Bab
13
14 Januari
OMG, OMG, OMG…. This is NOT happening to me. Sejak kapan gue jadi
stalker? Gue gak pernah stalk cowok, mereka yang stalk gue. **** Tiga hari
kemudian Kafka belum juga mengirimkan SMS padaku. Aku jadi terobsesi untuk
selalu menyimpan HP-ku sedekat mungkin dengan diriku, seakan-akan aku sedang
berada di tengah lautan setelah kapal yang kutumpangi tenggelam dan HP itu
adalah pelampung penyelamatku. Seminggu setelah Tahun Baru, ketika menyadari
bahwa aku sudah membawa HP-ku ke dalam kamar mandi saat mandi, aku tahu bahwa
aku harus melakukan sesuatu. Aku harus mengirimkan SMS ke Kafka. Aku sudah
tidak peduli lagi bahwa dengan melakukan ini aku mungkin akan mempermalukan
diriku sendiri. Kafka mungkin akan berpikir bahwa aku tipe perempuan ganjen dan
suka mengejar-ngejar laki-laki. Tapi aku harus berbicara dengannya sekarang
juga. Sebelum kehilangan keberanianku, aku mulai mengetikkan SMS itu. Hei, Kaf,
apa kabar? Lama gak denger kabar dari kamu. Just wanna know how u’re doing.
Tanpa membaca ulang apa yang telah kutulis, aku langsung menekan SEND dan
menarik napas, menunggu hingga gambar amplop mulai melayang di layar HP-ku.
Setelah itu, hanya untuk memastikan bahwa SMS itu memang sudah terkirim, aku
memeriksa statusnya. Puas bahwa SMS itu sudah betul-betul terkirim aku kemudin
menutup HP-ku dan menunggu. Biasanya Kafka selalu membalas SMS-ku secepatnya,
kecuali kalau dia sedang praktik. Kuembuskan napas perlahan-lahan sambil
menghitung dalam hati. Satu… dua… tiga… empat… ketika pada hitungan keenam
puluh dan Kafka belum juga membalas SMS kulirik HP-ku lagi untuk memastikan
bahwa sinyalnya cukup kuat untuk menerim SMS. Ketika melihat bahwa aku hanya
memiliki dua baris sinyal, aku langsung panic. Aku berdiri dari kursi dan
melongokkan kepala ke atas dinding kubikel. Gita langsung mengangkat tatapannya
dari layar computer. “Git, HP lo sinyalnya penuh nggak?” tanyaku. Gita
kelihatan bingung dengan pertanyaanku, tapi dia segera mengeluarkan HP-nya dari
laci meja. “Dua baris” jawab Gita setelah beberapa detik. “Yakin?” aku mengitari
dinding kubikel itu dan berdiri di samping meja Gita sebelum kemudian merampas
HP tersebut dari tangannya. Ternyata Gita benar, HP-nya juga hanya memiliki dua
baris sinyal. Dengan agak kecewa kukembalikan HP itu kepada pemiliknya yang
sekarang menatapku dengan tajam. Mungkin dia bingung melihatku tiba-tiba jadi
ganas dan tidak tahu sopan santun. “Sori. Thanks,” ucapku. “Omong-omong kita
bisa nggak sih terima SMS kalau sinyalnya Cuma ada dua baris?” lanjutku.
“Setahu gue sih bisa. Selama sinyalnya nggak nol,” balas Gita. “Memangnya lo
lagi nungguin SMS dari siapa?” “Oh nggak… nggak dari siapa-siapa sih. Nggak
terlalu penting juga kok. Dia mungkin lagi sibuk kali, makannya nggak bisa
balas.” Aku tidak tahu kenapa aku mengucapkan ini semua kepada Gita yang kebingungannya
sudah berganti menjadi kecurigaan.
