Bab 18
1 Juni
Gue nggak bisa
ngegambarin apa yang gue rasain sekarang. Gue nggak nyangka bahwa gue bisa
sebahagia ini, apalagi karena alasan utamanya adalah dia. Dia bisa terima gue
apa adanya. Dia cinta sama gue dan dia Cuma minta supaya gue bisa mencintai dia
balik. Itu saja. Gila nggak sih? *** Ternyata Karin cukup menyenangkan juga
orangnya kalau aku tidak menghiraukan gaya bicara Paris Hiltonnya, dan tanpa
terasa aku sudah menghabiskan siang itu dengannya. Aktivitas “female bonding”
kami diawali dengan Karin meminjamkan hair-dryer-nya jad aku bisa mengeringkan
rambutku.
Lalu dia memberi tur keliling rumah orangtuanya yang cukup besar dan
penuh dengan perabot antic itu. Terkadang aku merasa seperti sedang berada di
dalam museum, tapi satu hal yang menurutku unik dari rumah ini adalah bahwa
hampir setiap dinding dan meja dihiasi oleh foto yang memberikan kehangatan dan
rasa kekeluargaan pada rumah tersebut. Karin menunjukkan foto Kafka waktu SD
dengan topi Mickey Mouse. Kafka kelihatan sangat bahagia di foto itu. Dia
kemudian menunjukkan beberapa foto Kafka lagi dari dia SD hingga kuliah. Satu
dinding ruang tamu dipenuhi foto anggota keluarga itu sedang mengenakan toga
dengan berbagai warna dan aksesori sesuai dengan universitas masing-masing.
Kemudian kami menuju halaman belakang untuk makan siang dan aku sempat
mengucapkan terima kasih kepada mama Kafka karena sudah mengurusku selama aku
sakit. Aku tidak bertemu muka dengan papa Kafka yang menurut Karin sedang
berada di kantor, tapi aku melihat fotonya. Papa Kafkaa kelihatan sangat
menakutkan karena tubuhnya yang tinggi besar dengan kumis ala Pak Raden.
Aku
bersyukur bahwa aku tidak usah bertemu dengnnya saat itu. Selama makan siang
mama Kafkaa memastikan bahwa aku tidak kurang makan dengan mengatakan, “Tambah
lagi, Nadia,” setiap lima menit sekali. Aku merasa agak canggung dengan segala
perhatian ini. Dan kalau beliau tidak sedang sibuk untuk membuatku merasa
seperti ratu untuk sehari, dia menatapku sambil tersenyum penuh arti. Okay,
this is slightly creepy. Aku merasa seperti dia tahu sesuatu tentangku yang aku
tidak mau dia tahu. Untung saja kemudian makan iang itu berakhir dan Karin
mengusulkan agar kami mengurung diri di dalam kamar Kafka, jadi aku bisa
bernapas kembali. Dan di atas tempat tidurlah Kafka menemukanku beberapa jam
kemudian sedang cekikikan dengan Karin sambil menonton serial TV friends. Hari
ini dia mengenakan kemeja biru muda dan celana hitam, tanpa dasi. Aku bisa
melihat kaus putih pada belahan segitiga tempat dia mmbiarkan kancing paling
atas kemejanya terbuka. Tanpa ragu-ragu Kafka langsung berjalan menghampiriku
dan duduk di sampingku. Perlahan-lahan dia membelai untaian rambutku dan
mnyelitkannya di belakang daun telingaku. Entah kenapa, tapi aku merasa agak
canggung bertemu muka dengannya. “Better?” Tanya Kafka.
