Saturday, September 5, 2015

Crash Into You - AliaZalea - Bab 13

Bab 13 

14 Januari 
OMG, OMG, OMG…. This is NOT happening to me. Sejak kapan gue jadi stalker? Gue gak pernah stalk cowok, mereka yang stalk gue. **** Tiga hari kemudian Kafka belum juga mengirimkan SMS padaku. Aku jadi terobsesi untuk selalu menyimpan HP-ku sedekat mungkin dengan diriku, seakan-akan aku sedang berada di tengah lautan setelah kapal yang kutumpangi tenggelam dan HP itu adalah pelampung penyelamatku. Seminggu setelah Tahun Baru, ketika menyadari bahwa aku sudah membawa HP-ku ke dalam kamar mandi saat mandi, aku tahu bahwa aku harus melakukan sesuatu. Aku harus mengirimkan SMS ke Kafka. Aku sudah tidak peduli lagi bahwa dengan melakukan ini aku mungkin akan mempermalukan diriku sendiri. Kafka mungkin akan berpikir bahwa aku tipe perempuan ganjen dan suka mengejar-ngejar laki-laki. Tapi aku harus berbicara dengannya sekarang juga. Sebelum kehilangan keberanianku, aku mulai mengetikkan SMS itu. Hei, Kaf, apa kabar? Lama gak denger kabar dari kamu. Just wanna know how u’re doing. Tanpa membaca ulang apa yang telah kutulis, aku langsung menekan SEND dan menarik napas, menunggu hingga gambar amplop mulai melayang di layar HP-ku. Setelah itu, hanya untuk memastikan bahwa SMS itu memang sudah terkirim, aku memeriksa statusnya. Puas bahwa SMS itu sudah betul-betul terkirim aku kemudin menutup HP-ku dan menunggu. Biasanya Kafka selalu membalas SMS-ku secepatnya, kecuali kalau dia sedang praktik. Kuembuskan napas perlahan-lahan sambil menghitung dalam hati. Satu… dua… tiga… empat… ketika pada hitungan keenam puluh dan Kafka belum juga membalas SMS kulirik HP-ku lagi untuk memastikan bahwa sinyalnya cukup kuat untuk menerim SMS. Ketika melihat bahwa aku hanya memiliki dua baris sinyal, aku langsung panic. Aku berdiri dari kursi dan melongokkan kepala ke atas dinding kubikel. Gita langsung mengangkat tatapannya dari layar computer. “Git, HP lo sinyalnya penuh nggak?” tanyaku. Gita kelihatan bingung dengan pertanyaanku, tapi dia segera mengeluarkan HP-nya dari laci meja. “Dua baris” jawab Gita setelah beberapa detik. “Yakin?” aku mengitari dinding kubikel itu dan berdiri di samping meja Gita sebelum kemudian merampas HP tersebut dari tangannya. Ternyata Gita benar, HP-nya juga hanya memiliki dua baris sinyal. Dengan agak kecewa kukembalikan HP itu kepada pemiliknya yang sekarang menatapku dengan tajam. Mungkin dia bingung melihatku tiba-tiba jadi ganas dan tidak tahu sopan santun. “Sori. Thanks,” ucapku. “Omong-omong kita bisa nggak sih terima SMS kalau sinyalnya Cuma ada dua baris?” lanjutku. “Setahu gue sih bisa. Selama sinyalnya nggak nol,” balas Gita. “Memangnya lo lagi nungguin SMS dari siapa?” “Oh nggak… nggak dari siapa-siapa sih. Nggak terlalu penting juga kok. Dia mungkin lagi sibuk kali, makannya nggak bisa balas.” Aku tidak tahu kenapa aku mengucapkan ini semua kepada Gita yang kebingungannya sudah berganti menjadi kecurigaan.
