Saturday, September 5, 2015

Crash Into You - AliaZalea - Bab 18

Bab 18 


1 Juni 
Gue nggak bisa ngegambarin apa yang gue rasain sekarang. Gue nggak nyangka bahwa gue bisa sebahagia ini, apalagi karena alasan utamanya adalah dia. Dia bisa terima gue apa adanya. Dia cinta sama gue dan dia Cuma minta supaya gue bisa mencintai dia balik. Itu saja. Gila nggak sih? *** Ternyata Karin cukup menyenangkan juga orangnya kalau aku tidak menghiraukan gaya bicara Paris Hiltonnya, dan tanpa terasa aku sudah menghabiskan siang itu dengannya. Aktivitas “female bonding” kami diawali dengan Karin meminjamkan hair-dryer-nya jad aku bisa mengeringkan rambutku.
Lalu dia memberi tur keliling rumah orangtuanya yang cukup besar dan penuh dengan perabot antic itu. Terkadang aku merasa seperti sedang berada di dalam museum, tapi satu hal yang menurutku unik dari rumah ini adalah bahwa hampir setiap dinding dan meja dihiasi oleh foto yang memberikan kehangatan dan rasa kekeluargaan pada rumah tersebut. Karin menunjukkan foto Kafka waktu SD dengan topi Mickey Mouse. Kafka kelihatan sangat bahagia di foto itu. Dia kemudian menunjukkan beberapa foto Kafka lagi dari dia SD hingga kuliah. Satu dinding ruang tamu dipenuhi foto anggota keluarga itu sedang mengenakan toga dengan berbagai warna dan aksesori sesuai dengan universitas masing-masing. Kemudian kami menuju halaman belakang untuk makan siang dan aku sempat mengucapkan terima kasih kepada mama Kafka karena sudah mengurusku selama aku sakit. Aku tidak bertemu muka dengan papa Kafka yang menurut Karin sedang berada di kantor, tapi aku melihat fotonya. Papa Kafkaa kelihatan sangat menakutkan karena tubuhnya yang tinggi besar dengan kumis ala Pak Raden. 
Aku bersyukur bahwa aku tidak usah bertemu dengnnya saat itu. Selama makan siang mama Kafkaa memastikan bahwa aku tidak kurang makan dengan mengatakan, “Tambah lagi, Nadia,” setiap lima menit sekali. Aku merasa agak canggung dengan segala perhatian ini. Dan kalau beliau tidak sedang sibuk untuk membuatku merasa seperti ratu untuk sehari, dia menatapku sambil tersenyum penuh arti. Okay, this is slightly creepy. Aku merasa seperti dia tahu sesuatu tentangku yang aku tidak mau dia tahu. Untung saja kemudian makan iang itu berakhir dan Karin mengusulkan agar kami mengurung diri di dalam kamar Kafka, jadi aku bisa bernapas kembali. Dan di atas tempat tidurlah Kafka menemukanku beberapa jam kemudian sedang cekikikan dengan Karin sambil menonton serial TV friends. Hari ini dia mengenakan kemeja biru muda dan celana hitam, tanpa dasi. Aku bisa melihat kaus putih pada belahan segitiga tempat dia mmbiarkan kancing paling atas kemejanya terbuka. Tanpa ragu-ragu Kafka langsung berjalan menghampiriku dan duduk di sampingku. Perlahan-lahan dia membelai untaian rambutku dan mnyelitkannya di belakang daun telingaku. Entah kenapa, tapi aku merasa agak canggung bertemu muka dengannya. “Better?” Tanya Kafka. 