Pertanyaan Kafka ini
mungkin terdengar simple, seakan-akan dia hanya menanyakan kesehatan fisikku,
tapi aku tahu bahwa itu bukanlah maksud pertanyaannya. Dia bertanya apakah aku
merindukannya dan bahwa aku kini merasa lebih baik karena dia sudah datang. Dan
sejujurnya, itulah yang aku rasakan. Pada detik itu aku tahu bahwa aku tidak
harus merasa canggung dengannya. Aku mengangguk tanpa menyadarinya. Kemudian
kudengar suara Karin mengatakan, “Awww…. That is so sweet.” Dan wajahku
langsung memerah. Aku sudah lupa bahwa Karin masih ada bersama kami. Kafka
hanya tertawa mendengar komentar ini dan mendekatkan dirinya padaku di atas
tempat tidur. Lutut Kafka bersentuhan dengan pahaku. Dan wajahku sudah seperti
tomat. Entah kenapa tetapi tiba-tiba aku merasa canggung dan agak malu, padahal
dia belum ngapa-ngapain aku dan aku yakin bahwa dia tidak berencana untuk
ngapa-ngapain aku, tidak ketika adik perempuannya berada di dalam ruangan yang
sama dengan kami. Ingin rasanya aku menampar diriku sendiri karena semua
kekonyolan ini, tapi aku harus puas dengan hanya menggeser badanku agar tidak
ada bagian tubuhku yang menyentuh tubuhnya lagi. Kafka mengerling melihat
tindakanku, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa. “I’II leave you two lovebirds
alone,” ucap Karin dan merangkak turun dari tempat tidur. “You don’t have to
leave,” nada suaraku terdengar lebih tinggi daripada yang kurencanakan, tapi
Karin hanya tersenyum dan menutup pintu dibelakangnya. “Aku suka lihat kamu
begini. Santai dan nggak pakai make-up. Natural,” ucap Kafka sambil melarikan
jari-jarinya pada pipiku. Kali ini aku membiarkannya menyentuhku, aku merasa
nyaman dengan sentuhan itu. “Kamu cocok pakai kaus aku.” Lanjutnya sambil
menunjuk dadaku. “Ini kaus sudah belel banget kok masih disimpan sih?” balasku
sambil menarik ujung kaus yang menutupi separo pahaku. Kafka tertawa mendengar
pertanyaanku. “Itu kaus vintage, aku beli waktu nonton konser U2 di London.
Konser pertama yang tiketnya aku beli dari gaji pertama tahun residensi aku.”
“Jadi ada nilai sentimentilnya dong.” Aku langsung merasa tidak enak. “Apa kamu
mau aku lepas?” Sekali lagi Kafka tertawa. “Kecuali kalau kamu nggak keberatan
aku ngelihat kamu naked lagi, aku saranin sih kamu tetap pakai kaus itu. Aku
nggak keberatan kok selama yang makai kaus itu kamu,” “Oh,” itu saja yang mampu
kuucapkan Kafka mengasihaniku yang tidak bisa berkata-kata dengan bertanya,
“Kamu ngapain saja hari ini?” dan berdiri dari tempat tidur untuk kemudian
melepaskan kemejanya Sambil memperhatikan gerakannya aku menjawab,
“Mmmhhh….
Dipaksa makan siang sama mama kamu, nonton TV seharian sama Karin, teruuuussss…
oh ya, aku lihat foto kamu yang pakai topi Mickey Mouse.
kamu kelihatan innocent
banget. Aku yakin orang nggak bakalan nyangka kelakuan kamu kayak anak setan.”
Kafka terkekeh mendengar komentarku dan lanjut menanggalkan kaus putihnya
sebelum kemudian membuka pintu lemari. Karena dia sedang membelakangiku, aku hanya
bisa melihat gerakan otot-otot kuat pada punggungnya. Aku tersenyum pada diriku
sendiri dan menyandarkan punggungku pada kepala tempat tidur sambil menikmati
pemandangan ini..
Kafka memutar tubuhnya untuk menghadapku dan sambil
mengenakan sebuah kaus polo putih dia bertanya, “kamu perlu pulang buru-buru?”
“Kalau kamu nggak keberatan, aku mau pulang sekarang,” ucapku.
“Gimana kalau
kamu makan malam bareng keluargaku dulu sebelum aku anter pulang?”
“Makan malam
sama keluarga kamu?” teriakku.
Kafka mengangguk. “Kamu nggak keberatan, kan?”
“Tapi… tapi… aku nggak punya pakaian yang rapi,” protesku.
“Kamu nggak usah
dandan Cuma untuk makan malam sama keluarga aku. Apa yang kamu pakai sekarang
cukup kok.”
“Tapi… kaf, apa yang mereka
bakal pikir tentang aku?”
“Oh… tentang itu. Mamaku suka sama kamu.”
“Tapi…”
“Nadia… aku ini cinta sama kamu dan kamu cinta sama aku…” Aku sudah siap
memprotes kata-katanya ketika Kafka memotongku,
“And if it’s alright with you,
aku mau semua orang tahu tentang itu. Kita bisa mulai dengan ngasih tahu ke
keluargaku, habis itu ke keluarga kamu. Dengan begitu mungkin kakak-kakak kamu
bisa berhenti ngelihat aku kayak mereka siap untuk ngebakar aku hidup-hidup.
”
Aku tertawa mendengar penjelasan Kafka. “So, shall we?” Tanya Kafka yang sudah
mengulurkan tangannya dan menunggu. Tanpa berpikir lagi aku pun meraihnya dan
kami berjalan keluar dari kamar sambil bergandengan tangan. “Kaf,” ucapku
pelan. “Ya?” “I love you,” ucapku sejelas mungkin. “Good,” jawab Kafka pendek.