Aku lalu mengangguk dan berjalan kembali ke mejaku. Kuempaskan diriku ke kursi kerjaku sambil mendesah panjang. Kepala Gita tiba-tiba muncul, “Lo lagi kenapa sih, Nad?” Aku langsung menegakkan tubuh. “Kenapa? Memangnya gue kenapa?” tanyaku buru-buru “Sudah beberapa hari ini lo kayak orang kebakaran jenggot. Lo nggak bisa focus, banyak lupa sama kerjaan. Dan kalau bukan karena gue, lo pasti sudah kena omel sama bos kemarin di meeting.” Aku harus akui bahwa Gita memang menyelamatkanku ketika mengatakan bahwa aku sudah melaksanakan tugasku untuk networking dengan teman-teman Karin. Padahal sebetulnya Gita yang melakukan itu semua sementara aku sibuk “networking” dengan Kafka di lantai atas klub. Gita memang selalu mau membantuku semenjak aku menawarkan diri untuk membantunya menyelesaikan suatu proyek yang terlalu sulit baginya ketika dia baru masuk sebagai web designer junior setahun yang lalu. “Lo bahkan mungkin nggak ingat hari ini hari apa.” Pertanyaan Gita membangunkanku dari lamunan. “Hah?” tanyaku. Gita memutar bola matanya dan mengulangi pertanyaannya. “Gue tahu kok hari ini hari apa,” bantahku “Oke. Hari apa?” “Selasa, kan?” Kulihat Gita menggeleng. “Rabu?” kucoba sekali lagi yang disambut oleh gelengan kepala rekan kerjaku itu lagi. “Nggak penting deh hari ini hari apa?” ucapku sok cuek padahal dalam hati aku sedang mencoba mengingat-ingat tanggal hari ini. “Hari ini hari kamis, Nad.” Kata Gita sambil menggeleng-geleng. Sepertinya dia cukup terkesima karena aku tidak bisa ingat hari ini hari apa. “Hah! Tuh kan tebakan gue nggak seberapa meleset.” Teriakku senang. “Dan kalau hari ini hari Kamis, berarti….?” Gita membiarkan kalimatnya menggantung. “Berarti…. Berarti besok Jumat, hari terakhir kerja. Wooo hooo…,” teriakku antusias sambil mengangkat kedua kepalan tanganku ke atas sebagai tanda kemenangan. “Ya ampuuuunnn. Pikiran lo benar-benar nggak ada di sini ya? Lo Nadia, senior web designer-nya kita bukan sih?” “Lo kok nanyanya gitu?” tanyaku sedikit tersinggung. “Nad, hari ini kita mesti kasih evaluasi performa website klien kita ke Bos. Lo ingat kan soal yang satu itu?” Aku lompat berdiri dari kursiku sambil berteriak panic, “Itu hari ini?” membuat beberapa pegawai lainnya langsung berdiri dari kursi mereka untuk melihat siapa yang membuat keributan pada jam sebelas pagi. Lain dengan orang kantoran lainnya, para web designer biasanya baru masuk kantor jam sepuluh, bahkan ada yang baru datang jam sebelas. Pada intinya jam sebelas pagi sudah seperti jam delapan pagi di kantor lainnya. Orang biasanya menunggu hingga selepas makan siang untuk mulai membuat keributan. Gita membantuku untuk mengucapkan maaf kepada para pegawai yang telah aku ganggu “quiet time”-nya. “Nad, lo sudah kerja di sini empat tahun, jauh lebih lama daripada gue. Setiap tahun kita kasih evaluasi itu ke Bos setiap tanggal 8 Januari. Ingat?” bisik Gita. “SHIIITTT.” Aku berusaha membisikkan kata itu tapi tidak berhasil karena orang-orang sudah mulai