Pertanyaan Kafka ini mungkin terdengar simple, seakan-akan dia hanya menanyakan kesehatan fisikku, tapi aku tahu bahwa itu bukanlah maksud pertanyaannya. Dia bertanya apakah aku merindukannya dan bahwa aku kini merasa lebih baik karena dia sudah datang. Dan sejujurnya, itulah yang aku rasakan. Pada detik itu aku tahu bahwa aku tidak harus merasa canggung dengannya. Aku mengangguk tanpa menyadarinya. Kemudian kudengar suara Karin mengatakan, “Awww…. That is so sweet.” Dan wajahku langsung memerah. Aku sudah lupa bahwa Karin masih ada bersama kami. Kafka hanya tertawa mendengar komentar ini dan mendekatkan dirinya padaku di atas tempat tidur. Lutut Kafka bersentuhan dengan pahaku. Dan wajahku sudah seperti tomat. Entah kenapa tetapi tiba-tiba aku merasa canggung dan agak malu, padahal dia belum ngapa-ngapain aku dan aku yakin bahwa dia tidak berencana untuk ngapa-ngapain aku, tidak ketika adik perempuannya berada di dalam ruangan yang sama dengan kami. Ingin rasanya aku menampar diriku sendiri karena semua kekonyolan ini, tapi aku harus puas dengan hanya menggeser badanku agar tidak ada bagian tubuhku yang menyentuh tubuhnya lagi. Kafka mengerling melihat tindakanku, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa. “I’II leave you two lovebirds alone,” ucap Karin dan merangkak turun dari tempat tidur. “You don’t have to leave,” nada suaraku terdengar lebih tinggi daripada yang kurencanakan, tapi Karin hanya tersenyum dan menutup pintu dibelakangnya. “Aku suka lihat kamu begini. Santai dan nggak pakai make-up. Natural,” ucap Kafka sambil melarikan jari-jarinya pada pipiku. Kali ini aku membiarkannya menyentuhku, aku merasa nyaman dengan sentuhan itu. “Kamu cocok pakai kaus aku.” Lanjutnya sambil menunjuk dadaku. “Ini kaus sudah belel banget kok masih disimpan sih?” balasku sambil menarik ujung kaus yang menutupi separo pahaku. Kafka tertawa mendengar pertanyaanku. “Itu kaus vintage, aku beli waktu nonton konser U2 di London. Konser pertama yang tiketnya aku beli dari gaji pertama tahun residensi aku.” “Jadi ada nilai sentimentilnya dong.” Aku langsung merasa tidak enak. “Apa kamu mau aku lepas?” Sekali lagi Kafka tertawa. “Kecuali kalau kamu nggak keberatan aku ngelihat kamu naked lagi, aku saranin sih kamu tetap pakai kaus itu. Aku nggak keberatan kok selama yang makai kaus itu kamu,” “Oh,” itu saja yang mampu kuucapkan Kafka mengasihaniku yang tidak bisa berkata-kata dengan bertanya, 
“Kamu ngapain saja hari ini?” dan berdiri dari tempat tidur untuk kemudian melepaskan kemejanya Sambil memperhatikan gerakannya aku menjawab, 
“Mmmhhh…. Dipaksa makan siang sama mama kamu, nonton TV seharian sama Karin, teruuuussss… oh ya, aku lihat foto kamu yang pakai topi Mickey Mouse.
kamu kelihatan innocent banget. Aku yakin orang nggak bakalan nyangka kelakuan kamu kayak anak setan.” Kafka terkekeh mendengar komentarku dan lanjut menanggalkan kaus putihnya sebelum kemudian membuka pintu lemari. Karena dia sedang membelakangiku, aku hanya bisa melihat gerakan otot-otot kuat pada punggungnya. Aku tersenyum pada diriku sendiri dan menyandarkan punggungku pada kepala tempat tidur sambil menikmati pemandangan ini.. 
Kafka memutar tubuhnya untuk menghadapku dan sambil mengenakan sebuah kaus polo putih dia bertanya, “kamu perlu pulang buru-buru?” 
“Kalau kamu nggak keberatan, aku mau pulang sekarang,” ucapku. 
“Gimana kalau kamu makan malam bareng keluargaku dulu sebelum aku anter pulang?” 
“Makan malam sama keluarga kamu?” teriakku. 
Kafka mengangguk. “Kamu nggak keberatan, kan?”
 “Tapi… tapi… aku nggak punya pakaian yang rapi,” protesku. 
“Kamu nggak usah dandan Cuma untuk makan malam sama keluarga aku. Apa yang kamu pakai sekarang cukup kok.”
“Tapi… kaf, apa yang mereka bakal pikir tentang aku?” 
“Oh… tentang itu. Mamaku suka sama kamu.” 
“Tapi…” 
“Nadia… aku ini cinta sama kamu dan kamu cinta sama aku…” Aku sudah siap memprotes kata-katanya ketika Kafka memotongku, 
“And if it’s alright with you, aku mau semua orang tahu tentang itu. Kita bisa mulai dengan ngasih tahu ke keluargaku, habis itu ke keluarga kamu. Dengan begitu mungkin kakak-kakak kamu bisa berhenti ngelihat aku kayak mereka siap untuk ngebakar aku hidup-hidup.