Aku
lalu mengangguk dan berjalan kembali ke mejaku. Kuempaskan diriku ke kursi
kerjaku sambil mendesah panjang. Kepala Gita tiba-tiba muncul, “Lo lagi kenapa
sih, Nad?” Aku langsung menegakkan tubuh. “Kenapa? Memangnya gue kenapa?”
tanyaku buru-buru “Sudah beberapa hari ini lo kayak orang kebakaran jenggot. Lo
nggak bisa focus, banyak lupa sama kerjaan. Dan kalau bukan karena gue, lo
pasti sudah kena omel sama bos kemarin di meeting.” Aku harus akui bahwa Gita memang
menyelamatkanku ketika mengatakan bahwa aku sudah melaksanakan tugasku untuk
networking dengan teman-teman Karin. Padahal sebetulnya Gita yang melakukan itu
semua sementara aku sibuk “networking” dengan Kafka di lantai atas klub. Gita
memang selalu mau membantuku semenjak aku menawarkan diri untuk membantunya
menyelesaikan suatu proyek yang terlalu sulit baginya ketika dia baru masuk
sebagai web designer junior setahun yang lalu. “Lo bahkan mungkin nggak ingat
hari ini hari apa.” Pertanyaan Gita membangunkanku dari lamunan. “Hah?”
tanyaku. Gita memutar bola matanya dan mengulangi pertanyaannya. “Gue tahu kok
hari ini hari apa,” bantahku “Oke. Hari apa?” “Selasa, kan?” Kulihat Gita
menggeleng. “Rabu?” kucoba sekali lagi yang disambut oleh gelengan kepala rekan
kerjaku itu lagi. “Nggak penting deh hari ini hari apa?” ucapku sok cuek
padahal dalam hati aku sedang mencoba mengingat-ingat tanggal hari ini. “Hari
ini hari kamis, Nad.” Kata Gita sambil menggeleng-geleng. Sepertinya dia cukup
terkesima karena aku tidak bisa ingat hari ini hari apa. “Hah! Tuh kan tebakan
gue nggak seberapa meleset.” Teriakku senang. “Dan kalau hari ini hari Kamis,
berarti….?” Gita membiarkan kalimatnya menggantung. “Berarti…. Berarti besok
Jumat, hari terakhir kerja. Wooo hooo…,” teriakku antusias sambil mengangkat
kedua kepalan tanganku ke atas sebagai tanda kemenangan. “Ya ampuuuunnn.
Pikiran lo benar-benar nggak ada di sini ya? Lo Nadia, senior web designer-nya
kita bukan sih?” “Lo kok nanyanya gitu?” tanyaku sedikit tersinggung. “Nad,
hari ini kita mesti kasih evaluasi performa website klien kita ke Bos. Lo ingat
kan soal yang satu itu?” Aku lompat berdiri dari kursiku sambil berteriak
panic, “Itu hari ini?” membuat beberapa pegawai lainnya langsung berdiri dari
kursi mereka untuk melihat siapa yang membuat keributan pada jam sebelas pagi.
Lain dengan orang kantoran lainnya, para web designer biasanya baru masuk
kantor jam sepuluh, bahkan ada yang baru datang jam sebelas. Pada intinya jam
sebelas pagi sudah seperti jam delapan pagi di kantor lainnya. Orang biasanya
menunggu hingga selepas makan siang untuk mulai membuat keributan. Gita
membantuku untuk mengucapkan maaf kepada para pegawai yang telah aku ganggu
“quiet time”-nya. “Nad, lo sudah kerja di sini empat tahun, jauh lebih lama
daripada gue. Setiap tahun kita kasih evaluasi itu ke Bos setiap tanggal 8
Januari. Ingat?” bisik Gita. “SHIIITTT.” Aku berusaha membisikkan kata itu tapi
tidak berhasil karena orang-orang sudah mulai
melirik
kea rah kami lagi. Alhasil sekali lagi aku harus meminta maaf. “Jangan bilang
ke gue lo belum ngerjain itu sama sekali,” Gita terdengar putus asa. “Ohhh… gue
sudah kerjain, tapi belum selesai. Masih ada beberapa yang gue belum sentuh
sama sekali,” jelasku sambil buru-buru duduk dan mulai mengutak-atik mouse-ku
untuk mencari file evaluasi yang sempat aku kerjakan sebelum Tahun Baru dan