melirik kea rah kami lagi. Alhasil sekali lagi aku harus meminta maaf. “Jangan bilang ke gue lo belum ngerjain itu sama sekali,” Gita terdengar putus asa. “Ohhh… gue sudah kerjain, tapi belum selesai. Masih ada beberapa yang gue belum sentuh sama sekali,” jelasku sambil buru-buru duduk dan mulai mengutak-atik mouse-ku untuk mencari file evaluasi yang sempat aku kerjakan sebelum Tahun Baru dan berniat untuk menyelesaikannya sebelum pertemuan dengan Bos yang akan terjadi dalam…. Kulirik jam tanganku, tiga jam. Aku punya tiga jam untuk melakukan evaluasi performa website tujuh klien lagi. “Nad,” kudengar Gita memanggil namaku, tetapi aku terlalu sibuk dan terlalu panic untuk mengangkat kepalaku dan menatapnya. “Ehm,” ucapku. Aku sudah membuka website salah satu klienku yang belum aku evaluasi dan mulai mencatat segala informasi yang kuperlukan untuk membuat laporan yang diminta oleh Bos. “Perlu bantuan gak?” Aku langsung menatap Gita dengan penuh terima kasih. “Oh… boleh banget. Kalo lo nggak keberatan,” ucapku sambil mengembuskan napas lega. Aku ingin memeluk Gita saat itu juga. Kami akhirnya membagi tugas. Gita mengerjakan evaluasi untuk tiga klienku yang account-nya lebih kecil, sedangkan aku mengerjakan empat lainnya yang masuk ke kategori klien premium. ***
Setelah insiden seminggu yang lalu dengan pekerjaanku yang untungnya berakhir dengan selamat ----- lagi-lagi karena bantuan Gita----- aku berjanji untuk tidak memikirkan Kafka sampai melantarkan pekerjaanku. Kini aku berusaha menjaga jam lamunanku pada level minimum dan hanya kalau aku sedang ada di kamar kosku dan sedang tidak mengerjakan pekerjaanku saja. Kini dua minggu sudah berlalu semenjak Tahun Baru dan aku masih belum menerima balasan dari SMS yang telah kukirimkan kepada Kafka. Berkali-kali aku sudah siap untuk menelepon ke HP Kafka, tapi kuurungkan niat itu. Mukaku tidak sebegitu tebal sehingga tidak mengenali gejala bahwa seseorang tidak mau berhubungan denganku lagi. Kafka jelas-jelas sudah menutup pintu hubungan kami, jadi untuk apa aku masih ingin mengetuk pintu itu dan mengharapkan agar dia membukanya lagi untukku? Hanya orang superbego yang akan melakukan hal seperti itu. Dan… ternyata aku lebih bego dari orang superbego karena aku kini sedang menekan nomor HP Kafka untuk berbicara dengannya. Aku harus meletakkan tangan kiriku di atas dadaku untuk menenangkan detak jantungku yang harus bekerja lebih keras daripada biasanya untuk memompa darah ke sekujur tubuhku. Aku hampir saja menutup telepon itu karena keberanianku tiba-tiba meninggalkanku ketika mendengar nada sambung. Kutarik napasku dalam-dalam. Aku tidak pernah harus menelepon HP Kafka sehingga tidak tahu apa yang akan aku hadapi. Aku bahkan tidak tahu apakah dia punya voicemail atau tidak. Setelah beberapa detik aku mendapatkan jawaban dari pertanyaan itu. Kafka tidak mengangkat teleponku dan dia tidak memiliki voicemail. Kuembuskan napasku. Aku tidak bisa memutuskan apakah aku merasa lega atau kesal karena Kafka tidak mengangkat telepon itu. Whoaaa…. Sejak kapan aku menjadi orang yang tidak pasti dengan perasaannya sendiri? Jawabannya adalah semenjak serigala berbulu domba (atau mungkin domba berbulu serigala? Aggghhh nggak tahu deh) bernama Kafka memasuki hidupku lagi lima bulan yang lalu. Selama bulan Januari aku mencoba untuk menelepon HP Kafka empat kali lagi dan mengirimkan lima
SMS (tidak menghitung SMS pertama yang kukirimkan seminggu setelah Tahun Baru) tanpa ada hasil. Sms terakhir yang kukirimkan padanya terdengar sangat memalukan sehingga aku pun tidak sanggup untuk mengingat-ingat bunyinya karena selalu membuatku meringis. Kamu lagi sibuk, ya? Kamu tahu kan aku Cuma bercanda aja soal minta kamu stop SMS aku itu? So… kirim kabar ya kalo sempet.
