Lihat
siapa yang ada di
meja dekat lampu hias itu, kau pasti mengenalnya!”
Aku melihat ke arah yang ditunjukkan Yousef. Aku nyaris tidak
percaya dengan
apa yang kulihat. Di sana ada Adel Imam dan Yusra sedang menyantap
makanan dan
berbincang. Dua artis Mesir itu makan malam di restauran ini.
Teman-teman
melongok ke arah keduanya. Yousef mengingatkan, “Jangan terlalu
kelihatan heboh!
Restauran ini menjaga ketenangan dan kenyamanan pelanggannya.”
Seorang pelayan menanyakan menu. Madame Nahed berkata
kepada kami,
“Silakan pilih sendiri menunya. Jangan malu-malu. Hai Hamdi, kau
pilih apa?”
Hamdi bingung. Ini baru pertama kalinya dia makan di restauran
elite. Menunya
juga asing semua.
“Semua masakan khas Timur Tengah ada,” bisik Yousef.
Tiba-tiba Saiful beranjak mendekati aku dan berbisik, “Mas, tolong
kau saja
yang satu meja dengan Tuan Boutros, aku tidak enak. Aku tidak bisa
bicara banyak.”
Wajahnya kulihat pucat. Aku merasa kasihan juga melihatnya. Kalau
dia
sampai malu, dan pulang masih lapar padahal baru saja dari
restauran besar, apa
tidak kasihan. Aku jadi teringat dengan cerita teman satu pondok
dulu. Namanya
Bayu. Pakdenya dari ibu dapat isteri kalangan keraton Kasunanan
dan tinggal di
kawasan elite Jakarta. Suatu kali ia liburan ke tempat Pakdenya
itu. Di sana semua
serba teratur. Waktu tidur, waktu belajar, waktu istirahat, baju
tidur, baju santai, dan
makannya juga teratur waktu dan tata caranya. Saat itu dia kelas
tiga SMP. Dia yang
biasa di desa serba tidak teratur jadi grogi. Biasa makan tanpa
sendok tanpa meja
makan, tanpa garpu dan lain sebagainya jadi serba grogi. Dia
sebenarnya ingin
tambah karena masih lapar, tapi tidak berani. Padahal menunya
sangat nikmat. Menu
yang jarang sekali ia makan di desanya. Ia takut untuk tambah.
Ketika hendak tidur ia
merasa masih lapar. Ia tidak bisa tidur dengan perut lapar.
Akhirnya ia minta izin pada
Pakdenya untuk keluar rumah sebentar. Ia pergi ke warteg dan makan
sampai
kenyang. Ternyata anak pakdenya yang paling besar melihatnya saat
baru pulang
86
dari rumah temannya. Ia pun ditanya sama budenya kenapa jajan
padahal telah
tersedia banyak makanan, apa makanan di rumah budenya tidak enak?
Ia tidak bisa
menjelaskan, malah menangis. Aku tidak mau teman-teman mengalami
nasib tragis
seperti Bayu kecil itu.
Sebelum beranjak ke meja Tuan Boutros, aku berpesan pada
teman-teman
dengan bahasa Indonesia, “Nanti makan yang banyak santai saja.
Jika masih ingin
tambah ya tambah saja seperti di rumah sendiri.”
Tuan Boutros heran Saiful pindah tempat duduk. Kubilang ia ingin
berbincang
dengan Yousef. Tuan Boutros menganggukkan kepala.
Pelayan restauran beralih mendekati aku dan bilang,
“Anda pesan apa? Teman-teman Anda ikut Anda?”
Madame Nahed
tersenyum. Maria kelihatannya ingin tahu aku suka menu apa.
Untung aku pernah diajak makan malam ke sebuah restauran tak kalah
elitenya di
Mohandesen oleh Bapak Atdikbud yang jadi ketua takmir masjid
Indonesia di Cairo.
Jadi, aku tidak merasa asing sekali dengan menu yang tertulis.