berniat untuk menyelesaikannya sebelum pertemuan dengan Bos yang akan terjadi
dalam…. Kulirik jam tanganku, tiga jam. Aku punya tiga jam untuk melakukan
evaluasi performa website tujuh klien lagi. “Nad,” kudengar Gita memanggil
namaku, tetapi aku terlalu sibuk dan terlalu panic untuk mengangkat kepalaku
dan menatapnya. “Ehm,” ucapku. Aku sudah membuka website salah satu klienku
yang belum aku evaluasi dan mulai mencatat segala informasi yang kuperlukan
untuk membuat laporan yang diminta oleh Bos. “Perlu bantuan gak?” Aku langsung
menatap Gita dengan penuh terima kasih. “Oh… boleh banget. Kalo lo nggak
keberatan,” ucapku sambil mengembuskan napas lega. Aku ingin memeluk Gita saat
itu juga. Kami akhirnya membagi tugas. Gita mengerjakan evaluasi untuk tiga
klienku yang account-nya lebih kecil, sedangkan aku mengerjakan empat lainnya
yang masuk ke kategori klien premium. ***
Setelah insiden seminggu yang
lalu dengan pekerjaanku yang untungnya berakhir dengan selamat ----- lagi-lagi
karena bantuan Gita----- aku berjanji untuk tidak memikirkan Kafka sampai
melantarkan pekerjaanku. Kini aku berusaha menjaga jam lamunanku pada level
minimum dan hanya kalau aku sedang ada di kamar kosku dan sedang tidak
mengerjakan pekerjaanku saja. Kini dua minggu sudah berlalu semenjak Tahun Baru
dan aku masih belum menerima balasan dari SMS yang telah kukirimkan kepada
Kafka. Berkali-kali aku sudah siap untuk menelepon ke HP Kafka, tapi kuurungkan
niat itu. Mukaku tidak sebegitu tebal sehingga tidak mengenali gejala bahwa
seseorang tidak mau berhubungan denganku lagi. Kafka jelas-jelas sudah menutup
pintu hubungan kami, jadi untuk apa aku masih ingin mengetuk pintu itu dan
mengharapkan agar dia membukanya lagi untukku? Hanya orang superbego yang akan
melakukan hal seperti itu. Dan… ternyata aku lebih bego dari orang superbego
karena aku kini sedang menekan nomor HP Kafka untuk berbicara dengannya. Aku
harus meletakkan tangan kiriku di atas dadaku untuk menenangkan detak jantungku
yang harus bekerja lebih keras daripada biasanya untuk memompa darah ke sekujur
tubuhku. Aku hampir saja menutup telepon itu karena keberanianku tiba-tiba
meninggalkanku ketika mendengar nada sambung. Kutarik napasku dalam-dalam. Aku
tidak pernah harus menelepon HP Kafka sehingga tidak tahu apa yang akan aku
hadapi. Aku bahkan tidak tahu apakah dia punya voicemail atau tidak. Setelah
beberapa detik aku mendapatkan jawaban dari pertanyaan itu. Kafka tidak
mengangkat teleponku dan dia tidak memiliki voicemail. Kuembuskan napasku. Aku
tidak bisa memutuskan apakah aku merasa lega atau kesal karena Kafka tidak
mengangkat telepon itu. Whoaaa…. Sejak kapan aku menjadi orang yang tidak pasti
dengan perasaannya sendiri? Jawabannya adalah semenjak serigala berbulu domba
(atau mungkin domba berbulu serigala? Aggghhh nggak tahu deh) bernama Kafka
memasuki hidupku lagi lima bulan yang lalu. Selama bulan Januari aku mencoba
untuk menelepon HP Kafka empat kali lagi dan mengirimkan lima
SMS
(tidak menghitung SMS pertama yang kukirimkan seminggu setelah Tahun Baru)
tanpa ada hasil. Sms terakhir yang kukirimkan padanya terdengar sangat
memalukan sehingga aku pun tidak sanggup untuk mengingat-ingat bunyinya karena
selalu membuatku meringis. Kamu lagi sibuk, ya? Kamu tahu kan aku Cuma bercanda
aja soal minta kamu stop SMS aku itu? So… kirim kabar ya kalo sempet.