” Aku tertawa mendengar penjelasan Kafka. “So, shall we?” Tanya Kafka yang sudah mengulurkan tangannya dan menunggu. Tanpa berpikir lagi aku pun meraihnya dan kami berjalan keluar dari kamar sambil bergandengan tangan. “Kaf,” ucapku pelan. “Ya?” “I love you,” ucapku sejelas mungkin. “Good,” jawab Kafka pendek. Oke, aku sebetulnya mengharapkan balasan yang lebih panjang dan lebih romantic daripada itu, karena adalah kejadian yang cukup langka bagiku untuk mengucapkan kata-kata itu secara langsung atas kemauanku sendiri, tapi itu tidak menghalangiku untuk menerima balasanya dengan sukacita. ***
Aku selalu menyangka bahwa memiliki seorang pacar itu lebih baik daripada single, tapi kini aku harus akui bahwa punya pacar itu tidak ada bandingannya dengan memiliki suami. Menjadi seorang nyonya ada keuntungan dan kerugiannya. Keuntungannya adalah bahwa pertama, aku bisa bercinta kapan saja dan di mana saja aku mau; kedua, aku tidak perlu lagi ngekos karena kini aku tinggal di rumah Kafka, maka dengan begitu aku bisa lebih banyak menabung; dan ketiga, ada satu orang lagi, selain keluarga dekat dan sobat-sobatku, yang menerimaku apa adanya tanpa pernah mengeluh. Kerugiannya adalah pertama, bahwa Kafka mempunyai hak untuk meminta kami untuk bercinta kapan saja dan di mana saja dia mau; kedua, aku dan Kafka harus duduk bersama-sama dan merencanakan pengeluaran bulanan dan tahunan kami karena menurut Kafka dia tidak tahu bagaimana aku mengatur keuanganku sebelum kami menikah sampai aku tidak punya tabungan sepeser pun; dan ketiga, karena Kafka menerimaku apa adanya, maka aku pun harus menerimanya apa adanya. Berikut kebiasaan-kebiasaan jeleknya yang mengompletkan rumah kami dengan segala peralatan elektronik yang menurutnya akan memudahkan kehidupan keseharian kami berdua, tapi menurutku hanya digunakan sebagai alasan untuk menutupi kemalasannya. Seperti mesin cuci pakaian yang bisa mencuci. Menakar pelembut, dan mengeringkan pakaian satu kali jalan, sebuah dishwaher, lemari es dengan mesin pembuat esnya sekalian, bahkan vacuum cleaner yang wireless dan bisa berjalan sendiri. Dan aku bahkan tidak bisa marah padanya karena setiap kali aku mau menyuarakan protesku dia berkata, “You know I love you, right?” Dan aku menjawab, “Of course I do, but…,” dan sebelum aku bisa melanjutkan argumentasiku, dia sudah memotong. “Kamu tahu nggak kamu makin cantik kalau sudah siap marah kayak sekarang,” ucapnya dan mau tidak mau aku akan tersipu-sipu meskipun aku tetap akan berusaha untuk mengerlingkan mataku dan
kelihatan marah. Aku masih harus mencoba untuk mmbiasakan diri untuk membiasakan diri setiap kali Kafka mengatakan bahwa aku cantik. Pertama kali aku mendengarnya aku langsung lari mencari cermin dan mematutkan wajahku di sana selama sepuluh menit. Aku mengharapkan bahwa aku akan melihat adanya suatu perubahan yang sangat drastic pada wajahku, yang menyebabkan kafka mengatakan hal itu, tetapi wajahku terlihat sama saja. Meskipun aku akui bahwa kini wajahku kelihatan lebih cerah dan mataku lebih bersinar mungkin karena rasa bahagia yang meluap-luap dan tidak bisa kututupi. Akhirnya karena kesal setiap kali melihatku tidak menghiraukan pujiannya itu, Kafka menggeretku untuk berdiri di depan cermin, di sana dia menunjukkan segala sesuatu yang dia sukai tentang wajahku dan tubuhku. Kini aku mencoba menerima pujian itu dengan tangan terbuka. “Kamu ingat kamu masih utang satu hal sama aku.” Tanpa kusadari Kafka sudah berdiri di hadapanku dan kedekatannya membuatku tidak bisa bernapas. Aku bertanya-tanya kapankah aku akan berhenti merasa seperti ini setiap kali dia dekat. Dan aku curiga bahwa jawabannya adalah sampai aku mati. “Apa?” Kami sudah menikah selama tiga bulan dan ini baru pertama kalinya Kafka menyinggung tentang janji itu. Aku berpura-pura bego. “Maksud kamu soal bikin aku hamil” tanyaku dengan muka tidak bersalah dan berjalan menjauhinya. Kafka mengerutkan keningnya sesaat sebelum berkata, “Itu memang