“Minumnya Seasonal Fresh Fruits. Makannya Chicken
Mugharabieh with
Valanciane Rice dan menu penutupnya minta Pineapple Gateau,” kataku mantap.
Itu
adalah menu yang dipilih Ibu Atdikbud yang waktu itu tidak aku
rasakan. Sebab waktu
itu aku memilih menu utama Onion and Cheese Omelette yang
tak jauh beda dengan
telur dadar, cuma lebih besar dan tebal. Waktu itu aku sedikit
menyesal memilih menu
yang keliru. Ih jadi geli mengingatnya. Sekarang aku yakin sekali,
aku tidak keliru pilih
menu.
“Fathi, kau memilih menu kesukaanku,” komentar Maria, ia lalu
bilang pada
pelayan, “aku sama dengan dia.” Tuan Boutros pilih Lamb Stew sedangkan
Madame
Nahed pesan Chicken Kofta with Tomato Sauce dan Yousef suka
Kabab Lahmul
Ghanam 73 .
Begitu hidangan tersedia kami menyantap dengan tenang sambil
menikmati semilir angin sungai Nil dan sesekali melihat riang
gelombangnya yang
keperakan diterpa sinar rembulan. Ketika kami sedang asyik makan
seorang lelaki
berdasi menghampiri Tuan Boutros. Tuan Boutros berdiri dan
berjabat tangan.
“Fahri, this is Mr. Rudolf from German, and Mr. Rudolf, this is
Fahri from
Indonesia!” Tuan
Boutros memperkenalkan kenalannya dengan pengucapan yang
73 Sate kambing.
87
sangat berlogat Arab.
Mr. Rudolf menjabat tanganku erat.
“Pleased to meet you Mr. Rudolf.” Sapaku pada bule di
hadapanku dengan
tersenyum. Lalu aku berbasa-basi padanya dengan bahasa Jerman, “Sin
Sie
Tourist?”74
Mr. Rudolf agaknya terkejut mendengar pertanyaanku.
“Nein. Sprechen Sie Deutsch?”75 Mr. Rudolf balik bertanya
dengan nada
heran apa aku bisa berbahasa Jerman.
“Ja.” Jawabku sambil tersenyum. Lalu kami berbincang sesaat
lamanya
dengan bahasa Jerman. Ia menerangkan dirinya adalah staf ahli
atase perdagangan
Jerman di Kairo. Dia bertanya apa aku seorang diplomat. Kujelaskan
statusku di
Mesir. Tuan Boutros menawarkan pada Mr. Rudolf untuk duduk bersama
kami. Mr.
Rudolf mengucapkan terima kasih, ia ditunggu isterinya di meja
yang lain, lalu
beranjak pergi. Madame Nahed menanyakan di mana aku belajar
bahasa Jerman.
Dan menyayangkan Tuan Boutros yang tidak bisa berbahasa Jerman
padahal banyak
koleganya yang berasal dari Jerman. Maria mengusulkan agar ayahnya
belajar
bahasa Jerman padaku saja. Tuan Boutros hanya tersenyum mendengar
celoteh
isteri dan puterinya.
Usai makan kami tidak langsung pulang. Madame Nahed memesan
koktail
dan mengajak kami semua ke bagian dalam, di sana ada hiburan musik
klasik. Aku
sebenarnya ingin langsung pulang. Tapi Madame Nahed dan
Tuan Boutros
memaksa, “Kita lihat sebentar saja.”
Di bagian dalam, di tengah ruangan ada panggung kecil setinggi
setengah
meter. Bentuknya bundar. Di atas panggung bundar itu ada seorang
perempuan
muda berambut pirang menggesekkan biola dengan penuh penghayatan.
“Yang ia mainkan sekarang ini karya Bedhoven. Perempuan itu pemain
biola
terkenal dari Rumania.” Seorang pelayan restoran berkata pada
seorang wanita
setengah baya yang berada tak begitu jauh dariku.