Aku tahu bahwa aku sudah
berkelakuan seperti stalker, tapi aku tidak bisa berhenti! Aku kini mengerti
perasaan orang yang nge-fans berat pada seorang artis sehingga rela untuk
berbuat apa saja untuk memperoleh perhatian artis tersebut. Kebanyakan hal yang
mereka lakukan hanya bisa digolongkan sebagai isengan, tapi terkadang ada kasus
yang ektrem sehingga penggemar itu sampai berniat untuk bunuh diri karena artis
tersebut tidak membalas fan-mail yang dikirimkannya enam bulan yang lalu. Oke…
tentu saja aku tidak akan melakukan hal sedahsyat ini, karena sejujurnya dengan
apa coba aku akan bunuh diri? Potong nadi atau minum Baygon? Kedua metode itu
terlalu penuh dengan penyiksaan menurutku. Menembak kepala sendiri? Dari mana
aku akan menemukan pistol? Dan apakah aku akan mendapatkan suatu jaminan bahwa
kematianku akan menarik perhatian Kafka? Tentu saja tidak. Tiba-tiba aku
teringat akan cerita yang pernah kubaca mengenai penggemar berat Brad pitt yang
masuk ke rumah bintang dilm itu tanpa izin kemudian mengenakan pakaian artis
itu sebelum tidur di atas tempat tidurnya. Mmmhhh…. Kira-kira bagaimana reaksi
Kafka kalau aku mempraktikkan hal ini padanya? Aku langsung bergidik
membayangkan Kafka akan memanggil polisi yang akan segera menjebloskanku ke
penjara karena telah melanggar privasi orang. Ketika pada Minggu terakhir bulan
Januari aku masih belum juga mendengar kabar dari kafka, aku mulai khawatir
kalau saja dia mungkin telah mengalami kecelakaan yang sangat parah dan kini
tergeletak di rumah sakit tidak sadarkan diri sehingga tidak bisa mengirimkan
kabar padaku. Tapi kalau musibah seperti ini menimpa Kafka, tentunya Karin
tidak akan setenang itu ketika aku bertemu dengannya beberapa hari yang lalu.
Aku hampir saja mengangkat teleponku untuk memastikan hal ini kepada Karin
ketika mengingat bahwa papaku seharusnya bertemu dengan Kafka lagi besok. Aku
hanya harus menunggu kabar dari Kak Mikhel yang bergiliran untuk mengantarkan
papa cek jantung. Kalau Kafka memang sedang sakit parah, maka dia tidak mungkin
praktik, kan? *** Tepat pukul dua belas siang aku menekan nomor HP Kak Mikhel
dengan tangan yang sedikit gemeteran saking takutnya. Untungnya kakakku
langsung mengangkat telepon itu sehingga aku tidak perlu menunggu lama dan
berisiko tiba-tiba pingsan di kantor karena tekanan darahku mencapai lebih dari
200. “Ada apa, Nad?” Tanya Kak Mikhel. Meskipun sambungan itu cukup jelas,
tetapi aku bisa mendengar bunyi dengungan yang menandakan bahwa dia sedang
berada di jalan. Aku biasanya paling tidak suka melihat orang berbicara di
telepon ketika sedang menyetir mobil, tapi aku beralasan ini keadaan darurat,
maka harus dimaklumi. “Kak, lagi di jalan, ya?” tanyaku agak ragu. Aku tidak
yakin aku harus menginterogasi kakakku mengenai Kafka ketika dia sedang membawa
mobil. Apa lebih baik aku menunggu nanti saja? “Iya, ini lagi mau antar Mama
sama Papa pulang,” jawab Kak Mikhel. “Kenapa?”