Aku tahu bahwa aku sudah berkelakuan seperti stalker, tapi aku tidak bisa berhenti! Aku kini mengerti perasaan orang yang nge-fans berat pada seorang artis sehingga rela untuk berbuat apa saja untuk memperoleh perhatian artis tersebut. Kebanyakan hal yang mereka lakukan hanya bisa digolongkan sebagai isengan, tapi terkadang ada kasus yang ektrem sehingga penggemar itu sampai berniat untuk bunuh diri karena artis tersebut tidak membalas fan-mail yang dikirimkannya enam bulan yang lalu. Oke… tentu saja aku tidak akan melakukan hal sedahsyat ini, karena sejujurnya dengan apa coba aku akan bunuh diri? Potong nadi atau minum Baygon? Kedua metode itu terlalu penuh dengan penyiksaan menurutku. Menembak kepala sendiri? Dari mana aku akan menemukan pistol? Dan apakah aku akan mendapatkan suatu jaminan bahwa kematianku akan menarik perhatian Kafka? Tentu saja tidak. Tiba-tiba aku teringat akan cerita yang pernah kubaca mengenai penggemar berat Brad pitt yang masuk ke rumah bintang dilm itu tanpa izin kemudian mengenakan pakaian artis itu sebelum tidur di atas tempat tidurnya. Mmmhhh…. Kira-kira bagaimana reaksi Kafka kalau aku mempraktikkan hal ini padanya? Aku langsung bergidik membayangkan Kafka akan memanggil polisi yang akan segera menjebloskanku ke penjara karena telah melanggar privasi orang. Ketika pada Minggu terakhir bulan Januari aku masih belum juga mendengar kabar dari kafka, aku mulai khawatir kalau saja dia mungkin telah mengalami kecelakaan yang sangat parah dan kini tergeletak di rumah sakit tidak sadarkan diri sehingga tidak bisa mengirimkan kabar padaku. Tapi kalau musibah seperti ini menimpa Kafka, tentunya Karin tidak akan setenang itu ketika aku bertemu dengannya beberapa hari yang lalu. Aku hampir saja mengangkat teleponku untuk memastikan hal ini kepada Karin ketika mengingat bahwa papaku seharusnya bertemu dengan Kafka lagi besok. Aku hanya harus menunggu kabar dari Kak Mikhel yang bergiliran untuk mengantarkan papa cek jantung. Kalau Kafka memang sedang sakit parah, maka dia tidak mungkin praktik, kan? *** Tepat pukul dua belas siang aku menekan nomor HP Kak Mikhel dengan tangan yang sedikit gemeteran saking takutnya. Untungnya kakakku langsung mengangkat telepon itu sehingga aku tidak perlu menunggu lama dan berisiko tiba-tiba pingsan di kantor karena tekanan darahku mencapai lebih dari 200. “Ada apa, Nad?” Tanya Kak Mikhel. Meskipun sambungan itu cukup jelas, tetapi aku bisa mendengar bunyi dengungan yang menandakan bahwa dia sedang berada di jalan. Aku biasanya paling tidak suka melihat orang berbicara di telepon ketika sedang menyetir mobil, tapi aku beralasan ini keadaan darurat, maka harus dimaklumi. “Kak, lagi di jalan, ya?” tanyaku agak ragu. Aku tidak yakin aku harus menginterogasi kakakku mengenai Kafka ketika dia sedang membawa mobil. Apa lebih baik aku menunggu nanti saja? “Iya, ini lagi mau antar Mama sama Papa pulang,” jawab Kak Mikhel. “Kenapa?”