Satu lagu selesai. Pengunjung bertepuk tangan. Pemain biola perempuan
itu
kembali menggesek biolanya. Kali ini bernada riang. Beberapa orang
pengunjung
74 Apakah Anda turis?
75 Tidak, kau bisa bicara bahasa Jerman?
88
berdiri dari kursinya menuju ke dekat panggung. Mereka berdansa.
Orang Mesir botak
yang tadi kulihat juga berdansa dengan isterinya.
Tuan Boutros meraih tangan Madame Nahed. Madame Nahed
tersenyum dan
menengok pada Maria, “Maria, ayo cobalah kau berdansa. Sekali ini
saja. Coba ajak
Fahri atau siapa terserah!”
Aku terkejut mendengarnya. Tuan Boutros menimpal, “Ya Fahri, Maria
itu tidak
pernah mau berdansa. Coba kau ajak dia! Mungkin kalau kau yang
mengajak dia
mau.”
Aku diam. Kulirik teman-teman. Mereka senyam-senyum. Tuan Boutros
dan
Madame Nahed
sudah larut dalam irama musik dan berdansa mesra. Maria
mendekatiku.
“Fahri, mau coba berdansa denganku? Ini kali pertama aku mencoba
berdansa,” lirihnya malu. Aku harus berbuat apa. Apakah aku harus
ikut budaya
Eropa. Aku teringat kisah awal-awal Syaikh Abdul Halim Mahmud muda
saat belajar
di Perancis. Beliau juga mendapat godaan yang tidak jauh berbeda
dengan aku saat
ini. Dan Syaikh Abdul Halim Mahmud muda mampu melewati ujian itu
dengan baik.
Beliau yang dikenal sebagai ulama sufi modern yang arif billah itu
akhirnya dipilih
sebagai Grand Syaikh Al Azhar. Jika ada ahli ibadah dan wali di
puncak gunung tanpa
godaan itu bukan sesuatu yang mengagumkan. Tapi jika ada ahli
ibadah bisa
berinteraksi dengan baik di tengah kota metropolitan dengan segala
hiruk pikuk
budaya hedonisnya itu mengagumkan. Begitu Syaikh Ahmad berkata
padaku.
Tawaran Maria bagi seorang pemuda adalah tawaran menarik.
Siapa tidak suka bergandeng tangan dan berdansa dengan gadis
secantik dia.
Di sinilah letak ujiannya.
“Maaf aku tidak bisa,” jawabku sambil tersenyum dan menangkupkan
dua
tangan di depan dada.
“Sama, aku juga tidak bisa. Kita belajar bersama pelan-pelan. Mari
kita coba!”
sahut Maria yang belum memahami sepenuhnya penolakanku.
“Maafkan aku Maria. Maksudku aku tidak mungkin bisa melakukannya.
Ajaran
Al-Qur’an dan Sunnah melarang aku bersentuhan dengan perempuan
kecuali dia
isteri atau mahramku. Kuharap kau mengerti dan tidak kecewa!”
terangku tegas.
Dalam masalah seperti ini aku tidak boleh membuka ruang keraguan
yang membuat
89
setan masuk ke dalam aliran darah.
“Oh begitu. Maaf, aku tidak tahu. Kalau tahu, aku tak mungkin
menawarkan hal
ini kepadamu. Aku salut atas ketegasanmu menjaga apa yang kau
yakini,” kata Maria.
Tak ada gurat kecewa di wajahnya.
“Maria aku keluar dulu. Aku mau menikmati keindahan sungai Nil.
Jika ayahmu
sudah selesai panggil saja aku di luar,” pesanku pada Maria
sebelum aku melangkah
keluar. Yousef dan teman-teman membuntutiku. Lima belas menit
kemudian Maria
memanggil kami untuk pulang. Pukul 22.45 kami sampai di halaman
apartemen.