Mendengar
nada positif dari kakakku, aku melanjutkan , “Gimana Papa?” aku sedang mencari
cara untuk menanyakan tentang Kafka ketika Kak Mikhel memberikan informasi yang
kuperlukan. “Dokter k’ bilang Papa sudah semakin membaik. Jadi check up seperti
biasa lagi bulan depan. Kamu mau yang antar Papa bulan depan atau Viktor?” “Oh,
jadi Kafka praktik hari ini, ya?” tanyaku lebih antusias daripada yang
kurencanakan. “Of course. Why wouldn’t he?” Kak Mikhel terdengar curiga. “Dia
gimana kelihatannya? Sehat-sehat saja atau kelihatan agak sakit?” aku tidak
peduli dengan kecurigaan Kak Mikhel dan maju terus pantang mundur. “Uhm…
kelihatan sehat.” “Dia Cuma kelihatan sehat atau memang sehat?” “Gimana cara
ngebedainnya, Nad?” Betul juga. Bagaimana cara membedakan orang yang hanya
kelihatan sehat dan orang yang betul-betul sehat? “Jadi menurut Kakak dia
sehat?” “Menurut gue sih begitu, tapi gue nggak tahu juga. Gue kan bukan
dokter.” Dari nadanya aku tahu bahwa Kak Mikhel sedang menertawakanku.
“Memangnya kenapa kamu nanya-nanya sampai detail begitu?” sambungnya “Nggak.
Nggak kenapa-napa kok. Salamin buat Mama sama Papa ya,” ucapku dan buru-buru
menutup telepon sebelum Kak Mikhel mulai menginterogasiku. Oke, jadi Kafka
dalam keadaan sehat. Berarti hanya ada satu kemungkinan kenapa dia tidak
mengangkat telepon dariku, tidak menelepon balik, dan tidak membalas SMS-ku.
Dia betul-betul sudah “selesai” denganku. Tiba-tiba aku bisa bersimpati dengan
semua mantan pacar Dara yang selalu diperlakukan seperti ini kalau Dara sudah
bosan dengannya. Tapi jujur, aku tidak pernah memperlakukan pacar-pacarku
seperti ini. Aku selalu memberikan penjelasan panjang-lebar kepada semua
pacarku saat aku mau putus dengan mereka. Aku tidak pernah meninggalkan mereka
menggantung seperti cara Kafka menggantungku sekarang. Kenapa kok malah aku
yang dapat karmanya Dara? Apa bisa karma itu mengenai sobat? Aku selalu
menyangka bahwa karma hanya berlaku bagi orang itu sendiri dan keturunannya.
NADIA! Fokus! Aku memarahi diriku sendiri karena pikiranku bercabang. Aku
terdiam sejenak untuk berpikir. Apa Kafka betul-betul tega melakukan hal
seperti ini padaku? Kalau pertanyaan itu keluar lima bulan yang lalu, tanpa
ragu-ragu aku akan menjawab bahwa sifat memperlakukan wanita seperti ini sudah
ada di dalam darahnya… tetapi tidak sekarang, setelah aku betul-betul
mengenalnya dan setelah apa yang kami lalui bersama-sama. Apa dugaan dan
harapanku tentangnya selama ini sudah salah alamat? Nggak. Pendapatku tentang
Kafka tidak mungkin meleset sejauh ini. Aku menolak untuk percaya bahwa Kafka
yang aku kini kenal adalah tipe laki-laki seperti itu. Dia mungkin adalah orang
paling iseng dan paling bandel yang pernah aku kenal sepanjang hidupku, tapi
aku yakin dia bukan tipe orang yang akan membuat seorang perempuan jatuh cinta
padanya, kemudian tanpa ada indikasi hujan atau badai meninggalkan perempuan
itu begitu saja. Ancamanku untuk memintanya berhenti mengirimkan SMS padaku
tidak bisa dihitung sebagai suatu indikasi karena jelas-jelas aku bercanda. Dan
dia pasti tahu bahwa aku bercanda, kan? Selama dua puluh tahun aku mengenalnya,
dia tidak pernah menghormati permintaanku. Kenapa sekarang, di saat aku
mengharapkan reaksi yang sama seperti sebelum-sebelumnya, dia justru berbalik
arah
dan melakukan ini? Kutekuni argumentasi panjangku itu dan aku terpaku pada
serentetan kata-kata yang spesifik. “Membuat seorang perempuan jatuh cinta
padanya,” dan tiba-tiba aku tertawa sendiri. Hahaha…. Nggak-nggak…. NGGAK
MUNGKIN. Aku tidak sedang jatuh cinta dengan Kafka. Meskipun seperti yang sudah
kukatakan kepada ketiga sobatku bahwa aku ingin mengenalnya lebih jauh, tapi
aku tidak mencintainya. Dia itu Kafka! KAFKA! Anak laki-laki yang paling
kubenci di satu dunia ini. Walaupun memang kini aku sudah tidak membencinya
lagi, tapi itu tidak membuatku lupa akan semua hal yang pernah dilakukannya
padaku. Hal-hal seperti… seperti… seperti…. Tiba-tiba saja aku tidak bisa
mengingat satu pun keseingan yang Kafka pernah lakukan padaku ketika aku SD,
kepalaku penuh dengan hal-hal lucu, menghibur, dan menggemaskan yang telah
dilakukannya beberapa bulan belakangan ini. “Oh, SHIIITTT, I AM in love with
HIM,” teriakku. Untungnya hari ini aku bekerja dari kamar kosku sehingga tidak
ada orang lain yang mendengar pengakuan itu. Kutenggelamkan wajah di antara
kedua tanganku dan mencoba memutuskan apakah aku harus menangis atau tertawa.