Oke, aku sebetulnya mengharapkan balasan yang lebih panjang dan lebih romantic
daripada itu, karena adalah kejadian yang cukup langka bagiku untuk mengucapkan
kata-kata itu secara langsung atas kemauanku sendiri, tapi itu tidak
menghalangiku untuk menerima balasanya dengan sukacita. ***
Aku selalu menyangka bahwa memiliki seorang pacar itu lebih
baik daripada single, tapi kini aku harus akui bahwa punya pacar itu tidak ada
bandingannya dengan memiliki suami. Menjadi seorang nyonya ada keuntungan dan
kerugiannya. Keuntungannya adalah bahwa pertama, aku bisa bercinta kapan saja
dan di mana saja aku mau; kedua, aku tidak perlu lagi ngekos karena kini aku
tinggal di rumah Kafka, maka dengan begitu aku bisa lebih banyak menabung; dan
ketiga, ada satu orang lagi, selain keluarga dekat dan sobat-sobatku, yang
menerimaku apa adanya tanpa pernah mengeluh. Kerugiannya adalah pertama, bahwa
Kafka mempunyai hak untuk meminta kami untuk bercinta kapan saja dan di mana
saja dia mau; kedua, aku dan Kafka harus duduk bersama-sama dan merencanakan pengeluaran
bulanan dan tahunan kami karena menurut Kafka dia tidak tahu bagaimana aku
mengatur keuanganku sebelum kami menikah sampai aku tidak punya tabungan
sepeser pun; dan ketiga, karena Kafka menerimaku apa adanya, maka aku pun harus
menerimanya apa adanya. Berikut kebiasaan-kebiasaan jeleknya yang mengompletkan
rumah kami dengan segala peralatan elektronik yang menurutnya akan memudahkan
kehidupan keseharian kami berdua, tapi menurutku hanya digunakan sebagai alasan
untuk menutupi kemalasannya. Seperti mesin cuci pakaian yang bisa mencuci.
Menakar pelembut, dan mengeringkan pakaian satu kali jalan, sebuah dishwaher,
lemari es dengan mesin pembuat esnya sekalian, bahkan vacuum cleaner yang
wireless dan bisa berjalan sendiri. Dan aku bahkan tidak bisa marah padanya
karena setiap kali aku mau menyuarakan protesku dia berkata, “You know I love
you, right?” Dan aku menjawab, “Of course I do, but…,” dan sebelum aku bisa
melanjutkan argumentasiku, dia sudah memotong. “Kamu tahu nggak kamu makin
cantik kalau sudah siap marah kayak sekarang,” ucapnya dan mau tidak mau aku
akan tersipu-sipu meskipun aku tetap akan berusaha untuk mengerlingkan mataku
dan
kelihatan marah. Aku masih
harus mencoba untuk mmbiasakan diri untuk membiasakan diri setiap kali Kafka
mengatakan bahwa aku cantik. Pertama kali aku mendengarnya aku langsung lari
mencari cermin dan mematutkan wajahku di sana selama sepuluh menit. Aku
mengharapkan bahwa aku akan melihat adanya suatu perubahan yang sangat drastic
pada wajahku, yang menyebabkan kafka mengatakan hal itu, tetapi wajahku
terlihat sama saja. Meskipun aku akui bahwa kini wajahku kelihatan lebih cerah
dan mataku lebih bersinar mungkin karena rasa bahagia yang meluap-luap dan
tidak bisa kututupi. Akhirnya karena kesal setiap kali melihatku tidak
menghiraukan pujiannya itu, Kafka menggeretku untuk berdiri di depan cermin, di
sana dia menunjukkan segala sesuatu yang dia sukai tentang wajahku dan tubuhku.