penting dan aku niat untuk bikin kamu hamil sebelum akhir tahun ini. Tapi yang aku maksud bukan itu.” Ku sebetulnya sudah ingin tertawa, bukan saja karena melihat ekspresi wajahnya yang sekali lagi mengingatkanku kenapa aku menikah dengannya, tetapi juga tanpa sepengetahuannya haidku bulan ini telat dan bahwa kemungkinan besar aku hamil. Lain dengan perkiraan kedua kakakku yang aku yakin pasti bertaruh bahwa aku akan sudah hamil sebelum menikah dengan Kafka. Kurasa aku dan Kafka berhasil mengecewakan mereka. Kami berjanji untuk tidak melakukannya hingga kami menikah. Hal ini untuk memastikan bahwa alasan kami ingin menikah bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan jasmani, tetapi karena kami memang mencintai dan menikmati kehadiran satu sama lain. Aku sebetulnya memang berniat untuk memberitahu Kafka tentang kondisiku hari ini, tetapi aku sedang menunggu waktu yang tepat. “Coba kamu certain lagi ke aku, mungkin aku bisa ingat,” balasku, kembali kepada topic pembahasan. Kafka kelihatan kesal untuk beberapa detik, tetapi kemudian dia mengatur ekspresi wajahnya sebelum berkata, “Kamu ingat tiga hari sebelum kita nikah dan aku nyulik kamu dari rumah orangtua kamu untuk pergi ke rumahku dan kita sibuk ngomongin rencana hidup kita?” “Ngomongin?” candaku. Seingatku kami hanya menghabiskan sekitar tiga puluh menit membahas topic itu sebelum kemudian tangan dan bibir Kafka sibuk menelusuri bibirku. Kalau saja Kak Viktor tidak menelepon Kafka untuk menanyakan keberadaanku pada jam tiga pagi ketika mamaku sadar bahwa kamarku kosong, aku mungkin sudah menginap dirumah Kafka dan melanggar janji kami berdua. “Oke… ngomongin sedikit,” lanjut Kafka sambil meringis. Ketika melihat wajahku yang masih pura-pura bego Kafka berkata dengan putus asa, “Kamu ngerti kan maksud aku?” Aku tersenyum dan mengangguk “Karena aku nggak yakin aku bisa.” Kafka kelihatan mengerutkan keningnya sambil bertolak pinggang sebelum kemudian tanpa aba-aba dia mulai menggelitiki pinggangku. Pada malam pernikahan kami, dia mengetahui tentang kelemahanku ini dan selalu menggunakannya sebagai senjata untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Kafka baru
berhenti mengelitikiku setelah aku minta ampun dan berjanji akan menepati janji. “Oke, aku akan minta naik jabatan hari senin, dan kalau mereka masih nggak ngasih juga, aku bakalan berhenti kerja dan buka perusahaan sendiri,” ucapku Semenjak kami resmi berpacaran sekitar setahun yang lalu, Kafka pada dasarnya sudah mencoba untuk membujukku agar menuntut kenaikan jabatan dari bosku, dan kalau itu tidak berhasil, meninggalkan perusahaan tempatku bekerja yang menurutnya sama sekali tidak menghargai bakat yang kumiliki. Tetapi aku selalu ragu dan mengatakan bahwa aku akan melakukannya setelah kami menikah. Namun, aku sudah menunda keputusan ini selama lebih dari dua bulan dan berniat untuk menundanya lagi. Kafka mungkin percaya akan kemampuanku, tetapi aku sendiri masih bertanya-tanya apakah aku akan bisa melakukannya. Meskipun begitu, aku tahu bahwa aku harus berani mengambil keputusan ini karena kalau tidak, aku tidak akan bisa betul-betul berkembang. “That’s my girl.” Kafka langsung memelukku. Aku pun membalas pelukannya sambil mengembuskan napas penuh kepuasaan. Kafka, dia akan selalu bisa membuatku merasa tenang dan aman di dalam pelukannya. Dia akan selalu mendukungku untuk melakukan hal apa saja yang aku mau. “Aku hamil,” bisikku. Reaksi Kafka membuatku tertawa terbahak-bahak. Aku memang sudah tahu bahwa Kafka terkadang sering bertingkah laku seperti anak umur sepuluh tahun, tapi apa yang dilakukannya ketika mendengar berita ini membuatku bertanya-tanya apa jangan-jangan dia lebih seperti anak umur lima tahun daripada sepuluh tahun. Dia melompat-lompat dan berteriak-teriak seperti orang gila sebelum kemudian menarikku dari tempat tidur dan memelukku sambil mengucapkan terima kasih kepadaku dan kepada Tuhan berkali-kali.


No comments:

Post a Comment