Kuputar kembali kehidupanku selama delapan bulan belakangan ini setelah aku
putus dari Fendi. Kusadari bahwa tiga bulan pertama setelah putus, aku masih
melirik kiri dan kanan untuk melihat-lihat kalau saja ada laki-laki yang
berpotensi untuk kupacari, tapi aktivitas itu terhenti bersamaan dengan
pertemuanku dengan Kafka. Sejujurnya, meskipun selama ini aku selalu memiliki
hubungan jangka panjang dengan pacar-pacarku, tetapi aku hanya memasukkan satu
kakiku ke dalam kolam tersebut. Hal ini memberikanku kepastian bahwa aku bisa
lari kapan saja dan secepat mungkin kalau hubungan itu sudah tidak sesuai lagi
dengan keinginanku. Dengan Kafka… aku bahkan tidak tahu bahwa aku sudah
menceburkan diri ke dalam kolam ini sehingga kusadari bahwa aku sudah
tenggelam. Aku sudah merasa terlalu nyaman dalam berhubungan dengan Kafka
sehingga tidak menyadari potensi masalah dari hubungan itu. Dan ketika aku
menyadari kesalahanku, semua sudah terlambat. Aku tidak bisa lagi menarik
diriku keluar dari kolam itu. Aku bahkan tidak yakin bahwa aku mau menarik
diriku keluar. SIALAN! Aku seharusnya sudah melihat lampu kuning ketika dua
bulan yang lalu aku terobsesi hanya karena Kafka belum mengatakan maksud
tindakan-tindakannya terhadapku dan aku seharusnya sudah melihat kerlipan lampu
merah ketika aku sedang dikelilingi oleh laki-laki paling ganteng satu Jakarta
di resepsi pernikahan Jana tetapi yang ada di pikiranku hanya Kafka atau ketika
aku rela memberikan Kafka ruang untuk bernapas dan menunggu hingga dia siap
untuk berhubungan serius denganku. Aku tidak memperhatikan semua tanda-tanda
itu hingga aku bertabrakan langsung dengannya. Hidung dengan hidung kalau
istilah kecelakaan lalu lintasnya. Definisi murni dari perkataan “crash into
you.”
Selama ini aku sudah berbohong
pada diriku sendiri tentang perasaanku terhadap Kafka. Aku tidak betul-betul
rela menunggu Kafka hingga dia bisa mengambil keputusan, satu-satunya alasan
kenapa aku mau menunggu dan rela menjadi temannya terlebih dahulu adalah karena
aku selalu berharap bahwa Kafka akhirnya akan melihat sinar terang di ujung
jalannya. Intinya… lambat-laun dia pasti akan melihatku sebagai seseorang yang
berpotensi untuk berhubungan serius dengannya, dipacari, bahkan mungkin
dinikahi. Aku tidak menyangka bahwa aku sudah melakukan kesalahan yang sama
seperti yang telah dilakukan oleh orangtuaku. Kami sama-sama menginvestasikan
sebagian besar dari diri kami pada sesuatu karena mengharapkan imbalan yang besar
dari tindakan ini. Tapi kami sama-sama salah dan kalah karena bukannya
mendapatkan keuntungan, kami malah sial. Bedanya adalah kesialan orangtuaku
berbentuk
kehilangan uang di bursa saham, sedangkan aku… aku kehilangan hatiku di
genggaman tangan Kafka. “Po’ngoro!” omelku pada diriku sendiri. Yang pada
dasarnya berarti “goblok” dalam bahasa Makassar. Aku terkejut sendiri dengan
sumpahanku itu. Sudah hampir dua puluh tahun aku tidak pernah menggunakan
bahasa masa kecilku itu. Stupid! STUPID! STUUUPPPIIIDDD! Kuembuskan napasku
frustasi. Aku harus melakuakan sesuatu. Aku tidak bisa melanjutkan hidupku
untuk menangisi nasibku karena cintaku sudah ditolak oleh seorang laki-laki.