Teman-teman memuji menu yang kupilihkan. Aku yakin mereka kenyang.
* * *
Sampai di flat teman-teman tidak langsung tidur, mereka berbincang
di ruang
tamu. Sementara aku masuk kamar dan membaca surat Nurul yang
mengisahkan
apa yang dialami oleh Noura yang malang.
Nurul menulis, bahwa Noura mengaku sampai berumur delapan tahun
sangat
bahagia dan disayang ayah ibunya yaitu Si Muka Dingin Bahadur dan Madame
Syaima. Keduanya bahkan sangat menyayanginya melebihi dua
kakaknya. Dia
memang berbeda dengan kedua kakaknya. Sejak kecil dikenal cerdas,
berkulit putih
bersih, berambut pirang, lincah dan cantik. Tidak seperti dua
kakaknya yang hitam
seperti orang Sudan. Petaka itu datang ketika kakak sulungnya Mona
pulang dari
sekolah dan menangis sejadi-jadinya. Setelah dibujuk ayah dan
ibunya Mona
mengaku dihina oleh teman satu bangkunya di sekolah. Mona dihina
sebagai anak
syarmuthah.
Hinaan itu disebar ke seluruh kelas. Temannya itu mengatakan, ‘Tidak
mungkin ibumu itu tidak melacur. Buktinya adik bungsumu berkulit
putih bersih dan
berambut pirang. Dari mana bisa begitu kalau tidak melacur dengan
orang lain.
Ayahmu ‘kan kulitnya hitam dan negro seperti kamu dan ibumu!” tak
ayal itu adalah
penghinaan yang sangat menyakitkan. Pada hari yang sama ayahnya
sedang dipecat
dari kerjanya di pabrik baja. Dan pecahlah prahara itu. Malam
harinya ayahnya
memaki-maki ibunya dan mencelanya sebagai pelacur. Ayahnya sejak
itu tidak lagi
menyayanginya. Apalagi sebelumnya memang seringkali orang heran
dengan
ketidaksamaan Noura dengan kedua orang tua dan kakaknya. Sejak itu
Noura jadi
bulan-bulanan kedua kakaknya dan ayahnya. Ibunya seringkali
melindungi dirinya.
Namun ketika ayahnya membawa perempuan lain yang cantik dan tidak
hitam ke
rumah, ibunya menjadi terganggu pikirannya. Ia jadi seperti orang
tidak waras.
90
Kadang menangis, marah, ngomel sendiri dan lain sebagainya. Kadang
menyayangi
Noura dan terkadang tidak jarang ikut menyakitinya. Ayahnya
akhirnya dapat
pekerjaan sebagai tukang pukul di sebuah Nigh Club yang mengapung
di atas sungai
Nil. Mona, kakak sulungnya ikut kerja di sana. Sedangkan Suzan
katanya kerja di
sebuah losmen di Sayyeda Zaenab. Berangkat menjelang maghrib dan
pulang sekitar
jam dua dini hari. Menurut bisik-bisik para gadis tetangga kedua
kakak Noura itu
kerjanya tak lain adalah menjual diri. Beberapa kali Noura melihat
Mona membawa
teman lelaki ke rumah dan diajak tidur di kamarnya. Ayahnya malah
senang,
sedangkan ibunya sudah semakin buruk ingatannya meskipun sesekali
datang
kesadarannya dan menatapi nasib dirinya dan nasib Noura. Di rumah
itu Noura
diperlakukan layaknya pembantu rumah tangga. Memasak, mencuci,
mengepel
semua tanggung jawab Noura. Untungnya Noura masih dibolehkan
ayahnya sekolah
di Ma’had Al Azhar, itu pun karena sekolah di sana gratis
dan kalau pulang agak
terlambat akan mendapatkan hukuman dari ayah dan kedua kakaknya.
Beragam
bentuk siksaan ia terima dari orang yang ia anggap keluarganya.