Mendengar nada positif dari kakakku, aku melanjutkan , “Gimana Papa?” aku sedang mencari cara untuk menanyakan tentang Kafka ketika Kak Mikhel memberikan informasi yang kuperlukan. “Dokter k’ bilang Papa sudah semakin membaik. Jadi check up seperti biasa lagi bulan depan. Kamu mau yang antar Papa bulan depan atau Viktor?” “Oh, jadi Kafka praktik hari ini, ya?” tanyaku lebih antusias daripada yang kurencanakan. “Of course. Why wouldn’t he?” Kak Mikhel terdengar curiga. “Dia gimana kelihatannya? Sehat-sehat saja atau kelihatan agak sakit?” aku tidak peduli dengan kecurigaan Kak Mikhel dan maju terus pantang mundur. “Uhm… kelihatan sehat.” “Dia Cuma kelihatan sehat atau memang sehat?” “Gimana cara ngebedainnya, Nad?” Betul juga. Bagaimana cara membedakan orang yang hanya kelihatan sehat dan orang yang betul-betul sehat? “Jadi menurut Kakak dia sehat?” “Menurut gue sih begitu, tapi gue nggak tahu juga. Gue kan bukan dokter.” Dari nadanya aku tahu bahwa Kak Mikhel sedang menertawakanku. “Memangnya kenapa kamu nanya-nanya sampai detail begitu?” sambungnya “Nggak. Nggak kenapa-napa kok. Salamin buat Mama sama Papa ya,” ucapku dan buru-buru menutup telepon sebelum Kak Mikhel mulai menginterogasiku. Oke, jadi Kafka dalam keadaan sehat. Berarti hanya ada satu kemungkinan kenapa dia tidak mengangkat telepon dariku, tidak menelepon balik, dan tidak membalas SMS-ku. Dia betul-betul sudah “selesai” denganku. Tiba-tiba aku bisa bersimpati dengan semua mantan pacar Dara yang selalu diperlakukan seperti ini kalau Dara sudah bosan dengannya. Tapi jujur, aku tidak pernah memperlakukan pacar-pacarku seperti ini. Aku selalu memberikan penjelasan panjang-lebar kepada semua pacarku saat aku mau putus dengan mereka. Aku tidak pernah meninggalkan mereka menggantung seperti cara Kafka menggantungku sekarang. Kenapa kok malah aku yang dapat karmanya Dara? Apa bisa karma itu mengenai sobat? Aku selalu menyangka bahwa karma hanya berlaku bagi orang itu sendiri dan keturunannya. NADIA! Fokus! Aku memarahi diriku sendiri karena pikiranku bercabang. Aku terdiam sejenak untuk berpikir. Apa Kafka betul-betul tega melakukan hal seperti ini padaku? Kalau pertanyaan itu keluar lima bulan yang lalu, tanpa ragu-ragu aku akan menjawab bahwa sifat memperlakukan wanita seperti ini sudah ada di dalam darahnya… tetapi tidak sekarang, setelah aku betul-betul mengenalnya dan setelah apa yang kami lalui bersama-sama. Apa dugaan dan harapanku tentangnya selama ini sudah salah alamat? Nggak. Pendapatku tentang Kafka tidak mungkin meleset sejauh ini. Aku menolak untuk percaya bahwa Kafka yang aku kini kenal adalah tipe laki-laki seperti itu. Dia mungkin adalah orang paling iseng dan paling bandel yang pernah aku kenal sepanjang hidupku, tapi aku yakin dia bukan tipe orang yang akan membuat seorang perempuan jatuh cinta padanya, kemudian tanpa ada indikasi hujan atau badai meninggalkan perempuan itu begitu saja. Ancamanku untuk memintanya berhenti mengirimkan SMS padaku tidak bisa dihitung sebagai suatu indikasi karena jelas-jelas aku bercanda. Dan dia pasti tahu bahwa aku bercanda, kan? Selama dua puluh tahun aku mengenalnya, dia tidak pernah menghormati permintaanku. Kenapa sekarang, di saat aku mengharapkan reaksi yang sama seperti sebelum-sebelumnya, dia justru berbalik