Aku sudah menyangka bahwa kalau laki-laki seperti Kafka menolakku, hatiku akan
sakit, tetapi “menyangka” dan “mengalami” adalah dua hal yang berbeda sama
sekali. Banyak orang yang bilang bahwa manusia akan belajar dari pengalaman,
yang mereka tidak pernah katakana adalah bahwa pengalaman itu membawa rasa
sakit hati yang tidak tergambarkan. Kesedihan, kekecewaan, dan kemarahan
bercampur menjadi satu gumpalan besar yang membuatkan mata kita untuk melihat
makna pengalaman itu. Aku harus menemukan jalan untuk menyelesaikan masalah
ini. Apa yang akan atau biasa dilakukan oleh wanita pada umumnya kalau cintanya
ditolak? Satu-satunya ide yang keluar dari kepalaku adalah kata “dukun”, dan
aku tahu bahwa meskipun di film-film orang yang sedang patah hari sering
digambarkan menggunakan jasa ini, tapi dalam kehidupan nyata mungkin hanya satu
persen populasi wanita yang patah hati yang akan menggunakan metode ini. Aku
terdiam lagi untuk memikirkan jalan lain tetapi setelah sepuluh menit, aku
masih tidak bisa menghasilkan ide yang brilian. Pada detik itu aku menyadari
bahwa aku mungkin cukup beruntung dibandingkan sebagain besar wanita karena
cintaku tidak pernah ditolak oleh siapa pun, sehingga aku tidak tahu
langkah-langkah apa yang harus diambil untuk menyembuhkan patah hati. Selama
ini aku tidak pernah terlalu peduli kalau orang-orang membicarakan tentang cara
utnuk melupakan seseorang, karena aku tidak pernah mengalami dilemma itu,
hingga saat ini. Ahh… rupanya aku sama saja dengan kaum wanita lainnya yang
lambat-laun akan diremukkan hatinya oleh seorang laki-laki. Aku cukup terkejut
bahwa aku sudah melalui 28 tahun dari hidupku sebelum mengalaminya. Selama itu
pula aku tidak pernah betul-betul hidup dan melakukan berbagai hal hanya karena
aku ingin melakukannya, tanpa peduli pendapat orang lain. Tiba-tiba aku merasa
bahwa di luar hatiku yang retak, aku harus menganggap diriku beruntung. Kenapa?
Karena selain hati dan harga diriku ( dan aku tahu bahwa ini adalah dua hal
terpenting yang bisa diambil seseorang), kafka tidak mengambil apa-apa dari
diriku ketika meninggalkanku. Dia tidak mengambil tabunganku, barang-barang
berhargaku, status single-ku, dan rasa percaya diriku bahwa aku bisa menemukan
orang yang lebih baik dari dirinya, yang tahu cara mengucapkan kata cinta dan
menunjukkan kasih sayang padaku tanpa ada iming-iming atau pun melodrama. Sekarang
aku sudah tidak perlu bertanya-tanya lagi tentang obsesiku kalau sudah
menyangkut Kafka, karena kini aku tahu bahwa perempuan sepertiku memang tidak
sebanding dengan laki-laki sekaliber Kafka. Aku sudah mencoba, dan aku kalah.
Aku bukanlah Cinderella atau Snow White, hidupku tidak akan berakhir bahagia
dengan seorang pangeran. Sekarang aku harus meninggalkan awing-awang dan
kembali ke bumi.
Crash Into You - AliaZalea - Bab 14
No comments:
Post a Comment