Puncak derita Noura
adalah enam bulan terakhir ini, ketika ayahnya memaksanya dia agar
ikut bekerja di
Night Club seperti kakaknya. Bahkan ayahnya dapat tawaran dari
manajernya agar
Noura mau jadi penari perut tetap di Night Clubnya. Bos ayahnya
memang pernah ke
rumahnya sekali dan melihat Noura. Ayahnya pada waktu itu cerita
pada bosnya
kalau Noura saat TK dulu pernah menang lomba menari. Jelas Noura
tidak bisa
memenuhi keinginan ayahnya itu. Sejak itu ia sangat menderita.
Puncaknya adalah
malam itu. Sore sebelum berangkat kerja, ayahnya memaksanya untuk
ikut Mona
berangkat setelah maghrib, ada turis asing yang memesan perawan
Mesir. Noura
dihargai sepuluh ribu pound. Harga yang menurut ayah dan kedua
kakaknya sangat
tinggi. Ia menolak. Ayahnya lalu mencambuk punggungnya
berkali-kali. Ia tidak tahan,
akhirnya ia pura-pura mau. Ayahnya berangkat. Tapi begitu shalat
maghrib ia
mengurung diri di kamar. Tidak mau keluar. Tidak mau membukakan
pintu.
Bagaimana mungkin dia yang muslimah dan sekolah di Al Azhar akan
melakukan
perbuatan dosa besar itu. Mona tidak bisa berbuat apa-apa. Tengah
malam ayahnya
pulang dan terjadilah penyiksaan dan pengusiran itu. Ayah
menyumpahinya sebagai
anak setan, anak haram, anak tidak tahu diuntung. Mona menampar
mukanya
dengan sandal berkali-kali sambil berkata, “Kau ini siapa? Kau
anak siapa hah? Kau
bukan adik kami dan bukan keluarga kami? Aku akan buktikan nanti
lewat test DNA
kau bagian dari keluarga kami!”
91
Aku menitikkan air mata membaca kisah penderitaan yang dialami
Noura. Aku
tidak melihat bekas-bekas cambukan di punggungnya, tapi aku bisa
merasakan
sakitnya. Aku tidak melihat wajahnya saat itu tapi hatiku bisa menangkap
rintihan
batinnya yang remuk redam. Aku seolah ikut merasakan kecemasan,
ketakukan dan
kesendiriannya selama ini dalam neraka yang dicipta Si Muka Dingin
Bahadur. Aku
tiba-tiba merasa Noura itu seperti adik kandungku sendiri. Entah
bagaimana aku bisa
merasakan begitu, padahal aku tidak memiliki adik. Aku anak
tunggal. Tapi aku
seperti merasakan apa yang dirasakan Noura. Seandainya dia adikku
tentu tidak akan
aku biarkan ada orang jahat menyentuh kulitnya. Akan aku korbankan
nyawaku untuk
melindunginya.
Aku kembali menitikkan air mata. Oh Noura, semoga Allah menjagamu
di dunia
dan di akhirat. Gadis berwajah putih dan innocence itu
selalu berjalan menunduk. Jika
berpapasan kami hanya bersapa dengan tatapan mata sekilas. Tanpa
kata-kata. Tapi
kami merasa dekat dan saling kenal. Aku tidak mungkin membiarkan
Noura terus jadi
bulan-bulanan para serigala berkepala manusia. Aku harus melakukan
sesuatu. Tapi
apa? Dan sampai sejauh mana langkahku? Aku adalah orang asing di
sini. Aku
menarik nafas panjang. Diam memejamkan mata dengan pikiran terus
mengembara
mencari jalan keluar. Aku tidak bisa, dan tidak akan mampu
bertindak sendiri. Akan
aku serahkan masalah ini pada Syaikh Ahmad, dia adalah intelektual
muda yang
sangat peduli pada siapa saja. Beliau pasti mau membantu Noura.
Ayat - Ayat Cinta - Bab 7
No comments:
Post a Comment