arah dan melakukan ini? Kutekuni argumentasi panjangku itu dan aku terpaku pada serentetan kata-kata yang spesifik. “Membuat seorang perempuan jatuh cinta padanya,” dan tiba-tiba aku tertawa sendiri. Hahaha…. Nggak-nggak…. NGGAK MUNGKIN. Aku tidak sedang jatuh cinta dengan Kafka. Meskipun seperti yang sudah kukatakan kepada ketiga sobatku bahwa aku ingin mengenalnya lebih jauh, tapi aku tidak mencintainya. Dia itu Kafka! KAFKA! Anak laki-laki yang paling kubenci di satu dunia ini. Walaupun memang kini aku sudah tidak membencinya lagi, tapi itu tidak membuatku lupa akan semua hal yang pernah dilakukannya padaku. Hal-hal seperti… seperti… seperti…. Tiba-tiba saja aku tidak bisa mengingat satu pun keseingan yang Kafka pernah lakukan padaku ketika aku SD, kepalaku penuh dengan hal-hal lucu, menghibur, dan menggemaskan yang telah dilakukannya beberapa bulan belakangan ini. “Oh, SHIIITTT, I AM in love with HIM,” teriakku. Untungnya hari ini aku bekerja dari kamar kosku sehingga tidak ada orang lain yang mendengar pengakuan itu. Kutenggelamkan wajah di antara kedua tanganku dan mencoba memutuskan apakah aku harus menangis atau tertawa. Kuputar kembali kehidupanku selama delapan bulan belakangan ini setelah aku putus dari Fendi. Kusadari bahwa tiga bulan pertama setelah putus, aku masih melirik kiri dan kanan untuk melihat-lihat kalau saja ada laki-laki yang berpotensi untuk kupacari, tapi aktivitas itu terhenti bersamaan dengan pertemuanku dengan Kafka. Sejujurnya, meskipun selama ini aku selalu memiliki hubungan jangka panjang dengan pacar-pacarku, tetapi aku hanya memasukkan satu kakiku ke dalam kolam tersebut. Hal ini memberikanku kepastian bahwa aku bisa lari kapan saja dan secepat mungkin kalau hubungan itu sudah tidak sesuai lagi dengan keinginanku. Dengan Kafka… aku bahkan tidak tahu bahwa aku sudah menceburkan diri ke dalam kolam ini sehingga kusadari bahwa aku sudah tenggelam. Aku sudah merasa terlalu nyaman dalam berhubungan dengan Kafka sehingga tidak menyadari potensi masalah dari hubungan itu. Dan ketika aku menyadari kesalahanku, semua sudah terlambat. Aku tidak bisa lagi menarik diriku keluar dari kolam itu. Aku bahkan tidak yakin bahwa aku mau menarik diriku keluar. SIALAN! Aku seharusnya sudah melihat lampu kuning ketika dua bulan yang lalu aku terobsesi hanya karena Kafka belum mengatakan maksud tindakan-tindakannya terhadapku dan aku seharusnya sudah melihat kerlipan lampu merah ketika aku sedang dikelilingi oleh laki-laki paling ganteng satu Jakarta di resepsi pernikahan Jana tetapi yang ada di pikiranku hanya Kafka atau ketika aku rela memberikan Kafka ruang untuk bernapas dan menunggu hingga dia siap untuk berhubungan serius denganku. Aku tidak memperhatikan semua tanda-tanda itu hingga aku bertabrakan langsung dengannya. Hidung dengan hidung kalau istilah kecelakaan lalu lintasnya. Definisi murni dari perkataan “crash into you.”