Kini aku mencoba menerima pujian itu dengan tangan terbuka. “Kamu ingat kamu
masih utang satu hal sama aku.” Tanpa kusadari Kafka sudah berdiri di hadapanku
dan kedekatannya membuatku tidak bisa bernapas. Aku bertanya-tanya kapankah aku
akan berhenti merasa seperti ini setiap kali dia dekat. Dan aku curiga bahwa
jawabannya adalah sampai aku mati. “Apa?” Kami sudah menikah selama tiga bulan
dan ini baru pertama kalinya Kafka menyinggung tentang janji itu. Aku
berpura-pura bego. “Maksud kamu soal bikin aku hamil” tanyaku dengan muka tidak
bersalah dan berjalan menjauhinya. Kafka mengerutkan keningnya sesaat sebelum
berkata, “Itu memang penting dan aku niat untuk bikin kamu hamil sebelum akhir
tahun ini. Tapi yang aku maksud bukan itu.” Ku sebetulnya sudah ingin tertawa,
bukan saja karena melihat ekspresi wajahnya yang sekali lagi mengingatkanku kenapa
aku menikah dengannya, tetapi juga tanpa sepengetahuannya haidku bulan ini
telat dan bahwa kemungkinan besar aku hamil. Lain dengan perkiraan kedua
kakakku yang aku yakin pasti bertaruh bahwa aku akan sudah hamil sebelum
menikah dengan Kafka. Kurasa aku dan Kafka berhasil mengecewakan mereka. Kami
berjanji untuk tidak melakukannya hingga kami menikah. Hal ini untuk memastikan
bahwa alasan kami ingin menikah bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan jasmani,
tetapi karena kami memang mencintai dan menikmati kehadiran satu sama lain. Aku
sebetulnya memang berniat untuk memberitahu Kafka tentang kondisiku hari ini,
tetapi aku sedang menunggu waktu yang tepat. “Coba kamu certain lagi ke aku,
mungkin aku bisa ingat,” balasku, kembali kepada topic pembahasan. Kafka kelihatan
kesal untuk beberapa detik, tetapi kemudian dia mengatur ekspresi wajahnya
sebelum berkata, “Kamu ingat tiga hari sebelum kita nikah dan aku nyulik kamu
dari rumah orangtua kamu untuk pergi ke rumahku dan kita sibuk ngomongin
rencana hidup kita?” “Ngomongin?” candaku. Seingatku kami hanya menghabiskan
sekitar tiga puluh menit membahas topic itu sebelum kemudian tangan dan bibir
Kafka sibuk menelusuri bibirku. Kalau saja Kak Viktor tidak menelepon Kafka
untuk menanyakan keberadaanku pada jam tiga pagi ketika mamaku sadar bahwa
kamarku kosong, aku mungkin sudah menginap dirumah Kafka dan melanggar janji
kami berdua. “Oke… ngomongin sedikit,” lanjut Kafka sambil meringis. Ketika
melihat wajahku yang masih pura-pura bego Kafka berkata dengan putus asa, “Kamu
ngerti kan maksud aku?” Aku tersenyum dan mengangguk “Karena aku nggak yakin
aku bisa.” Kafka kelihatan mengerutkan keningnya sambil bertolak pinggang
sebelum kemudian tanpa aba-aba dia mulai menggelitiki pinggangku. Pada malam
pernikahan kami, dia mengetahui tentang kelemahanku ini dan selalu
menggunakannya sebagai senjata untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Kafka
baru
berhenti mengelitikiku
setelah aku minta ampun dan berjanji akan menepati janji. “Oke, aku akan minta
naik jabatan hari senin, dan kalau mereka masih nggak ngasih juga, aku bakalan
berhenti kerja dan buka perusahaan sendiri,” ucapku Semenjak kami resmi
berpacaran sekitar setahun yang lalu, Kafka pada dasarnya sudah mencoba untuk
membujukku agar menuntut kenaikan jabatan dari bosku, dan kalau itu tidak
berhasil, meninggalkan perusahaan tempatku bekerja yang menurutnya sama sekali
tidak menghargai bakat yang kumiliki. Tetapi aku selalu ragu dan mengatakan
bahwa aku akan melakukannya setelah kami menikah. Namun, aku sudah menunda keputusan
ini selama lebih dari dua bulan dan berniat untuk menundanya lagi. Kafka
mungkin percaya akan kemampuanku, tetapi aku sendiri masih bertanya-tanya
apakah aku akan bisa melakukannya. Meskipun begitu, aku tahu bahwa aku harus
berani mengambil keputusan ini karena kalau tidak, aku tidak akan bisa
betul-betul berkembang. “That’s my girl.” Kafka langsung memelukku. Aku pun
membalas pelukannya sambil mengembuskan napas penuh kepuasaan. Kafka, dia akan
selalu bisa membuatku merasa tenang dan aman di dalam pelukannya. Dia akan
selalu mendukungku untuk melakukan hal apa saja yang aku mau. “Aku hamil,”
bisikku. Reaksi Kafka membuatku tertawa terbahak-bahak. Aku memang sudah tahu
bahwa Kafka terkadang sering bertingkah laku seperti anak umur sepuluh tahun,
tapi apa yang dilakukannya ketika mendengar berita ini membuatku bertanya-tanya
apa jangan-jangan dia lebih seperti anak umur lima tahun daripada sepuluh
tahun. Dia melompat-lompat dan berteriak-teriak seperti orang gila sebelum
kemudian menarikku dari tempat tidur dan memelukku sambil mengucapkan terima
kasih kepadaku dan kepada Tuhan berkali-kali.
No comments:
Post a Comment