Selama ini aku sudah berbohong pada diriku sendiri tentang perasaanku terhadap Kafka. Aku tidak betul-betul rela menunggu Kafka hingga dia bisa mengambil keputusan, satu-satunya alasan kenapa aku mau menunggu dan rela menjadi temannya terlebih dahulu adalah karena aku selalu berharap bahwa Kafka akhirnya akan melihat sinar terang di ujung jalannya. Intinya… lambat-laun dia pasti akan melihatku sebagai seseorang yang berpotensi untuk berhubungan serius dengannya, dipacari, bahkan mungkin dinikahi. Aku tidak menyangka bahwa aku sudah melakukan kesalahan yang sama seperti yang telah dilakukan oleh orangtuaku. Kami sama-sama menginvestasikan sebagian besar dari diri kami pada sesuatu karena mengharapkan imbalan yang besar dari tindakan ini. Tapi kami sama-sama salah dan kalah karena bukannya mendapatkan keuntungan, kami malah sial. Bedanya adalah kesialan orangtuaku

berbentuk kehilangan uang di bursa saham, sedangkan aku… aku kehilangan hatiku di genggaman tangan Kafka. “Po’ngoro!” omelku pada diriku sendiri. Yang pada dasarnya berarti “goblok” dalam bahasa Makassar. Aku terkejut sendiri dengan sumpahanku itu. Sudah hampir dua puluh tahun aku tidak pernah menggunakan bahasa masa kecilku itu. Stupid! STUPID! STUUUPPPIIIDDD! Kuembuskan napasku frustasi. Aku harus melakuakan sesuatu. Aku tidak bisa melanjutkan hidupku untuk menangisi nasibku karena cintaku sudah ditolak oleh seorang laki-laki. Aku sudah menyangka bahwa kalau laki-laki seperti Kafka menolakku, hatiku akan sakit, tetapi “menyangka” dan “mengalami” adalah dua hal yang berbeda sama sekali. Banyak orang yang bilang bahwa manusia akan belajar dari pengalaman, yang mereka tidak pernah katakana adalah bahwa pengalaman itu membawa rasa sakit hati yang tidak tergambarkan. Kesedihan, kekecewaan, dan kemarahan bercampur menjadi satu gumpalan besar yang membuatkan mata kita untuk melihat makna pengalaman itu. Aku harus menemukan jalan untuk menyelesaikan masalah ini. Apa yang akan atau biasa dilakukan oleh wanita pada umumnya kalau cintanya ditolak? Satu-satunya ide yang keluar dari kepalaku adalah kata “dukun”, dan aku tahu bahwa meskipun di film-film orang yang sedang patah hari sering digambarkan menggunakan jasa ini, tapi dalam kehidupan nyata mungkin hanya satu persen populasi wanita yang patah hati yang akan menggunakan metode ini. Aku terdiam lagi untuk memikirkan jalan lain tetapi setelah sepuluh menit, aku masih tidak bisa menghasilkan ide yang brilian. Pada detik itu aku menyadari bahwa aku mungkin cukup beruntung dibandingkan sebagain besar wanita karena cintaku tidak pernah ditolak oleh siapa pun, sehingga aku tidak tahu langkah-langkah apa yang harus diambil untuk menyembuhkan patah hati. Selama ini aku tidak pernah terlalu peduli kalau orang-orang membicarakan tentang cara utnuk melupakan seseorang, karena aku tidak pernah mengalami dilemma itu, hingga saat ini. Ahh… rupanya aku sama saja dengan kaum wanita lainnya yang lambat-laun akan diremukkan hatinya oleh seorang laki-laki. Aku cukup terkejut bahwa aku sudah melalui 28 tahun dari hidupku sebelum mengalaminya. Selama itu pula aku tidak pernah betul-betul hidup dan melakukan berbagai hal hanya karena aku ingin melakukannya, tanpa peduli pendapat orang lain. Tiba-tiba aku merasa bahwa di luar hatiku yang retak, aku harus menganggap diriku beruntung. Kenapa? Karena selain hati dan harga diriku ( dan aku tahu bahwa ini adalah dua hal terpenting yang bisa diambil seseorang), kafka tidak mengambil apa-apa dari diriku ketika meninggalkanku. Dia tidak mengambil tabunganku, barang-barang berhargaku, status single-ku, dan rasa percaya diriku bahwa aku bisa menemukan orang yang lebih baik dari dirinya, yang tahu cara mengucapkan kata cinta dan menunjukkan kasih sayang padaku tanpa ada iming-iming atau pun melodrama. Sekarang aku sudah tidak perlu bertanya-tanya lagi tentang obsesiku kalau sudah menyangkut Kafka, karena kini aku tahu bahwa perempuan sepertiku memang tidak sebanding dengan laki-laki sekaliber Kafka. Aku sudah mencoba, dan aku kalah. Aku bukanlah Cinderella atau Snow White, hidupku tidak akan berakhir bahagia dengan seorang pangeran. Sekarang aku harus meninggalkan awing-awang dan kembali ke bumi. 


Crash Into You - AliaZalea - Bab 14

No comments:

Post a Comment